Filosofi Pangkon - Diyah


Meski sudah dua hari berlalu, nyatanya ucapan Pak Abdullah saat beliau mengajar masih terasa di ingatan dan justru membuatku makin sering memikirkan hal itu.

“Day!”
Aku terlonjak kaget mendengar seruan Amey dan Devon yang serempak memanggilku. Sontak aku menatap garang pada mereka yang terbahak. Mereka ini-benar-benar usil sekali.

“Lagian ngapain juga lo akhir-akhir ini suka banget ngelamun?” komentar Amey sembari rebutan dengan Devon untuk menduduki kursi di sampingku.

Aku memilih untuk mengacuhkan pertanyaan Amey. Lebih baik mengedarkan pandanganku pada kesejukan taman belakang SMA Wattpadesurd yang semakin asri karena akhir–akhir ini sekolah kami memang sedang gencar melakukan peghijauan untuk meraih gelar Sekolah Adiwiyata. Tak hanya ada tumbuhan berwarna hijau, namun adanya berbagai bunga seperti bunga Lily, Mawar, Matahari, dan Anggrek pun turut meramaikannya.
Namun tidak bisa. Kedua manusia bebal di sampingku ini tetap berseteru, dan lagi-lagi waktu tentramku tergantikan dengan pertengkaran ala bocah mereka.

“Minggir, Von! Gue dulu yang ambil woi!”
Devon yang berhasil menduduki kursi itu tetap bergeming dengan tangan bersidekap. Mukanya seperti biasa, serius menatap ke depan, mengacuhkan Amey yang terus meneriaki dan mendesaknya minggir.

“Tapi gue yang dapet,” balas Devon dingin.
“Elu main curang! Minggir!”
“Nggak.”
“Gue bilang minggir!”
“Nggak.”

Aku hanya menghela napas lelah. Mereka memang suka sekali meributkan hal-hal kecil. Seperti halnya kursi kayu yang ada di sampingku ini yang memang hanya ada satu namun sanggup membuat keduanya bertengkar. Padahal bisa saja salah satu dari mereka mengalah dan meminjam kursi yang ada di seberang kami yang meja dan bangkunya sedang tak berpenghuni.
Namun mereka bukanlah tipe yang suka mengalah, sehinga aku yang memilih beranjak ke meja seberang, duduk di sana, dan membiarkan keduanya duduk bersebelahan.
Di tempat yang jauh dari suara berisik Amey dan Devon yang bukannya tenang namun terus berseteru, aku teringat kembali dengan kata-kata Pak Abdullah.

Saat itu, Pak Abdullah—pria berbadan pendek dan kurus berusia kepala lima itu mengajar mata pelajaran bahasa Jawa seperti biasa. Memasuki kelas dengan tampang teduh dan berwibawa, beliau mengajar dengan santun seperti halnya orang Jawa yang masih kental sifat kalem namun diimbangi dengan ketegasan. Tak hanya itu, meski parasnya keras, nyatanya beliau juga humoris. Sesekali juga memberi petuah untuk muda-mudi yang di ajarnya.

Seperti halnya saat itu, ketika di kelas bahasa daerah tengah membahas tentang salah satu tembang Macapat. Beliau membawakan pelajaran itu dengan ciri khasnya yang senang bercanda namun sarat ilmu. Dengan merdu beliau menembangkan Dhandanggula dengan apik dan merdu. Tak lupa menjelaskan arti tiap baitnya dengan luwes sehingga mudah dipahami.

Dan seperti guru bahasa pada umumnya yang senang berceloteh, Pak Abdullah pun begitu. Terkadang topik yang dibicarakan sedikit berubah haluan namun ketika beliau menceritakannya, aku tetap saja merasa tertarik.

Topiknya adalah salah satu tanda baca dalam Aksara Jawa yang bernama pangkon.
“Kalian tahu filosofi tanda baca pangkon?” tanya Pak Abdullah di sela-sela mengajar.

Aku tahu apa itu pangkon. Tanda baca itu memiliki sifat menghapus fungsi huruf vokal dalam suatu kata dalam huruf Aksara Jawa ‘Ha’ yang bila diberi tanda pangkon maka ia akan berubah menjadi ‘H’.

Namun, Pak Abdullah sedang menanyakan filosofi tanda baca itu. Aku yang tak tahu lantas menggeleng, begitu pun dengan yang lain. Namun lain halnya dengan seorang perempuan berhijab yang duduk di depan bangkuku. Dia mengangkat tangannya dan berkata dengan lantang, “Orang yang banyak dipuji pada akhirnya akan mati, Pak.”
Aku mengerutkan kening. Dipuji tapi malah mati? Apa maksudnya? Bukannya justru itu bagus? Daripada dihina bukankah lebih baik dipuji?
Hampir saja aku ingin mengangkat tangan karena hendak menanyakannya pada Pak Abdullah yang sepertinya juga sedang berpikir tentang jawaban perempuan itu. Namun bel pertanda pelajaran telah usai sudah berbunyi, membuatku harus bersabar hingga satu minggu lamanya karena Pak Abdullah memutuskan untuk melanjutkan pembelajaran di minggu depan.

