T R A N K U I L A N S I A - 19

Aku ... tidak ... begitu ... merasakan apa-apa.

Tubuhku mengambang, tak dapat kugerakkan dengan seluruh perintahku. Mataku yang entah tengah terpejam atau tidak hanya bisa melihat setelungkup kegelapan di sana-sini. Aku berusaha menggapai seluruh penjuru luar angkasa—jika memang aku sedang di luar angkasa—dengan kedua lenganku. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tak dapat mengontrolnya sesuka hati.

Pemikiranku melayu. Napas masih bisa kurasakan, irama detak jantung masih bisa kuikuti dengan baik. Namun, aku merasa berada di ambang batas hidup dan mati. Dengan kesadaranku yang masih aktif beberapa persen, kurasa aku yakin bahwa tempat ini—Sole Memorial—merupakan tempat terbaik untuk menjalani simulasi kematian. Aku pernah mati, dan aku ingat benar rasanya ketika jiwa itu dicabut dari ragaku—hampir sama seperti ini.

Aku tak tahu sudah berapa lama pikiranku mengambang dalam ruang hampa ini, dan yang pasti aku pun tak tahu persis sudah berapa lama memori-memori dalam otakku diacak-acak oleh mereka—polisi-polisi Michigan. Satuan waktu di tempat ini bisa saja berbeda dari satuan waktu dunia nyata, kan?

Aku ingin bebas, sungguh. Berdiam diri, membiarkan tubuhmu terempas ke sana-sini tanpa dapat kukendalikan, dan lebih buruknya lagi adalah kau tak dapat memejamkan mata, tertidur, berharap semuanya segera selesai, sungguh amat tidak menyenangkan. Jika kau pernah melihat kentang yang direbus dalam air mendidih, seperti itulah rasanya. Bedanya, aku tidak sedang berada dalam kuali besar yang memiliki ujung, melainkan ruangan kosong tak terbatas yang tak mungkin kau gapai.

Napasku semakin melemah. Aku mulai lelah, padahal tak melakukan apa-apa. Namun, sialannya rasa letihku itu benar-benar tak dapat kubendung dengan istirahat. Tahu begini, lebih baik tak kutantang mereka untuk masuk ke dalam Sole Memorial sialan ini. Sekarang, aku hanya bisa menunggu mereka untuk mematikan mesin ini. Jika ... memang akan mereka matikan.

Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika mereka tak akan mematikan mesin ini? Bagaimana jika sebenarnya Sole Memorial bukanlah sebuah alat untuk menelusuri kembali seluruh memorimu? Bagaimana jika ternyata ... Sole Memorial adalah sebuah penjara yang sangat efektif untuk mencegah kaburnya seorang tawanan? Maksudku ... bagaimana cara keluar dari benda ini?

Sialan, sekarang aku malah memikirkan yang tidak-tidak. Aku berusaha meronta-ronta, tetapi gilanya tubuhku benar-benar tak dapat bergerak. Aku melambung di udara, seberapa keraspun kuusahakan untuk tidak melayang ke mana-mana. Aku kembali mencoba menggerakkan seluruh tubuhku, tetapi tidak berhasil. Aku berusaha berteriak, tetapi membuka mulut saja tak bisa.

Bagaimana jika Sole Memorial ini benar-benar sebuah penjara? Media bisa saja membohongi publik untuk menutupi fungsi sebenarnya dari Sole Memorial ini, kan?

Jantungku berdegup semakin cepat, aku bisa merasakannya. Napasku menderu tak keruan, aku rasa aku berhasil mendengarnya. Tampaknya hanya otot-otot polosku yang bisa bekerja di dalam mesin ini, tetapi bukan berarti aku bisa menjadi tenang.

Sekali lagi, kucoba untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhku, dan ... aku tidak tahu. Sebuah gerakan kecil tampaknya berhasil kulakukan. Apakah itu nyata atau hanya bayanganku? Aku sendiri tidak yakin. Yang jelas, sekarang tubuhku terasa berat—sangat-sangat berat. Saking beratnya, aku merasa seperti orang tak berdaya yang jatuh dari luar angkasa akibat gaya gravitasi bumi yang tiba-tiba menguat, berhasil menarik seluruh sampah di luar angkasa, membuat kiamat yang tak mungkin seorangpun dapat sangkal.

