T R A N K U I L A N S I A - 10
Kedua lenganku terus berlumuran darah, seberapa keraspun aku berusaha mencucinya.
Aliran air yang keluar dari keran tak kunjung membersihkan kedua lenganku. Usapan kasar yang kulakukan terus menerus tak juga berhasil menghilangkan seluruh noda merah yang menyangkut di permukaan kulit tanganku. Seberapa keras pun aku berusaha, aku hanya berhasil mentransformasi air bening berubah keruh dengan noda darah.
Aku sudah melakukannya berulang kali, mengambil nyawa orang lain untuk mendapatkan upah yang sepadan. Namun, ini kali pertama aku melakukannya di luar kesadaran, mengambil nyawa seseorang yang padahal bisa kuhindari. Aku tidak takut atau mual, hanya saja melibatkan emosiku dalam mengambil nyawa seseorang membuatku sedikit terkejut. Aku tak pernah membuat kepala seseorang putus walaupun sebenarnya mampu. Dan kejadian pertama ini berhasil membuatku terperanjat.
Lapisan darah yang menyelimuti kedua lenganku mulai memudar, tetapi di saat yang bersamaan dapat kudengar derap langkah kaki—sepertinya berbari—beberapa orang di luar kamar. Suaranya berat, mungkin karena mereka mengenakan sepatu bot dengan sol karet keras. Kuhentikan pekerjaanku, keluar dari kamar mandi, dan sekali lagi melihat seonggok mayat yang mati di tanganku tergeletak tak berdaya. Bukan pemandangan yang ingin kulihat sehari-hari.
Kupusatkan perhatian, membuat telingaku mampu mendengar lebih tajam dari biasanya. Setidaknya, ada sekitar enam atau tujuh orang polisi yang berlarian di sekitar lorong. Aku sudah tahu apa yang akan mereka lakukan, atau mungkin setidaknya hanya sedikit sok tahu, mencoba meramalkan kejadian-kejadian berdasarkan pengalaman. Pertama, mereka akan terdengar sopan, mencari tahu apakah si pemilik kamar akan atau bisa membukakan pintu untuk mereka. Jika tidak, mereka akan memasang alat peretas sandi pintu kamar supaya bisa masuk dengan leluasa.
Ketika mereka sampai di pintu, berbicara di depan mikrofon dan membuatku semakin yakin bahwa mereka benar-benar sudah sampai di depan pintu—tidak hanya berdasarkan asumsi dari pendengaranku, aku membukakan pintu.
Mereka semua berteriak dengan keras, beradu mulut hingga perintah mereka tak dapat kudengar dengan begitu jelas, walaupun aku tahu mereka menyuruhku untuk mengangkat kedua tangan. Jadi, aku melakukannya. Bahkan, ketika mereka menyuruhku untuk berbalik pun, aku tetap mengikuti permainan mereka. Mereka menyuruhku untuk tiarap, dan sekali lagi aku menjadi anak baik yang terus mengikuti perintah mereka.
Para polisi itu mengenakan seragam lengkap, termasuk helm anti peluru yang sebenarnya tak mereka butuhkan karena aku tak pernah menggunakan pistol. Bahkan, aku yakin di balik seragam hitamnya, mereka menggunakan rompi anti peluru yang padahal tak begitu dibutuhkan. Kemudian, begitu salah seorang di antara mereka hendak memasuki ruangan, kutarik kedua lenganku dan menaruhnya di atas kepala.
Oh, aku tidak melakukannya karena menyerah, melainkan agar aku bisa mengambil ancang-ancang untuk menarik kaki polisi itu lebih mudah.
Ketika si polisi melangkahiku, aku menarik kaki kirinya dengan kuat, membuatnya terjatuh dan refleks berteriak.
Aku melompat, bangun dan berhasil membuat semua orang terkejut. Mereka menembaki kedua kaki dan tanganku, membuat kebisingan senjata api memenuhi lorong gedung. Mereka tidak meleset. Bahkan, sebaliknya, mereka berhasil membuat peluru-peluru itu bersarang di tubuhku. Aku rasa mereka benar-benar ingin membuatku mati, tetapi sayangnya tidak semudah itu.
Profesor Aji pernah memberitahuku bahwa tubuhku kebal peluru. Namun, bukan berarti peluru itu akan memantul, keluar dari tubuhku, atau menjadi lempengan besi yang tak berguna ketika menyentuh permukaan kulitku. Aku masih bisa merasakan peluru-peluru itu menancap menggerogoti tubuhku, tetapi saraf penerima rasa sakit yang sebagian besar sudah dihilangkan dari tubuhku membuatku tak merasakan apa-apa. Selain itu, mutasi sel yang dilakukan pada kulitku memang berhasil menahan peluru-peluru itu untuk tidak menembus jauh lebih dalam, berhasil melindungi seluruh organ vitalku. Aku masih bisa mati jika mereka menembak kepala atau membiarkanku mati kehabisan darah, jadi aku bertindak cepat.
