Transmigrasi 6

__________________________________

Setelah hampir gila selama beberapa saat. Kebingungan dan tidak tahu harus bagaimana. Ilene akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Ya, kendati ia juga tidak tahu harus bagaimana dan harus melakukan apa agar bisa kembali ke dunia seharusnya ia berada.

Ilene tidak bisa diam saja di kamar ini. Mengetahui tiba-tiba ia menjadi anak dari konglomerat yang pasti rumahnya jauh lebih besar dari rumah aslinya. Ilene tentu tidak akan diam saja, habis ini ia akan melakukan house tour. Rumahnya yang ini pasti besar sekali, Ilene ingin tahu bagaimana dan seberapa besar.

Hal pertama yang Ilene lakukan sekarang adalah mandi. Lalu melihat-lihat berbagai macam koleksi pakaian yang dimiliki Eve. Semoga saja selera Eve tidak begitu jauh darinya. Ilene selama ini tidak terlalu memperhatikan pakaian dan fashion. Ia hanya akan menggunakan pakaian yang nyaman digunakan. Seperti misalnya perpaduan antara kaos dan celana high waist, ketika pergi keluar. Lalu kaos dan celana pendek ketika ia berada di rumah. Itu adalah pakaian nyamannya sehari-hari.

Seperti sekarang, Ilene berada di ruang wardrobe milik Eve. Melihat berbagai macam pakaian yang gadis ini gunakan sehari-harinya. Hm, tidak buruk. Kendati tidak banyak yang Ilene sukai, setidaknya Eve memiliki cukup banyak baju kaos dan celana pendek. Ilene bisa memakainya sekarang.

Beberapa saat kemudian, Ilene sebagai Eve sudah siap melangkah ke luar kamar. Dari desain pintu kamarnya saja Ilene sudah bisa menebak seperti apa rumah yang Eve miliki. Pasti jarak antara gedung utama rumah ini dan gerbang sangat jauh.

Kasihan kang paketnya pasti jalan jauh banget kalau mau ke sini, batin Ilene.

Akhirnya pintu kamar itu terbuka, bersamaan dengan wajah terkejut Ilene. Kamar ini berada di paling ujung lorong lantai dua. Ia bisa melihat terdapat dua ruangan yang entah milik siapa di sini. Ilene berdeham, berusaha menyembunyikan wajah terkejutnya. Kendati tadi ia sudah berusaha untuk tidak terkejut dan mengira-ngira akan seperti apa besar rumah Eve, tetap saja ia terkejut.

Ilene melangkahkan kakinya pelan-pelan, malah terlihat seperti mengendap-endap, seolah tak ingin lantai marmer yang ia pijaki mendapatkan kotoran dari kakinya. Namun langkahnya terhenti ketika Ilene sampai pada pintu ruangan selanjutnya dan ruangan itu tiba-tiba terbuka. Sosok laki-laki tampan yang tadi masuk ke kamarnya adalah sosok dibalik pintu itu. Ia tersenyum lebar.

"Ke mana sandal kamu?"

"Ah? Eh?" Ilene melihat ke bawah, ke kakinya yang telanjang dan memperhatikan kaki laki-laki itu alias kakak Eve.

"Kakak tau kamu nggak suka pake sandal di rumah, tapi aturan tetap aturan Eve. Kembali ke kamar, ambil sandal kamu. Kakak tunggu di sini."

Tidak banyak alasan Ilene langsung berlari menuju kamarnya lagi. Orang itu memang tampan sih, tapi suara deepnya yang ketika berbicara itu membuat Ilene merasa sangat segan. Seolah-olah ia harus menepati perintahnya tanpa boleh membantah.

"Nah, gitu, dong. Jadi cantik, kaki kamu kan nggak bakal luka lagi kalau kayak gini."

Laki-laki yang masih belum Ilene ketahui namanya itu merangkul Ilene, lalu mengarahkannya pada ruang makan. Tempat di mana keluarga konglomerat pasti berkumpul ketika waktunya makan malam tiba.

Ilene hanya bisa melongo sepanjang mereka melangkah. Ini benar-benar di luar dugaannya. Rumah Eve mewah sekali, serius. Bahkan dindingnya Ilene rasa terbuat dari marmer. Seluruh perabotan dan ukiran serta hiasan yang ada di rumah ini terlihat sangat mewah, sangat berbeda dengan rumah-rumah konglomerat yang ia tahu.

"Papa sama Mama baliknya bulan depan, Eve. Jadi selama mereka nggak ada, kamu harus patuh sama perintah Kakak." Laki-laki tadi memulai pembicaraan lagi.

