Transmigrasi 12
___________________________________
Di tempat yang berbeda, Dave sedang mendekati Zein. Seperti biasa cowok itu bersikap cuek, Dave memang teman dekatnya, tapi bagi Zein di rumah ia tetap harus memiliki privasi. Maka dari itu sebenarnya agak susah bagi Dave untuk mengorek informasi pribadi Zein, apalagi tentang perasaannya. Zein meski sikap dan tindakannya kadang buruk, ia merupakan pribadi yang cukup tertutup. Zein tidak akan menceritakan apa pun padanya kecuali jika memang sedang terdesak.
Seperti alasan putusnya ia dengan Devina, Dave sebagai sahabatnya saja tidak tahu alasan pasti kenapa mereka berdua berpisah. Yang ia tahu dari Zein, alasan mereka putus adalah mereka yang kurang cocok dari segi kepribadian. Awalnya Dave pikir mungkin memang benar alasan putus mereka begitu. Namun saat Eve datang dan mengatakan kalau ada yang aneh dari putusnya mereka berdua, Dave baru paham. Agak tidak mungkin Zein yang sangat bucin dan sangat bergantung pada Devina tiba-tiba putus tanpa ada alasan yang jelas.
Saat ini Dave sedang menyusun rencana bagaimana cara membuat Zein mengakui perasaannya dan alasan dibalik putusnya pasangan yang sangat sering dibicarakan seantero sekolah ini. Zein sedang santai di ruang tv sembari menonton pertandingan bola. Dave yang tidak suka bola pun akhirnya ikut nonton, supaya cowok itu tidak terlalu curiga kalau ada yang sedang ingin Dave tanyakan.
"Tumben." Zein bertanya saat melihat Dave duduk di dekatnya sembari membawa dua kaleng soda.
"Lo kira gue anti banget bola kah? Emang kalau nggak suka bola nggak boleh nonton?" Dave sebisa mungkin mencari-cari alasan. Meski tampak luarnya Zein dikenal sebagai cowok bad boy, sebenarnya ia pintar, apalagi dalam membaca situasi.
"Nggak papa, sih." Zein hanya membalas itu. Keduanya terhanyut dalam pertandingan bola.
Berbeda dengan Zein yang fokus, Dave hanya fokus bagaimana cara ia bertanya pada Zein tanpa memancing emosinya. Dave sedang mencari cara bagaimana membuat cowok itu tidak tersinggung. Pasalnya semua pembahasan terkait Devina akan sangat memacu emosi Zein. Dan saat ini Dave baru sadar, kalau ia akan masuk ke kandang macan, Dave perlu bersiap.
"Gue disclaimer dulu, deh. Lo tahu pasti kan, hubungan kalian berdua udah jadi bahasan gosip dari sebulan yang lalu?" Dave takut-takut bertanya. Ia sudah berjanji pada Eve untuk menetapkan janjinya.
"Gue tahu." Zein menjawab singkat, nadanya menjadi semakin dingin.
"Gue masih kepo alasan kalian berdua putus."
"Apa yang masih lo pertanyakan, Lo juga udah tau alasannya, kan? Hubungan gue sama dia udah putus lama, dan sekarang apa pun yang berhubungan sama Devina udah bukan urusan gue lagi.".
Dave menelan ludah, itu tidak mudah, tapi akan tetap ia coba meski resikonya adalah mendapatkan bogeman mentah dari cowok emosian di depannya ini.
"Gue cuma mau memastikan aja, sih. Apalagi sebagai orang yang dekat sama lo, gue cuma mau mastiin hubungan kalian gimana?"
Zein sepertinya juga sudah menahan emosi. Namun ia masih terlihat berusaha keras untuk memendamnya.
"Lo budek ya? Gue udah bilang kan kalau kita udah putus dan nggak akan pernah ada kemungkinan buat balik lagi, kalau lo tanya-tanya lagi, siap-siap buat keluar dari rumah ini."
Gertakan Zein sebenarnya cukup membuat Dave gentar dan mundur, tapi ia masih sayang dengan kehidupan Zein, saat berpacaran dengan Devina, hidup Zein perlahan mulai lurus, penuh perhatian dan kehati-hatian. Tapi tiba-tiba terdengar kabar mereka putus sepenjuru kelas.
