T R A N K U I L A N S I A - 14

Berita mengenai bangkitnya aku dari kematian sudah melanglangbuana, bahkan mungkin hingga ke negeri seberang. Drone para wartawan tampaknya tak habis berseliweran di hadapanku, berusaha mengambil gambar sambil memberikan beragam pertanyaan yang mereka inginkan.

Aku dikawal dengan penjagaan ketat, bagaikan seorang presiden yang tak boleh mati oleh tembakan senjata api. Bukan karena efek Sang Gubernur yang berjalan di sampingku, tetapi tampaknya memang beberapa orang di antara mereka diminta untuk mengawalku.

Ketika Sang Gubernur memasuki mobil planar pribadinya, aku diminta, atau dipaksa lebih tepatnya, untuk ikut bersamanya, pun Profesor Aji yang sedang tidak berjalan-jalan jauh menghindari kami. Profesor Aji tidak keberatan, tetapi aku masih memerlukan beberapa waktu untuk mempertimbangkan pilihanku.

Tidak mungkin Profesor Aji sampai menyewa seorang gubernur untuk bermain akting bersamanya, kan?

Aku rasa mereka—Pak Gubernur dan Profesor Aji—meneriakkan namaku hingga tiga kali sebelum visualisasi tak kasat mata yang secara tiba-tiba muncul dalam netraku buyar. Aku menggelengkan kepala beberapa kali hanya untuk memulihkan bayangan hitam akibat kerjapan mata yang terjadi berulang-ulang.

Aku masuk ke dalam mobil planar Sang Gubernur. Tak jauh berbeda dengan mobil-mobil lainnya, sebenarnya, hanya saja pengamanannya lebih canggih. Suara, iris mata, hingga sidik gusi digunakan untuk menghidupkan mesin mobil. Alat pendeteksi bulat itu memerlukan waktu kurang dari satu detik untuk memproses semua keamanan yang dibutuhkan. Kemudi otomatis segera bekerja ketika Sang Gubernur memberikan perintah. Balai Kota Neo Bandung, tanpa menyebutkan spesifikasi gedung yang biasanya dibutuhkan oleh mobil-mobil otomatis, membuatku berpikir bahwa mesin-mesin otomatis memang membuat gedung-gedung istimewa seperti itu cukup istimewa.

Pak Gubernur segera mengambil alih pembicaraan, tak menginginkan suasana sepi dan canggung menyelimuti dalam mobil. Hanya saja, ketika aku sibuk melihat langit-langit Neo Dago yang cukup cerah, Profesor Aji berhasil membalas semua pertanyaan Sang Gubernur, biarpun ia harus bertanya berkali-kali, meminta penjelasan yang lebih mudah dimengerti oleh akal manusia, dan tentu saja karena Profesor Aji tak dapat berbicara pelan-pelan layaknya manusia normal.

Di luar sana, aku tak bisa melihat perbedaan yang begitu nyata. Gedung-gedung pencakar langit masih sama, dan aku mengenalnya dengan jelas karena ... ya, karena aku memang tinggal di kota ini sebelumnya. Aku tidak berpindah ke dunia alternatif, lahir di tempat lain dengan Profesor Aji yang lain atau Si Gubernur yang lain, tentu saja dengan asumsi aku tak berpindah ke dunia alternatif yang super mirip dengan duniaku—lagipula peluangnya hampir tidak mungkin, kan? Selain itu, atas dasar apa aku bisa melompat ke dimensi lain hanya karena peluru-peluru yang menyerang tubuhku?

Bahkan, aku masih bisa melihat gedung sebelumnya, tempatku tinggal bersama Profesor Aji dan bersembunyi menghindari kejaran para polisi. Dan tentu saja ini semua bukan mimpi, karena aku sudah mencubir pipiku berkali-kali hingga rasa nyeri mendera.

Sekali lagi, walaupun kali ini hanya Sang Gubernur yang memanggil-manggil namaku, diperlukan tiga teriakan, memanggil namaku, sebelum akhirnya pikiranku kembali buyar.

"Narendra," sahutnya, berhasil menghilangkan lamunanku.

Aku baru sadar bahwa kursi pengemudi dan kursi di sampingnya, yang sebenarnya tidak diperlukan karena mobil ini berjalan otomatis, telah berputar, sehingga kami berempat—Aku, Profesor Aji, serta Sang Gubernur dan seorang pengawalnya—telah membentuk formasi lingkaran, membuat seolah kami hendak melakukan Focus Group Discussion.

Aku tidak merangkai kata-kata, memberikan kesan baik pada seorang Gubernur yang seharusnya dihormati semua orang, melainkan hanya mengangguk pelan bak orang gila yang kebingungan—atau baru kembali waras dan bingung dengan cara berinteraksi. Mereka bertiga melihatku penuh kagum, tetapi Profesor Aji memiliki intensitas rasa kagum yang paling sedikit, kurasa karena sebelumnya dia sudah melakukan hal yang sama.

"Bagaimana perasaanmu?" lanjutnya, tanpa basa-basi, dan tampaknya benar-benar menunggu jawaban yang akan—atau harus lebih tepatnya—keluar dari mulutku.

