T R A N K U I L A N S I A - 13
Ketika aku berjalan keluar ruangan, orang-orang, mungkin jumlahnya mencapai belasan, berjalan lalu lalang di hadapanku. Kemunculanku membuat mereka terpana, bahkan mungkin sebenarnya mereka tengah berteriak dalam hati. Namun, hal itu tidak berlangsung lama hingga mereka kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing, mengabaikanku , tetapi hal yang sama kulakukan.
Tempat ini persis sama, bukan hanya perasaanku. Lorong kecil yang menyambungkan banyak ruangan ini memang menjadi tempat primadona bagi para ilmuwan—di proyek besar-besaran ini—untuk bertubrukan. Jendela-jendela kecil, satu setiap ruangan, sengaja dipasang sebagai bentuk pencegahan hal-hal yang tak diinginkan untuk terjadi. Dan aku tahu dengan jelas ruangan Profesor Aji berada satu tingkat di atas lantai ini.
Tapi tentu aku tidak akan percaya semudah itu.
Aku berlari kecil, tetapi masih tetap memperhatikan langkah sehingga tak perlu kudorong orang-orang yang menghalangi jalanku, menyusuri tangga yang agak kosong tanpa harus menjatuhkan seseorang. Ketika aku sampai, tepat setelah melepaskan kaki dari anak tangga terakhir, Profesor Aji berdiri di hadapanku. Sewajarnya, aku yang terkejut karena melihatnya, dengan sangat berani, muncul di hadapan wajahku. Namun, peran yang kami ambil berbeda.
Profesor Aji memegang tanganku, memandangi wajahku dengan saksama, matanya mengerjap tak percaya.
"Apa ini sungguhan?"
Aku termangu, berdiri tanpa berucap apa-apa. Profesor Aji, yang ditemani seorang asistennya, terkagum-kagum memandangiku, bagaikan melihat malaikat yang turun dari langit. Namun, aku tak memiliki kesabaran untuk keluar dari objek pengamatan.
Berbagai teori muncul dalam benakku, berputar tanpa henti mengelilingi luasnya samudera probabilitas di dalam otakku. Namun, pilihanku jatuh pada satu kemungkinan: aku rasa Profesor Aji memang sengaja bermain-main dengan pikiranku. Mungkin ia kira dengan membawaku kembali ke tempat ini, ia bisa berpura-pura bodoh, menganggap aku baru terlahir kembali, mengulang semuanya dari awal.
Terdengar terlalu berlebihan, tetapi bukan berarti tidak mungkin, kan?
"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," kataku, tegas, dan Profesor Aji mengiyakannya. Ia senyum sumringah, seolah baru menciptakan barang baru yang belum pernah orang lain temukan sebelumnya. Padahal, ekspresi yang berbeda seratus delapan puluh derajat kuberikan. Dia membimbing jalanku, begitu pula dengan asistennya. Mereka memutar balik arah perjalanan sebelumnya.
Namun, di akhir perjalanan, aku meminta si asisten untuk berhenti mengikuti, tepat ketika kami sampai di depan ruangan Profesor Aji. Jadi, hanya kami berdua—aku dan Profesor Aji—yang masuk. Pintu tertutup dengan rapat setelahnya.
Profesor Aji menyambung perjalanan, segera menggapai kursi yang menghadap langsung ke arah pintu, sedangkan aku berhenti segera setelah kedua kakiku berada di dalam ruangan.
Ruangan ini, sama persis seperti ruangan yang pernah kukunjungi sebelumnya.
"Jadi, bagaimana perasaanmu?" Profesor Aji kembali bertanya. Aku rasa mereka sudah menyiapkan pertanyaan tempelan, karena aku yakin seratus persen, tiga atau lebih orang telah menanyakan hal yang sama padaku. Namun, alih-alih menjawab pertanyaannya, aku berpangku dada, bersandar pada pintu yang telah tertutup.
"Menurutmu?"
Profesor Aji terpukau, alisnya mengerut.
"Aku tidak tahu karena bukan aku yang hidup kembali dari kematian."
"Begitu pula denganku," tukasku, dan Profesor Aji tak setuju.