Aku sebenarnya ingin bertanya pada perempuan itu, namun entah kenapa dia sulit sekali ditemui. Sepertinya dia memang tidak berada di jurusan yang sama denganku. Karena setelah aku ingat-ingat, dia tidak pernah terlihat di sekitar gedung anak kelas IPA.

Bila aku membahas dengan Amey dan Devon pun mereka takkan mengerti. Kami mengambil kelas tambahan yang berbeda. Amey dengan kelas bahasa Perancisnya, sedangkan Devon dengan kelas Astronominya dan lagipula kami juga berbeda suku. Dan hal itu membuatku makin bingung harus berbuat apa.

“Lo kenapa?”
Aku tercenung dengan suara berat yang tiba-tiba terdengar. Rupanya Devon sudah meninggalkan tempat duduknya dan kini duduk di hadapanku.

“Amey kemana?” tanyaku terheran-heran setelah menyadari bahwa sahabatku itu tidak terlihat bersama Devon yang selalu terlibat cekcok.

“Beli batagor, kalah main taruhan,” balas Devon singkat. “Lo kenapa?”
Kembali Devon mengulang pertanyaan yang sama. Mata tajamnya yang biasanya aku acuhkan, entah kenapa kini menguarkan aura intimidasi. Membuatku sedikit terpojok untuk memilih menceritakan atau tidak tentang apa yang sedang aku pikirkan saat ini. Karena selama ini, baik aku, Amey, dan Devon sepakat untuk saling terbuka dan membahas permasalahan satu sama lain.
Namun untuk kali ini, apakah aku bisa menanyakan perihal itu padanya? Apa dia akan mengerti?
Namun sepertinya aku tidak ada pilihan lain selain menceritakan hal itu padanya. Dari sorot matanya yang tajam membuatku mau tak mau bercerita.

“Aku lagi mikirin tentang filosofi pangkon,” kataku yang langsung dihadiahi kernyitan di dahinya.
Sudah kuduga dia akan begini. Mau tak mau aku pun menjelaskannya secara singkat mengenai apa itu pangkon. Dan berikutnya aku menceritakan pertanyaan Pak Abdulah saat pelajaran bahasa Jawa di kelas tambahanku termasuk jawaban perempuan itu yang menggangguku.

“Kenapa nggak lo samperin aja?” tanyanya enteng usai aku selesai bercerita.
Aku tersenyum paksa menanggapinya. Rasanya aku ingin membuat Devon jatuh dari atap gedung kelas IPA yang berlantai lima belas. Menurutnya memasuki gedung IPS itu semudah bolak-balik ke toilet?
Jalan portal yang berada di antara gedung IPA dan IPS begitu sulit dilalui jika tidak mempunyai urusan penting layaknya menghadiri kelas tambahan. Salah-salah nantinya akan terjebak dan menjadi fosil di dalamnya yang cerita mitosnya cukup terkenal di kalangan para siswa-siswi SMA Wattpadesurd.

“Kamu mau aku mati?” tanyaku datar, berusaha menahan emosi agar tidak mengacak rambutnya yang kurasa belum dipangkas. Devon terbahak mendengar balasanku. Dia pasti baru menyadari apa arti ucapanku barusan.

“Kalo gitu tunggu aja sampai minggu depan,” ujar Devon. “Atau lo tertarik lewat jalan pintas, Day?” tambahnya membuat sebelah alisku tertarik ke atas.

“Jalan pintas? Maksud kamu?”
Devon memasang seringai penuh arti. “Lo pasti bakalan kaget,” katanya makin membuatku tak mengerti. Dia ini sedang bicara apa, sih?
“Kalian ngomongin apa nih? Serius amat kelihatannya,” tanya Amey yang tiba-tiba muncul lalu duduk di sampingku sembari membawa bungkusan yang kurasa berisi beberapa bungkus batagor seperti yang diucapkan Devon tadi.

Aku dan Devon saling bertatapan. Aku tahu arti tatapan tajamnya itu. Dia menyuruhku untuk segera memberitahukan percakapan kami tadi. Aku menghela napas lelah. Seharusnya aku sadar bahwa setelah bercerita pada Devon pastilah nantinya Amey juga harus diceritakan. Seperti halnya aku menceritakan masalahku pada Devon, aku pun menceritakan hal serupa pada Amey.

