T R A N K U I L A N S I A - 15
Makan malam sekaligus pertemuan mendadak yang Gubernur Padjajaran buat menjadi gerbang baru kehidupanku. Setiap kali aku berjalan-jalan keluar, orang-orang langsung mengenaliku, bahkan tak jarang di antara mereka yang ingin berfoto langsung bersamaku. Awalnya aku merasa sedikit canggung, aktivitas paling minimum yang kulakukan pada kehidupan kedua membuatku tak merasa nyaman untuk berinteraksi dengan banyak orang. Namun, sekarang aku mulai terbiasa.
Ah, iya, aku menyebut kehidupanku sebelumnya sebagai kehidupan kedua, yang berarti sekarang aku hidup di kehidupan ketiga. Aku tidak tahu apakah aku terlempar ke dimensi lain, hidup sebagai orang lain dalam waktu yang kebetulan pas pada tempat yang sempurna. Namun, semakin lama aku berusaha untuk tak begitu memikirkannya. Rasa kesalku terhadap Profesor Aji berangsur-angsur berkurang, amarahku yang membara-bara kian meredup, ia terlihat seperti orang lain walaupun masih dengan gelagat yang sama—sedikit menyebalkan dengan cara bicaranya yang cepat. Jadi, aku mulai melupakan kasus pembunuhan itu, cara kami melindungi diri dari pihak kepolisian, hingga kematian salah satu mantan klienku yang sekarang—jika memang dia ada—kepalanya terputus. Semuanya terdengar seperti imajinasi belaka, atau mungkin itu semua adalah mimpi selama aku berada di trankuilansia.
Aku dan Profesor Aji jadi seperti pelancong, hanya saja karena undangan yang diberikan pada kami dari mana-mana. Aku dan orang tua itu sudah menjelajahi hampir seluruh Indonesia, dan sekarang kami akan memulai tur keliling bumi hanya untuk mengisi acara-acara, baik formal maupun non-formal, walaupun Profesor Aji lebih sibuk karena harus menghadiri pertemuan para peneliti untuk membahas masa depan Trankuilansia—alat yang berhasil menghidupkanku kembali dari kematian Nerola, sedangkan aku harus hidup sebagai selebriti dengan jutaan pasang mata yang ingin melihat kehadiranku di dunia ini.
Tepat saat ini, aku dan Profesor Aji tengah berada di salah satu kota di Michigan, salah satu negara bagian Amerika Serikat yang sekarang dikenal sebagai wilayah ilmuwan-ilmuwan gila. Setidaknya, hampir separuh dari negara bagian ini pekerja sebagai peneliti, dan tentu saja Profesor Aji tak akan menyia-nyiakan kesemaptan untuk bertemu dengan mereka.
"Ini adalah cita-citaku selama hidup di dunia ini!"
Itulah yang dikatakannya. Cukup dengan membayangkan orang tua berkacamata, berkacak pinggang sambil menaikkan kedua alisnya, kemudian tertawa terbahak-bahak karenanya, artinya kau sudah membayangkan Profesor Aji dengan tepat.
Tak kutemukan perbedaan yang mencolok antara kota ini dengan Neo Dago selain para penduduk yang menggunakan bahasa Inggris, tetapi aku tetap tak dapat menolak untuk tak pergi ke sini karena Profesor Aji pasti akan memaksaku untuk menjelajahi dunia bersamanya. Ketika ia pergi ke konferensi, aku hanya dapat mengganti-ganti saluran televisi sambil tidur-tiduran di atas kasur yang empuk. Mobil-mobil planar yang berlalu-lalang tak membuatku terperangah sedikitpun.
Ini adalah model hidup yang kuinginkan sedari dulu, minus ketenaran, dan sekarang aku mendapatkannya. Aku tidak tahu apakah kehidupan ini harus kusyukuri atau malah kucurigai karena terasa terlalu sempurna, tetapi aku menyukainya.
Asap rokokku mengambang ke mana-mana, menyertai saluran sebelas yang terpampang pada layar televisi, tepat ketika pintu kamar terbuka. Suaranya yang berat berhasil membuat kepalaku, secara refleks, menengok ke arahnya. Profesor Aji masuk dengan buru-buru, wajahnya muram dengan alis yang menekuk tajam. Aku pikir konferensinya akan selesai sekitar satu atau dua jam lagi, tetapi tampaknya Profesor Aji mengubah rencananya. Aku mematikan rokok secara terpaksa. Batang panjang itu berakhir mati sebelum waktu yang seharusnya.
Aku bangkit dari tidur, segera memosisikan diri dengan bersandar pada dinding kamar, duduk sambil menekuk kedua lututku. Profesor Aji segera mengambil barang-barangnya. Lantas, aku penasaran.
"Ada apa, Prof?"
"Mereka semua menghinaku," katanya, sembari menarik punggung tas secara kasar. Benda itu ambruk tepat di sampingku, untungnya isinya tak keluar ke mana-mana. Laki-laki itu melemparkan arah pandangannya ke mana-mana, seolah-olah mencari suatu benda lain yang telah hilang.
"Maksudmu ilmuwan-ilmuwan gila itu?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Gara-gara kau."
Seketika, kepalaku runyam, bagaikan terserang petir di tengah badai. Cara bicaranya yang menyebalkan berhasil memperkeruh suasana, dan aku tak tahu alasan Profesor Aji menjadikanku sebagai kambing hitam atas hinaan yang disampaikan padanya. Sontak, kedua alisku mengerut.
"Kenapa gara-gara aku?"
"Kenapa kau tak pernah menceritakan apa yang kau rasakan selama berada di Trankuilansia, menjelang kematianmu, dan apa yang kaupikirkan ketika hidup kembali?"