"Ehm, iya, Kak."

"Kamu kenapa? Beda banget dari biasanya. Efek sakitnya sampai segininya, ya?"

"Em, lagi nggak mood aja, Kak. Hehe." Ilene hanya membalas sebisanya. Ia tidak mungkin bertingkah seperti dirinya sendiri di saat ia tidak mengerti karakter seperti apa yang Eve miliki.

"Tadi Devina ke sini, ya?"

"Iya, tapi kayaknya udah balik."

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala. Lalu tidak lama kemudian beberapa makanan mulai dihidangkan. Seperti biasa, dalam jumlah yang besar dan seakan tidak mungkin bisa dihabiskan hanya untuk dua orang. Ilene tidak makan sebanyak itu.

"Kakak sudah minta Devina buat sering-sering ke sini nemenin kamu. Jangan sampe kamu drop nggak ada yang tahu kayak kemarin. Lagian kenapa, sih, nggak mau kamarnya diberesin Bibi? Coba kalau Kakak nggak mampir dulu ke kamar kamu, bisa-bisa kamu udah nggak ada."

Cowok ini cerewet banget ternyata, apa karena gue aja yang nggak punya saudara? Ilene membatin lagi.

"Iya, Kak. Lain kali nggak gitu lagi."

"Bagus, deh. Ayo, makan."

Lagi dan lagi Ilene hanya bisa mengangguk. Ia tidak bisa berbuat banyak dan berbuat semaunya seperti yang biasanya ia lakukan. Sekali lagi, ia tidak tahu karakter seperti apa Eve itu, berbuat seenaknya malah akan mengacaukan segalanya. Jadi untuk sekarang, Ilene main aman aja dulu.

Tapi yang pasti, ia harus mengetahui nama kakaknya dan selisih umur mereka. Secara look, Ilene bisa menebak kakak Eve ini usianya sekitar 27-30an tahun. Selisih yang cukup jauh dari Eve yang masih berusia 16 tahun.

Mereka akhirnya makan dengan khidmat. Tidak ada pembicaraan apa pun saat makan. Dan Ilene pun akhirnya mengikuti. Yang terdengar sejak tadi adalah suara sendok dan garpu yang bersinggungan dengan piring.

***

Dan pada akhirnya, rencana Ilene berantakan. Ia tidak bisa melihat-lihat rumah ini secara keseluruhan. Padahal niatnya untuk mengetahui seluk beluk yang ada di kamar ini agar mudah ke depannya ketika ia berperan sebagai Eve. Si cowok tadi menyuruh Ilene untuk segera beristirahat. Kakak Eve itu juga telah meminta Devina untuk menemaninya malam ini. Gadis itu akan datang beberapa saat lagi.

Sembari menatap buku-buku yang berserakan di meja belajar, Ilene menebak-nebak. Pasti Eve adalah gadis yang tidak mau kalah dan ambis dalam hal akademik. Terbukti dari buku-buku yang sudah banyak dicorat-coret. Dan perkataan Devina tadi juga kembali terngiang.

Eve capek karena belajar terus? Entahlah. Ilene hanya bisa menebak-nebak sekarang. Apa sebaiknya ia tanya saja pada Devina? Mengingat tadi hanya gadis itu yang tahu bagaimana bingungnya Ilene di sini.

Dan benar tidak lama kemudian, Devina datang dengan tas ransel dalam gendongan. Sepertinya sang kakak meminta Devina untuk menginap sekarang. Ia juga tidak mengerti bagaimana hubungan mereka berdua tapi setidaknya Ilene harus berusaha.

"Kak Iyo tiba-tiba minta aku buat dateng ke sini, kamu nggak papa, kan? Tadi kepalanya sakit lagi, ya?"

Baru saja datang, gadis itu sudah banyak bicara.

"Ehm, nggak papa. Gu- eh aku aneh ya, tadi?"

"Nggak apa-apa, kok. Aku udah sering liat kamu kayak gini. Kemarin aja kamu pingsan hampir seharian, sampe Kak Iyo maksa mau bawa kamu ke rumah sakit. Tapi untungnya kamu udah sadar."

"Aku emang sering gini? Maksudnya?"

Devina, gadis dengan rambut sebahu dan tampilan yang manis itu tersenyum dan membelai lembut kepala Ilene.

"Kamu lupa lagi, ya?"

Sungguh, Ilene tidak mengerti apa maksudnya. Eve punya kelainan gitu?


08 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top