T R A N K U I L A N S I A - 12
Aku masih bernapas, detak jantung masih bisa kurasakan, dan aku benar-benar yakin jika aku masih hidup, tetapi seluruh pandanganku gelap gulita.
Aku ingin bangun, tetapi kelumpuhan menyerangku secara tiba-tiba. Bahkan, itu pun jika kedua tangan dan kakiku masih menempel, menyatu dengan bagian tubuhku yang lain. Bagaimana kalau tidak? Aku benar-benar tak dapat merasakannya.
Aku ingin teriak, tetapi sejauh apapun aku berusaha, mulutku terasa tercekat. Eh, tunggu, terasa tercekat bagaimana? Bahkan kurasa kedua bibirku tak dapat kugerakkan sama sekali. Apa jangan-jangan bagian itu juga menghilang? Tapi, aku tahu aku masih bernapas. Jadi, kenapa hanya satu panca inderaku yang tersisa? Eh, apa telingaku juga menghilang?
Napasku semakin menggebu-gebu, yang setidaknya membuatku tahu jika paru-paru masih melekat di dalam tubuhku. Aku mencoba mengais kegelapan, tetapi aku baru ingat kembali bahwa kedua tanganku tak menempel dengan tubuhku. Setidaknya, itu yang saraf motorikku rasakan.
Jadi, bagaimana mungkin? Apa aku buta, tuli, bisu, dan lumpuh secara tiba-tiba? Tapi kenapa?
Terakhir kali aku melihat, tubuhku terluka, terkulai di antara dinginnya ubin lorong gedung. Seorang wanita berlari panik melihatku jatuh ambruk, dan semua pemandangan itu kulihat secara samar-samar sebelum kedua mataku tertutup, pikiranku melayang, tak mengingat apapun lagi.
Jadi, apakah aku mati? Tunggu dulu, kalau aku mati, kenapa aku masih bernapas? Tidak mungkin aku mati, kan?
Aku berusaha melepaskan pejaman, itu pun jika aku memang masih punya sepasang bola mata. Tetapi kegelapan terus menyelimuti permukaan tubuhku. Sekeras apapun aku meronta, aku tak dapat merasakan apapun selain deru napas yang sedari tadi masuk dan keluar melalui hidungku.
Aku mencoba berteriak lagi, tetapi tidak bisa.
Sekali lagi aku mencoba untuk mengais sekitar, dan sialannya aku masih belum bisa merasakan kedua tanganku.
Aku mencoba menendang. Gila, kedua kakiku benar-benar copot ya?
Semuanya nihil, aku seperti hidup dalam ambang kematian. Aku menyebutnya ambang karena aku yakin benar aku benar-benar belum mati. Alasan paling logis adalah seseorang memotong kedua lenganku, kakiku, mencongkel mataku, mengiris telinga dan menjahit mulutku, tetapi apa alasannya untuk melakukan itu semua?
Aku mulai menyerah pada keadaan, melepaskan beban pikiran, sampai akhirnya setitik cahay muncul di balik kegelapan, di hadapanku. Cahaya samar perlahan memasuki netraku.
Aku merasa tumbuh. Kedua tangan dan kakiku, entah bagaimana, secara tiba-tiba dapat kurasakan kembali. Mulutku ternganga, setidaknya aku bisa mengucapkan satu dua buah huruf. Telingaku—yang juga entah tumbuh dari mana—tiba-tiba berfungsi. Secara samar aku dapat mendengar suara orang-orang berteriak.
"Dia benar-benar hidup! Dia hidup kembali!"
Pusing mendera pikiranku. Gelombang cahaya yang perlahan menusuk netraku berhasil membuat rasa sakit kepalaku melejit. Aku, yang kini sudah bisa menggunakan kedua tangan, mengusapnya perlahan untuk meringankan rasa sakitnya, dan itu adalah reaksi spontan yang kuberikan.
