kelompok 3
Dream
Cahaya lilin berpendar di seluruh ruangan. Pukul satu dini hari ini, aku berumur tepat tujuh belas tahun. Aku mengepalkan kedua tangan di depan dada dan menutup mata sembari merapalkan doa di dalam hati. Doa yang selalu sama aku panjatkan setiap malam.
Ya Tuhan, Aisyah ingin hidup bahagia. Aisyah ingin bapak dan ibu selalu sehat.
Ya Tuhan, Aisyah ingin hidup layaknya seperti teman-teman Aisyah yang lain.
Walau nyatanya doa itu seperti tak pernah di dengar oleh Yang Maha Kuasa, aku tetap tidak berhenti meminta pertolongan pada-Nya.
Wush....
Angin dipagi buta ini menyelusup masuk dari celah jendela. Menghembus beberapa tangkai lilin yang berdiri tegak dan mematikan bara api yang menyala.
Bahkan semesta pun seakan tidak mengizinkanku untuk merayakan hari ulang tahun. Aku pun meniup sisa lilin yang masih menyala. Membiarkan kamarku menjadi gelap gulita dengan suasana biru yang menyelimuti.
Aku membayangkan jika hidupku begitu beruntung dan damai, mungkin sekarang pasti aku sedang merayakan sweet seventeenku dengan meriah bersama teman-temanku yang lain dengan dentuman musik yang mengalun di seluruh penjuru ruangan.
Tes… tes … tes ....
Setitik air jatuh mengenai permukaan wajahku, seakan menyadarkan diriku untuk tidak terlalu banyak berimajinasi. Aku menghembuskan napasku berat dan melihat ke sumber air. Lubang di langit-langit kamarku bertambah kian banyak.
Gerimis mulai turun dengan deras. Aku harus mengambil ember untuk menampung air yang menetes.
**
Sudah lima tahun sepeda ini menemaniku kemana-mana. Walau keadaannya sudah tidak enak dipandang, warna biru muda yang tidak lagi terlihat, dan lecet dimana-mana tetapi aku sayang bersyukur memilikinya.
Kukayuh sepedaku pagi-pagi sekali agar sampai ke sekolah tepat waktu mengingat jarak dari sekolah dan rumah cukup jauh. Aku harus melewati hutan pinus yang cukup menyeramkan saaat sinar mentari belum tampak di atas caklawala. Untung saja aku sudah terbiasa dengan keadaan ini.
Aku terus mengayuh sepeda hingga sampai di jalan raya. Walau peluh terus menetes, aku bersemangat karena sedikit lagi akan sampai. Hingga tiba-tiba sebuah cipratan air kotor mengenai pakaian sekolahku. Aku pun berhenti dan melihat noda bercak yang lengket itu.
“Hahahaha! ups, sorry, Udik.”
Tawa itu menggema ke telingaku. Itu komplotan kakak kelas yang selalu menggangguku. Mobil merahnya yang cerah itu sangat nyentrik.
“Daah,” kata si pengemudi sambil melambaikan tangannya. Kemudian mobil tersebut melaju meninggalkanku yang berusaha membersihkan noda kotor yang menempel di seragamku.
Aku kembali menaiki sepedaku. Sepuluh menit kemudian aku sampai di parkiran sekolah. Sepeda kesayanganku ini ku parkirkan di tempat parkiran khusus sepeda.
Kemudian dengan langkah tergesa aku langsung masuk ke kelas, menghindari serangan dari siapa saja yang ingin menyakiti. Aku hanya ingin merasakan damai di hari pertama tujuh belas tahunku. Itu saja, apa aku salah membuat permohonan dan berharap?
Syukurlah sepanjang kegiatan belajar berlangsung dengan aman. Hingga tersisa aku sendiri di bangku pojok belakang. Ya, aku memang duduk sendirian. Selain karena jumlah murid yang ganjil, tidak ada satu pun orang yang ingin berteman denganku. Seburuk itu ‘kah diriku?
BRAK!
Pintu kelas dibanting dengan kencang. Jantungku terpompa dua kali lebih kuat dari sebelumnya. Beberapa orang masuk dengan angkuh sambil tersenyum miring menatapku lurus-lurus.
“Hei, Udik,” sapa orang itu. Dia kakak kelas yang paling terkenal di sekolah ini. Paling cantik, dan paling berpengaruh karena keluarganya merupakan salah satu donator untuk pembangunan sekolah.
“Cie, ada yang ulang tahun ….” Ia tersenyum tiga jari kepada teman di kanan kirinya.
Aku tersenyum mendengar itu. Tak menyangka orang lain mengingat hari ulang tahunku.
“Mau hadiah nggak?” tanyanya. Lalu menarik tanganku dengan paksa. “Ayo sini ikut gue!”
