T R A N K U I L A N S I A - 5
Di jaman dahulu, sebuah benda kecil bernama ponsel ditemukan. Kemudian, benda itu berkembang menjadi ponsel pintar yang serba guna, mampu membantu umat manusia dalam berbagai hal. Komunikasi, informasi, bahkan hanya untuk hiburan semata bagi orang-orang yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk bermain video game. Perangkat kecil itu menjadi primadona bagi banyak orang. Bahkan, mungkin bisa dibilang untuk semua orang.
Seiring berkembangnya kemajuan teknologi, keberadaan ponsel digantikan oleh link, perangkat kecil yang sebenarnya memiliki fungsi hampir sama seperti ponsel. Hanya saja, benda itu memiliki ukuran yang lebih kecil, dapat ditutupi hanya dengan kepalan tangan. Namun, hologram yang bisa memproyeksikan layar kecil itu ke udara, dan tentu saja resolusinya dapat kita atur sesuai dengan keinginan kita, akhirnya berhasil menggeser ponsel dari puncak kejayaan teknologi yang paling digemari saat itu. Selain itu, umumnya link memiliki spesifikasi yang hampir sama dengan komputer-komputer canggih pada masa dahulu. Bahkan, sekarang tampaknya fungsi ponsel dan komputer sudah menyatu ke dalam satu kesatuan, berbentuk link. Dan sekarang aku benar-benar baru sadar bahwa perangkat-perangkat besar terdahulu sudah tak pernah digunakan oleh orang-orang—ketinggalan jaman.
Kamar calon korbanku—orang yang katanya bernama Narendra—sebenarnya hampir sama seperti kamar korbanku sebelumnya. Tidak mewah, tidak juga terlalu sederhana. Kamar ini terdiri atas tiga bilik, persis seperti kamar-kamar yang umum dijumpai. Dua buah sofa sengaja diletakkan di tengah kamar—bilik pertama, menghadap televisi sehingga siapapun yang duduk di sana bisa menghibur dirinya di kala rasa letih mendera. Sebuah rak buku menghalangi sebagian besar jendela kamar, menghalau sinar-sinar lampu mobil yang menyilaukan tembus melalui jendela, walaupun tidak seluruhnya.
Aku berjalan menyusuri ruangan, mengusap permukaan rak yang kulanjutkan pada punggung buku. Kamar ini agak gelap, tetapi aku masih bisa membaca beberapa judul buku yang berjajar rapi di dalamnya. Judul-judul buku yang kukenal. Kalkulus Fraksional, Analisis Multikompleks, dan berbagai buku yang pernah kubaca untuk menyelesaikan studiku bisa kulihat dengan mudah. Mau kuambil berapa banyak buku pun, aku mengenal semuanya.
Apakah dia mengambil disiplin ilmu yang sama denganku? Hanya kebetulan kah? Tapi bukankah itu terlalu mustahil? Peluangnya hampir nol, kan?
Aku kembali menyusuri kamar ini, mulai berjalan ke arah tempat tidur di mana sebuah kasur sengaja disimpan sebagai tempat peristirahatan. Selimutnya yang tidak dilipat dengan rapi membuatnya terlihat sedikit berantakan. Dan secara tak sadar, aku malah merapikannya. Kedua lenganku seolah melayang tanpa sebab, menariknya, dan berhasil membuat sisi lurus selimut yang sempurna. Tapi ... kenapa? Tak ada alasan untukku merapikannya.
Jika biasanya aku bersembunyi, menunggu calon korbanku untuk datang dan menghabisi nyawanya, sekarang aku tak benar-benar ingin melakukannya. Jika biasanya aku tak pernah peduli dengan motif klien maupun mencari tahu pandangan yang ada dari sisi korban, sekarang berbagai pertanyaan terus muncul di dalam benakku.
Sebenarnya siapa calon korbanku ini? Kenapa ada orang yang ingin dia mati? Dan kenapa aku bisa memiliki profil yang sama dengannya?
Pintu kamar terbuka, dan sebenarnya hal itu sudah kuramalkan hanya dengan mendengar ketukan sepatu di sepanjang lorong gedung. Aku menyiapkan kawat besi seperti biasanya, tetapi kali ini tak terburu-buru untuk menggunakannya. Aku keluar dari bilik tempat tidur, mendapati orang yang benar-benar mirip denganku itu berada di hadapanku. Pintu tertutup secara otomatis ketika aku dan dia saling melempar pandangan.
Aku terkejut, begitupun dengan dia.
