T R A N K U I L A N S I A - 22
Selimut cokelat membungkus tubuhku, diikatkan bagaikan pakaian dan memberikan kehangatan setelah sebelumnya rasa dingin mendera, menyusup ke dalam tulang.
Bukan berarti keadaan tubuhku segera membaik. Aku masih berbaring, tak berdaya, walaupun geliat kedua bola mataku bisa bergerak ke mana-mana.
Dari kejauhan sini, setidaknya bisa kulihat dua orang lain di dalam ruangan yang sama. Sebuah tempat kotor nan menjijikkan yang penuh dengan sampah. Beberapa bagian ruangan bahkan telah runtuh termakan masa. Di saat yang bersamaan, aku bisa melihat di ujung yang lain, Trankuilansia berdiri tak bergerak.
Penglihatanku memang sudah pulih, hampir sepenuhnya, tetapi hal yang sama tidak berlaku untuk panca indraku yang lain. Atau mungkin sebenarnya seluruh reseptor dalam tubuhku bekerja dengan baik, hanya saja baik untuk ukuran manusia normal? Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas, setelah kulit-kulitku mampu menyesuaikan suhu dengan lingkungan yang ada, aku segera duduk, bersandar pada dinding. Bungkusan selimut itu tak kulepaskan karena baru kusadari jika aku tak sedang berpakaian.
Semakin lama, tubuhku semakin kuat. Selain mataku yang tajam, kini telingaku dapat mendengar seperti sedia kala. Di ujung sana, di tempat si laki-laki dan perempuan yang sedang heboh membicarakanku, aku bisa mendengarkan mereka berbicara—membicarakanku lebih tepatnya. Mereka berkutat pada pertanyaan apa yang akan mereka lakukan padaku.
Aku memindai sekeliling. Tempat ini berbeda dengan tempat biasanya aku hidup kembali. Tak ada ruangan luas dengan lampu yang menyala terang di tempat ini. Sebaliknya, ruangan ini gelap, penuh reruntuhan, disertai genangan air di sana-sini. Lampu-lampu memang menyala, tetapi sebagian besar mati, membuat suasana remang-remang dan tak nyaman untuk ditinggali.
Apakah aku masih hidup? Apakah aku sudah mati? Di mana aku sekarang? Apakah ini dunia setelah kehidupan? Kenapa tiba-tiba dunia ini berbeda dengan biasanya? Apakah karena aku masuk ke dalam Trankuilansia itu?
Ketika mereka berdua masih cekcok, tak sadar bahwa aku telah sadar dan berhasil menguping pembicaraan mereka, aku berdiri, berjalan, mendekati Trankuilansia. Tak tahu akan motivasiku. Mungkin karena aku ingin mencoba Trankuilansia sekali lagi?
Kakiku bergerak dengan sendirinya tanpa kuperintahkan. Lagipula, pikiranku masih linglung seperti ini, mana mungkin aku bisa berpikir, kan? Semua anggota tubuhku melaksanakan fungsi dari mereka, masing-masing, ketika aku sendiri merasa sedang melayang ke mana-mana.
Kemudian, ketika aku benar-benar akan masuk ke dalam Trankuilansia, barulah kedua orang itu menyadari siumanku. Mereka berdua berlari sambil berteriak, memanggilku.
"Apa yang kaulakukan?!" Si perempuan bertanya, berhasil mencegahku masuk ke dalam Trankuilansia, mencengkeram tubuhku dan berusaha menarikku ke belakang—walaupun gagal.
Bagaimana caraku menjawabnya? Apa aku harus bilang, aku ingin mati dan benar-benar mengakhiri hidupku? Walaupun dunia ini terlihat berbeda, kenapa aku tak boleh tak percaya jika dunia ini sama saja seperti dunia yang lainnya? Aku sudah hidup kembali ribuan kali, aku tetap harus mencari cara untuk benar-benar bisa mengakhiri hidupku. Jika aku masuk ke dalam Trankuilansia, kemudian hidup kembali di dunia yang berbeda, bukankah aku memiliki peluang, berharap bahwa ada satu kejadian di antara kejadian-kejadian lain, jika aku masuk ke dalam Trankuilansia, yang akan menuntunku pada jalan kematian?
Daripada aku harus mati dengan cara konvensional dan hidup kembali, memulai semuanya dari awal, kan?
"Memangnya kenapa?"
"Hei, hei, hei." Sekarang, giliran si laki-laki itu yang mencoba menarik bahuku. Namun, berakhir dengan hanya menarik kerah bajuku.