Dia dan kedua temannya menarikku dengan paksa hingga aku berjalan terseret. Sangat sakit bahkan tarikan itu menimbulkan ruam merah yang membekas. Aku pikir dia akan berbaik hati denganku kali ini. Aku bodoh. Dia benar, aku udik.
Kutahan air mataku agar tak menetes dengan susah payah. Kami sampai di halaman belakang sekolah. Dengan posisiku yang terduduk di hadapannya yang berdiri menjulang tinggi.
Salah satu temannya mengeluarkan ponsel dan mengarahkannya kepadaku. “Ayo, Rir,” katanya kepada Kak Rira. Kakak kelas yang kuceritakan tadi.
“Happy birthday to you … happy birthday to you ....” Mereka mulai bernyanyi sambil sesekali bertepuk tangan. “Happy birthday-“
TASSH!
Tiba-tiba Kak Rira memecahkan telur dengan keras di kepalaku. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga pasokan telur tersebut habis. Kepalaku sakit akibat lemparan mereka. Bau amis dimana-mana dan aku hanya bisa memunduk pasrah. Tangisku pecah seiring dengan tetasan telur-telur itu.
“WOI!” sentaknya. “Liat gue!”
Aku terus menunduk, tidak berani menatapnya. Geram, ia pun tiba-tiba menarik rambutku untuk mendongak ke atas. Sakit, sangat sakit. Bahkan terdengar bunyi dari tulang leherku. Aku menutup mata sambil menahan isak tangisku.
Dan sedetik kemudian wajahku dihujani oleh butiran tepung yang halus, terus menerus hingga kurasakan tepung-tepung itu masuk ke dalam hidung membuat ku terbatuk beberapa kali.
Mereka tertawa puas dengan tindakan yang mereka lakukan itu. melihatku menderita seperti ini adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuni.
“Selamat ulang tahun, Udik. Semoga lo semakin udik ya. Hahahaha,” katanya seraya tertawa mengejek. Kemudian mereka meninggalkanku dengan keadaan seperti ini.
Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak ingin hidup. Lebih baik mati daripada bernapas dengan kehidupan pahit seperti ini. Aku melihat tali tambang bekas perlombaan kemarin, langsung ku ambil dan kumasukkan ke dalam tas. Aku segera berlari ke parkiran.
“Argh!” teriakku sedih.
Sepedaku … sepeda kesayanganku hancur seperti sengaja dilindas. Sesak menyelimuti rongga dadaku. Kuusap air mataku yang tumpah dan segera berlari menuju hutan pinus.
Aku berlari hingga tak tahu sudah memasuki hutan terlalu dalam. Kutemukan satu pohon lain yang kurasa tepat melakukan hal ini. Aku manjat pohon tersebut dan mengikat tali tersebut di satu ranting pohon yang kokoh.
Aku ingin bunuh diri dan mengakhiri penderitaanku di dunia yang penuh tipuan.
Tali tambang tersebut sudah kuingat melingkar di leherku. aku menutup mataku.
Maafkan aku, Ibu, Ayah. Maafkan aku…
Aku akan menjatuhkan diri dari atas pohon ini dengan menghitung mundur.
Tiga … dua … tig-
Napasku menjadi sesak dan pandaganku mulai mengelap, samar aku melihat seseorang sepertianya melihatku.
“HEI!” teriakan seseorang membuatku kaget.
Semua itu terlamba, Aku menutup mataku begitu pasokan udara habis. Rasa sakit justru menjadi rasa pembebas saat ini. Aku tersenyum dalam damai, Akhirnya aku akan bahagia tanpa rasa sakit.
**
Ketika mataku membuka, hal yang pertama lihat adalah sebuah cahaya menyilaukan dan udara menyejukan yang berada di sekitarku. Rasanya nyaman dan aku ingin berada di sini selamanya.
Apa ini surga? Apakah aku di situ?
“Hei.” Sebuah sapaan menyapaku. Suaranya lembuh dan merdu.
Aku terbangun dari tidurku dan menatap gadis di depanku. Gadis itu tengah tersenyum sambil menatapku hangat. Sebuah tatapan hangat yang sudah lama tidak pernahku lihat.
Biasanya, semua orang akan melihatku jijik, tapi gadis itu, oh Tuhan, gadis ini membuatku merasa hangat dan ingin selalu menatap matanya. Sungguh ia gadis yang cantik, andai saja aku seorang pria mungkin aku akan jatuh cinta dengannya.
“Sedang apa di sini?” tanyanya.
“Aku tidak tau,” jawabku. Aku jadi ikutan tersenyum karena senyumnya yang seakan menular.
“Aku ada di mana?” tanyaku padanya dengan wajah bingung.
Gadis itu terkekeh. “Kenapa pula kamu beratanya. Kita ada di surga.” Gadis itu mengulurkan tangannya. “Siapa namamu? Aku Tiara.”
