Transmigrasi 4

____________________________________

Ilene sudah berada di ruang baca sejak satu jam yang lalu. Dan ia sudah membaca lebih dari 50 halaman. Sejauh ini, boleh Ilene akui novel ini cukup menarik. Tapi ia belum tahu bagaimana pada halaman-halaman selanjutnya.

Ilene tidak mau berprasangka dulu. Ia hanya ingin fokus membacanya untuk sekarang. Kendati kondisi tubuhnya saat ini sedang lelah, Ilene hanya menargetkan membaca sekitar 100 halaman saja. Baru besok, ia lanjutkan kembali.

Halaman demi halaman Ilene baca. Dan ia sudah berada di halaman 105. Cukup banyak yang ia baca per hari ini saja. Sejauh ini, novelnya menarik. Seperti yang Ilene katakan di awal tadi. Awalnya sama saja, karakter bad boy yang begini dan begitu. Disisipkan sedikit bumbu konflik keluarga dan juga percintaan. Namun yang membuat Ilene tertarik adalah konflik keluarga sang tokoh utama. Di mana Zein yang diceritakan sebagai tokoh bad boy di sini memiliki keluarga yang jauh dari kata harmonis.

Ia dibuang oleh keluarganya sendiri. Diasingkan, tinggal sendiri di sebuah apartemen lama yang ternyata milik mendiang ibunya. Tidak pernah bertemu saudara-saudara yang lain. Apalagi sang ayah yang kejam kendati tetap saja mereka berasal dari keluarga yang kaya raya.

Konflik percintaannya juga cukup membuat Ilene merasa tertarik, meski sedikit. Di tokoh-tokoh bad boy lain yang sering ia temui biasanya si bad boy yang sering kali mengejar-ngejar gadis biasa. Namun di sini, si cewek yang sangat berperan penting dalam hubungan mereka. Zein sebagai tokoh utama merasa ketergantungan dengan kehadiran sang gadis.

Memang benar kata Alana. Ilene belum pernah membaca novel tema bad boy yang memiliki konflik seperti ini. Ya, kendati tetap saja bacaan ini tidak membuat Ilene menghilangkan prasangkanya terhadap novel yang sama jenisnya. Tetap saja di novel ini, karakter sang bad boy tidak Ilene sukai. Ya, memang. Semuanya tergantung dengan selera.

Ilene akhirnya memutuskan untuk menutup buku itu. Ia butuh istirahat sekarang. Badannya terasa tidak nyaman sejak pagi tadi. Memaksakan membaca novel itu dalam semalam hanya akan membuat kesehatannya terganggu. Ilene tidak bisa begitu.

Saatnya istirahat, besok ia memiliki waktu yang lebih banyak untuk membacanya kembali.

***

Namun siapa sangka keesokan harinya Ilene malah merasa badannya lemas bukan main. Sekedar mengangkat tubuhnya dari kasur saja susahnya bukan main. Mata Ilene terasa panas dan ia sudah pasti demam. Ibunya juga sejak tadi ke sana kemari mengambilkan kompres, obat-obatan dan juga menyiapkan sarapannya.

"Kamu kok bisa tiba-tiba sakit gini sih, Lene. Ibu kan udah bilang, kalau badannya kerasa nggak enak, istirahat. Nggak ada hasilnya belajar keras kalau badanmu sendiri nggak sanggup."

Ilene hanya diam saja mendengarkan omelan ibunya. Ia tidak memiliki tenaga bahkan untuk sekedar menjawab iya. Badannya lemas bukan main, semuanya terasa sakit dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Dua jam lagi, kalau panasmu nggak turun terpaksa kamu harus dibawa ke rumah sakit." Omelan ibunya kembali terdengar sembari wanita paruh baya itu mengganti kompresan Ilene.

Dan benar saja, dua jam berlalu panas Ilene tidak kunjung turun. Ditambah Ilene yang semakin menggigil kendati badannya terasa panas. Ayahnya pulang lebih cepat dan membawa Ilene ke rumah sakit.

Sejak sang ayah datang dan membawa Ilene dalam gendongannya, ia sudah kehilangan kesadaran. Ilene pingsan. Untuk kesekian kalinya dalam satu tahun belakangan.

