7/18 "Rangkaian Puzzle"

Empat remaja yang duduk di bangku SMA memiliki rasa penasaran yang amat tak terhingga. Sering melakukan perjalanan, pengetahuan di luar nalar. Bergelut dengan satu dunia yang berbeda membawa nelangsa bagi semua.

Setelah jam pelajaran Seni sudah terlewatkan kami pergi ke kantin untuk membeli minuman.

Hari ini adalah hari yang paling menyebalkan. Aku sangat tidak suka dengan matematika yang membuatku mati-matian mengarangnya. Mungkin berbeda dengan salah satu temanku Ule.

"Cabut yuk, malas bertemu Pak Edi," Kataku, kepada teman-temanku.

Aku adalah seorang siswi yang tidak terlalu pandai dalam bidang akademik, tetapi aku pandai dalam non akademik. Aku salah satu pemain inti ekstrakulikuler basket putri di sekolahku yang banyak mengukir prestasi. Dipuja dan dibanggakan oleh banyak lelaki.

"Mau ke mana?" Tanya Ule sembari meneguk minumannya pelan.

Ule adalah tetanggaku, memiliki perawakan sedang dengan kacamata bulat yang membuatnya terlihat tampan sekaligus pintar. Aku akui dia memang pintar tetapi malasnya bukan kepalang, membuatku geram untuk meminjam otaknya untuk ujian sekolah nanti.

"Bagaimana kalau kita pergi ke hutan pinggir kota? Tempat itu bisa jadi basecamp kita, hutan itu tidak terjamah karena jarang ada yang melewatinya," kata Daffa sembari memakan gorengan yang disediakan di meja kantin. Terkadang aku iri kepadanya karena selalu ditraktir para penggemar setianya.

Ini adalah Daffa salah satu mostwanted di sekolahku dan dia juga kapten basket di sekolahku. Sama seperti basket putri, basket putra di sekolah ini pun tidak kalah dalam mengukir prestasi.

Pernah suatu waktu, bundanya Daffa datang ke sekolah untuk menyelesaikan masalah antara perempuan yang menerornya untuk menjadikan dia sebagai pacarnya. Sampai dia tidak bisa tidur dengan tenang karena dia selalu mengintai.

"Wah gila! Boleh lah, pusing aku di sini terus. Bisa-bisa meledak hancur lebur ini otak," Kata Jaka mulutnya penuh dengan makanan hingga terlempar ke segala penjuru.

Yang terakhir temanku Jaka sangat disayangkan karena dia tampan namun otaknya pas-pasan. Dia pandai berkelahi, baginya seminggu harus ada yang terkena pukulannya. Bahkan dia adalah ketua geng di sekolahku.

Sedikit cerita tentangnya, dia pernah hampir mati karena dibully saat sekolah menengah pertama. Dulu dia sangat culun dan pendiam. Hingga yang lainnya memandangnya sebagai orang yang pantas mendapat perlakuan bullying itu. Dia di tendang setiap harinya, dijadikan pesuruh ke kantin dan bahkan dia pernah didorong dari lantai 2 sekolah.

Setelah dia terlepas dari koma, dia bersumpah akan membalas dendam siapapun yang mengusik dia dan orang-orang tersayang di dekatnya.

"Bawa saja tas nya. Pak Edi kan jam pelajaran terakhir. Mau berapa puluh ton kopi pun tidak sanggup menahan kantuk saat jam pelajarannya," Lanjutnya sembari memutar bola matanya.

Memang benar cara belajarnya membuatku tidak paham sama sekali. Ah, atau aku yang terlalu bodoh?
Kami semua sepakat untuk ke hutan itu. Hutan itu sangat rindang. Sepi, seperti tidak berpenghuni hanya kicauan burung dan hembusan angin yang menemani.

Mereka sangat menikmati hari itu, namun terasa janggal saat ada suatu kotak tergeletak di bawah pohon besar di tengah-tengah hutan.