Aku menyerah. Bukan karena mereka lebih kuat, melainkan karena diriku sendiri yang tak suka cara mereka memaksaku untuk tak masuk ke dalam Trankuilansia. Jadi, daripada mereka melanjutkan tarikan yang tak diperlukan, aku berhenti sesaat.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" Aku bertanya, segera setelahnya—berbalik dan menunjukkan muka masam yang tak bersahabat.
Kedua orang itu tidak terlalu begitu terpengaruh, melihat wajahku yang berantakan.
Si laki-laki menjawab, "Kau keluar dari mesin pembeku ini. Kenapa kau ingin masuk lagi?"
Aku sempat bertanya-tanya, memikirkan maksud dari mesin pembeku yang baru saja ia katakan, hingga akhirnya aku sadar bahwa objek yang sedang ia bicarakan adalah Trankuilansia.
"Maksudmu benda ini?" Aku menunjuk Trankuilansia, mengangkat jempol ke belakang tanpa perlu melihatnya lebih lanjut, karena aku tahu Trankuilansia ada di belakangku.
Kemudian, lelaki itu mengangguk.
"Mesin pembeku. Lucu sekali. Biasanya orang-orang akan menyebut benda ini sebagai Trankuilansia, kemudian menyambut bangkitnya aku dari kematian." Aku membalas. "Sepertinya kematian yang terjadi di dalam Trankuilansia melemparkanku pada dimensi yang lain, bukan dimensi yang sama seperti biasanya. Aku harus mencobanya lagi."
Aku bercerita, panjang lebar, tetapi hanya untuk membuat kedua orang itu bertanya-tanya. Mereka saling beradu pandang, bahkan mengernyitkan dahi secara bersamaan. Si perempuan, walaupun hanya berbisik, bisa kudengar berkata, "Dia tidak baik-baik saja," yang dibalas oleh si lelaki.
"Mungkin."
"Dengar, Bung. Jika kau ingin membicarakanku, berbicara saja sekeras-kerasnya. Aku bisa mendengar pembicaraan kalian. Dan, tidak, aku baik-baik saja. Aku hanya lelah hidup. Oke? Jadi, bisakah kalian mengendalikan Trankuilansia ini sementara aku duduk, menunggu kematian dengan tenang di dalam sana?" Aku memotong pembicaraan dua arah mereka, membuat mereka terkesiap, terkejut karena tak menyangka telingaku dapat mendengarkan semuanya. Namun, karena mereka sudah tak mencegahku untuk tak bergerak, aku langsung memasuki Trankuilansia. Duduk di dalamnya, menutup pintu—biarpun tidak rapat karena harus ditutup dari luar untuk merapatkannya, dan menunggu mereka bekerja.
Aku menunggu, dua tiga menit, memejamkan mata sejenak dan merelaksasikan pikiranku sebelum siap pergi ke tempat lain. Namun, ketika kedua mataku terbuka, aku tidak berpindah ke mana-mana. Malah, hanya kudapatkan ketukan jendela Trankuilansia. Sepotong tangan yang masih terhubung dengan anggota tubuh wanita itu melayang mengetuk jendela.
"Pak," ucapnya, membuatku kembali membuka pintu Trankuilansia. "Apa yang kaulakukan?"
Aku merengut. "Aku hanya ingin mati. Itu saja."
"Sudahlah Fir, kita tidak bisa memaksanya untuk ikut dengan kita." Si laki-lai menimpali. "Dengar. Jika kau ingin membeku lagi, silakan saja. Tapi aku tidak tahu cara kerja benda ini."
Sekarang, aku menggeram, melepaskan dudukanku dari kursi Trankuilansia, hanya untuk berbicara, berhadapan langsung dengan mereka, yang kurasa tak tahu apa-apa.
Namun, aku baru menyadari sesuatu yang berbeda dari biasanya.
"Kenapa kalian terus-terusan bilang aku membeku?"
Si perempuan mendahului, menjawab pertanyaanku. "Karena kau memang membeku?"
"Aku tidak membeku. Aku mati dan hidup kembali."
"Bung, kau kenapa, sih?" Si laki-laki menempelkan telapak jarinya ke leherku, tetapi segera kutangkal, walaupun tampaknya dia hanya melakukan itu sebagai bentuk candaan. "Kau keluar dari benda ini, kedinginan, kau benar-benar membeku. Karena itu kami menyelimuti dirimu untuk menghangatkan tubuhmu."
"Aku pernah mati membeku. Aku tahu rasanya. Tapi kematianku yang terakhir bukan karena mati membeku maupun kedinginan."
Benar. Aku tahu rasanya. Aku pernah mati kedinginan karena memang sengaja—termasuk ke dalam salah satu cara kematian yang kulakukan dari beribu-ribu cara lainnya. Namun, jika kuingat-ingat, rasa dingin itu terjadi sebelum aku mati, bukan setelah aku mati. Jika mereka bilang aku keluar dari Trankuilansia dalam keadaan menggigil, bukankah itu artinya aku kedinginan setelah aku mati?