Aku meneguk ludah. Permasalahan yang sama kembali diungkitnya. Aku muak, sebab topik itu benar-benar menyebalkan—setidaknya untukku.
Aku menggeram, "Apa hubungannya denganku?"
Profesor Aji menghentikan gerak-geriknya. Mulutnya mendesis begitu wajahnya dilontarkan ke arahku, meskipun tak begitu lama.
"Mereka pikir aku berbohong."
"Kalau begitu buktikan saja pada mereka kalau kau tidak berbohong, Prof. Sesulit itu, kah?"
"Iya, sesulit itu, kecuali Trankuilansia bukan alat sekali pakai yang sayangnya telah kaugunakan sehingga tak dapat kita pakai lagi. Apa kau tahu berapa waktu perancangan dan biaya yang kubutuhkan untuk membuat benda itu? Waktu tidak begitu masalah, Naren, tapi biaya yang tak kumiliki! Seharusnya berita mengenai bangkitnya dirimu itu bisa menarik perhatian lebih banyak investor untuk mengembangkannya. Apa kau memikirkan apa yang akan terjadi jika para ilmuwan terkemuka di dunia menganggap aku berbohong?"
Aku tidak menghitung waktu secara tepat, tetapi aku yakin Profesor Aji memuntahkan semua itu kurang dari lima belas detik. Manusia biasa mana pun tidak mungkin bisa menangkap informasi darinya dengan tepat. Untungnya, aku bukan manusia biasa—maksudku manusia biasa untuk mendengarkan pembicaraannya.
Aku bisa melihat wajah marah Profesor Aji, dan itu tidaklah main-main, yang sialannya malah membuatku merasa semakin kesal.
"Dan tampaknya aku tak tahu sama sekali jika Trankuilansia hanya sekali pakai. Kalaupun aku tahu, sudah pasti aku tak ingin ikut dalam proyek tololmu ini, kau tahu?" Mukaku merah padam, dan aku yakin akan hal itu biarpun aku tak dapat melihatnya secara langsung. Sedangkan Profesor Aji, di seberang sana, terlonjak kaget akan hardikan yang kuucapkan secara spontan.
"Enak saja kau menyebut proyek itu tolol!"
"Kalau ternyata kau gagal, tak berhasil membuatku hidup kembali, memangnya kau mau apa? Sama saja, kan? Toh kau sendiri yang bilang alat itu sekali pakai."
"Tapi aku tidak gagal!"
"Oh, kau gagal, tentu saja!" Aku beranjak dari kasur, membusungkan dada, berhasil membuat Profesor Aji bergidik ngeri.
"Aku tidak hidup kembali dari Nerola, aku hidup kembali setelah peluru-peluru bersarang di dalam tubuhku, menghabiskan darahku, dan aku pingsan, yang entah kenapa secara tiba-tiba aku ada di atas meja otopsi brengsekmu yang dingin ketika ... kau tahu?"
Aku menahan diri, untuk bagian terbaik, meluapkan emosi yang sudah memuncak di ubun-ubun.
"Mencari kau, seorang pembunuh, yang membawa kabur semua uang dan menghindariku, dan secara tiba-tiba kau muncul di hadapanku, tidak tahu apa-apa, Sialan!" Penekanan kuat kuberikan pada akhir kalimat, karena aku benar-benar tak dapat menahannya. Napasku yang menggebu-gebu, disertai dengan hardikan kecil yang muncul dari dalam hatiku, kembali mengambil bagian kotor dari dalam pikiranku.
Ketika aku berpikir semuanya akan baik-baik saja, si brengsek Profesor Aji ini selalu membuat masalah, merasa dirinya yang terbaik dan secara tiba-tiba datang, masuk, menganggu masa relaksasi hingga membuatku terpaksa mematikan rokok, hanya untuk menimpakan semua kesalahan yang menurutnya patut diberikan untukku.
"Kau sama sekali tidak berubah, baik di kehidupan kedua atau ketiga ini, Prof," gerutuku. Namun, Profesor Aji mengelak.
"Lagi-lagi kehidupan ketiga."
"Tapi memang begitu adanya, Prof. Aku sudah berulang kali berusaha mengatakannya padamu. Aku tidak pernah menjadi relawan untuk penelitian itu."
"Kau menyerahkan dirimu untuk menjadi relawan."
"Benar, dua tahun lalu, lebih malah, bukan beberapa bulan lalu. Jadi, secara teknis, aku tidak pernah menyerahkan diriku untuk menjadi relawan dalam penelitianmu."
Aku menggelengkan kepala beberapa kali.
"Dengar, Prof, aku benar-benar ingin merehatkan kepalaku dulu, oke? Aku baru saja melupakan bagian-bagian brengsek dari dirimu yang sejujurnya sangat sulit kulepaskan. Perilaku sialanmu itu benar-benar membuatku mabuk, Prof, dan aku tidak dapat menahannya. Jika aku mati lagi, dan kau kembali hidup tetapi tidak mengetahui apa-apa, aku harap sikapmu bisa berubah. Oke?"
Aku tak menunggu jawaban dari Profesor Aji. Gerakan kakiku untuk meninggalkan kamar lebih cepat dari responnya, yang cukup janggal karena biasanya ia akan langsung menyanggah seranganku—tak ingin kalah, atau mungkin karena aku yang tak mau tahu?
Aku tidak tahu. Aku hanya ingin melepaskan penat, membawa bungkusan rokok sambil menjejali Michigan, negara bagian yang belum pernah kueksplorasi sebelumnya. Bahkan, mungkin tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Pintu kamar langsung tertutup begitu kuinjak lantai lorong gedung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top