-c i n q。
.
.
.
「 ✦ ᴛ ʀ ᴀ ᴘ ᴘ ᴇ ᴅ。 」
.
.
.
Hyunbin berlari melintasi lorong rumah sakit. Ia tak memperdulikan teguran perawat ditiap langkahnya. Beberapa bahkan mengancam untuk memanggil keamanan, kalau saja mereka tak melihat Jaehwan, direktur utama rumah sakit, turut berlari mengekori Hyunbin.
Hyunbin sebenanrnya telah sampai lebih dahulu dibandingkan Jaehwan. Sementara sang kawan terjebak dalam kemacetan, ia sudah meletakkan Minhyun dalam unit gawat darurat. Salah satu dokter bedah kenalan Jaehwan langsung menangani bocah itu. Hanya beberapa menit sang dokter memerika hingga akhirnya membuahkan keputusan.
Minhyun harus dioperasi. Jaringan kulitnya menyembuhkan diri dengan lambat, dan itu tidak berarti baik. Beruntung Jaehwan telah memberikan pertolongan pertama kala itu, sebab jika tidak, mungkin saja tungkai Minhyun akan membusuk.
Hyunbin terus membentak, mengancam sang dokter jika ia melakukan kegagalan, maka ia akan menggantung kepala direktur utama mereka, Jaehwan, di tiang bendera halaman depan rumah sakit. Beruntung ada Guanlin yang menahan amukan Hyunbin, setengah memaksa tuannya untuk menjauh dan mengurus administrasi Minhyun sementara ia mengekori Minhyun ke arah ruang operasi.
Barulah keduanya, Jaehwan dan Hyunbin, bertemu di koridor panjang menuju ruang operasi. Tepat ketika Hyunbin menyelesaikan administrasi Minhyun yang sebenanrnya terisi banyak kepalsuan di dalamnya.
Jaehwan dan Hyunbin menghentikan laju langkah mereka di depan ruang operasi. Guanlin sudah duduk disana, di bangku tunggu. Jaehwan cukup terkejut ketika menemukan lebam parah di pipi Guanlin.
"Jangan bilang kau menghajarnya!"
Hyunbin menatap Jaehwan tajam, tak berniat membalas ucapan sang kawan meski sebernarnya ia hendak membalasnya diikuti pula dengan satu pukulan, misalnya. Jaehwan mengerang memperhatikan reaksi Hyunbin yang mengonfirmasi dirinya sendiri bahwa ia memang memukul Guanlin.
"Kau gila!," Jaehwan melempar tas kerjanya, cukup keras benda itu menubruk sisi kanan tubuh Hyunbin dan terjatuh. Ia mendekat pada Guanlin, meneliti luka di wajah pemuda tujuh belas tahun itu. Beruntung ia tak menemukan cedera serius pada wajah Guanlin.
"Kau boleh menjadi bajingan tempramen, tapi- ah! Kau gila, Hyunbin!"
Hyunbin mendekat pada Jaehwan dalam sekilas, segera ia meraih kerah kemeja sang kawan yang diselimuti bau obat-obatan. "Diam kau," desisnya penuh peringatan.
"Oh, kau mau menghajarku juga disini, sialan? Lakukan!"
Keadaan tidak berjalan begitu baik setelahnya. Hyunbin dan Jaehwan terus saja bertikai di depan ruang operasi. Gualin tak berani mendekat, sebab keduanya mengancam akan melampiaskan amarah pada Guanlin kalau saja ia mendekat. Maka Guanlin hanya diam, membatu dalam duduknya, memperhatikan Hyunbin dan Jaehwan yang nyaris saling memukul beberapa kali.
"Keluarga- Minhyun?"
Ketiganya menoleh, menatap seorang dokter yang tengah berjalan keluar ruang operasi, diikuti beberapa perawat di belakangnya. Hyunbin melepas cengkramnnya pada kerah Jaehwan dan berdiri di depan sang dokter.
"Ya, saya keluarganya."
"Operasi berjalan baik, ia akan dipindahkan ke ruangan sebentar lagi. Mungkin Anda sekalian bisa menunggu di ruang rawat."