***

Perlahan, mata Ilene terbuka. Tubuhnya masih terasa lemas. Ia juga merasa tidak memiliki tenaga yang cukup untuk bangun dari tempat tidurnya sekarang. Namun, rasanya ada yang aneh. Ingatan terakhir Ilene ada pada sang ayah yang menggendongnya dan akan membawanya ke rumah sakit, lalu mengapa sekarang ia berada di kamar.

Tunggu.

Benar. Kamar siapa ini?

Mata Ilene melihat lebih lebar ke sekeliling. Cat kamarnya berwarna full putih, namun mengapa saat ini langit-langit kamarnya berwarna pink? Ini bukan rumah sakit. Bukan pula rumahnya, lalu di mana ia sekarang.

Ilene terduduk. Matanya masih memandang sekeliling, semuanya terasa asing.

"Anjir, ini gue di mana? Kenapa semuanya warna pink? Gue nggak suka pink, anjir!"

Melupakan rasa lemas dan tidak enak pada badannya, Ilene bangkit dari duduknya. Sumpah demi apa pun, tempat ini bukan tempat yang ia kenali. Semua interior termasuk barang-barang yang ada di dalamnya, tidak pernah ia kenali.

Lalu di mana sekarang?

"Anjir, apa gue diculik? Gue diculik di rumah sakit gitu?" katanya sembari meraba-raba setiap isi dari kamar ini.

"Tapi masa iya gue diculik terus ditaruh di kamar semewah ini? Sumpah, ini rumah kolongmerat. Temen-temen gue nggak ada yang punya rumah semewah ini, anjir!" Lagi dan lagi Ilene merasa kebingungan di sini.

Ia tidak tahu ia di mana dan bagaimana cara keluar dari sini.

Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika dihadapkan dengan sebuah cermin full body dekat pintu.

Tunggu.

Sebentar.

Kok wajah Ilene berbeda?

Sejak kapan rambutnya jadi sepanjang ini?

Ilene memajukan wajahnya. Sumpah demi apa pun ini bukan Ilene. Ia tidak punya wajah seperti bule. Rambutnya tidak pernah melebihi sebahu, sejak kecil Ilene tidak suka memiliki rambut yang terlalu panjang. Lalu kenapa badannya juga semakin tinggi.

"Anjir! Gue siapa?"

Berkali-kali Ilene memajukan wajahnya. Menekan dari berbagai sisi. Melebarkan matanya, sesekali menarik rambutnya. Bahkan Ilene sempat berkali-kali menampar wajahnya, siapa tahu ini mimpinya karena ia sempat pingsan tadi. Tapi semuanya usahanya menimbulkan rasa sakit.

Lalu apa ini sebenarnya?

Ilene tidak mengerti, sungguh.

"Gue nggak pernah punya wajah bule. Ini kenapa juga rambutnya panjang banget. Gue mimpi kali, ya, habis pingsan tadi. Apa gue koma? Makanya mimpinya aneh begini?"

Tamparan pada wajahnya kembali terdengar.

"Tapi sakit anjir!"

Ilene jatuh terduduk. Kondisi badannya yang lemas ditambah kenyataan yang baru saja ia lihat. Ilene seketika berubah menjadi orang lain sepenuhnya. Bahkan suaranya pun berbeda, Ilene juga baru menyadarinya.

"Eve, kamu nggak papa?" Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dan berlari menghampiri Ilene.

"Eve? Siapa?"

Gadis itu menatap heran pada Ilene. Dari wajahnya terlihat sekali keanehan itu. Gadis dengan wajah cantik khas Indonesia itu tersenyum beberapa saat kemudian. Menyentuh bahu Ilene dengan lembut lalu membantunya untuk berdiri.

"Eve siapa anjir?"

Si gadis tampak terkejut, namun beberapa detik setelahnya wajahnya jadi biasa saja. Ia bahkan tetap menuntun Ilene untuk kembali ke tempat tidur.

"Kamu pasti baru bangun, makanya ngelantur. Capek kan? Makanya istirahat. Jangan kebanyakan belajar. Kamu itu cantik, semua orang suka kamu dan kalaupun kamu nggak sepintar itu, mereka pasti maafin kamu."

"Apaan sih, gue nggak butuh word of affirmation lo itu."

"Tidur lagi aja. Aku tahu kamu lagi capek. Nggak usah dipikirin, oke? Masalahku sama Zein biar aku yang selesaikan. Kamu harus istirahat total hari ini."

Wait. Zein?

Ilene merasa tidak asing dengan nama yang baru saja gadis itu sebutkan.


06 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top