Aku meninju salah satu polisi, membuatnya terpental dan menubruk atap lorong gedung. Aku tahu mereka semua terkejut, berpikir bahwa aku adalah monster gila yang tak bisa dibunuh dengan peluru biasa. Namun, mereka tetap bertindak profesional, terus menembakiku tanpa melepas pandangan mereka barang sedetikpun.
Aku membuka celah, mendorong dua orang di antara mereka, di sisi kanan dan kiri, berusaha pergi sebelum mereka menyerang kepalaku—yang untungnya tak segera mereka lakukan karena aturan menetapkan bahwa tersangka tak boleh ditembak mati kecuali membahayakan banyak pihak. Ketika jalan terbuka, aku tak membuang-buang waktu. Aku melompat, mengambil tumpuan pada dinding, dan kembali melompat, mengambil jarak terjauh pada lorong untuk menghindari serangan mereka. Sebutir peluru berhasil mengenai bahuku, membuatku hampir terjungkal. Namun, aku berhasil kembali menyeimbangkan tubuhku.
Aku benar-benar bersyukur wewenang penggunaan pistol laser tak diberikan pada pihak kepolisian, atau mungkin aku sudah mati. Dan di saat yang bersamaan, aku baru sadar kedua lenganku sudah bersih tak bernoda.
Aku berlari menuju balkon penjemputan, dan para polisi itu sudah berhenti menembakiku. Aku tak tahu alasannya, tetapi aku menduga mereka tak menginginkan warga sipil terluka. Ketika semilir angin berhembus melewati, aku memindai situasi sekeliling, memutar kepala sembari memikirkan cara untuk kabur.
Darah mulai keluar dari luka tembak yang bersemayam di dalam tubuhku. Rasa nyeri perlahan kurasakan, tetapi aku tak memiliki waktu untuk menenangkan diri.
Sebuah mobil planar melaju dengan kencang, mungkin berpuluh-puluh kali lipat lebih kencang dari para polisi yang sekarang tengah berlari mengejarku. Aku mengambil ancang-ancang, memperhitungkan jarak dengan tepat hanya berdasarkan pendengaran dan penciumanku. Kemudian, lompatan yang nekat kulakukan berhasil mendaratkan tubuhku di atas sebuah mobil planar yang tengah melaju kencang. Aku meregangkan diri, meraih bagian sisi kiri dan kanan jendela dengan kedua lenganku agar tak mudah terjatuh. Di saat yang bersamaan, seorang wanita yang mengemudikan mobil ini berteriak histeris.
Perempuan itu membanting setir, dan aku hampir kehilangan keseimbangan. Empasan angin yang terus menabrak diriku berhasil membuat mobil ini oleng ke kiri dan ke kanan. Untungnya, udara tengah sepi. Si pengemudi perempuan dengan cekatan memperlambat laju mobilnya, tetapi bukan berarti ia berhenti berteriak histeris.
Mobil planar semakin melambat sampai akhirnya berhenti di udara, walaupun guncangan akibat mesin yang mempertahankan ketinggian mobil ini masih terasa.
Si perempuan membuka atap mobil, dan secara tak main-main ia berteriak sambil menyembulkan kepalanya. "Apa yang kaulakukan!?"
Jawaban apa yang harus kuberikan? Aku membunuh seseorang dan sekarang sedang kabur dari kejaran polisi? Yang ada, perempuan itu malah akan membiarkanku jatuh. Jadi, aku memilih untuk bertindak daripada berbicara.
Aku berdiri, tentu dengan tetap menjaga keseimbangan agar tak terjatuh sia-sia. Sekali lagi, perempuan itu terkejut bukan main.
Aku berjalan hingga ke atap mobil, masih dengan kedua tangan yang kulebarkan ke masing-masing samping kiri dan kanan. Kemudian, aku berkata, "Maafkan aku."
Aku menendang—lebih tepatnya menginjak—kepala perempuan itu, dan dia pingsan seketika.
Aku melompat masuk. Untungnya, si perempuan itu jatuh di bangku penumpang sehingga aku tak perlu repot-repot memindahkan tubuhnya untuk mengambil alih kemudi. Aku menginjak pedal gas, berharap bisa kabur dari kejaran para polisi sialan itu.
Ya, setidaknya sekarang aku harus kabur dulu.
Lukaku semakin terasa sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top