Gagal, bukan akhir - Tri
Setiap orang memiliki masa lalu, entah itu baik, atau buruk. Suka, duka, dan cita, semuanya adalah kelompok, keluarga, yang akan selalu mendampingi hari-hari kita. Seburuk apapun hal yang pernah terjadi di masa lalu, ia akan tetap menjadi rangkain cerita dalam kehidupan yang wajib disyukuri dan dibanggakan.
Iya, kita harus bersyukur, karena berkat adanya masa lalu, kita bisa belajar banyak hal. Itu yang sering disebut sebagai pengalaman. Kita juga harus bangga kepada diri kita sendiri, karena telah mampu melewatinya, sekalipun berat. Ada suatu kutipam dalam film yang menyatakan bahwa, lebih baik kita menyesal karena pernah mencoba, daripada tidak mencobanya sama sekali.
Di bawah teriknya matahara siang, Alina berdiri, menatap portal bangunan yang sangat bersejarah, di kehidupannya. Diatasnya terdapat tulisan mengkilap berwana silver “Watpadesurd” itu nama sekolahnya. Sekolah yang menjadi pendidikan terakhirnya. Alina kembali mengedarkan pandangan keselilingnya, semua tampak sudah berubah dari dua tahun terakhirnya menginjakkan kaki disini.
Di dalam sana, Alina pernah menjerit, tertawa, dan menangis akan banyak hal. Memori itu perlahan berputar, membuatnya seakan tenggelam akan masa lalu yang memiliki banyak cerita.
Alina bersama kedua temannya sedang asik duduk di kursi koridor. Nika, dan Nila dan namanya. Kedua gadis yang memiliki bentuk tubuh identik itu, sudah berteman dengan Alina sejak awal mereka masuk sekolah ini. Iyap mereka kembar, identik.
“Aku kok tiba-tiba takut sama pengumumannya ya,” kata Alina tiba-tiba.
Nika, dan Nila langsung menatap temannya itu. “Tenang Lin, aku yakin kamu lolos,” jawab Nika sambil mengusap punggung temannya itu.
“Kalaupun memang kamu gak diterima jalur ini, kamu masih bisa coba jalur lainnya kok. Asal jangan sampai putus asa, dan mengambil jalan pintas,” lanjut Nila mengingatkan.
Alina langsung tersenyum dan merangkul kedua temannya itu. “Semoga kita semua bisa lolos di tempat yang sama ya,” kata Alina.
Mereka semua mulai memberanikan diri untuk melihat mading sekolah, dan memperhatikan setiap nama-nama siswa pendaftar yang lolos.
“Yes, aku keterima!” Heboh Nika saat mendapati namanya berada di urutan ke sebelas, di kolom jurusan Ilmu sosial.
Alina dan Nila, masih mencoba untuk mencari nama mereka masing-masing di jurusan yang mereka tuju. “Aku juga,” pekik Nila ketika mendapati namanya ada di kolom jurusan matematika.
Kedua gadis kembar itu langsung membantu Alina untuk menemukan namanya. “Gak ada, aku gagal,” kata Alina lirih. Gadis itu sudah berkali-kali mencoba mengatami dengan seksama daftar nama yang ada dihadapannya.
Ia hanya memilih dua jurusan, Kimia, dan Aktuaria. Namun dikedua jurusan itu, namanya tidak ada.
“Na, keselip mungkin, coba aku bantu cari lagi,” kata Nika menenangkan.
“Iya, jangan pesimis dulu,” lanjut Nila. Kedua gadis itu kembali mencoba mengamati satu persatu nama yang ada dihadapannya, bahkan sampai menggunakan jari. Agar tidak ada satupun yang terlewat, namun belum selesai dengan aktivitasnya, Alina sudah terlebih merangkul keduanya untuk beranjak dari sana.
“Udah ya, Nik, Nil, aku memang gak lolos. Memang namaku tidak ada disana,” kata Alina sambil mengajak temannya untuk menjauh dari mading. Nika dan Nila akhirnya mengikuti, keduanya tahu betul, temannya itu sedang merasa jatuh dan membutuhkan ketenangan terlebih dahulu.
***
Hampir dua bulan sudah, Alina mencoba berbagai macam cara yang ia miliki. Mengikuti semua jalur yang ada, mencoba untuk mendaftar di berbagai kampus, namun tak ada satupun yang membuahkan hasil. Tak ada satu haripun yang tidak ia lakukan untuk mengecek laman pengumuman kampus lain. berharap ada jalur lain, yang masih ia ikuti. Namun nihil, gadis itu benar-benar tidak lolos.
Hampir setiap malam, Alina menangis. Menangisi dirinya yang ternyata hanya bisa memberikan harapan kepada kedua orang tuanya, namun tidak dengan keberhasilan. Ia sudah gagal mewujudkan wishlist terakhir di usianya yang delapan belas tahun. “Lolos di kampus Negeri agar kedua orang tua bangga”. Kedua temannya sudah berusaha untuk membuat gadis itu kembali bangkit, dengan mencobanya dilain kesempatan. Namun Alina tetaplah Alina, gadis yang lemah jika sudah menyangkut dengan kedua orang tuanya.
“Na, ayo bangun dulu makan malam,” panggil Felicia, kakaknya, sambil mengetuk pintu kamar Alina beberapa kali.
“Duluan aja Kak,” sahut Alina dari dalam. Bukannya gadis itu tidak sopan, hanya saja, ia belum sanggup untuk bertatapan langsung dengan kedua orang tuanya. Ia pasti akan kembali menangis, walau hanya melihat wajahnya saja.
Felicia menghela nafasnya gusar. “Okei, jangan sampai lupa makan ya.”
Kakanya itu memilih untuk meninggalkan kamar Alina, dan kembali ke meja makan, bergabung bersama kedua orang tuanya.
“Gimana Kak?” Tanya Ule, Ayahnya.
Felicia menggeleng lemah, ia sendiri bingung kenapa bisa adik satu-satunya itu merasa sangat terjatuh. Padahal, kedua orangtuanya sama sekali tidak mempermasalahkan itu.
“Yaudah tidak apa-apa, mungkin masih butuh waktu untuk menenangkan diri.” Kata Ule, mencoba mengerti. “Oiya, Ayah tadi sudah memesan bunga kesukaan Alina, semoga dia mau mencoba untuk ikhlas,” lanjutnya.
“Bunga lily, Yah?” tanya Felicia penasaran.
Ayahnya mengangguk. “Iya, Ayah juga belikan untuk kamu, dan Ibu.” Jawabnya.
“Terimakasih Yah,” ungkap Felicia dan Ibu secara bersamaan.
***
Alina menatap kosong gelang ditangannya, gelang yang memiliki satu liontin kecil, yang didalamnya berisi fosil keong. Gelang itu adalah gelang persahabatannya dengan Nika dan Nila. Mereka membelinya sewaktu sekolah, mengadakan tour.
Gadis itu kembali mengingat, cita-cita awalnya bersama dengan teman-temannya untuk bisa lolos dikampus yang sama. Tinggal bersama disebuah kos, dan masih banyak rencana indah lainnya yang sudah mereka rancang sebelumnya. Memang, sering kali apa yang kita rencanakan berbanding terbalik dengan kenyataan. Tidak semua harap yang kita pinta, bisa terwujud.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top