Setelah aku selesai becerita, kening Amey berkerut curam, dia nampak memikirkan omonganku barusan dengan serius. Apakah dia mengerti?
“Aduh, gak ngerti gue, Day, itu yang kalian berdua bicarain tadi?”
Berbeda Devon memutar bola mata malas, aku menggetok kepala gadis itu karena semudah itu kembali menikmati batagor dan es tehnya tanpa mengomentari ceritaku tadi.
Amey mengaduh sembari mengusap kepalanya yang terkena pukulanku, “Pala gue woi!”
Aku menggeram kesal, “Kamu ngeselin, Mey. Beneran.”
“Hah? Baru nyadar?” kata Devon menyahuti. Aku makin tertekuk dibuatnya. Lah kenapa pula dia menyuruhku memberitahu Amey kalau pada akhirnya responnya juga hanya begitu.

“Ngaca. Lo juga kali, Von,” balas Amey tak mau kalah.
“Gue nggak tuh,” sahut Devon masih keras kepala.
Aku menatap keduanya bergantian yang saling melemparkan tatapan membunuh.
“Emang lo ngerti apa ceritanya Day tadi?”
“Ngert. Lo-nya aja yang belagak bego.”
“Sekate-kate itu mulut, gue beneran nggak ngerti!”
Devon berdecak, “Jalan rahasia di perpus di gedung kita, inget? Atau lo masih nggak ngerti juga?”

Sesaat kulihat ada perubahan emosi di wajah Amey, dia nampak teringat sesuatu. Arah pandangnya yang semula meradang kini beralih khawatir padaku.

“Kenapa, Mey? Kok kamu natap aku kayak gitu.” Lama-lama ditatap juga tidak nyaman. Sebenarnya apa maksud jalan rahasia yang tiba-tiba dibicarakan Devon hingga merubah Amey hampir menangis ini, sih?
“Lo mau ke gedung IPS, Day?” tanya Amey tiba-tiba.

“Hah?” Aku gelagapan menjawabnya. Mataku bergerak gelisah ke arah Devon yang mengacuhkanku dan malah fokus pada batagornya. Aku bingung ingin jujur atau tidak, karena kami sama-sama tahu resikonya jika ketahuan. Sudah banyak siswa-siswi yang terkena dampaknya, lalu bagaimana kalau kami juga ketahuan?

“Ng-nggak, Mey. Aku nggak mau ke sana kok,” jawabku berusaha menutupi keraguanku dengan senyuman. Yah, demi kebaikan kami, tidak mungkin aku masih nekat mencari tahu tentang filosofi pangkon. Lagipula minggu depan juga sebentar. Aku pasti bisa menahan rasa penasaranku ini.

Anehnya setelah aku menjawab seperti itu, Amey dan Devon mendadak saling bertatapan dan saling melempar senyum misterius. Kemudian serempak menoleh padaku yang menatap mereka ngeri.
Apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan?

Usai kami selesai menyantap batagor dan minuman masing-masing, baik aku, Amey dan Devon masih terdiam. Aku tidak tahu kenapa mereka jadi seperti itu. karena biasanya ada saja keduanya menemukan topik untuk saling mencela satu sama lain. Dan sekarang, mereka justru kompak untuk membawaku ke perpustakaan yang satu gedung jurusan kami.
Sesampainya di bagian terdalam sisi perpustakaan langkah kaki Amey dan Devon berhenti, membuatku melakukan hal yang serupa. Keduanya kemudian berbalik dan menatapku.

“Mungkin kita nggak bisa kasih jawaban yang memuaskan buat lo, Day. Tapi mungkin ini bisa membantu lo menemukan jawaban yang lo mau,” kata Amey sembari tersenyum singkat.

Selanjutnya Devon yang bersuara, “Di balik rak-rak buku ini, gue sama Amey nggak sengaja nemuin jalan ke perpustakaan gedung IPS.”
Mendengar pernyataan Devon barusan tentu membuatku terkejut. Aku tidak menyangka bahwa ada jalan lain selain melewati portal yang telah memakan banyak korban.

“Sebenarnya gue sama Devon juga nggak sengaja nemuin tempat ini dan masuk ke perpustakaan gedung IPS. Suasananya bener-bener beda, Da. Di sana lebih ramai daripada di sini. Pertengkaran gue sama Devon aja nggak ada apa-apanya.”

Devon mengangguk menyetujui ucapan Amey barusan. “Tenang aja, kita nggak bakal ketahuan.”

Meski Devon sudah berkata begitu, entah kenapa aku tetap merasa khawatir. Ini pertama kalinya buatku melanggar peraturan paling ekstrem di sekolah kami. Namun melihat keyakinan di mata kedua sahabatku itu. Tapi bagaimana jika kami tertangkap?

