T R A N K U I L A N S I A - 6

Aku bukan penggemar kopi pahit, apalagi jika rasa pekatnya terus menempel dalam lidahku. Jika hal itu terjadi, maka tak akan segan-segan kuseka seluruh penjuru lidahku dengan jari telunjuk. Untungnya, Narendra memberiku pilihan untuk menuangkan beberapa sendok gula pada minumanku.

Kami—aku dan Narendra yang itu—mengenal satu sama lain belum lebih dari sepuluh jam, tetapi ledakan tawa di antara kami sudah memenuhi kamarnya. Padahal, pertemuan kami di awal tidak didasari atas kegiatan yang menyenangkan. Narendra menyesap kopinya setelah sebelumnya mengatakan, "Konsentrasiku analisis kompleks, tapi aku mengambil banyak mata kuliah di konsentrasi lain hanya karena penasaran."

"Itu pilihan yang buruk."

"Aku tahu, aku tahu," katanya. Narendra mengembalikan cangkir ke atas meja. "IPK-ku turun drastis gara-gara itu."

Aku tertawa kecil, menutupi sebagian kecil mulutku dengan sebelah tanganku.

"Aku pernah melakukan hal yang sama."

"Kau mengambil bidang apa?"

Sekali lagi kusesap kopi manis yang mulai mendingin sebelum menjawab pertanyaannya.

"Analisis kompleks juga, sama sepertimu."

"Benarkah?"

Aku mengangguk. Tawanya lepas lagi. Kemudian, setelah kebisingan itu mereda, aku berkata, "Aku tak pernah menggunakannya di tempat kerja."

"Sama denganku, Fal" tukasnya.

Ah, Narendra memanggilku Fal atas ideku. Terdengar sangat aneh jika aku memanggilnya dengan namaku sendiri, apalagi jika aku dan dia saling memanggil satu sama lain.

"Kau pernah berencana melanjutkan studimu?"

"Pemikiran itu pernah terbesit di dalam otakku. Tapi aku tidak melakukannya."

"Kenapa?"

Narendra mengangkat kedua tangannya. "Entahlah, mungkin karena aku terlanjur ingin bekerja dan menikah daripada melanjutkan studiku."

"Aku tidak melihat istrimu."

Narendra menggigit bibirnya. "Ironis, kan? Aku sengaja tidak melanjutkan studi agar bisa segera menikah, tapi sampai sekarang aku belum menikah."

"Itu sangat menyedihkan."

"Tapi aku pernah hampir menikah, kalau kau mau tahu. Pacarku memutuskan hubungan kita hanya karena masalah sepele."

"Benarkah?"

"Hanya karena menertawainya ketika celananya tak sengaja sobek."

Mataku memicing, bukan karena kedengarannya lucu, tetapi karena ... aku benar-benar yakin kejadian yang persis sama pernah terjadi di dalam hidupku.

Aku pernah punya pacar, dan dia juga memutuskan cintanya denganku, meninggalkanku seorang diri ketika kami berlibur bersama di Jogjakarta. Semuanya dengan alasan yang sama: Aku menertawai pacarku karena celananya sobek saat ia terpeleset. Orang-orang memperhatikan kami, dia merasa malu, pergi, dan tak pernah mau berkomunikasi lagi denganku. Aku tahu, ia tak secara eksplisit mengatakan ingin mengakhiri hubungannya denganku, tetapi ketakinginannya untuk menjalin komunikasi denganku bukankah kata lain dari 'kita putus'?

Jadi, daripada memintanya menceritakan kisah cintanya yang kandas, aku bertanya, "Siapa nama pacarmu itu?"

"Memangnya kenapa?"

"Sebutkan saja."

"Rina. Memangnya kenapa, Fal?"

Mataku mulai gelagapan. Ketakutanku muncul. Nama mantan pacarnya sama dengan nama mantan pacarku. Kebetulan-kebetulan yang sedari tadi kami ceritakan satu sama lain kini mulai janggal bagiku.