Sejenak gadis itu berikir dan menatap diriku lagi, jujur aku malu ditatap dengan sangat lama.
“Tiara? Nama yang bagus,” pujiku tulus.
Tiara terkekeh lagi. Sungguh, ini memang benar-benar surga. Karena suara tawa Tiara saja terdenagr begitu menyejukan.
“Mari kita berkeliling. Aku akan mengenalkanmu pada tempat ini.” Ucapnya, sungguh senyumannya membuatku merasa damai.
Aku mengangguk dan mengekori Tiara di belakangnya.
Tiara membawaku melewati sebuah jembatan panjang. jembatan itu terlihat asri dengan sungai yang begitu jernih di bawahnya. Tiara memutar tubuhnya dan untuk menatapku sebentar lalu tersneyum. “Apa kamu betah di sini?”
Aku mengangguk semangat.
“Syukurlah. Aku juga suka ada dirimu di sini,” sergahnya cepat.
Tuhan, aku tidak tau Tiara adalah bidadari surga atau bukan. Tapi rasa-rasanya gadis itu mengertiku dengan baik dan tak berpikir panjang tentang siapun diriku.
Tiara hanya selalu tersneyum dan berperilaku baik padaku. Tidak seperti manusia jahanam yang selalu menyakitiku.
“Kita sampai,” ucap Tiara.
Aku memutarkan pandanganku bingung. “Kita di mana?”
“Di sini,” jawabnya.
Aku memutarkan pandanganku sekali lagi untuk meyakinkan apa yang aku liat. Sekarang di depan mataku justru berdiri sebuah rumah degan danau tenang dan jernih. aku bahkan yakin, jika aku mberkaca di sana, aku pasti akan melihat wajahku dengan jelas.
Air danau itu bahkan terlalu jernih hingga bisa melihat dasarnya yang dipenuhi sekumpulan ikan kecil. airnya seperti sangat biru.
Sedangkan rumahnya sendiri terlihat asri. Rumah dengan bahan kayu itu terlihat asri aku berharap bisa melihat fatamorgana disini. Dari pintu rumah yang berada di pojok kiri keluar seorang lelaki. Lelaki itu terlihat sama hangatnya degan Tiara, bahkan dari tatapan matanyapun, aku rasa lelaki itu adalah makhluk penghuni surga lain yang membuatku akan betah berada di sini.
“Hai,” sapanya pelan. gadis itu lalu terkekeh begitu melihat mukaku yang tiba-tiba menatapnya bingung. “Jangan terkesima dgan wajahku, ku mohon. Aku jadi malu.”
Namun dari kejauhan sebuah suara gaduh memekan telingaku. Aku memandang ke arah belakang punggung Daffa, jauh ke belakang rumahnya.
“Suara berisik apa ini?” tanyaku polos.
“Itu, mau aku antar?” tanya Tiara.
Aku mengangguk.
Tiara membawaku ke dalam sebuah bangunan besar yang hanya memilik satu ruangan. Namun, di tengah ruangan itu aku justru bisa melihat Rira yang tengah di hujam perutnya hingga mengelurkan darah.
Rira memekik kesakitan, aku bahkan bisa mendengar teraiakn meskipun aku jauh dari sana. Dan darah menggeng di bawah kaki Rira. Gadis bengis itu kini terkulai lemas ke lantai, membiarkannya terliaht seperti seonggok daging tanpa tulang.
Entah euforia macam apa, tapi aku justu merasa sangat senang melihat Rira yang bersimbah darah begitu. Rasanya, dendamku sudah terbayar lunas melihatnya kesakian, dan tidak menyadari teman Tiara yang telah menghilang.
Ketika aku tengah asik melihat Rira tersiksa, tiba-tiba dibawah kakiku seperti tidak ada apa-apa setelah aku melihatnya ternyata ada lubang hitam yang tiba-tiba membesar. Saat aku ingin menghindari lubang hitam itu, ternyata waktuku tidak cukup, aku terjatuh ke lubah hitam itu.
Seketika aku menyadari sesuatu, aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru yang ada di ruangan ini. Ruangan ini ternyata sebuah kamar. Aku terheran, mengapa aku bisa berada di kamar ini. Apakah tadi aku tertidur? Berarti yang selama ini aku alami, itu ternyata hanya mimpi. Namun, mimpi tadi rasanya seperti nyata.
Aku tengah memikirkan, bagaimana caranya aku bisa bangun dari ini semua. Padahal, rencanaku untuk mati itu ternyata berhasil. Ketika aku tengah bergelut dengan pikiranku, aku mendengar ada 2 orang wanita sedang berbincang. Aku merasa mengenali suara itu. Iya, suara itu tidak asing di telingaku.
"Kak, jadi gimana?"
