T R A N K U I L A N S I A - 17

Seorang polisi berbadan kekar berjalan mondar-mandir di hadapanku, yang sebenarnya tampak cukup aneh bagiku karena di era ini—mayoritas—orang-orang tak lagi memikirkan bentuk fisik akibat fasilitas-fasilitas yang secara tak sengaja mendukung orang-orang untuk malas bergerak telah semakin memadai. Seorang polisi lainnya, yang memiliki bentuk tubuh lebih wajar, menduduki kursi di seberang meja, menatapku penuh kebencian—kurasa—ketika kedua tanganku terikat oleh borgol yang mereka pasangkan.

Sebenarnya, aku bisa saja melepaskan diri. Borgol yang menahan gerakan kedua lenganku ini sebenarnya bukanlah tantangan yang berat untukku. Menarik kedua lenganku ke arah yang berlainan bisa memotong rantai yang mengikat kedua matanya. Namun, bagaimana dengan setelahnya? Apa rencanaku setelah melepaskan diri? Berita kematian profesor Aji telah melanglangbuana ke seluruh dunia—aku yakin itu biarpun belum melihat berita pagi ini. Apalagi, beberapa minggu terakhir ini Profesor Aji memang tengah disorot dunia karena akan dinobatkan sebagai salah satu ilmuwan paling berpengaruh di abad ini.

Aku tak memiliki pilihan. Semua orang tengah melihatku sebagai penjahat. Aku tidak mungkin menyewa kamar murah untuk bertahan hidup selamanya, sama seperti di kehidupan keduaku. Kepalaku pasti akan berharga lebih mahal dari kamar sewa itu. Semua orang akan memburuku, bahkan mungkin termasuk si penyedia jasa sewa kamar.

Jadi, aku memilih untuk mengikuti permainan mereka.

Pemeriksaan baru berjalan sekitar dua puluh menit, dan tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku tahu, bagaimanapun aku mengungkapkan kebenaran, polisi-polisi yang ada di hadapanku tak akan pernah menanggapinya dengan baik. Bagi mereka, aku telah ditetapkan sebagai seorang pelaku secara informal. Semua investigasi ini hanya akal-akalan untuk membuat semuanya berjalan seperti standar operasional prosedur. Toh, pada akhirnya aku akan tetap ditangkap, kan? Mungkin, kelakuanku yang—menurut mereka—menyebalkan ini lah yang menyebabkan si polisi kekar itu berjalan mondar-mandir. Aku rasa ia sudah berpikir jauh melintang, kembali berkumpul bersama keluarganya karena kasus yang kali ini ditanganinya akan berjalan dengan sangat cepat. Mereka memiliki rekaman itu, yang aku sendiri tak tahu kenapa bisa menampilkan sosok diriku.

Apa aku tidur sambil berjalan? Walaupun iya, kenapa aku membunuh Profesor Aji? Apakah dendamku di kehidupan kedua belum pudar sehingga berhasil memengaruhi alam bawah sadarku di kehidupan yang ketiga? Tapi ... memang masuk akal jika semua orang berpikir bahwa aku lah pelakunya. Sebab, jika kamar itu dibuka, hanya ada dua pilihan: membukanya dari luar atau dari dalam, dan jelas rekaman itu memperlihatkan pintu yang dibuka dari luar, setelah si pelaku berhasil mengelabui sensor mata dan gigi yang bersifat unik, tak mungkin dimiliki orang lain.

Orang itu ... benar-benar aku.

Polisi biasa yang ada di hadapanku itu kembali menjejaliku dengan berbagai macam pertanyaan, tetapi tak pernah kreatif sehingga telingaku bosan mendengarnya. Jika bukan tentang rekamanan yang memperlihatkan sosok diriku, pasti dia akan menanyakan kemungkinan-kemungkinan motivasi yang ada di dalam diriku untuk menghabisi nyawa Profesor Aji. Bahkan, dari pertanyaannya saja sudah jelas kan kalau polisi itu mau menyudutkanku? Dia benar-benar telah menetapkanku sebagai seorang pelaku.

Namun, pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu—semuanya—tak kugubris. Bukan karena tidak mau menanggapinya, tetapi pemikiran-pemikiran yang terus bergelimpangan di dalam otakku membuat pikiranku buyar, tak terarah, menghilangkan fokus yang seharusnya kujadikan beban utama.

"You want to tell me something or not?"

Polisi itu tampaknya mulai gusar. Seluruh nada yang sedari tadi diberikannya secara santai dan terdengar bersahabat berubah menjadi emosional. Namun, cukup untuk membuatku kembali menaruh perhatian padanya, walaupun bukan berarti aku buka mulut begitu saja.

Si polisi kekar bersandar pada dinding. "I thought it will be a fast investigation. Seems I was wrong."

"We should take him to Sole Memorial."

"No way. He is not a Michigan, it will take at least a week until the permission letter is out. Too long. We have proof, don't we?"

"If only arrest him as easy as licking my fingers."

Aku rasa mereka berpikir jika aku tak akan mengerti akan apa yang mereka bicarakan. Setidaknya, hal itu terlihat dari cara berbicara mereka, bagaimana kedua orang itu mempercepat laju kata perkata, amat sangat berbeda dari saat mereka mencoba mencari tahu kebenaran dari diriku.

Aku mengerti jika mereka tak bisa menangkapku dengan mudah. Video itu memang bisa menjadi bukti kuat, tetapi tak cukup kuat untuk menahan hingga menjebloskanku ke penjara, setidaknya sampai aku benar-benar mengaku.