"Lihat kotak itu! Wah kita menemukan harta karun," Kata Jaka dia tergesa-gesa untuk menghampirinya sampai tidak melihat akar yang menjalar dari balik daun-daun yang jatuh.

Hutan yang sunyi terpecah keheningannya, kami tertawa terbahak bahak melihatnya.

"Sialan! Siapa yang berani taruh akar di sini!" Katanya, sembari mengusap tengkuknya yang sakit.

Lagi-lagi kami hanya tertawa melihat kelakuannya.

"Kamu saja yang tidak melihatnya, bukan salah akarnya," ujar Ule

Jaka hanya bersunggut kesal sembari menghentak-hentakkan kakinya.

Hingga akhirnya kami semua sudah berhadapan dengan kotak itu. Di dalamnya ada sebuah buku DIARY, buku yang tidak asing bagiku.

"Wah! Inikan punyaku. Lihat kan ada namaku, aku kira sudah hilang karena tidak aku temukan kemarin," Kataku sembari membuka halaman demi halaman yang mulai kotor terkena tanah

“Eh tunggu-tunggu.. ini apa? Sekarang tanggal berapa?" Lanjutku

"Gini nih kalau sekolah cabut terus! Tanggal aja sampai lupa,"ucap Jaka

"Sekarang tanggal 7 Zia," Kata Ule sembari melihat layar telepon genggamnya.

"tetapi di sini tanggal 14 dan ini cerita apa si? Masa isinya seperti ini? Terlebih lagi ini seperti kita," Kata Daffa

"Udahlah, tidak usah dipikirkan. Mungkin hanya tulisan orang iseng saja," kata Jaka

Aku hanya heran ketika selesai membacanya, alih-alih merasa ketakutan teman-temanku hanya menganggap itu hanya lelucon yang dibuat oleh orang iseng, terkecuali Daffa

Rasa penasaran mulai menyeruak dalam benak. Langkah demi langkah mulai meninggalkan bekas di atas tanah. Hingga di suatu sudut ada sebuah rumah tua yang mengundang ketertarikan.

"Lihat-lihat di dalam yuk!" Kata Jaka sembari melangkah gontai masuk ke dalam rumah.

"Hati-hati barang rumah orang jangan sampai ada yang rusak," Kataku, sembari melangkah mengikuti teman-temanku.

Lorong demi lorong ditelusuri, untuk ukuran rumah tua ini sangat terawat di dalamnya. Luas dan sederhana dengan derit kayu menyertai.

Aku suka sekali dengan LUKISAN, apalagi lukisan seorang wanita berbaju merah darah di hadapanku ini. Lukisan yang seperti memiliki jiwa.

Tidak luput pandanganku jatuh kepada BONEKA di sampingnya. Boneka anak kecil dengan rambut dikepang dua. Hanya saja aku melihat mata boneka itu bergerak mengikuti langkahku.
Hingga aku menemukan suatu ruangan yang terdapat anak kecil dan seseorang lelaki tua berbaju lusuh sedang bersenggama. Anak kecil itu diikat di tepian ranjang hingga tidak dapat memberontak, dia menatapku seolah mata itu menyiratkan kesedihan yang mendalam.

Dia hanya mengerang kesakitan dan meminta untuk berhenti melakukannya. Namun, lelaki tua itu malah menamparnya dengan keras untuk membuatnya bungkam.

Aku hanya dapat menutup mulutku tidak percaya atas apa yang aku lihat. Lelaki itu sangat menikmati apa yang dia lakukan.

Hingga aku berpaling untuk mengatakan kepada teman-temanku terdengar seperti barang jatuh.

"Sial! Aku tidak sengaja, sungguh," kata Jaka sembari memungut serpihan liontin merah muda itu.

"Harusnya kamu hati-hati Jaka," kata Ule

"Hei! Siapa di sana?!" Seru lelaki di ujung lorong yang sedang memakai celananya.