Aku membuka mata, seluruhnya, dan memerlukan waktu yang cukup lama sampai kedua retinaku mampu menyesuaikan keadaan. Tentu, bagaimanapun seseorang akan kesal jika ada orang lain, yang secara tak sopan, membangunkannya dari tidur dengan menyalakan lampu, kan?
Ketika pandanganku normal, aku baru tahu jika di antara orang, mungkin satu atau dua, yang tadi berceloteh tentang hidup atau semacamnya, ternyata ditemani oleh belasan atau puluhan orang yang lain.
Aku terkejut bukan main. Alisku langsung mengerut, terkesiap, bahkan aku pikir jantungku hampir berhenti. Mereka memeprhatikanku bagaikan tikus putih yang sering dijadikan objek penelitian. Bedanya, mereka tersenyum gembira sambil memindai tubuhku dari atas sampai bawah.
"Kenapa?" Aku bertanya. Tetapi, bukannya menjawab pertanyaanku, mereka malah menyalami satu sama lain, bersenda gurau tanpa menghiraukanku, yang jelas membuatku semakin kebingungan.
Aku mencuri dengar obrolan mereka, beberapa di antaranya mengatakan mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi, memangnya apa yang baru saja terjadi? Ada juga yang mengatakan mereka baru membuat penemuan besar. Tapi penemuan besar apa?
Kuraba seluruh badanku, mencari bekas peluru yang seharusnya masih menempel di sebagian besar tubuhku, tetapi memang kejutan itu datang tak main-main.
Aku tidak dapat menemukannya.
Kakiku mulus, penuh dengan rambut yang seharusnya sudah berantakan karena serangan peluru. Kedua lenganku? Gila, terasa lebih baik daripada sebelumnya. Perutku yang sebelumnya menjadi tempat bersarang sebutir peluru kini tak memberikan bekas apa-apa. Ketika hampir semua orang keluar dari ruangan, aku bertanya-tanya, "Apa yang terjadi?"
Apa mungkin orang-orang itu adalah dokter yang tengah mengembangkan obat termutakhir untuk menghilangkan bekas luka? Tapi, bukankah terlalu berlebihan untuk hal sekecil itu? Ketika beberapa orang menyalamiku, yang entah untuk apa, baru kusadari bahwa tempat ini bukanlah tempat asing yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sebaliknya, sialan, tempat ini sangat familier.
Langit-langit yang tinggi, penuh dengan ornamen besi untuk menopang permukaan atas. Bahkan, ketika aku menginjakkan kaki ke atas ubin, rasa dingin yang menjalar melalui permukaan kakiku masih dapat kuingat dengan jelas. Dan ketika kupusatkan tenagaku pada pikiran, aku baru bisa mengingatnya dengan jelas.
Seluruh gelagat yang mereka lakukan itu pernah terjadi sebelumnya, di tempat yang sama, persis di tempat ini.
Bangkitnya aku dari kematian, kelahiran keduaku.
Salah seorang dari mereka mendatangiku, menanyakan bagaimana keadaanku, yang tentu tak kujawab dengan baik. Maksudku ... apa yang terjadi?
Keringat kembali mengucur, keluar membasahi leherku. Kuusap kedua pelipis dengan sebelah tanganku, berharap semuanya kembali menjadi normal, tetapi si brengsek itu terus mengganggu dengan menanyakan bagaimana kabarku.
"Bagaimana perasaanmu? Kau baik-baik saja? Hei, bagaimana perasaanmu setelah ...."
"Persetan! Tinggalkan aku sendiri dulu, oke!?"
Perempuan itu terkejut bukan main, jelas karena teriakanku yang memekakkan telinganya. Untungnya, perempuan itu mengerti dan pergi meninggalkanku sendiri.
Apakah aku terlahir kembali untuk ketiga kalinya?
Eh ... tunggu.
Bukankah itu artinya Profesor Aji ada di tempat ini juga?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top