Aku menjilat bibir beberapa kali. Air ludahku berhasil membuat bagian atas dan bawah mulutku basah tak terkira. Pemikiranku melejit ke sana dan ke mari. Ini semua sudah tidak terlihat seperti kebetulan lagi. Maksudku, bagaimana mungkin kejadian yang sepersonal itu bisa terjadi, persis, pada dua orang yang berbeda.

"Dengar, Naren, aku ingin bertanya padamu. Jawab ini dengan jujur, oke?"

Mendengarku yang mengubah nada bicara membuatnya ikut larut dalam keseriusan. Raut kebingungan yang menghiasi wajah Narendra tak kalah anehnya dari raut wajahku, walaupun aku tahu konteks pertanyaan yang ada di dalam kepalanya pasti berbeda dengan keanehan-keanehan yang mengganjal di pikiranku.

"Kau mendapatkan nilai C di mata kuliah persamaan diferensial dan D di mata kuliah matematika statistika, dan itu satu-satunya nilai C dan D yang kau dapatkan."

Narendra terbelalak, bukan main.

"Bagaimana kau tahu?"

"Kau pernah jatuh di tangga lantai empat puluh empat gedung kantormu di sore hari saat tidak ada orang yang melihatmu sambil membawa secangkir kopi yang kemudian tumpah dan mengotori kemejamu."

"Tunggu, tunggu, seharusnya kau tidak tahu itu karena tak ada yang melihatnya."

"Seharusnya." Aku setuju dengannya, tetapi hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku mengetahui semua kejadian itu. Kejadian yang menimpa dirinya ... juga kejadian yang menimpa diriku.

Aku memberikan pertanyaan selanjutnya.

"Apa kau pernah divonis terkena penyakit nerola?"

"Apa? Aku? Tidak, tidak pernah. Orang tuaku yang terkena penyakit itu."

"Orang tuamu?"

"Iya, mereka sudah meninggal. Mungkin sekitar dua tahun yang lalu."

"Aneh, karena dalam ceritaku, aku lah yang terkena penyakit itu."

"Dalam ceritamu?" Narendra menahan napasnya, kemudian menarik tubuhnya ke belakang, dia melihatku bagaikan objek asing yang harus diteliti, dan lelaki itu menahannya beberapa saat sampai berkata, "Tunggu dulu, jangan bilang kau tahu itu semua karena ...."

"Ya, sama sepertimu, aku mengingat itu semua."

"Bagaimana mungkin?"

"Aku ingin menanyakan hal yang sama," balasku.

Aku meneguk ludah, menyadari bahwa ini semua jelas ... sangat jelas, bukanlah sebuah kebetulan.

"Dengar, Naren. Ada seseorang yang ingin kau mati, dan aku diminta untuk membunuhmu. Aku bisa melakukannya sekarang, tetapi tak kulakukan karena rasa penasaranku dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara kita lebih besar daripada sejumlah uang yang ditawarkan. Jadi, bagaimana jika sekarang kau ikut denganku, dan aku berpura-pura sudah membunuhmu padahal kau hanya menghilang dan pergi dari kota ini. Aku belum memikirkan rencana selanjutnya karena hal ini tak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku akan mencari cara untukmu keluar kota tapi setelah kau ikut denganku."

Paragraf itu panjang, bahkan tenggorokanku sakit karenanya. Mungkin karena secara tak sengaja ampas kopi hinggap di tenggorokanku. Namun, dari banyaknya kalimat yang kuberikan, Narendra hanya menggaris bawahi satu pernyataan yang kuucapkan.

"Kau apa!? Membunuhku?"

Aku mengangguk.

"Itu tidak lucu," katanya, melanjutkan. Gelagatnya yang sama seperti sebelumnya ia lakukan. Bedanya, ia tak sampai mundur hingga menabrak jendela kamarnya.

"Aku tidak bercanda."

"Masih tidak lucu, Fal."

Aku berdiri, kemudian menarik lengan Narendra untuk membawanya ke tempatku tinggal. Narendra terus berusaha melepaskan genggamanku, sama seperti sebelumnya. Bedanya, ia tidak menendang-nendang bagian tubuhku. Sebagai gantinya, ia terus-terusan berteriak sepanjang perjalanan.

"Fal, sungguh, itu tidak lucu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top