Semua video bisa dimanipulasi. Bahkan, bukan hanya satu atau dua kasus salah tangkap telah terjadi akibat video yang dimanipulasi, jumlahnya—setidaknya selama aku hidup di kehidupan pertamaku—sudah mencapai ratusan, dan kejadian-kejadian itu berhasil membuat pihak kepolisian ketar-ketir. Penangkapan orang berdasarkan rekaman menjadi tidak valid sekitar sepuluh tahun terakhir, terutama setelah dikembangkannya sebuah teknologi bernama Sole Memorial.

Sole Memorial adalah teknologi buatan Jerman, salah satu alat pembantu khusus yang digadangkan sebagai alat termutakhir—mungkin terakhir dan tersempurna—untuk membantu mencari dan memperkuat bukti-bukti kasus kejahatan. Sole Memorial berbentuk tabung—setidaknya seperti itu lah yang pernah kulihat di televisi—dan terkoneksi dengan komputer khusus. Benda itu akan menyelam ke dalam samudera memorimu, mengambilnya secara visual dan ditampilkan pada komputer. Seluruh aktivitasmu sebelumnya, setidaknya yang pernah kaulihat, akan terpampang jelas dan memperlihatkan kepada semua orang mengenai segala aktivitas yang kaulakukan—tentu saja yang masu kauingat.

Kasus kejahatan—umumnya—merupakan salah satu kegiatan yang tak pernah seorang penjahatpun dapat lupakan. Sole Memorial tentu memanfaatkan hal itu seefektif mungkin. Hampir dapat dipastikan tak ada seorang penjahatpun yang bisa lolos dari Sole Memorial. Namun, bukan berarti alat itu muncul tanpa kontroversi. Bagi orang-orang yang mengedepankan privasi, Sole Memorial seolah menjadi alat pendukung kiamat, sebuah benda yang seharusnya tak pernah diciptakan karena melanggar privasi manusia yang sewaktu-waktu bisa disalahgunakan. Namun, orang-orang pun tak dapat menutup mata, mengetahui bahwa benda itu benar-benar berhasil menurunkan tingkat kriminalitas.

Kontroversi yang terjadi membuat penggunaan Sole Memorial menjadi tak sembarangan. Sole Memorial hanya bisa digunakan setelah kerabat-kerabat terduga pelaku kejahatan, seperti orang tua atau saudara, memberikan izin untuk para polisi menyelami lautan pemikiran sang kambing hitam. Di dalam lapangannya sendiri aku tak tahu seberapa sering penggunaan Sole Memorial, karena para polisi, setidaknya di Indonesia, tak pernah mengungkapkan hal itu. Namun, dari berita-berita yang beredar di internet, Aku rasa Sole Memorial sangat jarang digunakan, apalagi hampir seratus persen penjahat yang ditangkap akan langsung mengakui perbuatannya. Sama seperti Michigan yang tak pernah mendapati kasus pembunuhan dalam sepuluh tahun terakhir ini.

"Just take me to Sole Memorial," celetukku. Mereka berdua, terutama si polisi biasa yang berada di hadapanku, langsung menatap tegas ke arahku. Si polisi kekar menyudahi sandarannya.

"So you finally opened your mouth," katanya, benar-benar tidak santai. Matanya yang tajam berusaha mengintimidasiku, yang tentu saja gagal. Aku sudah pernah melihat ribuan mata yang lebih mengerikan dari itu.

"I talked when I want to."

"Know your position." Si polisi kekar mengingatkan. Nada bicaranya tak kalah menyebalkan dari si polisi biasa.

"I know my position, that's why I know I'm not guilty. As I said, take me to Sole Memorial, you'll find the truth."

Si polisi biasa mengalihkan pandangannya ke arah si polisi kekar. Namun, lelaki itu masih tak setuju.

"It will take a long time. We have proof, end of the case, I will not sustain it."

"What's wrong with the hurry? I thought homicide case are rare in Michigan. You have plenty of time, right? Or you're just lazy and tried to accuse an innocent?"

Si kekar terbelalak. Gelagatnya menunjukkan bahwa dia ingin menghajarku. Untungnya, si polisi biasa berusaha menahannya. Kuda-kuda yang hampir disiapkan si kekar buyar ketika si polisi biasa mengajaknya keluar ruangan, pergi meninggalkanku sendirian.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan di luar sana, pemikiranku sendiri masih bergelut, antara yakin tak yakin jika aku melakukan pembunuhan itu atau tidak. Gertak sambal yang kulakukan tak berhasil membuatku merasa lebih baik. Bahkan, ketika kedua polisi itu kembali, setidaknya sekitar sepuluh atau dua puluh menit meninggalkanku sendirian dalam ruangan dingin yang kecil ini, aku masih tak yakin dengan ucapanku sendiri.

Sialnya, semua terlambat. Ketika si polisi kekar menghinaku dengan sebutan "You little shit," atau semacamnya, yang tak begitu kudengar dengan jelas karena nada bicaranya tak setinggi yang telingaku dapat terima, si polisi biasa mengambil pergelangan tanganku tanpa melepaskan borgol yang mengikat keduanya.

"We agreed to take you to Sole Memorial. I hope you know your own decision."

Aku harap, jika memang benar aku melakukan pembunuhan itu, otakku tak mengingatnya secara tiba-tiba dan membuatku terpaksa kabur dari tempat ini dengan ... mungkin akan menimbulkan banyak korban jiwa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top