Perlahan aku mengikuti langkah mereka yang sudah memasuki sebuah pintu yang ada di balik rak-rak itu. Melewatinya beberapa langkah, kemudian suara riuh terdengar.
Mataku pun menangkap para siswa-siswi yang nampak asik bercengkrama di dalam perpustakaan. Benar apa kata Amey dan Devon, perpustakaan gedung IPS lebih ramai bila dibandingkan dengan perpustakaan gedung IPA. Mereka memang tidak seramai saat kuperhatikan samar-samar dari jendela perbatasan antar kantin, namun tetap saja keadaan seperti ini akan menguntungkanku untuk mencari perempuan berhijab itu.
Dan kali ini sepertinya keberuntungan memihakku, tak jauh dari tempatku berdiri, perempuan yang selama ini kucari-cari ternyata sedang berada di sekitar rak berisi buku-buku Sejarah dan membaca salah satu buku dari rak itu.

“Kalian lebih baik membaur aja, Aku sudah menemukan orang itu,” kataku pada Amey dan Devon yang langsung diangguki oleh keduanya.
Setelah itu aku pun menghampiri perempuan itu. Dia lumayan terkejut ketika aku datang dan menyapanya. Apakah dia menyadari bahwa aku adalah penyusup?

“E-eh, siapa ya?” tanyanya. Perhatian perempuan itu teralih sepenuhnya padaku.
“Hai. Kita satu kelas tambahan,” kataku yang membuatnya terkejut bukan main.
“Kelas bahasa Jawa?” Aku mengangguk sebagai jawaban. Dia tersenyum simpul lantas menutup dan meletakkan buku yang dibacanya tadi ke tempatnya semula. Sekarang perempuan itu bergerak ke arahku.
“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu hingga jauh-jauh datang kemari?” tanyanya membuatku menegang. Dia tersenyum lagi melihat keteganganku kemudian lanjut berkata, “Kita memang bersekolah di sekolah yang sama, seragam juga sama, namun badge kita tentu berbeda.”
Perkataannya membuatku kian panas dingin. Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan hal sepele itu? Kulirik badge bergambar bunga Lily yang ada di baju bagian lengan atas tangan kiriku. Bunga ini adalah lambang para siswa-siswi kelas sepuluh gedung IPA. Dan setelahnya, aku pun melirik badge perempuan itu yang bergambar bunga Edelweis yang merupakan lambang para siswa-siswi kelas sebelas gedung IPS.
Astaga! Dia seniorku?
“Ah maaf, Kak …,” kataku tergagap yang langsung dibalasnya.
“Husna. Tenang saja, aku tidak akan melaporkanmu.” Aku sedikit lega mendengarnya
Aku pun mengangguk kikuk, “Begini kak, aku ingin menanyakan tentang saat kelas kemarin. Saat kakak memberikan arti dari filosofi pangkon yang ditanyakan Pak Abdullah.”

Kak Husna mengangguk paham, “Maksud kamu, orang yang terlalu dipuji pada akhirnya akan mati?”
Aku membenarkan. Aku begitu ingin mengetahui apa maksudnya.
“Kamu tahu tentang fungsi tanda itu, ‘kan?” tanyanya yang langsung aku angguki.

Kak Husna tersenyum ramah, “Coba hubungkan dengan sifat manusia? Apa yang akan kamu temukan?”
“Terlalu banyak dipuji justru bisa menjatuhkan semangat dan mudah merasa puas?”
“Lebih tepatnya ketika mereka merasa unggul dari yang lain, maka sudah matilah semangat kerja keras mereka.”

Aku pun mendengar lebih banyak dari Kak Husna tentang maksud tanda pangkon itu lebih dalam.
Tentang keadaan di mana saat itu pulau Jawa sedang dijajah, juga bagaimana pihak Belanda berhasil memperdaya para raja saling menjatuhkan satu sama lain karena merasa lebih unggul dan ditinggikan atau dipangku oleh para penjajah. Sehingga pada akhirnya yang tertinggal hanya sebuah perumpamaan untuk dijadikan pembalajaran di masa depan.

Dari Kak Husna, aku mengerti arti dari sebuah tanda pangkon. Mungkin hanya tanda biasa di Aksara Jawa, namun nyatanya dia lebih dari itu. Dia mampu menghilangkan fungsi huruf vokal yang sejatinya ibarat semangat usaha manusia. Dan pada akhirnya si huruf itu hanya menjadi huruf, tanpa ada kehidupan.

“Dayu, ayo kita harus segera kabur! Cepat-cepat!”
Kami terperangkap. Pihak sekolah sudah terlanjur mengepung kami dari berbagai sisi. Tidak ada jalan pulang.

Dan di sana, dikejauhan. Kak Husna menyeringai puas melihat aku, Amey, dan Devon terkepung.

TAMAT.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top