"Gimana apanya
"Aku mau berpetualangan sama Dendi di sekitaran sini. Jadi, untuk tempat kami istirahat, bolehkan kalau kami tidur disini?"
"Sebenernya.. (sambil melihat kedalam rumah)”
"Ada apa kak? Kakak ada kegiatan apa lagi sih?"
"Biasa, kakak lagi ngelakuin kegiatan kayak biasanya, kok."
"Yaudah, terserah kakak mau ngelakuin kegiatan apapun. Jadi, kakak boleh izinin kami tidur disini, kan?"
"Bukannya kakak mau nolak, tapi, saat ini kakak lagi banyak kegiatan. Jadi, jangan tidur disini."
"Jadi, kami tidur dimana?"
"Kamu cari tempat lainnya aja deh."
"Masalahnya kak, Dendi bentar lagi nyampe."
Aku berjalan menuju jendela untuk memastikan siapa yang tengah berbicara. Aku melihat melalui jendela dengan berhati-hati. Mereka tampak asik berbincang. Ketika aku ingin melihat wajah kedua orang wanita itu, tiba-tiba pandanganku kabur dan percakapan itu kian terdengar samar-samar.
Aku tidak kuat untuk melihat mereka. Aku memutuskan untuk kembali duduk ditempat tidur tadi untuk memperbaiki penglihatanku. Ketika aku tengah mengucek-ucek mataku, tiba-tiba dihadapanku sudah ada Daffa temannya Tiara.
"Ayok, ikut denganku," ucap Tiara sambil menarik tanganku, entah darimana ia datang, aku tidak terlalu memikirkannya.
"Kemana?" tanyaku.
Tiara tidak menjawab pertanyaanku, ia langsung saja membawaku keluar dari rumah itu.
"Aku mau dibawa kemana?" tanyaku sekali lagi.
"Sudah, ikuti aku saja."
Saat aku pasrah digiring oleh Tiara dan aku melihat ada seorang pria menghampiriku.
"Mengapa dia menghampiriku?" batinku bertanya.
Ternyata presepsiku salah, pria itu tidak untuk menghampiriku tapi, untuk masuk ke dalam rumah itu. Aku heran.
"Kenapa dia tidak sadar bahwa aku ada disini," ucapku dalam batin.
Kulepaskan dari cengkraman Tiara untuk mengetahui mengapa pria itu masuk ke dalam rumah ini. Namun, ternyata Tiara mencengkramku dengan sangat kuat sehingga aku tidak bisa melepaskan tanganku, tapi, aku tidak mau terus-menerus mengikutinya.
Aku memustuskan untuk melepaskan tanganku dari cengkraman Daffa dan ternyata aku berhasil.
Aku langsung berlari menuju pintu rumah itu. Namun, saat aku ingin masuk ke dalam rumah itu, tiba-tiba ada seorang wanita yang masuk dengan rumah itu dengan terburu-buru.
"Mengapa dia terburu-buru? Dia tidak menyadariku ada disini?" batinku.
Aku mendengar dengan sama-samar wanita itu berteriak kepada seseorang.
"Rira, kamu tunggu saja di teras ya!"
Aku menyadari sesuatu.
"Rira? Jangan-jangan, Rira? Di teras?" ucap batinku.
Aku langsung mengedarkan pandanganku ke teras. Dan benar saja, disana ada Rira. Namun, Rira bersama dengan seorang pria.
"Mengapa Rira dan pria tadi berada disini. Sejak kapan?" tanya batinku.
"Mengapa aku tidak menyadari ada Rira disini?"
"Mengapa Rira tidak menyadari bahwa aku ada disini?"
Sudah terlalu lama aku bergelut dengan pikiranku lagi. Sampai-sampai wanita yang tadi masuk ke dalam rumah sudah keluar lagi.
"Shasha?"
"Wanita itu Shasha, kan?"
"Lalu, Rira siapanya Shasha?"
Aku mengurungkan niatku untuk masuk lagi ke dalam rumah itu. Kini tujuanku hanya untuk ke teras rumah itu. Aku ingin bergabung dengan mereka.
Aku berjalan menuju teras rumah itu. Rira, Shasha dan pria tadi masih berada di posisi yang sama. Aku bergabung dengan mereka dan mencari tempat yang nyaman.
Aku masih tidak mengerti, mengapa mereka tidak menyadariku ada disini. Apa mereka pura-pura tidak melihatku karena Rira membenciku? Atau mereka memang tidak menyadariku ada disini?
Disini aku seperti orang bodoh. Aku memperhatikan mereka satu persatu. Mereka tampak kebingungan dengan apa yang mereka bicarakan. Aku mendengar dengan seksama apa yang mereka bicarakan.
"Kak, ini Dendi udah datang. Masa kakak ga izinin kami untuk tidur disini."