"Apa maksudnya? Apa kau tidak takjub? Nerola yang menggerogoti tubuhmu musnah begitu kau meninggal, dan kami berhasil menghidupkanmu, penyakit itu menghilang dari tubuhmu. Ini penemuan besar!"
Si Profesor sialan ini, seriuskah dia? Apa dia pikir aku akan kebingungan dengan seluruh kamuflase yang dibuatnya? Maksudku, dengan kembali mengumpulkan banyak orang, membuat suasana tempat ini terlihat ramai oleh para ilmuwan yang bekerja keras siang dan malam ... merekonstruksi ulang tempat ini menjadi tempat yang ... layak untuk ditempati, setidaknya untuk bekerja. Membangun ulang ... semuanya.
Si profesor itu memang punya uang banyak karena mencurinya dariku, dia bisa membayar orang-orang untuk berpura-pura menjadi ilmuwan, terkejut melihatku yang bangun dari pingsan karena kekurangan darah. Selain itu, bukan tidak mungkin dia menyewa beberapa lantai gedung, karena toh uang yang dibawanya untuk kabur tidak sedikit. Dia mungkin merencanakan ini semua karena tak bisa melepaskanku begitu saja. Tapi ... kenapa?
Pertanyaan itu melintang sebagai bagian tambahan dari pertanyaanku yang lain, motivasinya menghilangkan nyawa Narendra. Jadi, aku bertanya.
"Kenapa kau membunuh Narendra?"
Sebenarnya, jika Profesor Aji mengeluarkan sikap sok bodoh, aku bisa mengantisipasinya. Sayangnya, kehidupanku yang melekat bersamanya selama dua tahun terakhir membuatku yakin dia tak sedang berakting. Lagipula, Profesor Aji adalah orang paling buruk yang pernah kukenal jika memang dia ingin berakting. Dia tak pernah bisa memalsukan mimik wajahnya, dan wajah kebingungannya sekarang ini tidaklah main-main.
Jadi, antara dia sudah berubah, mampu membuat rencana untuk membuatku bingung sambil terlibat langsung di dalam rencananya, atau dia memang benar-benar ... kebingungan.
Pendirianku mulai goyah. Bagaimana jika Profesor Aji—maksudku Profesor Aji yang sekarang ada di hadapanku—tidak bercanda? Lagipula, belajar akting dalam satu hari sampai bisa membohongi mimik wajahnya sendiri terlalu berlebihan. Tunggu, ini pasti salah satu bagian dari rencananya, kan? Aku tidak boleh lengah untuk kedua kalinya.
"Membunuh apa?" Profesor Aji mengerutkan kening. Dia tak lebih seperti seorang anak kecil yang mempertanyakan segala larangan orang tuanya.
Aku menelan ludah, kemudian bertanya, "Apa benda itu masih ada di sini?"
"Benda apa? Kenapa kau bertanya terus-terusan dari tadi?"
"Trankuilansia."
Profesor Aji masih belum melepaskan kerutan di keningnya. "Tentu saja."
"Aku akan memastikannya."
Aku telah mengambil posisi, berbalik untuk segera keluar ruangan sampai Profesor Aji bertanya, "Memastikan apa?"
Namun, aku segera membuka pintu, mendapati jika si asisten sudah tak ada di sana. Pertanyaannya itu tak pernah kujawab, atau mungkin belum, aku tidak tahu, tergantung situasi yang akan terjadi. Yang jelas, sekarang aku kembali ke lantai bawah, mencari ruangan tempat benda itu disimpan yang sebelumnya luput dari penglihatanku karena memang aku terlalu terburu-buru mencari Profesor Aji.
Seharusnya benda itu sudah hancur. Berita itu memang tidak dimunculkan, menyebar dan meluas ke seluruh penjuru kota, tetapi aku melihatnya sendiri, ketika kembali mengendap-endap ke gedung tempat penelitian, mereka menghancurkan benda itu. Laser panas berhasil menghancurkannya, mengubahnya menjadi pecahan-pecahan kecil yang tak mungkin disusun lagi. Bahkan, aku sendiri yang memberitahukan hal itu pada Profesor Aji di tengah persembunyian kami.
Ketika aku sampai, berhenti tepat dua ruangan di samping ruangan tempatku bangun, aku mengintip, melihat dari balik jendela untuk memastikan kenyataannya.
