T R A N K U I L A N S I A - 9
Kurasa, sekarang sudah menginjak hari ketiga semenjak aku berperan sebagai Narendra yang lain. Selama tiga hari itu juga Hendri selalu menghindariku, tetapi aku tak menganggapnya sebuah masalah. Laki-laki itu patut takut, bahkan mungkin seharusnya sangat berhati-hati, mengingat pembunuh bayaran yang dikirimnya untuk membunuh orang lain sekarang malah berkeliaran di tempat kerjanya. Sewajarnya, ia berpikir bahwa aku akan membunuhnya, tetapi tentu saja kegiatan itu tak terdaftar dalam rencanaku.
Aku berhasil berpura-pura menjadi Narendra yang lain, dan kurasa tak ada seorangpun—kecuali Hendri dan yang pasti Profesor Aji—menyadarinya. Aku berkomunikasi layaknya manusia biasa. Seluruh memori yang persis sama seperti Narendra tak membuatku kesulitan berbaur dengan orang-orang kantor, tetapi tentu saja dengan batasan dua tahun setelah kelahiran keduaku. Bahkan, tampaknya orang-orang di tempat ini menyukaiku, membuatku semakin bingung kenapa orang semacam Hendri ingin menyingkirkan Narendra.
Narendra tak memiliki karier yang cemerlang, tetapi bukan berarti kinerjanya buruk sampai-sampai membebani banyak orang. Bukan tipe manusia yang bisa dibenci orang-orang baik karena sifatnya, maupun karena siku-siku kotor yang ingin mendobrak kesuksesan orang lain. Setiap aku melewati orang-orang kantor, hampir seluruhnya melemparkan senyum penuh keramahtamahan padaku. Beberapa di antaranya yang tidak melemparkan pandangan itu biasanya terlalu sibuk untuk melihat keadaan.
Selain itu, keberhasilanku yang luar biasa untuk menyamar menjadi Narendra juga mampu membuka akun-akun privasi yang seharusnya hanya bisa diakses oleh Narendra: Link, akun penyimpanan uang, bahkan hingga media sosial yang umumnya menggunakan retina mata sebagai pengganti kata sandi berhasil kususupi. Sehingga, selain berpura-pura menjadi dirinya di dunia nyata, aku pun berpura-pura menjadi dirinya di dunia maya.
Narendra bukan orang yang aktif di dunia maya, dilihat dari aktivitas yang tidak begitu banyak ia lakukan di sana. Laki-laki itu hanya beberapa kali membuka media sosial, berceloteh dan tak mendapatkan tanggapan, serta sebulan sekali atau bahkan kurang mendatangi situs dewasa, pun dengan aktivitas rendah yang tak begitu menarik perhatian. Aku bisa mengerti, karena pekerjaan kantornya lumayan berat, memaksanya beraktivitas hingga sore, bahkan terkadang malam untuk mendapatkan uang tambahan, dan jelas Narendra memilih pilihan itu—kudengar dari teman-teman kantornya.
Ah iya, mungkin di antara kalian bertanya-tanya, kenapa tak kugunakan saja uang Narendra untuk pergi dari kota ini dan mulai mencari keberadaan Profesor Aji. Sumpah demi apapun, hal itu sudah kulakukan, dan aku cukup terkejut ketika tahu bahwa saldo yang Narendra miliki berjumlah nol. Kenapa? Aku tidak tahu, yang jelas riwayat menyatakan ada penarikan seluruh uang yang dilakukan tepat di malam Narendra dibunuh. Profesor Aji mungkin melakukannya, aku tak akan menyangkal pemikiran itu walaupun tak memilliki bukti. Namun, aku tidak tahu kenapa. Apakah karena ia tak ingin aku mengejarnya? Itu sangat mungkin, sih.
Pemikiran itu terus berlanjut hingga kubuat satu kesimpulan: Profesor Aji tahu aku bisa berpura-pura menjadi Narendra, membuka akun bank-nya, kemudian mengambil seluruh uang untuk membantuku mencarinya, sehingga ia berusaha mematahkan jalan itu. Pertanyaannya, bagaimana Profesor Aji melakukannya?
Sebenarnya, aku memiliki dua dugaan. Yang pertama, Profesor Aji memiliki seorang kenalan dari kepolisian, membantunya mengambil uang dari rekening Narendra dan pergi bersamanya. Kedua, ia memilliki kenalan seorang peretas yang siap membantunya kapanpun dia mau, yang menurutku jauh lebih logis karena kepala Profesor Aji bernilai amat mahal, apalagi untuk seorang polisi yang ingin cepat-cepat mengejar kariernya. Selain itu, kenalan seorang peretas bisa sedikit menjelaskan bagaimana Profesor Aji membuatkan alat peretas kombinasi nomor setiap pintu kamar yang ada di Neo Dago.
Jadi? Selama tiga hari ini aku berusaha mencari orangnya.
Di sela-sela pekerjaan palsuku, yang artinya kulakukan setiap malam, aku kembali mendatangi seluruh klienku, mencaritahu dari mana mereka bisa mendapatkan kontak Profesor Aji dan pada akhirnya menghubungiku. Semua usahaku itu membuahkan hasil pada orang ketujuh.