Aku ber-oh ria, ternyata pria itu bernama Dendi.
"Aku sudah bilang, aku sedang sibuk. Tidak ingin diganggu."
"Kakak sibuk apa? Sibuk ngurusin kegiatan kakak yang mistis itu?"
"Kegiatan mistis? Maksudnya?" ucap batinku.
"Kegiatan kakak itu banyak, ga cuma itu aja."
"Sudahlah, Ra. Kita bisa undur waktu kita. Kalau kak Shasha sudah tidak sibuk dan kak Shasha udah izinin kita. Baru kita lanjutkan."
"Dengerin pacarmu, Ra."
Aku menyadari satu hal lagi.
"Kakak? Mereka adik kakak?"
"Pasti kakak sibuk dengan orang yang lagi tidur di kasur itu kan?"
"Tau darimana kamu?"
"Maksudnya? Kasur mana?"
Aku sudah tidak berpikir jernih. Aku langsung bergegas menuju kamar itu. Namun, ada seseorang kini menghalangiku lagi. ia mencengkram tanganku dan hendak membawaku ke luar dari rumah ini.
Aku terus-terusan meronta-ronta ingin dilepaskan. Cengkraman orang ini cukup kuat. Untuk yang kesekian kalinya aku berkasih lolos dari cengkramannya lagi. Aku langsung berlari menuju kamar yang membuatku penasaran tadi.
Aku terkejut bukan main, melihat seseorang yang mirip denganku tertidur diatas kasur, sepertinya orang itu bahagia terlihat dari senyum tipis yang masih bisa kulihat dari wajahnya.
Aku masih mencerna apa maksud semua ini. Namun, Tiara kini muncul di depanku dengan senyum tipisnya dan terlihat sangat khawatir, apakah karena aku menghilang tiba-tiba? Sepertinya ia akan marah padaku.
Tiara berhasil menyelamatkanku dari kejahatan Daffa. Namun, saat aku mengikuti Tiara, namun aku justru menyenggol vas bunga yang berada didekatku sehingga terdengar oleh Shasha dan Rira begitu juga Dendi. Aku tersentak kaget, akibat vas bunga itu dan membuat Shasha dan juga Rira masuk ke dalam kamar, mereka bertubrukkan dengan Dendi. Rira dengan cepat melihat ke dalam kamar, dan ternyata vas bunga yang ku senggol itu sudah pecah, tidak ada siapa siapa di sana tapi, Shasha yakin bahwa ada orang disana.
"Stttt!" Tiara memberi aba-aba padaku untuk menutup mulut.
Sesudah Shasha berlalu aku yang merasa bosan pun berjalan-jalan lagi tapi tidak bersama dengan Tiara dan kini aku justru tersesat dan lepas dari pengawasan Tiara. Aku pergi kesana kemari tak tentu arah dan akhirnya aku berhenti didalam suatu ruangan, yakni sebuah kamar. Perlahan aku mulai memasuki kamar tersebut. Kamar itu tampak sunyi namun, ada satu hal yang membuatku sendiri bingung serta terkejut karena mendapati tubuhku yang tergeletak tak berdaya diatas sebuah ranjang.
"Itu aku?" Tanyaku pada diriku sendiri.
Hal yang pertama kaliku lakukan setelah melihat tubuhku sendiri hanyalan terdiam.
Aku sungguh tak percaya jika yang sedang tertidur diatas ranjang itu adalah aku.
Setelah beberapa menit aku terdiam menatap tubuhku, tapi tetap saja aku masih merasa kebingungan,
kenapa tubuhku bisa seperti itu?
Bukannya aku sudah meninggal?
Itu sangat diluar ekspektasiku. Aku kira diriku ini telah meninggal namun, aku sepertinya salah. Ternyata belum meninggal sama sekali. Karena disana aku hanya sedang tertidur lelap, sangat lelap bahkan mungkin suara sekencang apapun tidak akan membuat ragaku terbangun. Hatiku merasa teriris kala melihat ragaku yang tampak lemah, kini sedang dipermainkan oleh Shasha. Bisa-bisanya dia menyiksa diriku seperti itu bahkan saat aku sedang sekarat.
Sesaat setelah selesai aku melamuni tubuhku sendiri. Aku mendekati tubuhku untuk memastikan jika benar apakah itu tubuhku? namun, dengan cepat Tiara datang menghalangi diriku.
"Tidak, Aisyah! Kau nggak boleh menyentuhnya. Lebih baik kita keluar dari sini sebelum Shasha datang," tukas Tiara melarangku, padahal aku ingin sekali menyentuh diriku sendiri.
Tak lama setelah Tiara melarangku menyentuh ragaku, suara langkah derap kaki tiba-tiba saja terdengar. Semakin jelas dan jelas hingga membuat diriku juga Tiara menghalihkan pandangan ke arah pintu. Dan pintu itu pun terbuka.