Demi apapun, aku benar-benar merasa seperti sedang bercermin, hanya saja seluruh gerakan yang kulakukan tak diikuti oleh refleksiku. Mulutku menganga, begitu pun dengan lelaki itu. Mataku melotot, sebelah alisku terangkat. Sumpah, dia benar-benar seperti diriku!
"Siapa kau!?" tanyanya, segera setelah berhasil mengalahkan rasa terkejutnya. Nadanya tak dapat membohongi siapapun, bahwa dia sendiri tampaknya tak mengetahui eksistensiku.
Aku ingin menanyakan hal yang sama—persis. Tetapi kuurungkan. Jadi kembali kuatur pertanyaanku untuk tetap menyampaikan pesan yang sama, tetapi dalam bentuk yang berbeda.
"Kau Narendra?" Aku bertanya, penuh rasa penasaran, dan si lelaki itu membutuhkan waktu untuk menganggukkan kepalanya.
"Apa yang kaulakukan di kamarku? Bagaimana kau bisa masuk?"
Aku sudah memikirkan beragam pertanyaan, tetapi tak menyiapkan jawaban seandainya lelaki itu bertanya padaku, dan sekarang hal itu lah yang terjadi. Apa yang harus aku katakan padanya? Masa aku harus bilang seseorang ingin dia mati dan aku akan mengabulkan keinginannya? Maksudku ... itu memang benar, sih. Namun, rasa penasaranku lebih besar dari sekadar menginginkan uang jutaan rupiah.
"Apa kau mengenalku?" Aku bertanya. Pertanyaan tertolol abad ini, dan aku mengakuinya. Sudah jelas dia kaget melihatku yang dilanjutkan dengan pertanyaan "Siapa kau!?" Kenapa aku harus repot-repot menanyakannya lagi?
"Aku tak pernah memiliki saudara kembar," sebutnya, yang jelas menunjukkan bahwa dia tak mengenalku.
Aku membalas, "Aku juga tidak."
"Kalau begitu kau siapa?"
"Aku menanyakan hal yang sama padamu. Apa kau Narendra?"
Namun, bukannya menjawab pertanyaanku, lelaki itu terlanjur kembali membuka pintu, berlari keluar kamar, dan sialannya aku bisa melihatnya mengotak-atik link yang ia miliki sambil berlari keluar. Aku berteriak, menyuruhnya untuk berhenti, tetapi terlambat. Laki-laki itu sudah lari.
Aku terpaksa berlari, mengejarnya keluar kamar, mendapatinya tengah melintasi lorong gedung yang kosong. Aku meneriaki lelaki itu sekali lagi, tetapi dia pura-pura tuli. Bahkan, aku rasa dia berusaha berlari lebih kencang. Aku tak memiliki pilihan lain selain mengejarnya. Kupusatkan kekuatanku pada tubuh bagian bawah. Melesat, mengempaskan diri dengan dorongan tumit yang membuatku berhasil melompat jauh.
Narendra—maksudku Narendra yang lain dan bukannya aku—tak sekalipun berbalik, mencari tahu situasi yang ada di belakangnya untuk menjaga keseimbangan. Namun, larinya tak begitu cepat jika dibandingkan denganku. Ketika sampai di persimpangan lorong pertama, aku berhasil mendahuluinya, meraih kerah kemejanya dan berhasil membuatnya tercekik beberapa detik karena tubuhnya masih terpelanting akibat kecepatan larinya.
Kutahan genggamanku, dan akhirnya dia melemparkan pandangannya ke arahku, berlanjut dengan memutar tubuhnya dan membuat kerah bajunya semakin kusut. Penuh panik, dia berteriak, memintaku melepaskannya, yang tentu saja tak kulakukan.
Aku merebut link dari lengannya. Panggilan darurat sudah dilakukan, dan sialannya link itu kini menyoroti wajahku. Para polisi bisa saja menangkap gambarku, tetapi aku tidak tahu apakah mereka sudah terhubung atau belum, tetapi pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk mengakhiri panggilan darurat.
Link itu kusakukan, dan sekarang fokusku kembali pada laki-laki yang tadi berusaha lari. Sekarang, usahanya berganti dengan menendangku, meninjuku, bahkan sampai hampir mencolok kedua mataku sebagai upayanya untuk kabur. Aku tidak menghindari serangan berbentuk pukulan dan tendangannya, tetapi serangan-serangan yang dilakukannya untuk daerah vital tentu harus kuhindari. Dan orang ini benar-benar tidak sabaran.