Atau sebenarnya aku mati dua kali? Pertama, aku mati di trankuilansia—entah kenapa. Kedua, aku terlempar ke dunia ini—mungkin diakibatkan oleh Trankuilansia—dan aku langsung mati kedinginan?
Benar. Mungkin aku sudah mati dua kali semenjak masuk ke dalam Trankuilansia. Hal itu lebih masuk akal, kan?
Tidak. Tunggu. Jika biasanya aku mengawali hidup dalam keadaan yang sama, terbaring di tempat tidur beserta teriakan orang-orang yang terkejut akan kembali terlahirnya diriku, kenapa hal yang sama tidak terjadi di dunia ini? Sewajarnya, aku akan hidup kembali dari Trankuilansia, kan?
"Kau punya pistol?" Aku bertanya, langsung, tanpa basa-basi pada si laki-laki itu, yang dibalas dengan sergahan sederhana, "Eh?"
Namun, aku tak memiliki kesabaran.
Aku mendorongnya hingga terjatuh, membuat laki-laki itu berteriak karena sergapanku yang tiba-tiba.
"Apa yang kaulakukan?!" Si perempuan berteriak, tetapi aku tidak menanggapi.
Kedua tanganku merogoh ke mana-mana ketika si lelaki memberontak, mendapatkan sepucuk pistol yang segera kutarik, kuambil, kemudian aku berdiri setelahnya. Pistol itu hanya memiliki lima butir peluru biasa.
"Kau tak punya pistol laser?" Aku bertanya, tetapi si lelaki maupun perempuan itu tak menjawab.
"Kembalikan pistolku, sialan!" Si lelaki segera bangkit. Ia melompat bagai tupai yang tak peduli rintangan. Namun, gerakanku lebih cepat. Aku menembaknya, tepat menembus dagu, melesat cepat menembus kepalanya. Darah muncrat ke mana-mana, dan dia rubuh sebelum berhasil menyerangku.
Si perempuan berteriak histeris, melengking lebih mengerikan dari hewan buas manapun.
"Dia akan hidup kembali. Tenang saja," kataku, menenangkan. Namun, perempuan itu tak menggubris pengumumanku. Ia berteriak lebih kencang, memanggil nama si lelaki—mungkin—dengan amat keras dan segera menghampiri, memeluk lelaki yang sekarang sudah tak bernyawa—walaupun hanya sesaat.
Aku yang tidak sabar untuk memastikannya, memastikan bahwa apakah seharusnya aku bangkit kembali di dalam Trankuilansia atau bukan, segera menembakkan pistol ke arah pelipisku. Sialannya, peluru itu tak berhasil menembus kepalaku.
Peluru hanya tertancap sebagian, tetapi efek yang dihasilkan akibat suara pistol benar-benar luar biasa. Telingaku berdenging, luar biasa kencang, bahkan secara spontan kulemparkan pistol itu hanya untuk menutupi telingaku yang berdenging. Sialan, pasti karena telingaku tak sengaja semakin reaktif saat kupusatkan tenagaku untuk menarik pelatuk pistol.
Aku berjongkok, berlutut, memejamkan mata dengan sangat erat sambil mengeluh keras, Sebelah tanganku masih menutup telinga. Suara itu belum hilang.
Di saat yang bersamaan, perempuan itu mengambil pistol yang kujatuhkan. Sisa tiga peluru tak ia sia-siakan untuk menembakku. Walaupun, tentu saja pada akhirnya sia-sia.
Dia mulai menyerangku dengan cara lain. Kedua tangannya diayunkan, dikepalkan, kemudian ia daratkan di seluruh tubuhku: kepala, pundak, lutut, hingga kaki. Matanya berlinang air mata, beberapa tetes telah jatuh menimpa keramik kotor yang terlihat tak pernah dibersihkan.
Telingaku belum membaik. Bahkan, darah mulai mengalir keluar dari sana. Mungkin gendang telingaku pecah—aku tidak tahu. Namun, apa bedanya? Toh jika aku mati, aku akan mendapatkan semuanya kembali, kan?
Namun, semakin lama, pandanganku semakin kabur. Kepalaku berputar tak terkira, padahal tanpa perintah yang kuberikan. Kupaksakan diriku untuk tetap terjaga. Namun tidak berhasil dengan sempurna.
Aku jatuh, terjerembab, masih dengan si perempuan yang memukuliku—walaupun intensitasnya sudah berkurang.
Sekarang, suara ngiang dalam telingaku mulai pudar. Namun, begitu pula dengan kesadaranku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top