T R A N K U I L A N S I A - 7
Senda gurau yang sedari tadi kami lakukan kini tergantikan oleh keheningan. Sengaja tak kulemparkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing obrolan, dan tampaknya Narendra pun menginginkan hal yang sama. Bedanya, aku rasa dia hampir tidak pernah berkendara di dasar kota, sehingga ketika beberapa kali aku mengintipnya, ia terpesona dengan gedung-gedung tinggi yang ujungnya tak dapat dillihat dengan jelas. Aku memakluminya, karena sekarang orang-orang lebih memilih mobil planar dengan alasan penghematan waktu.
Ketika sampai, kami segera menjejalkan kaki di atas jalanan kering. Sekali lagi, Narendra terpesona dengan gedung bobrok—dibandingkan dengan gedung-gedung lain—yang menjadi tempatku tinggal. Aku yakin bukan karena tingginya gedung yang sudah menjadi pemandangan biasa di Neo Dago, melainkan karena ia tak pernah melihat, atau sekadar mencari tahu, bagaimana bangunan-bangunan itu berdiri kokoh dari lantai dasar.
Aku memasuki lantai utama, segera menuju lift yang tentu saja Narendra ikuti. Tak ada seorangpun manusia yang dapat kulihat sejauh mata memandang—seperti biasanya.
Aku bersiul sekadar mengisi waktu, tentu saja karena idealismeku yang masih kuat, tidak ingin membicarakan apapun, mengenai apapun, dengan Narendra. Laki-laki itu pun kurasa tak begitu terganggu dengan siulan sumbangku yang bisa memecahkan gendang telinga siapapun. Jadi, tidak masalah, kan? Ketika lantai yang dituju segera muncul di depan mata, aku dan Narendra keluar. Laki-laki itu mengekor di belakangku.
Aku memasukkan kode keamanan, tentu saja sembari menutupinya dengan tubuhku sehingga Narendra tak memiliki sedikitpun kesempatan untuk mengintip. Biarpun aku mengajaknya ke sini, bukan berarti aku akan membuka begitu saja seluruh rahasia yang menyangkut dengan kehidupanku. Ketika pintu terbuka, segera melintasi lorong kecil yang sempit, aku bisa melihat Profesor Aji tengah tertidur pulas di tempat tidurnya ... tempat tidurku ... tempat tidur kami, sebenarnya, tetapi bukan berarti tempat tidur itu kami gunakan sekaligus di saat yang bersamaan.
Aku tahu, malam ini adalah jatahnya untuk beristirahat di atas tempat tidur yang empuk, tetapi perjanjian itu dilakukan karena tidak ada salah satu pun di antara kami yang berpikir bahwa suatu saat nanti, seorang tamu akan berkunjung, ikut memenuhi ruangan dan mengambil beberapa bagian oksigen yang melayang-layang di udara. Aku tidak ingin menjadi penerima tamu yang arogan, yang bahkan tak menyediakan sedikitpun tempat untuk tamunya beristirahat. Jadi, aku membangunkan Profesor Aji.
Lengannya yang tergantung, melintang dari atas tempat tidur hingga menyentuh lantai kuayun-ayunkan sambil memanggil-manggil namanya. Namun, aku rasa tak berhasil hingga akhirnya aku harus kembali mengayunkan lengannya lebih keras. Sialannya, itu tetap tak berhasil.
Kulemparkan pandanganku ke arah Narendra. Wajahnya mengerut, alisnya mengerucut. Aku rasa dia kebingungan. Namun, ketika aku berpikir dia akan bertanya 'Siapan dia', ternyata aku melakukan kesalahan.
"Apa itu Profesor Aji?"
Aku bisa saja kaget. Namun, mengingat keanehan-keanehan di antara kami, memiliki memori yang sama terkait dengan kehidupan, aku bisa menahan rasa keterkejutanku. Tidak melompat bagaikan orang gila yang kegirangan.
"Benar," balasku, sedatar mungkin. Aku masih berusaha membangunkan Profesor Aji, dan aku tak dapat memikirkan cara terbaikku membalas rasa penasaran Narendra.
"Dia buronan negara."
"Sangat benar."
"Aku memiliki pertanyaan untukmu." Narendra tidak melepaskan mimik kebingungannya itu. Sekarang, ia mengayunkan lengan kanannya, mengarahkan telunjuk dan jari tengahnya ke langit-langit kamar sambil memejamkan matanya. Aku rasa, itu bentuk ekspresinya saat memilah-milah pertanyaan yang ada dalam pikirannya.