Krieettt
Lagi-lagi aku terkejut, ternyata Shaha memasuki kamar yang dimana ada aku juga Tiara didalamnya. Tubuhku mulai bergetar ketakutan tetapi Tiara justru sebaliknya. Shasha yang berniat mengusirku kini sedang mengambil tongkat ajaibnya lalu membacakan beberapa mantra.
"Berhenti! Aku tak akan membiarkan kau mengusir arwahnya!" Geram Tiara yang berusaha melindungiku.
"Kamu nggak bisa menghalangkanku, tidak akan!"
Tiara mencoba melawan Shasha dan hal itu membuat Shasha sedikit kewalahan dan pada akhirnya memanggil seseorang untuk membantunya. Rasa takut itu kembali mengerubungi tubuhku. Aku sangat takut.
Bagaimana jika Tiara kalah?
Arwahku pasti akan diusir atau bahkan dihancurkan.
Untuk saat ini aku hanya bisa mundur perlahan, mencoba untuk menjauh dari Shasha maupun Tiara. Tetapi seorang laki-laki datang secara tiba-tiba. Laki-laki itu muncul dari sebuah asap, membuat diriku sedikit keheranan.
Kenapa bisa seperti itu? Apa dia bukan manusia?
"Aku datang," ujarnya seraya menatapku tajam. Tatapannya sungguh mengerikan.
"Daffa, bantulah aku. Aku ingin mengusir arwah itu, jangan biarkan ia menyentuh raganya sedikit pun!"
"siap, aku akan membantumu."
Pertarungan pun dimulai antara Daffa dengan Tiara. Sedangkan Shasha dia kini tengah memusatkan matanya padaku sembari memegang tongkatnya. Takut-takut jika aku menyentuh ragaku. Aku yang tidak bisa bertarung cuma berteriak-teriak membantu Tiara, supaya dia terhalau dari serangan Daffa.
"Berhenti membantunya! Atau kamu akan ku hancurkan!" Tukas Shasha dan menatapku dengan tatapan sinis.
Dan detik kemudian aku terdiam, menyaksikan Tiara yang tampak meringis setelah dirinya mendapat serangan dari Daffa. Aku yang melihatnya pun ikut meringis merasakan sakit yang diderita Tiara saat itu juga.
"Kamu kejam Shasha!"
Aku memaki Shasha dan kembali, Shasha mengancamku lagi. Sungguh ini seperti sebuah adegan penyanderaan yang dimana raga dan juga arwah ku ikut disandera. Seharusnya kini, ragaku sudah tenang didalam tanah bahkan arwahku juga telah berada diatas tanah. Tetapi mengapa Shasha tidak membiarkan aku meninggal saja? Toh...dia pasti juga akan bahagia setelah aku pergi meninggalkan dunia ini.
"Sudah Tiara! Jangan membuat dirimu kesulitan hanya demi aku!"
Aku memperingati Tiara. Namun, dia tetap tidak mau mendengerkan perkataanku. Menit-menit setelah aku memperingatinya, Tiara menolehkan pandangannya ke arahku lalu tersenyum.
"Tanggung, sebentar lagi pecundang ini juga akan kalah." Kira-kira seperti itu kata yang dia ucapkan sebelum pertarungannya berlanjut.
Aku menunggu pertarungannya sampai selesai. Dan ternyata Tiara berhasil membuat Daffa kalah telak darinya. Aku tersenyum bahagia, lalu berlari kecil memeluk Tiara sedangkan Shasha, dia kini tengah merasa tidak percaya jika Daffa ternyata telah dikalahkan Tiara.
"Tidak! Tidak mungkin!"
"Bagaimana bisa kamu mengalahkannya?!" Suara Shasha memekik. Lantas itu membuatku juga Tiara menutup kedua telinga.
"Tuan putri, lebih baik tidak usah banyak ceng cong. Sudah lihatkan? Daffa telah aku kalahkan. Sekarang giliran dirimu yang akan ku kalahkan!"
Shasha berjalan mundur ketika Tiara mulai mendekati dirinya. Aku yang berada didekat Tiara sontak menahan tangannya lalu menggeleng pelan.
"Aku tidak mau ada pertarungan lagi..."
Tiara menghela napasnya. "Baiklah, ayo lebih baik kita pergi dari sini. Sebelum tuan putri akan mengamuk lagi."
Aku mengangguk, dan Tiara menggenggam tanganku. Lalu kami pergi dari rumah itu segera.
