Transmigrasi 5



___________________________________

Sepeninggal gadis itu, Ilene bangkit dari kasurnya. Kembali ke cermin tadi. Ia masih tidak mengerti dengan semua yang terjadi pada dirinya saat ini. Bagaimana bisa Ilene yang sedang sakit tiba-tiba bangun dengan tubuh yang berbeda.

Ini di mana pula?

Lalu Eve itu siapa? Zein juga siapa?

Nama-nama itu tidak asing. Tapi Ilene tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Semalam sepertinya ia pingsan, dan entah bagaimana caranya ia bisa berada di sini sendirian.

Di tengah kebingungan Ilene yang masih meraba-raba bagian tubuhnya dan melihat di cermin dengan seksama wajah yang sama sekali tidak Ilene kenali ini. Tiba-tiba suara telfon berbunyi. Ilene yang kaget lantas menoleh ke arah sekitar, mencari keberadaan suara tersebut.

"Apa lagi ini Tuhan. Gue bener-bener nggak ngerti." Ilene akhirnya berlari ke arah kasur.

Mencari-cari suara ponsel yang berbunyi tadi. Dan foila, Ilene menemukannya di bawah guling.

"Halo?"

Tidak ada suara.

"Halo? Ini siapa, ya?"

Masih tidak ada suara. Namun beberapa detik kemudian, muncul suara seseorang.

"Bagaimana tubuh barunya? Suka?"

"Om Erlan?"

Ilene terkejut bukan main. Suara yang saat ini berada di seberang sana persis seperti suara tetangganya.

"Siapa yang kamu maksud? Saya bukan Erlan! Panggil saya... Master." Orang itu terkekeh di akhir kalimatnya. Ilene semakin kebingungan.

"Master siapa? Maksudnya apa?"

"Jadi begini anak manis. Jiwa kamu sekarang sedang berkelana."

"Hah?"

"Kamu sekarang berada di dunia imajinasi."

"Hah?"

Lagi-lagi Ilene tidak mengerti bagaimana maksudnya.

"Sebentar. Jangan potong omongan saya dulu. Tapi karena kamu pasti nggak akan mengerti, jadi singkat saja, anak manis. Karena jiwa kamu yang sedang berkelana itu tersesat dan masuk ke dalam dunia imajinasi. Jangan mikir panjang, di dunia ini, kamu bukan tokoh utama. Kamu bukan sosok yang sering disorot kamera imajinasi manusia. Jadi, nikmatilah waktumu di sini. Nanti kamu akan tahu alasannya. Tugas kamu sekarang cukup menjalankan misi-misi yang akan saya berikan."

Tunggu, tunggu. Apa ini? Apa maksudnya. Jiwa Ilene tersesat atau apalah itu. Bagaimana bisa? Apa yang ia lakukan sampai begini jadinya.

Orang itu tertawa mendengar keterdiaman Ilene. Sudah pasti Ilene merasa bingung dengan semua yang terjadi padanya dalam waktu sekejap.

"Petunjuk pertama yang berikan, novel terakhir yang kamu baca. Selamat menunggu informasi selanjutnya dan selamat bersenang-senang."

"Bentar!" Seruan Ilene terdengar bersamaan dengan ditutupnya telpon oleh orang itu.

Ilene merosot jatuh ke bawah. Sungguh Ilene merasa gila sekarang. Apa maksudnya semua ini? Persetan siapa master itu Ilene sungguh ingin mengetahui alasannya dan mengapa semua ini terjadi padanya.

"Bentar, clue-nya novel terakhir yang gue baca? Novel yang dari Alana?" Ilene terdiam cukup lama di samping ranjang. Masih dengan memegang ponsel yang dimiliki tubuh ini.

"Anjing! Novel itu! Gue inget sekarang. Eve itu teman baik Devina, Zein itu si bad boy. Anjirlah kenapa harus masuk ke sini, sih. Kek nggak ada novel lain yang lebih menarik aja."

Ilene menenggelamkan wajahnya pada bad cover. Menarik selimut tebal itu lalu mengacak-ngacaknya. Sungguh demi apa pun, Ilene merasa sangat kesal sekarang.

***

Setelah merasa cukup tenang akan kejadian mengerikan yang menimpa dirinya, Ilene berusaha untuk tetap waras. Kendati pikirannya menggila sekarang.

Lalu apa yang harus ia lakukan di sini? Bukannya novel itu sudah memiliki jalannya sendiri menuju akhir kisah. Apa fungsinya Ilene berada di sini menjalankan misi-misi yang entah apa itu.