"Apa yang ingin kautanyakan?"
"Sebelumnya kau menyebutkan dalam ceritamu, kau yang kena penyakit Nerola, kan?"
Aku mengangguk.
"Apa Profesor Aji yang menyelamatkanmu?"
"Tentu. Oleh karena itu aku membawanya ke sini. Tapi jangan kau coba-coba untuk memberitahukan rahasia itu pada siapapun. Ada uang yang bisa kuambil untuk mengambil nyawamu, dan mungkin pilihan itu akan kuambil jika memang terpaksa."
Aku tidak sadar jika usahaku membangunkan Profesor Aji terhenti. Sialannya, dengan tidak adanya usaha yang kulakukan, Profesor Aji malah bangun dengan sendirinya. Matanya belum terbuka penuh, tetapi ia sengaja mengedipkannya berkali-kali untuk mempercepat proses pemulihan penglihatannya. Di saat yang bersamaan, ia menguap, membuat aku dan Narendra sadar bahwa ia sudah bangun.
Profesor Aji mengangkat tubuh bagian atasnya. Ia bersandar pada dinding, dan tampaknya ia bisa melihat dua bayangan orang dewasa di hadapannya—biasanya ia hanya melihat satu: aku. Kedua matanya dipicingkan, berusaha memperbaiki penglihatannya, yang jelas terlihat sia-sia karena pada akhirnya ia tetap harus mencari kacamatanya.
Ketika ia mengenakan kacamatanya, barulah ia tahu bahwa ada dua orang diriku di tempat ini. Profesor Aji tak kalah terkejutnya seperti Narendra sebelumnya. Namun, orang tua itu hanya bisa membatu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
"Ada tamu," kataku, berinisiatif membuka pembicaraan. Namun kecerdasanku untuk meluruhkan suasana tak berhasil membuat Profesor Aji tersenyum. Ia memutar kepalanya, melihat ke arahku, kemudian senada dengan gerakan sebelumnya, ia melihat Narendra.
"Narendra yang mana?" orang tua itu bertanya, dan spontan aku menjawab.
"Aku."
"Saya."
Aku dan Narendra menjawab secara bersamaan. Tampaknya Narendra memiliki spontanitas yang sama. Jadi, aku menjelaskan lebih lanjut.
"Aku Narendra yang menyembunyikanmu di tempat ini, dia Narendra yang ... anggap saja seorang tamu yang ingin bermalam di tempat ini."
"Saya Narendra yang pernah menjadi relawan untuk penelitianmu dalam memberantas virus Nerola."
"Kau ... apa?" Pernyataan Narendra yang secara tiba-tiba muncul berhasil membuatku terkesiap. Kini, kami bertiga memberikan ekspresi yang sama.
Profesor Aji tak memberikan tanggapan, tapi aku melihatnya, setajam mungkin, hanya untuk mencari tahu kebenaran atas pernyataan Narendra. Bukankah dia bilang dia tak terkena penyakit Nerola? Lalu apa maksudnya dengan menjadi relawan untuk memberantas virus Nerola?
Namun, bukannya menjawab rasa penasaranku, Profesor Aji malah berkata, "Pertama, Nerola itu bukan virus, melainkan sebutan untuk suatu kondisi di mana kau berada dalam kondisi Schrodinger. Penyebabnya belum diketahui, apakah berasal dari virus, bakteri, jamur, ataupun organisme baru lain yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kedua, bisakah kau," Profesor Aji menunjukku, "keluar terlebih dahulu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan orang itu."
"Kenapa aku harus keluar?"
"Karena ada yang ingin kubicarakan dengan orang itu."
"Maksudku, kenapa aku tak boleh ada di kamar ini, mendengar apa yang ingin kaubicarakan dengan orang itu, dan malah memintaku untuk pergi?"
"Karena aku tak akan bicara sampai kau pergi, dan kau tetap tak bisa mendengar apa yang ingin kubicarakan. Jadi, kau memilih untuk tak pernah mengetahui apa yang ingin kubicarakan selamanya, atau kau bisa meredam egomu sebentar dan aku akan memberitahukan apa yang aku bicarakan dengan orang itu beberapa jam setelahnya?"