Sedangkan Shasha, kini dia tengah merutuki dirinya sendiri. Aku takut dia akan mengamuk lagi lalu akan menghancurkan aku dan ragaku. Namun, aku belum tahu pasti kenapa Shasha membiarkan ragaku tetap hidup walaupun dalam kondisi sedang tertidur panjang.
perasaanku berbeda karna mengetahui bahwa aku tidak mati. Tubuhku yang tertidur didalam kamar itu masih dengan jelas diotakku.
Tiara menarik tanganku cukup erat dan membuat pergelangan tanganku memerah. Ia tampak serius berlari sambil menyeretku, dan dibelakang kami terlihat jelas iblis yang aku lihat dirumah itu sedang mengejar kami.
“kita harus sembunyi dari iblis itu,” ucapnya sambil berbalik menghadapku.
“dimana kita harus bersembunyi? Disini tidak ada tempat yang cocok,” ucapku menatapnya dengan lekat.
Iblis itu semakin mendekati kami, dan Tiara langsung memerintahkanku untuk menutup mataku.
“apapun yang terjadi kau jangan membuka matamu, mengerti!” perintah Tiara dan aku mengangguk.
Aku bisa mendengar dengan jelas suara Tiara yang membentak iblis di depannya, sebelum itu ia mengamankanku dibalik pohon yang cukup besar.
“yah ... kau cepat sekali larinya,” ucapnya dengan suara serak, membuatku merinding dan merapatkan kedua tanganku untuk memeluk diri.
“pergi dari kami sialan!” bentak Tiara, aku tidak mengetahui bagaimana raut wajahnya karna mataku yang ia suruh tutup. Tapi aku cukup yakin Tiara sedang marah besar karena ingin membunuh kami.
Kemudian aku mendengar suara bising seseorang sedang bertarung dan juga jejak kaki yang mendekat.
Entah kenapa aku merasa aneh dengan dunia ini. Apakah ini benar-benar surga atau diriku yang sedar tertidur, aku tidak bisa berpikir jernih.
“apa yang kau lakukan Daffa!” teriak Tiara, ternyata nama pemuda itu Daffa.
“serahkan dia!” sahut orang itu tidak kalah kerasnya, membuatku menutup kedua telinga dengan erat.
Sepertinya orang yang bernama Daffa itu sangat ingin aku bersamanya, untunglah Tiara melindungiku, jika tidak ada ia, mungkin aku sudah mati ditangan Daffa.
Entah berapa kali aku mendengar suara saling adu pendang dan teriakan kasar dari mulut Daffa.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekatiku, dan suara perkelahian perlahan memudar. Tunggu ... suara langkah kaki? Belum sempat aku membalikkan badanku ada yang tiba-tiba membekap mulutku. Aku langsung membuka mata dan melihat di hadapanku pohon-pohon yang tumbang dan beberapa bercak darah.
Apakah itu darah Tiara atau Daffa? Pikiranku menjadi kalut. Berusaha keras aku untuk memberontak.
Tenaga orang ini cukup kuat, membuat tubuh kecilku tidak sanggup untuk memberontak lebih lama lagi, aku berhenti memberontak dan mencari akal untuk melepaskan diri.
Entah kenapa aku selalu merasa menjadi korban di sini. Semoga saja ini hanya ilusi, aku tidak ingin mati dalam keadaan seperti ini, tapi aku juga tidak ingin ditindas di kehidupanku.
“siapa kau?” tanyaku setengah berteriak, orang itu menahanku dari belakang, membuatku tidak bisa melihat wajahnya.
Sepertinya tubuh orang ini tidak terlalu kecil dan besar, tapi tenaganya sangat banyak. Aku melihat ada orang yang datang dari arah depan dan semakin mendekat.
Aku berharap Tiara datang dan menolongku dan membawaku pergi ke tempat di mana kami bertemu pertama kali.
“bisakah kau lepaskan ini!” teriakku lagi dengan marah. Orang ini tidak membalas ucapanku dan semakin kuat menahanku.
Tungguh ... orang yang berjalan mendekat tadi seperti tidak asing dimataku.
“kau melakukan tugas dengan baik,” ucapnya sambil tersenyum manis, astaga ia adalah kakak Rira. Kenapa kakak dan adik senang sekali mengganguku bahkan pada saat aku diantara mati dan hidup.
Shasha tersenyum ke arahku dan mengelus rambutku dengan lembut, sial ... aku terlena dengan ini. Berusaha mungkin aku tidak terbuai dengan ilusi yang ia ciptakan.
“maafkan aku yang menyambutmu dalam keadaan seperti ini, seharusnya bukan hari ini aku menjemputmu sayang ...,” ucapnya lalu tersenyum manis.
Aku memandang dengan jijik Shasha yang menyentuhku.
“jangan sentuh aku dengan tangan kotormu,”ucapku sambil menepisnya dan berjalan mundur.
Orang yang sebelumnya belakangku sudah pergi, menguntungkanku untuk menjauh.