.
.
.
* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *
.
.
.
Kelopak mata Minhyun terbuka perlahan. Merasa terkejut mendapati dirinya berada di ruang asing untuk yang kesekian kalinya. Sebuah infus tersulur turun dan berakhir di tangannya. Ketika ia menoleh, didapati Hyunbin yang tertidur di sisi kasurnya, Guanlin yang tengah memainkan ponselnya di sofa, dan Jaehwan yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Minhyun.
"Hey? Kau sudah sadar hm?," Jaehwan tersenyum seraya meletakkan sebungkus cake di meja sisi kasur Minhyun. Pertanyaan Jaehwan berhasil membangunkan Hyunbin dan mengalihkan atensi Guanlin dari ponselnya.
"I-ini-?"
"Rumah sakit, sayang," Jaehwan terkekeh pelan, tak ia gubris tatapan Hyunbin yang benar-benar siap untuk meledak dan mencoba untuk membunuhnya. "Kau baru saja operasi."
Minhyun mengernyit, mulai merasakan rasa sakit secara perlahan di tungkainya. Tanpa sadar, ia meremat telapak Hyunbin yang sedari tadi menggenggam tangannya. Efek dari obat biusnya tampaknya mulai menipis.
"S-sakit-hh."
"Tahan, Minhyun, tahan sedikit saja," Hyunbin melirik Jaehwan dan Guanlin, mengisyaratkan melalui matanya bahwa ia mengusir keduanya. Guanlin mengangguk dan beranjak terlebih dahulu, disusul Jaehwan setelah sang kawan merotasikan netranya jengah atas usiran Hyunbin.
Ketika keduanya berada di luar, yang pertama Hyunbin lakukan adalah mendesah panjang. Genggaman pada telapak Minhyun ia lepas perlahan. Kedua tangannya menyilang di depan dadanya beserta tatapan marah pada Minhyun.
"Jelaskan padaku."
Minhyun mulai terisak, telapaknya bergerak mencoba meraih genggaman Hyunbin kembali. "T-tuan, s-sakit-"
"Jelaskan terlebih dulu padaku."
"A-aku takut tuan m-marah-," Minhyun meremat kedua tangannya sendiri yang terasa bergetar pelan. "T-tuan- menakutkan."
"Jadi-," Hyunbin mendengus. Ia memilih berdiri dan menjauh menuju jendela besar di kamar Minhyun. Sejenak ia menatap pemandangan di bawahnya, berusaha meredam emosinya sendiri. "Menurutmu, aku tidak marah ketika kau melakukan hal bodoh seperti saat ini?"
Ada jeda sejenak sebelum Minhyun kembali bercicit, "m-maaf."
Hyunbin melirik Minhyun sejenak dengan tatapan tajamnya. Ia kemudian mengendikkan bahunya, terkesan muak dengan keadaan. Hyunbin berjalan menjauhi jendela, meraih jasnya yang tersampir di sofa ruang rawat Minhyun.
"Percuma saja," Hyunbin membuang wajahnya dan mulai berjalan, meninggalkan Minhyun yang bergerak panik di atas kasurnya
"T-tuan, tunggu!"
Hyunbin menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, siap untuk keluar kapan saja. Maniknya menatap Minhyun dengan dingin, tampak tak mau membantu Minhyun yang kesulitan meraih saku celananya.
"S-selamat natal-," Minhyun membuka kertas yang ia dapat dari balik saku celananya. Tulisan selamat natal beserta pohon natal yang terhias cukup berantakan justru tampak menarik. Ada pernak pernik disana, kilau glitter, dan warna warni krayon; khas coretan bocah sepuluh tahun.
Senyum Minhyun meluntur melihat Hyunbin yang kembali membuang mukanya dan meraih gagang pintu. Sempat pria itu berhenti sebelum ia mengambil langkah melewati pintu yang telah terbuka. Hyunbin menoleh, menatap Minhyun dari balik bahunya.
"Ini membuang waktuku."
.
.
.
* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *
.
.
.
"Kau yang membuatnya?"