Sama seperti yang lainnya: aku merenggut kerah bajunya dan mendorongnya ketika ia meronta-ronta, meminta untuk dilepaskan. Dia menendangku berkali-kali, tetapi aku tak menghiraukannya. Ketika tubuhnya menempel ke jendela kamar, dia berteriak meminta ampun.
"Turunkan aku, tolong!"
Namun, aku sudah menjelaskan apa yang kuinginkan, dan permohonan itu bukanlah salah satunya. Aku mengangkat tubuhnya lebih tinggi. Dia tercekik, kesulitan bernapas, semakin liar karena berusaha untuk tidak mati, dan aku rasa dia mengerti mengapa hal itu kulakukan.
Laki-laki itu segera merevisi ulang lontaran kalimatnya.
"Pandu, namanya Pandu!"
"Benarkah?"
"Turunkan aku, tolong!"
Kembali kudorong lenganku, semakin mengarah ke atas. Laki-laki itu kembali meronta, lebih keras dari sebelumnya.
"Aku tidak bohong!" katanya.
Aku bisa saja melemparkannya keluar jendela, tetapi hal itu tak kulakukan seperti sebelum-sebelumnya. Semua ini hanya gertakan, aku hanya ingin tahu ke arah mana penyelidikanku akan tertuju. Mantan-mantan klienku tidaklah penting. Toh, tak mungkin mereka akan melaporkanku ke polisi—sama saja seperti bunuh diri. Lagipula jika aku membunuh mereka semua yang mengaku tak tahu menahu mengenai seorang peretas seperti yang kuduga, hal itu malah akan lebih menarik perhatian banyak orang.
Kulepas genggamanku, dan lelaki itu terjatuh. Ia melenguh pelan, dan batuk yang menderanya cukup membuktikan bahwa ia kekurangan oksigen. Aku menunggu respirasinya kembali normal tanpa menendangnya sedikitpun sebagai katalis pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam tubuhnya.
Ketika batuknya sudah mulai berhenti, aku berlutut. Matanya menelisik tajam ke arahku, menunjukkan rasa benci yang teramat parah, atau mungkin juga karena dia ingin membuatku takut. Namun, usahanya itu tak berhasil membuatku jengah.
"Aku ingin kau menghubunginya," jelasku padanya. Tapi laki-laki itu tak merespon, entah karena ingin membuatku muak atau memang dia tuli tiba-tiba. Namun, sebagai bentuk apresiasi karena setidaknya ia masih membantuku, tidak seperti mantan-mantan klienku yang lain yang terpaksa kubuat babak belur hingga pingsan, aku mengambilkan link-nya yang tersimpan di atas meja.
Laki-laki itu masih berbaring di sana, napasnya ngos-ngosan. Aku menyodorkan link yang sebelumnya kuraih, dan tanpa perlu kukomandoi, laki-laki itu segera mengotak-atik link-nya.
Aku berjalan-jalan pelan di sekitarnya, sekadar menghabisi waktu, menyiapkan skenario akan apa yang harus kulakukan seandainya si 'Pandu' itu benar-benar mengangkatnya. Sialannya, harus kuakui bahwa hal itu malah menyediakan celah kelengahan yang berhasil ia—si laki-laki yang masih terbaring di atas lantai—manfaatkan.
Ketika aku pikir dia tak akan menelepon polisi untuk mencegah kebusukannya diendus, ternyata laki-laki itu melakukan hal yang sebaliknya. Dengan lantang ia menyatakan bahwa seseorang memasuki kamarnya dan berusaha membunuhnya.
Aku terkejut, dan secara spontan melemparkan link-nya, begitu kencang hingga dentuman keras memenuhi kamar. Aku tak tahu apakah link itu masih tersambung dengan pihak kepolisian atau tidak, tetapi tawa keras lelaki itu yang menyambung teriakannya tadi membuatku tak ambil panjang untuk kembali merenggut kerah bajunya. Tidak, kali ini aku menyerang lehernya.
Si sialan itu masih tersenyum ketika kupusatkan seluruh kekuatan pada lenganku.
Urat-uratku keluar, disertai desisan kecil yang secara tak sengaja keluar dari mulutku. Aku memejamkan mata hanya untuk memperkeras genggamanku pada lehernya, dan aku bisa melihat bola matanya yang hampir keluar.
Senyumannya sudah menghilang. Lelaki itu kembali melawan, berusaha merenggut kedua lenganku dan melepaskannya, tetapi tak mungkin kulepaskan genggamanku begitu saja.
Kepalanya membiru, dan aku bisa melihat dengan jelas bola matanya hampir terlempar keluar. Aku yang sedang digandrung emosi parah tak bisa mengontrol seluruh kinerja fisikku, hingga ketika pemikiranku mulai membaik, baru kusadari kedua lenganku penuh dengan darah. Cairan amis itu membaluri seluruh permukaan tanganku—dari telapak hingga punggung tangan. Ketika penglihatanku kembali biasa, tak berkunang-kunang karena energi yang terlalu kufokuskan pada kedua lenganku, aku baru sadar lelaki ini benar-benar sudah mati.
Aku memutuskan kepala orang lain dengan kedua tanganku sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top