Untuk apa? Apa gunanya?

Semuanya masih abu-abu bagi Ilene. Kewarasannya hampir saja terenggut karena sesaat setelah ia mengamuk kesal lantaran fakta yang baru saja ia dapat. Master sialan itu malah tidak bisa dihubungi padahal banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan.

"Oke, sekarang gimana? Gue harus gimana? Anjirlah!"

Ketika lagi dalam puncak frustasi, pintu kamar itu terbuka. Ilene seketika menoleh. Seorang laki-laki cukup dewasa dengan pakaian formal datang dan melangkah mendekat. Siapakah orang ini? Ayahnya Eve? Ilene bahkan belum banyak membaca bagian Eve di novel itu karena memang sejauh ia membaca, Eve hanya muncul sesekali saja. Ilene bahkan belum membaca novel itu sampai separuh, jadi ia benar-benar tidak tahu akan ke mana arah hidupnya setelah ini.

"Udah baikan? Kenapa nggak telfon Kakak kalau emang nggak enak badan dari kemarin?"

Ilene hanya diam terpaku menatap sosok yang sangat tampan menurutnya ini. Ah, ternyata Eve memiliki seorang kakak. Sungguh demi apa pun, Ilene tidak tahu menahu tentang Eve.

"Emm, anu, Kak."

Laki-laki itu terkekeh.

"Nggak papa, kamu istirahat saja. Pasti capek banget, kan. Sekarang mandi, istirahat, lalu kita ketemu lagi di meja makan pas makan malam nanti." Laki-laki yang belum Ilene ketahui namanya itu mengelus rambut dan dagu Ilene lalu pergi dari kamar ini.

"Begini doang gue udah keringat dingin, bangsat!" Ilene berseru kesal.

Lalu kembali merebahkan dirinya di kasur mewah ini.

Sejujurnya, Ilene tidak tahu harus bersikap bagaimana sebagai Eve. Ia benar-benar tidak tahu seperti apa karakter gadis setengah bule ini. Dari perawakan dan gaya yang gadis ini kenakan, sepertinya ia berbanding dengan Ilene yang asli.

Ilene yang slengean, suka ngomong kasar, dianggap judes dan sangat suka marah-marah ini pasti berbanding terbalik dengan Eve yang terlihat anggun. Ya, meski tubuh dan suaranya berbeda tetap saja yang ada di dalam tubuh ini adalah Ilene, jiwa Ilene. Bagaimana bisa Ilene bersikap lemah lembut dan anggun?

Ilene bangkit lagi dari bangunnya. Ia baru teringat sesuatu.

"Lah, berarti cewek yang tadi itu Devina, dong? Karakter utama di novel itu. Berarti gue harus ngikutin dia ke mana-mana gitu? Seinget gue terakhir baca, Eve emang selalu ke mana-mana bareng Devina. Anjirlah, pantes tu cewek ada di sini. Bestian ternyata."

Lama-lama Ilene beneran gila karena sejak tadi tidak berhenti berbicara sendiri. Lagi pula gimana caranya Ilene meluapkan kebingungannya kalau bukan berbicara? Ilene bukan tipe manusia yang suka memendam sesuatu. Ia lebih suka mengatakan apa yang ada di kepalanya secara terus terang.

"Tapi ya, dipikir-pikir lagi, enak juga. Gue bangun-bangun tiba-tiba jadi konglomerat gini. Ya, walaupun Ayah juga lumayan berada, sih. Tapi tetep aja ini rumah pasti jauh lebih besar dari rumah gue. Ini kamar aja besarnya dua kali lipat dari kamar gue."

Sepertinya memang benar. Untuk membuat pikirannya tenang sejenak, dan berhenti mempertanyakan semuanya adalah enjoy menikmati setiap momen yang ada di sini. Toh, Ilene juga tidak tahu bagaimana cara kembali ke kehidupan yang sebenarnya. Kesal sendiri, mencak-mencak, tidak akan merubah fakta kalau Ilene berada di sini. Di tubuh sosok figuran dalam buku fiksi. Ya, walaupun pasti Ilene kebingungan karena perbedaan karakter yang pastinya berbanding jauh terbalik dengan dirinya yang asli, tetap saja Ilene harus tetap waras.

Ingat, waras adalah hal yang paling utama di sini. Nggak lucu kalau nanti balik-balik ke tubuh aslinya Ilene malah gila.


07 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top