“kau sudah berada di dalam imajinasimu sendiri, percuma kau lari,” teriak orang itu dengan tertawa jahat dan mengejarku dengan cepat.
“Tiara aku perlu bantuanmu,” ucapku dalam hati dan terus berlari masuk ke dalam hutan.
Tapi jauh dari perkiraan, di dalam hutan aku malah bertemu dengan Rira dan Dendi pacarnya. Mereka melihatku dan langsung menarik tangaanku dan membawa ke tempat yang aman.
“kau sembunyi di sini, aku akan menghadapi kakakku,” ucap Rira dengan wajah datarnya dan melihatku sekilas lalu pergi keluar dari persembunyian.
Aku tidak sendiri di sini, karena Dendi pacarnya juga berada disini sambi mengintip dari balik tempat kami berada.
“kenapa kau bisa di sini?” tanyaku memecah kesunyian.
Ia melirik sekilas. “aku dan Rira ingin berpetuangan di dalam hutan, dan bertemu denganmu, kau?” tanyanya balik.
Aku merasa ada seseorang yang memukul pundakku dengan cukup keras, ah ... sakitnya membuatku ingin mati dua kali. Pandanganku menjadi gelap dan aku tidak mengetahui apa yang terjadi setelah itu.
Aku terbangun dari pingsan untuk kesekian kalinya, pundakku sungguh sakit sekali, ahh ... sial. Tungguh, posisiku yang terduduk di kursi dan dalam keadaan terikat kuat.
Kenapa dunia sungguh membingungkan, aku harap ini hanya ilusi dan aku ingin berakhir sampai di sini saja. Aku merindukan kehidupanku seperti biasanya.
CKLEK!
Aku mendengar pintu terbuka, ruangan yang sempit ini mampu membuatku melihat langsung ke arah pintu, namun sayang karena pencahayaan yang minim aku susah untuk melihat wajahnya.
“apa kau bersenang-senang di sini,” tanyanya dengan suara yang tidak asing di telingaku.
“siapa kau?” tanyaku dengan nada berteriak.
“kau tidak perlu tahu, cukup ikuti kataku,” ucapnya lalu berjalan mendekat sambil membawa lampu yaang bercahaya terang.
“mau apa kau?” tanyaku lagi, tapi tidak di respon oleh orang ini.
“bisa kau diam? Atau perlu lehermu kupatahkan?” ucapnya, aku memandang ngeri dan hanya bisa meneguk ludah.
Ia memasangkan sesuatu kedalam mulutku dan membuatku tidak bisa berbicara. Kumohon Tiara segera datang, karena hanya ia yang bisa membantuku di sini.
“kau sangat cantik, tapi tidak dengan mulutmu,” ucapnya lalu membuka penutup wajahnya dan ruangan itu langsung menjadi terang.
Orang itu menyeringai memandangku, oh ... Tuhan kumohon selamatkan aku dari mimpi buruk ini, ucapku menjerit dalam hati.
“kau suka dengan kejutannya?” tanyanya sambil mengambil sesuatu yang tadi berada di dalam mulutku.
“kau ... sungguh aku tidak percaya,” ucapku dengan terbatuk-batuk.
“jangan melihat dari tampangnya, kau tahu? Yeah ... orang bodoh sepertimu mudah untukku bohongi,” ucapnya lagi.
Aku ingin menamparnya waktu ini juga, tapi sialnya tubuh yang terikat membuatku tidak bisa berbuat banyak.
“wanita sialan,” makiku sambil memandangnya tajam.
“aku bangga.”
“kembalikan iblis,” ucapku lagi.
Ia tertawa, sungguh itu membuatku sakit dibagian telinga.
“kau memanggilku iblis? Tidak berkaca? Kau juga sama bejatnya denganku,” ucapnya lagi sambil menyeringai dan mendekatiku lalu memelukku yang dalam keadaan terikat.
“selamat bersenang-senang di duniamu, Aisyah,” ucapku sambil tertawa jahat dan tersenyum kemenangan.
“kembalikan tubuhku, apa yang kau lakukan!” teriak Aisyah yang terjebak di sebuah boneka beruang, akhirnya aku bisa menikmati apa itu dunia.
“cukup diam dan nikmati hidupmu,” ucapku lagi dan semuanya menjadi gelap.
“TIDAK!” teriakku terbangun dan langsung memandang sekitar.
Syukurlah aku berada di kamarku dan semua hanya mimpi, aku bangkit dan memandang boneka yang berada di sampingku.
“selamat datang di dunia baru Tiara,” ucapku pada semuah boneka lalu mengelusnya pelan dan berjalan keluar kamar, tanpa sadar boneka itu menangis dan menjerit memanggilku.
“kau bukan Aisyah!,” teriak seseorang yang masih bisa kudengar tapi kuacuhkan dan menutup pintu kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top