Minhyun mengangguk dengan senyum manis. "Ya! Guanlin hyung yang membelikan semuanya untukku!"
Satu elusan mendarat di puncak kepala Minhyun, menerbitkan cercah bahagia dari netra bocah sepuluh tahun itu. Dengan bangga ia menggelar kertas berisi ucapan natal di atas pangkuannya. Remah dari cake yang ia makan selalu ia singkirkan setiap kali benda tersebut nyaris menyentuh kertasnya.
"Buatku saja!"
Minhyun sontak memeluk kertasnya, menjadi posesif dengan karyanya sendiri. Tawa mengalun dari tiga pria di ruang rawatnya, melihat Minhyun menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Daniel.
"Ayolah," Daniel mengerang dramatis. "Kita baru berkenalan, kau bisa memberikannya padaku untuk salam pertemanan, benar?," tanyanya dengan nada jenaka.
Daniel hanya berkunjung sejenak. Suatu kebetulan ia berada di dekat rumah sakit, dan bertepatan dengan Jaehwan yang menelepon dirinya, memberitau bahwa Minhyun dirawat. Dengan berbekal boneka anjing laut putih yang ia beli dari toko kado di dekat rumah sakit, ia bertatap mata dengan Minhyun untuk pertama kali. Berutung Minhyun tampak menyukai boneka pemberiannya, dan dirinya.
"Ah Guan, mana Hyunbin?"
Guanlin mengendik pasrah. "Urusan lain, tentang Wahl VVIP Club yang hendak tuan buka."
Kepala Minhyun menunduk pelan mendengar nama Hyunbin. Teringat beberapa saat lalu ketika Hyunbin marah padanya dan meninggalkan dirinya sendiri di ruang rawat dengan raut sedih.
"Hey," tegur Jaehwan saat melihat raut Minhyun yang mendadak berubah. Spekulasi tentang kepergian Hyunbin yang mungkin ada huhungannya dengan Minhyun mendadak muncul di kepala Jaehwan.
Minhyun mendongak, terpanggil dengan panggilan Jaehwan padanya. Dahinya berkerut heran melihat senyum terlukis di wajah yang lebih tua.
"Kau mau melihat pohon natal?"
Minhyun menegakkan tubuhnya. Senyum lebar terhias kembali di wajahnya, menggantikan raut muram yang sempat mengisi. Kepalanya mengangguk antusias. Segera ia melipat kembali kertas ucapan natal yang ia buat, memeluk boneka pemberian Daniel, kemudian melonjak senang. Ia tampak tak sabar ketika Guanlin membantunya berpindah ke kursi roda. Nyaris tubuhnya terjatuh kalau saja Daniel tidak menahannya dari belakang.
"Apa kita bisa menghias pohon natal di rumah?"
Guanlin mengerutkan alisnya. "Yah, entah kau akan kembali ke rumah dengan cepat, atau entah tuan memberikan izin tentang itu, Minhyun."
Minhyun menghela nafasnya panjang. Sekali lagi ia teringat kertas karyanya yang diacuhkan oleh Hyunbin. Entah tuannya itu tidak menyukai karya Minhyun ataukah tidak menyukai natal. Yah, mungkin, Minhyun bisa memberikan kertasnya nanti, ketika Hyunbin sudah kembali dan tak marah dengan dirinya.
Tangan kecil Minhyun menarik celana Guanlin yang hendak mendorong kursi rodanya. Yang lebih tua membungkuk, mensejajarkan pandangnya dengan keheranan.
"A-apa- apa kita boleh menghias pohon natal di kamar ini?"
"Kau mau menghias pohon natal di kamar ini, Minhyun?"
Minhyun mengangguk ragu menjawab pertanyaan direktur utama rumah sakit itu. Jaehwan memberi tawa pelan, dan mengusap kepala mungilnya kembali. Minhyun tak sempat menghitung berapa banyak usapan yang telah Jaehwan berikan padanya.
"Kau tentu boleh," Jaehwan mengedipkan sebelah matanya, kemudian melirik Guanlin. "Guanlin hyung akan mencarikan pohon natal kecil untukmu, deal?"
