T R A N K U I L A N S I A - 11
Beberapa orang di dunia ini memang bisa ber-multitasking, mengerjakan dua atau lebih pekerjaan dengan sekaligus. Sayangnya, aku bukan salah satu dari mereka. Lagipula, aku sendiri tak ingin menurunkan kecepatan mobil sehingga para polisi bisa kembali mendapatkan ekor dari pelarianku karena terpaksa mencabuti peluru-peluru yang menancap di tubuhku sambil mengemudi. Jadi, aku tetap fokus dengan kemampuan berkendaraku. Untung saja mobil planar didesain serupa dengan mobil di jalanan biasa sehingga aku tak perlu repot-repot mencaritahu bagaimana cara mengemudikan mobil planar.
Perempuan itu masih tak siuman, mulutnya menganga dengan kepala yang mengadah ke atas. Jika aku iseng, bisa saja kumasukkan sebutir peluru sebagai bentuk kelakar yang tak konyol. Namun, aku tak memiliki alasan untuk melakukannya. Lagipula, satu mayat saja sudah cukup bagiku hari ini.
Aku tidak berkendara ke sembarang tempat. Setiap mobil planar, berbeda dengan mobil biasa sengaja tidak diintegrasi dengan sistem keamanan masa kini karena dianggap terlalu kuno, memiliki identitas yang dapat dilacak oleh pihak kepolisian. Jika mobil perempuan ini menghilang dan orang-orang menyadarinya, mereka bisa tahu dengan mudah bahwa aku, secara tak sopan, telah meminjam mobil perempuan ini dan mangkir ke suatu tempat yang tidak biasa. Sebenarnya, bisa saja sih aku berhenti di suatu tempat, kemudian pergi meninggalkan perempuan ini dengan mobilnya dan membiarkan dia kembali berkendara dengan damai. Namun, aku tak ingin dia salah paham, menelepon polisi dan menyatakan ada kasus penyerangan yang menimpa dirinya.
Dia sudah mellihat wajahku dengan jelas, tak menutup kemungkinan perempuan itu akan mengingatnya.
Melihat baju kantor yang dikenakannya, aku rasa dia pegawai kantoran biasa, sama sepertiku di kehidupan pertama. Aku tidak tahu apa yang membuatnya pulang larut malam begini, tetapi arahnya mengendarai mobil planar ini membuatku menduga dia sedang dalam perjalanan menuju kamarnya. Ketika aku mengotak-atik link-nya, aku tahu dia tinggal di kawasan Neo Ciwidey, tepatnya gedung B09-55, gedung yang diperuntukkan bagi orang-orang yang 'cukup' berkelas.
Rasa sakit yang muncul dari luka tembak semakin dapat kurasakan. Kulit-kulitku terasa melepuh, nyeri, dan berhasil membuat kejutan secara tiba-tiba. Daging-daging yang membentuk diriku terasa berkontraksi di sana-sini, dan tampaknya untuk kali pertama aku mendesah karenanya. Aku usah beberapa permukaan tubuhku, dan baru menyadari satu butir peluru bersarang di dalam perutku. Tidak dalam, tetapi cukup untuk mengalirkan darah keluar dari tubuhku.
Sekali lagi, darah kembali menyelimuti lenganku—walaupun hanya lengan bagian kiri. Sekarang, aku harus meminta maaf pada perempuan itu karena telah mengotori mobilnya.
Aku sampai lebih cepat dari yang kuduga. Tiga puluh menit kurang, dan itu merupakan rekor tercepat yang kulakukan untuk berkendara dari daerah utara ke daerah selatan. Malam hari memang berhasil mereduksi jumlah kendaraan yang melintas di Neo Bandung, tetapi bukan berarti jumlahnya menjadi sangat sedikit sehingga kau bisa kebut-kebutan.
Ketika aku memarkirkan mobil ini, perempuan itu belum sadar juga. Menyentuh beberapa bagian tubuh wanita yang tidak dikenal memang bukan tindakan yang sopan, tetapi aku tak memiliki pilihan lain kalau memang ingin membuatnya bangun. Jadi, aku menepuk-nepuk pundaknya, tentu saja menggunakan bagian lenganku yang bersih, berbicara setengah teriak, "Hei, bangun," tanpa mengenal lelah.
Perempuan itu bangun, mengerjapkan matanya. Namun, sepersekian detik kemudian, ia terperanjat, matanya terbuka lebar melihatku. Jadi, aku berusaha menenangkannya, menyiulkan suara, tetapi menahan sebagian besar di antaranya dengan lidahku.
"Dengar, maafkan aku ...."