Bagaimana perasaanku? Aku tidak tahu, mungkin karena aku terlalu memikirkan akan apa yang ingin kuucapkan dan apa yang harus kuucapkan. Aku tahu jika mereka semua, di dunia ini, pasti mengharapkan jawaban luar biasa keluar dari mulutku, tapi aku yakin seratus persen jika aku tidak lahir kembali untuk ketiga kalinya. Peluru-peluru yang bersarang pada tubuhku berhasil mengeluarkan berliter darah, membuatku tak siuman, dan aku bangun dalam keadaan kebingungan.

Tatapan antusias dari mereka membuatku tak dapat berpikir panjang, aku hanya bilang, "Ya, begitulah," tanpa ada tambahan apapun. Pandanganku segera kulemparkan kembali ke langit-langit Neo Dago, dan Pak Gubernur kembali melakukan pembicaraan bersama Profesor Aji yang tak begitu kuperhatikan.

Balai Kota Neo Bandung berhasil kami gapai kurang dari sepuluh menit. Waktu yang cukup lama sebenarnya, dan itu semua dilakukan karena permintaan Pak Gubernur, memelankan kendaraan untuk membuat jarak waktu yang cukup lama baginya melakukan perbincangan. Walaupun begitu, aku yakin dia pasti sedikit kecewa karena aku tak memberikan banyak respon seperti—mungkin—apa yang diharapkannya.

Ketika kami menjejalkan kaki di atas lantai, drone para wartawan kembali menyerang, menampilkan wajah masing-masingnya pada layar drone, melemparkan kembali banyak pertanyaan melalui pengeras suara yang tak kuhiraukan. Kami semua segera memasuki gedung, suasana senyap segera menyelimuti, tetapi Pak Gubernur tetap tak menghentikan antusiasnya.

Dia mencoba mengajakku berbicara sekali lagi.

"Kau orang pertama yang berhasil hidup kembali dari kematian, kau tahu itu kan, Narendra? Seluruh dunia pasti akan terkejut dengan hal itu."

Aku membalas dengan ketus. "Mereka belum pernah mendengar istilah mati suri?"

"Tentu pernah. Tapi mati suri yang disengaja? Itu belum pernah."

"Bagaimana jika aku hanya mati suri biasa, yang kebetulan terjadi di saat yang tepat?"

"Itu tidak mungkin, penyakit Nerola membuat seluruh organ tubuhmu disfungsi, tak pernah ada kasus manusia yang mati suri akibat Nerola. Apalagi, kembali hidupnya dirimu turut didukung dengan Trankuilansia, dan itu bukanlah sebuah kebetulan," sergah Profesor Aji, bicaranya yang cepat tidak mampu memberikan informasi seperti apa yang seharusnya kami tangkap, tetapi aku tahu garis besar gagasannya.

"Mungkin aku kasus pertama, anomali, bisa saja, kan?"

"Kasus pertama, ya, tetapi bukan anomali. Kami membantu Anda."

Dan aku langsung menyerah. Kurasa, Profesor Aji tak pernah mengubah pendiriannya, baik di kehidupan pertama, kedua, bahkan—mungkin—ketigaku ini, dan aku tak memiliki alasan yang cukup bagus untuk menyerangnya.

Pak Gubernur menghentikan langkah kami di depan sebuah ruangan, lebih tepatnya mempersilakan kami masuk, sebab pemberhentiannya disertai uluran tangan yang melebar, dan berhenti tepat di atas dadanya. Aku, yang berada palling dekat dengan pintu, terpaksa mendahului Profesor Aji untuk masuk ke dalam ruangan, apalagi dengan sang pengawal yang tidak—seolah sudah tahu apa yang harus dilakukannya—masuk ke dalam ruangan mendahuluiku.

Aku tak akan berbohong, rasa waswas masih menyelimuti diriku. Mungkin, aku bisa menghajar mereka dengan mudah jika memang seandainya hal-hal yang tak kuinginkan terjadi menimpaku. Namun, aku cukup terperangah ketika ruangan yang dilabeli sebagai ruang rapat itu terpampang kokoh di depan netraku.

Jamuan makan telah disajikan. Aku yang berhenti di depan ruangan—pun Profesor Aji yang pada akhirnya mengikuti pergerakanku—terperangah dengan dekorasi makanan mewah yang terpampang di hadapanku. Sementara itu, melihatku kebingungan, Pak Gubernur segera menepuk pundakku yang seketika berhasil membuatku memalingkan kepala.

"Aku telah menghubungi beberapa orang untuk membuat pertemuan dadakan. Mereka semua langsung tertarik dan akan segera menuju ke sini. Selain itu, karena perkiraan waktu kedatangan mereka adalah malam ini, sekalian kami mempersiapkan makan malam," katanya. Namun, seluruh ceritanya tak membuatku berhasil bertahan, menjaga kontak mataku untuk tetap bertatapan dengannya, lebih dari sepuluh detik. Tepukan Sang Gubernur memang berhasil menarik perhatianku untuk sesaat, tetapi papan nama yang sengaja disediakan di atas meja membuatku lebih tertarik.

Aku mengetahui nama-nama itu, semuanya. Namaku, Profesor Aji, Gubernur Padjajaran, Presiden Indonesia, dua nama perwakilan perdamaian dunia—dari Amerika dan Spanyol, salah satu ketua kelompok peneliti terbesar di dunia, dan perwakilan grup penelitian penyakit Nerola seluruh dunia.

Dan aku yakin semua ini bukan sandiwara.

Apa yang sebenarnya baru saja terjadi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top