"Oke, oke, oke, aku akan keluar." Aku tak tahan mendengar cara bicaranya yang cepat, tak terdengar dengan jelas bagaikan orang kumur-kumur dengan air. Dan jika Profesor Aji sudah bersikeras seperti itu, artinya aku harus menuruti keinginannya, tak mungkin memenangkan perdebatan darinya, karena bagaimanapun dia akan berpura-pura bodoh dengan tak mendengarkan argumen lawan bicaranya.
Aku pergi, keluar kamar, meninggalkan mereka berdua tanpa mengetahui apa yang akan mereka bicarakan.
===
Populasi yang semakin tinggi dengan kebutuhan infrastruktur yang memadati setiap kota besar di Indonesia memaksa kota-kota besar untuk kembali merancang ulang setiap sudut kota, termasuk Neo Bandung. Walaupun saat aku lahir, gedung-gedung tinggi sudah berserakan di mana-mana, aku membaca beberapa buku sejarah bahwa di jaman dahulu, kota Bandung dipenuhi dengan tempat tinggal horizontal, lengkap dengan fasilitas, termasuk rumah makan, yang memanjang di pinggir-pinggir jalan.
Di Neo Dago, rumah makan menyatu dengan gedung apartemen. Jika kupadankan dengan kehidupan sejarah sekitar awal abad 21, mungkin orang-orang menyebutnya dengan kantin. Namun, keberadaan rumah makan terbatas pada gedung apartemen tingkat menengah ke atas. Oarng-orang yang hidup 'hanya' berkecukupan, atau terpaksa berkecukupan seperti diriku, mau tak mau harus bisa menghidangkan makanannya sendiri, baik dengan memasak atau memakan makanan kaleng, atau akan mati kelaparan. Walaupun bukan berarti rumah-rumah makan itu membatasi pengunjung mereka, hanya menerima orang-orang kaya dan menendang orang-orang miskin yang dianggapnya tak akan mampu membayar.
Dalam dua tahun terakhir semenjak kelahiran keduaku, mungkin ini kali pertama untukku mengunjungi sebuah rumah makan, memesan sebuah menu yang tak akan pernah bisa kubuat karena memasak bukanlah salah satu keahlianku. Aku tahu, tindakanku bisa menjadi bumerang yang membuatku luka parah, secara terang-terangan memberikantahukan eksistensiku pada banyak orang. Namun, aku pun tak sebodoh itu untuk mengunjungi rumah makan yang berada di gedung tempat dulu aku tinggal. Jadi, kurasa orang-orang di tempat ini pun tak tahu bahwa aku pernah mati dan hidup kembali.
Sudah satu jam semenjak kepergianku, diusir oleh Profesor Aji, dan aku sendiri tak yakin apakah sudah saatnya untukku kembali ke kamar dan menagih janji profesor Aji untuk memberitahuku apa yang sebenarnya ia bicarakan dengan Narendra. Namun, jika aku ingin menunggu lebih lama, aku sendiri tak tahu harus melakukan apa selain mengotak-atik link yang bahkan jarang kugunakan untuk berselancar di internet. Terlebih, di tengah malam seperti ini, aku rasa aktivitas penggunaan link, termasuk berselancar di dunia maya, tidak akan sebanyak siang hari. Jika hal buruk terjadi, aparat kepolisian bisa melacakku lebih mudah karenanya.
Akhirnya, aku berdiri dan memberikan sejumlah uang yang membuat sang kasir sedikit kebingungan. Mungkin, selama hidupnya, dia belum pernah menerima uang dalam bentuk fisik. Untungnya, aku memberikan nominal yang tepat sama seperti apa yang harus kubayarkan.
Aku melengang pergi, kembali ke kamarku. Naik lift, menyusuri lorong, semua kulakukan sama persis seperti biasanya. Ketika aku masuk ke dalam kamar, aku pikir sambutan hangat dari Narendra dan Profesor Aji akan kutempa. Namun, ternyata tidak persis seperti itu.
Ketika aku melihat tubuh yang terkulai di lantai kamar, kakiku secara spontan memberikan energi yang kuat untukku berjalan lebih cepat. Tubuhnya tertelungkup, aku tak dapat melihat wajahnya. Namun, dari perawakannya, aku menduga itu adalah Narendra.
Aku membalikkan tubuhnya, tetapi semuanya telah terlambat. Matanya terbelalak, pupilnya pecah, denut nadinya menghilang. Dia sudah meninggal.
Ketika aku berteriak-teriak, mencari Profesor Aji, orang tua itu sudah tak ada di mana-mana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top