Namun, belum sempat menyelesaikan ceritaku, perempuan itu terlanjur keluar dari mobilnya, membuatku menggerutu—ternyata tidak semudah apa yang digambarkan di film-film. Oh, sialan, aku terlalu banyak menonton cerita fiksi di mana si korban akan dengan tenang mendengarkan sisi lain, sisi yang lebih lembut dari si pelaku.
Satu hal yang kutakutkan adalah dia memanggil polisi, dan perjalanan hampir selama setengah jamku itu sia-sia.
Aku kembali berlari, mengejarnya, yang tidak memerlukan usaha lebih untukku karena ... ya, kurasa karena aku sudah terbiasa melakukannya—mengejar seseorang yang lari dariku karena ketakutan. Hanya saja, peluru-peluru yang bersarang dalam tubuhku semakin membuat nyeri, berbeda dengan pelarian pertamaku dari para polisi.
Aku menggapainya, menarik tubuh wanita itu, dan dia berteriak keras bukan main. Untungnya, aku rasa kamar-kamar di gedung ini, seperti pada umumnya kamar kelas atas, kedap suara. Masalah terbesarku sekarang adalah kamera pengawas yang mungkin dipasang dan memantau sepanjang lorong, berbeda dengan gedung tempat kamarku berada sebelumnya—tak ada pengawasan sama sekali.
Aku mendorong perempuan itu, membuatnya menubruk dinding, memaksanya untuk melihat keadaanku. Rajukannya yang dilakukan sekarang mulai memudar, beriringan dengan mataku mulai berkunang-kunang.
"Aku ingin meminta bantuanmu," tukasku, segera, dan wanita itu benar-benar berhenti melawanku.
"Kau terluka." Dia memberitahuku, tetapi jelas percuma karena aku sendiri sudah tahu.
"Kau punya pinset atau semacamnya? Perban?"
"Apa yang terjadi?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Kesadaranku mulai menghilang."
Aku tidak berbohong. Keringat dingin mulai mengucur, membanjiri pelipisku. Darah terus mengalir keluar dari tubuhku. Jika aku orang biasa, mungkin aku sudah mati.
Kulepaskan cengkeraman yang kubuat, membiarkan perempuan itu bergerak bebas.
Napasku mulai tak beraturan.
"Klinik gedung ini pasti punya," timpal perempuan itu, yang jelas segera kusanggah.
"Aku lebih memilih melakukannya sendiri. Bisa kauambilkan saja alat-alatnya dan membawanya?"
"Aku tidak memiliki wewenang untuk membawanya. Selain itu, aku masih tidak percaya padamu."
"Kau benar untuk bagian 'tidak percaya padamu' dan aku tidak memaksamu untuk memercayaiku, tapi aku benar-benar membutuhkannya."
"Aku akan mengantarmu ke klinik gedung ini."
"Aku tidak ...."
"Aku mengantarmu atau tidak sama sekali?"
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Kepalaku mulai melayang, aku semakin kehilangan kesadaran. Tubuhku semakin berat, semakin dingin. Aku harus mengerjapkan mata berkali-kali untuk bisa mempertahankan posisiku.
"Baiklah."
Perempuan itu melongo, melihatku untuk beberapa saat tanpa mengatakan apapun. Aku rasa dia keheranan karena aku yang sebelumnya bertindak kasar, berubah menjadi penurut seperti anjing yang setia. Sialannya, aku tidak tahu bagaimana ia menginterpretasikan akibat yang menyebabkanku berubah seperti itu.
Aku menarik napas panjang. Darah masih mengucur keluar, tetapi aku tak ingin menelanjangi diri, mengikat bagian tubuhku dengan baju yang kukenakan karena ... ya, itu tidak sopan. Aku menutupi luka pada perut yang berhasil mengeluarkan darah dengan volume terbanyak. Di saat yang bersamaan, aku tahu bahwa sedari tadi aku mengotori lorong gedung.
Perempuan itu akhirnya berjalan, memanduku. Kami berpapasan dengan beberapa orang, tetapi aku tak menggubris pertanyaan mereka yang terkejut akan keberadaan dan keadaanku. Lambat laun berita mengenai kehadiranku di tempat ini pasti akan menyebar.
Kami menaiki beberapa lantai, tentu saja dengan lift yang berhasil membawa raga kami dengan lebih cepat. Sialannya, ketika kami sampai di depan pintu klinik, aku benar-benar sudah tak tahan.
Aku ambruk, lebih dari setengah jam setelah penembakan. Rekor terlama sekaligus tercepat untukku ambruk karena ini satu-satunya pengalaman brengsek yang menimpaku—ditembak hingga benar-benar terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top