Bedanya, hal itu tak benar-benar terjadi. Sebaliknya, aku kembali merasakan tubuhku. Penglihatanku belum pulih seperti semula, berharap dapat menjejalkan pemandangan akan ruangan putih bersih yang seharusnya ada di hadapanku—jika memang aku masih berada di dalam Sole Memorial—pun tidak bisa. Namun, kurasa beberapa inderaku yang lain bekerja dengan baik. Jika sebelumnya aku hanya dapat bernapas, kini aku bisa mendengar dengan cukup baik.

Aku bisa mendengar bahwa di luar sana—setidaknya ada dua orang—beradu argumen. Aku yakin, mereka tidak tahu bahwa pendengaranku yang tajam mampu mendengar percakapan mereka—kurasa dua polisi Michigan itu—dari balik ruangan yang tak kedap suara.

"You saw it, right?"

"Yeah, but that's not make him guilty. That's a different case."

"Dude, he blow one of the guy head. His ... his ... his eyes even popped out! What kind of human that do kind of thing? He's guilty and I'm pretty sure of it!"

"I told you, that's a different case. We can't pursue him with that. I mean, it's like a metagaming. You arrest him for something he did on the past, not because his memory proof it."

"The hell with that. What's the difference?"

Berita baik dari percakapan itu adalah Sole Memorial ini memang benar digunakan sebagai alat selancar di dalam memori-memori para tersangka kasus kejahatan. Tidak aneh jika orang-orang lebih memilih untuk mengakui perbuatannya daripada harus terjun dan merasakan keheningan luar angkasa di mana tubuhmu terombang-ambing. Berita buruknya? Mereka menyelam terlalu jauh.

"But there's more on it. For example, how can he survive with so many bullet fired at him. That's strange, right? Look, old people tend to warn us not developing an artificial intelligence since they can betray us. What if he's an artificial intelligence and he kill his creator?"

"Who is his creator?"

"Professor Aji, of course! Are you dumb?!"

"You're watching too much old movie."

"Doesn't mean that won't come true."

"We're facing real problem here, ok? Not some fiction movie that you can easily solve the problem."

"Ok, if you don't wanna finish this, I'll finish it by myself."

"Wait, what are you doing?!"

"I said I'll finish it!"

Penglihatanku mulai membaik. Namun, belum pulih seperti semula.

Si polisi pertama memanggil-manggil nama temannya, tetapi aku bisa mendengar beberapa suara yang jauh lebih penting dari itu. Suara ketukan sepatu semakin mendekat, setidaknya mengarah pada pintu ruangan ini. Sedetik kemudian, pintu terbuka dengan kasar. Aku yang tak dapat berdiri bisa melihat semuanya, ditambah dengan penglihatanku yang belum pulih benar. Aku bisa melihat seorang lelaki masuk ke ruangan ini, tetapi aku masih belum bisa mengidentifikasi identitasnya. Untungnya, aku masih bisa berpikir, berasumsi bahwa polisi yang menangkapku lah yang masuk ke dalam ruangan ini.

Polisi itu—yang selalu menuduhku bersalah—melangkah dengan penuh amarah. Wajah putihnya kini berubah menjadi sedikit kemerahan. Ia menarik pistol dari sabuknya, kemudian mengambil alih kontrol Sole Memorial. Si polisi kedua, yang biasanya terus mendukungku, menunggu hingga seluruh bukti terkumpul, berlari terburu-buru. Bahkan, ia hampir terjatuh karenanya.

Polisi itu berusaha menarik rekannya, menjauhi alat pengontrol Sole Memorial.

"What the hell, Dude! You're insane!"

"No! He's insane."

"We can't kill him."

"Well, he killed one of the most remarkably scientist. Good enough for a death sentence reason."

"What the fu ...."

Sudut pandang yang terbatas tak membuatku dapat melihat semuanya. Namun, polisi yang mengambil alih kontrol Sole Memorial itu berhasil mendorong rekannya hingga terjatuh, membuatku yakin bahwa si polisi yang mendorongnya itu memang benar-benar sudah mengambil alih kontrol Sole Memorial. Apalagi, ketika dia mengatakan, "Die you perpetrator!"

Sayangnya, polisi itu salah perhitungan. Aku sudah bisa kembali merasakan seluruh ragaku. Bahkan, terlepas dari pengekangan membuatku merasa lebih bertenaga.