"Gue cuma nggak yakin aja sama alasan yang lo buat. Kalau emang lo niat buat pacaran sama dia harusnya lo terima perbedaan kalian sebeda apa pun. Lo juga sejak awal pacaran bucin banget sama Devina, terus kalian tiba-tiba ngimuminnkalau kalian putus. Siapa yang nggak curiga?" Mendengar apa yang Dave ucapkan, Zein meremas botol kosong yang baru saja ia habiskan isinya lalu melemparkannya ke samping dengan tenaga penuh.
"Kalau gue bilang begitu ya berarti begitu, nggak ada tambahan ini itu. Harusnya gue yang bertanya-tanya, Lo sedeket ini sama gue tapi nggak paham gimana gue selama ini." Dave yang semula merasa takut dan gentar, sekarang mulai berani. Apalagi jika Zein sudah seperti ini, kekejamannya akan muncul sebentar lagi, Dave yakin itu.
"Boleh gue tebak nggak? Lo putus sama Devina karena keluarga lo nggak setuju lo punya hubungan sama Devina kan?"
Tidak butuh waktu lama, Zein segera mencengkram kerah baju Dave kencang. Ia bahkan sudah tidak peduli dengan pertandingan bola yang sedang ia tonton.
"Udah gue bilang, jangan sebut nama dia di depan gue lagi, bisa denger nggak sih lo tuh?!" Cengkraman di kerah baju Dave masih belum mengendur. Dave perlu lebih dalam lagi memprovokasikannya.
"Kan udah gue bilang dari awal, gue tuh penasaran sama alasan putusnya kalian, tapi pas lihat reaksi lo kayak gini sih, gue tahu jawaban mana yang lebih condong ke yang benar."
Satu bogeman berhasil Dave dapatkan dari Zein. Namun cowok itu hanya memukulnya sekali, sangat keras. Dave bahkan mengira kalau giginya akan ada yang patah. Tapi ternyata tidak. Setelahnya, Dave bangun lalu tanpa mengucapkan salam ia pergi dari rumah.
"Malem ini lo selamat. Sekali lagi Lo nyebutin dan nanya kayak tsdi, gue nggak bakal segan buat minta lo keluar dari rumah ini."
Dan melihat reaksinya yang seperti itu membuat Dave sadar hanya ada satu kemungkinan yang paling besar. Kemungkinan alasan putusnya mereka adalah karena faktor keluarga Zein yang entah melakukan apa pada Devina hingga membuat pacar bucinnya memutuskan hubungan mereka.
Dave akan segera memberitahu Eve, ada kemungkinan besar yang telah ia peroleh. Mereka harus segera bertemu untuk merencanakan rencana selanjutnya.
***
Eve menunggu di sebuah cafe yang letaknya terpencil namun aesthetic. Seperti yang mereka rencanakan beberapa waktu lalu, Dave dan Eve akhirnya memutuskan untuk bertemu di cafe itu lalu membahas rencana mereka selanjutnya.
Eve datang lebih dulu dari jam janjian mereka. Ia penasaran apa yang telah Dave peroleh, sementara dirinya tidak mendapatkan informasi apa-apa dari Devina. Keburu gadis itu berubah menjadi galak dan enggan memberitahu apa-apa. Melihat Dave yang berhasil, Ilene sebagai Eve merasa sangat senang.
Sepuluh menit kemudian Dave datang. Ia pakai masker putih dengan topi berwarna gelap, lalu duduk di depan Eve.
"Kamu kenapa pake pakaian kayak gitu?" Ilene segera bertanya dalam mode halus Eve. Ia tidak bisa menunjukkan kepribadiannya yang lebih bar-bar pada Dave.
Dave lalu membuka maskernya. Mata Ilene membola saat melihat pipi kanan Dave sudah lebam. Untung saja hanya bagian itu dan semuanya bisa tertutupi masker. Ilene yakin pasti ada sesuatu yang terjadi saat ia tidak ada di sini di antara mereka berdua.
"Ya ampun, muka kamu kenapa begini Dave?"
14 Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top