Sekali lagi, dia berusaha melukai mataku, dan aku terpaksa menangkis serangannya. Aku mendorong tubuhnya, tetapi tak begitu kuat hingga ia tersungkur. Kemudian, bahunya kutarik hingga ia membelakangi tubuhku. Aku mengunci lengannya agar dia tak dapat melawanku lebih jauh. Namun, usahanya tidak berhenti sampai di sana. Lelaki itu masih saja berusaha menendangi tubuhku, bahkan sampai dirinya hampir terjatuh.
Karena aku sedikit takut akan keberadaan orang lain yang bisa saja muncul secara tiba-tiba di lorong ini, aku menyeretnya secara paksa, kembali ke kamarnya. Namun, tentu semuanya tak kulakukan semudah itu. Beberapa kali genggamanku hampir lepas. Narendra yang meronta-ronta berhasil membuatku kelabakan. Aku bisa saja meninjunya sampai pingsan, tapi aku tak ingin membuatnya tak sadarkan diri dan terpaksa menunggunya untuk siuman—terlalu membuang-buang waktu. Aku harus menjadi seorang cekatan multitasking, tentu saja jika kau berpikir menyeret seorang lelaki berbadan besar sambil menahannya untuk tidak kabur adalah sebuah multitasking.
Tak puas dengan usahanya, Narendra berteriak dengan keras, meminta tolong, yang sekali lagi membuatku terpaksa mengandalkan keahlian multitasking-ku. Aku membekap mulutnya, dan dia menggigit lenganku. Untungnya, reseptor tubuhku tidak bertindak seperti manusia biasa. Aku tidak merasa kesakitan, jadi bisa kupastikan bahwa sekali lagi usahanya gagal.
Ketika aku sampai, kembali ke kamarnya, segera kulempar lelaki itu. Presisiku yang tepat berhasil mendaratkan tubuhnya di atas sofa, dihujani cahaya-cahaya lampu mobil planar yang bisa membuat mati seketika para penderita epilepsi. Pintu tertutup secara otomatis, dan aku tidak memiliki niat untuk beranjak dari depan pintu itu.
Si lelaki yang sedari tadi meronta kini terlihat seperti lelaki tua yang tak bisa apa-apa karena sakit punggung. Padahal, aku sudah dengan tepat melemparkannya ke atas sofa. Kini, sebagai bentuk pertahanan diri, dia mundur sejauh mungkin, menghindariku. Dia berhenti tepat di depan jendela. Namun, seberapa banyak pun mobil planar di luar, aku yakin tak ada satupun di antara mereka yang menaruh pusat perhatiannya ke kamar ini. Toh, mereka berkendara dengan kencang.
Aku memangku dada, berusaha terlihat sesantai mungkin, sama sekali tak tampak seperti seorang pembunuh bayaran yang akan mengambil nyawanya.
"Kenapa kau lari?" tanyaku, dan tanpa kuduga pertanyaan itu berhasil membuatnya ketakutan bukan main. Mulutnya gelagapan, bagai orang gagap yang kekurangan perbendaharaan kata. Aku hanya diam sekadar menunggu jawaban yang aku harap akan keluar dari mulutnya.
"Kau menyusup ke dalam kamarku. Jadi, kenapa aku tak boleh panik?"
"Tidak harus sampai lari, kan?"
"Lalu? Seharusnya sambil mengajakmu minum kopi, begitu?"
"Terdengar lebih baik."
"Aku pernah memiliki pengalaman buruk dengan perampok, oke? Sama persis denganmu. Pertama, mereka menanyakan namaku. Kemudian, mengambil seluruh barang yang kubawa."
"Untuk apa seorang perampok menanyakan namamu?"
"Apa kaupikir aku merampok diriku sendiri? Mana aku tahu." Laki-laki itu, terdengar dari deru napasnya, tampaknya sudah merasa sedikit tenang. Ia tak lagi menarik dirinya menjauhi diriku, dan bukan karena sekadar ada jendela besar—berfungsi sebagai dinding—yang menghalangi.
"Tapi, sungguh. Siapa kau sebenarnya?" Pertanyaan itu kembali keluar dari mulutnya. Juga tak akan kupungkiri bahwa pertanyaan yang sama, terlintas di benakku.
Aku berdeham pelan. Narendra di ujung sana sudah mulai berani berdiri.
"Namamu benar-benar ... Narendra?" Aku bertanya, dan Narendra di ujung sana memerlukan beberapa waktu sampai ia mengangguk sebanyak dua kali, mengiyakan pertanyaanku.
"Itu lucu, karena namaku juga ... Narendra."
"Nama panjangmu?"
"Naufal. Narendra Naufal."
Lelaki itu terbelalak. Aku mengerti maksud dari raut wajahnya.
Namanya sama persis dengan namaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top