Aku menekuk lutut, kemudian menendang pintu Sole Memorial dengan seluruh tenaga. Kacanya terlepas, membuatku mampu meluncur keluar dan mengagetkan polisi itu.

Aku berlari, keluar pintu ruangan ini, sialnya aku lupa aku tak terdaftar sebagai salah satu orang yang bisa membuka pintu tebal, seperti pintu yang masih menutupi ruangan utama. Ketika aku berbalik, polisi yang menginginkanku mati itu sudah menodongkan senjatanya. Sialannya, mungkin karena melihat bagaimana aku bisa lepas dari logam-logam ringan yang menembus kulitku, polisi itu mengambil pistol laser dan mengarahkannya—kurasa—tepat ke arah kepalaku, bukan ke bagian lain untuk melumpuhkanku.

Kuangkat kedua lenganku.

"Look, you know what I'm capable of. I can easily take that gun and flip the fortune. You'll regret it."

"Really? Try it."

Tidak, jaraknya terlalu jauh. Aku mungkin bisa mengambil pistolnya, tetapi aku tidak tahu seberapa cepat dia bisa menggunakannya. Dia bisa menembakku lebih dulu sebelum aku melesat, melompat mengambil pistolnya.

Aku berpura-pura, berancang-ancang, berharap polisi itu akan menyerah dan mulai ketakutan, tetapi rasa kebenciannya yang kuat akan diriku membuatnya tak bergidik. Bahkan, sebaliknya, polisi itu mengambil posisi, bersiap memperhatikan seluruh gerakanku.

Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memikirkan pilihan terbaik. Lagipula, aku tak bisa lari tanpa tawanan. Satu-satunya cara adalah dengan melawannya. Namun, bagaimana jika dia berhasil menembakku lebih dulu?

Dan ketika aku memikirkan semuanya, dewi fortuna akhirnya memihakku.

Polisi itu tiba-tiba jatuh, berteriak kesakitan sambil memegangi kakinya yang secara tiba-tiba mengeluarkan darah. Kemudian, rekan kerjanya menyembul keluar dari balik ruangan, mengambil pistol laser itu dan menyingkirkannya, menendang pistol itu jauh ke dalam ruangan—kurasa sampai ke samping Sole Memorial.

"Shit! What the hell are you doing?!" Si polisi yang terluka itu berteriak, hampir memecahkan gendang telingaku.

"Told you, you're insane. You almost kill a suspect." Kemudian, ia menatap ke arahku. "Doesn't mean I'm gonna let you escape. Some police will come here because the bullet on this room will trigger the alarm. I hope you can cooperate."

"I can and I will."

===

Tidak adanya bukti akan kejahatan membuatku lepas dari tuduhan. Apalagi, bagi mereka dokumentasi yang didapatkan dari Sole Memorial tentu lebih kredibel dan dapat dipercaya daripada hanya dokumentasi kamera pengawas yang bisa dimanipulasi oleh siapapun dengan mudah.

Apakah aku senang karena aku keluar dari jeratan hukum? Tentu saja, tetapi bukan berarti hidupku bisa lepas dari orang-orang yang menginginkan kematianku, apalagi mereka yang tetap menuduhku sebagai orang yang bersalah.

Ketika aku tidur, melepaskan seluruh beban pikiran dan berusaha menganggap kematian Profesor Aji sebagai sebuah kecelakaan, polisi yang terus-terusan menginginkanku mati benar-benar tak berhenti. Aku tidak tahu bagaimana ia menyelinap ke dalam kamarku. Aku tidak tahu bagaimana aku tak menyadari kedatangannya—walaupun kurasa karena aku tertidur terlalu pulas. Yang jelas, saat ini dia ada di hadapanku, menodongkan pistol laser ke arahku, bertaruh apakah benda itu bisa membuatku mati atau tidak.

Dia menembakku, tepat ke arah kepalaku, dan aku tidak ingat seluruh kejadian setelahnya. Semuanya seolah gelap, aku kembali terombang-ambing dalam lautan angkasa yang luas.

Namun, yang pasti adalah kejadian setelahnya. Aku bisa mendengar tertawaan orang-orang, merasakan gembira yang tak dapat terbendungkan.

Salah satu dari mereka berdiri tepat di depanku sambil berkata, "Dia benar-benar hidup! Dia hidup kembali!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top