Benda itu ... ada.
Aku kembali menuju lantai atas, mengetuk—lebih tepatnya menggedor—pintu ruangan Profesor Aji karena aku tak terdaftar sebagai seorang ilmuwan yang dapat membuka pintu dengan mudah. Deru napasku tak keruan, menemani gerakan kencang yang kulakukan berulang kali, dan pintu baru dibuka setelah enam gedoran—aku hampir memukul wajah Profesor Aji di gedoran ke tujuh.
"Aku mati karena kehabisan darah, kan? Maksudku, tembakan itu, walaupun kulitku bisa menahan tembakannya, tetapi aku tetap kehabisan darah karena lukanya. Benar, kan?" Aku bertanya, segera. Namun, tampaknya menghilangnya aku selama limat menit tak digunakan dengan baik oleh Profesor Aji untuk beristirahat. Wajahnya—baik sebelum dan sesudah—masih terlihat kebingungan.
"Tembakan apa? Kenapa kau bersikap aneh dari tadi?" Pintu ruangan tertutup, bersamaan dengan pertanyaan yang Profesor Aji lontarkan.
"Oh, jangan pura-pura, Sialan!" Kuhunuskan sebelah lenganku, berteriak, dan aku bisa melihatnya sedikit tersentak. Mungkin, volume suaraku terlalu keras, apalagi ruangan kecil ini berhasil membuatnya terdengar menggema. "Kau menggunakan semua uang yang aku hasilkan untuk kembali mengerjakan proyek ini, kan?"
"Narendra, apa yang salah denganmu?"
"Tapi kenapa, sialan, kau menghidupkanku lagi setelah kau kabur dariku? Apa maksudmu?"
"Kabur darimu bagaimana?"
"Kau membunuh seseorang! Yang mirip denganku, yang ... yang ... yang entah bagaimana memiliki memori yang sama denganmu. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan!?"
"Aku tidak mengerti, Narendra."
"Kuberikan waktu satu menit untuk meringkas jawabannya. Jawab pertanyaanku tepat setelahnya."
Profesor Aji geleng-geleng kepala. Tengkuk kacamatanya segera diangkat dengan jari kelingking, tetapi masih tetap tak mengubah cara pandanganya terhadapku. Dan aku yang tolol karena tidak tahu sudah berapa lama waktu berjalan, karena link-ku entah ada di mana dan ruangan ini—sama seperti kebanyakan ruangan di masa sekarang—tak memiliki jam dinding, segera memberikan perintah tanpa tahu waktu telah menunjukkan lebih dari satu menit atau belum.
"Bicaralah!"
Namun, Profesor Aji tetap membungkam mulutnya.
Aku memicingkan mata, berjalan mendekat, memperhatikan si tua itu tanpa melepaskan sedikitpun bagian-bagian tubuhnya. Ketika aku berpikir aku bisa mengontrol dirinya, membuatnya angkat bicara, pintu ruangan ini kembali terbuka.
Aku berbalik, mendapati seorang lelaki dengan setelan jas mahal mengambil langkah, masuk dengan senyum sumringah tanda kebahagiaan.
Aku pikir, dia hanya orang biasa—mentok-mentok seorang ilmuwan—yang senang karena aku, untuk ketiga kalinya, terlahir kembali ke dunia. Namun, begitu kupindai tubuhnya dengan mendetail, kumis tebal dengan janggut yang menghiasi sisi-sisi wajahnya, disertai badan gembul khas lelaki dewasa yang telah menikah, aku tahu dengan pasti bahwa dia adalah Gubernur Padjadjaran.
Seseorang yang sebelumnya menentang proyek Profesor Aji, kini bertepuk tangan karena keberhasilannya. Tidak, bukan bertepuk tangan dalam bentuk hinaan, sindiran, maupun bentuk-bentuk lain yang menunjukkan rasa ketidaksukaan. Bahkan, sebaliknya.
Lelaki gembul itu berkata, "Aku baru mendengar kabarnya dan segera ke sini. Jadi, siapa di antara Anda yang berhasil membuat penemuan besar itu? Kita harus mengumumkan penemuan ini ke banyak orang."
Ucapannya itu ... sungguh ... berbeda ... seratus delapan puluh derajat dengan apa yang kuingat di masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top