"Deal!"
.
.
.
* . · . ♥️ ˚ 🖤 . · . *
.
.
.
"Tuan."
Hyunbin menaikkan pandangnya, menatap sang bawahan yang tampak ragu untuk memanggilnya. Mungkin sang bawahan sadar ketika melihat kabut hitam menyelimuti tuannya yang tengah menumpu kepalanya dengan telapak dan alis yang berkerut tak nyaman.
"Ada apa?," tanya Hyunbin yang tak bisa menyembunyikan nada ketusnya. "Sebaiknya kau tak mengacau."
"Tidak- barang-barang akan segera datang, tuan. Tepat pada waktunya."
Hela nafas meluncur, mengejutkan sang bawahan yang mengira dirinya membawa masalah baru pada tuannya. Satu langkah mundur sudah ia ambil, bersiap untuk lari melindungi dirinya sendiri takut-takut tuannya akan menembak dirinya; seperti apa yang dialami kawannya beberapa saat lalu ketika melapor bahwa 10 laras panjang yang hilang tak berhasil ditemukan. Masih terbayang dalam kepala sang bawahan bagaimana darah mengalir deras dari rongga mata kawannya.
"Pergilah."
"Baik," jawabnya dengan nada setengah tercekat. Terburu ia membungkuk dan mengambil langkah panjang untuk menjauh dari tuannya.
Hyunbin kembali menumpu kepalanya. Rasanya berdentam, berbagai peristiwa dan pemikiran seakan saling bertabrakan satu sama lain. Di satu sisi, ia teringat dengan urusan pekerjaannya yang bermasalah, di satu sisi ia teringat- Minhyun.
Rasa asing mengetuk hatinya, memintanya untuk menurunkan ego dan meminta maaf pada Minhyun atas sikapnya. Tapi, hey- seorang Hyunbin? Meminta maaf? Untuk apa? Sekalipun ia salah, tak pernah ada kata maaf meluncur darinya. Terserah untuk menyebut Hyunbin sebagai manusia tanpa perasaan atau apapun itu, sebab Hyunbin memanglah tidak.
Hela nafas yang tak terhitung kembali meluncur. Hyunbin menendang meja kerja di klub miliknya. Beberapa bawahan yang melintasi di depannya melonjak, terkejut dengan amarah Hyunbin yang meluap-luap sejak awal ia datang.
Sial, hari yang begitu sial menimpa dirinya. Ditambah Minhyun yang terjatuh sakit dan harus mendekam di presidential suites. Ayolah, Hyunbin tidak mempermasalahkan biaya yang harus keluar. Ia mempermasalahkan dirinya yang tertimpa banyak perkara dalam satu hari. Bahkan ia tak sempat untuk mengingat tanggal. Kalau saja Minhyun tidak memamerkan karya natalnya, mungkin Hyunbin tetap takkan mengingat bahwa hari ini adalah natal.
Apakah ini salahnya yang tidak memperhatikan Minhyun sehingga bocah itu sakit?
Hyunbin melempar map plastiknya. Konyol baginya, harus berpikir bahwa rasa sakit Minhyun adalah salahnya. Lagipula, siapa Minhyun yang harus membuatnya memperhatikan bocah kecil itu?
Ya, siapa? Siapa Minhyun yang dapat bermalam dengan nyaman di rumahnya?
Hyunbin tentu tak memiliki jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Sialan!"
.
.
.
. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
To be continue
. · . ✦ ⋆ ˚ ♥️ ⋆ ˚ ° ♡ • ˚ ⋆ 🖤 ˚ ⋆ ✦ . · .
.
.
.
.
.
.
.
.
a/n: Iya ini chap lebih pendek dari chap yang lain. Otak q udah lelah apdet tiga FF sekaligusㅠㅠ Yang tanya kenapa Hyunbin sebentar peduli, sebentar galaq pake q, silahkan tanya sendiri y, aq juga ga ngerti kenapa Hyunbin jangan bengadㅠㅠ
XOXO,
Jinny Seo [JY]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top