"Kabur, yuk! Biarkan saja. Yang penting kita selamat dulu, nanti aku mau cerita," Kataku sembari menarik lengan ketiga temanku.

Langkah kaki itu mulai terdengar mendekat hingga membuat napasku memompa cepat.

Ah sial! Dia melihat wajahku dan teman-teman. Lain kali aku akan datang dan meminta maaf atas tindakan temanku yang satu ini. Mata itu menyalak galak, siap menerkam kapan pun dia siap.

"Gila kamu, ya! Sudah datang tidak permisi merusak barang orang sesuka hati," Kata Daffa sembari menatap tajam Jaka

"Iya, maaf, deh. Aku kan tidak sengaja menjatuhkannya, coba kalau kamu pegang, panas sekali! Jadi aku terkejut dan jatuh. Aku tidak tahu kalau akan serapuh itu," Kata Jaka dia tertunduk lesu sembari mengatur napasnya yang tidak beraturan.

"Sudah kejadian, lain kali hati-hati," Kata Ule sembari menepuk pundak Jaka

Aku hanya mengangguk setuju, hingga akhirnya kami semua berjalan dengan normal menuju keluar dari hutan.

Matahari mulai tenggelam dalam cakrawala, langit sore selalu memikat siapapun yang melihat.Mereka saling melempar tawa bersama hingga memecahkan keheningan yang ada.

Tanpa sadar, seseorang sedang memperhatikan di balik pepohonan.

***

Setelah hari itu, mimpi buruk yang terus mengganggu tidurku.

Aku mencoba berbagai cara untuk bisa tidur; berolahraga sampai nyaris pingsan, belajar dan membaca buku—kegiatan yang selalu membuatku mengantuk dan langsung jatuh tertidur. Sialnya, semesta tak mengizinkanku mengistirahatkan tubuhku yang kelewat lelah ini barang satu menit saja.

Sorot mata hari itu terus muncul acap kali aku menutup mata. Tatapan kosong yang meminta tolong. Kepingan ingatan yang muncul dalam mimpiku itu adalah satu-satunya hal yang ingin kulupakan; saat lelaki tua itu menyetubuhi si gadis kecil tanpa belas kasih. Tidak, dia bahkan tidak pantas disebut manusia.

Manusia renta yang tega menyetubuhi gadis kecil? Kelainan seksual? PEDOFIL? Aku tidak bisa memaafkan tindakan lelaki tua itu. Yang membuatku semakin merasa buruk adalah rasa takut yang memaksa kedua tungkaiku untuk pergi menjauh hari itu; meninggalkan anak gadis itu sendiri dalam skenario paling buruk yang bisa kau bayangkan sebagai anak kecil.

Aku menggigit bibirku, lagi. Hal ini seakan menjadi kebiasaanku belakangan ini untuk mengurasi rasa bersalah yang terus menyiksaku.

“Eh, bibirmu berdarah!” Daffa menjerit panik. Lelaki itu segera mengambil posisi duduk di sisiku dan menarik kedua bahuku untuk menatapnya. Iris cokelatnya dipenuhi rasa cemas.

Seketika kesadaranku kembali. Aku membuka melepas gigitan di bibirku dan baru menyadari ada setitik darah yang jatuh ke rok seragamku. Aku menyentuh bibirku sendiri dengan panik. “Da-darah!”

“Ya ampun, kau ini!” Tangan Daffa bergerak cepat meraih tisu dari tasku dan mengelap sisa darah di bibirku. “Kau gila? Untuk apa kau gigit bibirmu sampai berdarah begitu?”

Tatap kami bertemu, dan entah mengapa bulir air itu malah jatuh menuruni pipiku.

“E-eh, mengapa malah menangis?!” Daffa malah semakin panik. Lelaki itu kembali mengambil tisu dan menghapus jejak air mataku.

“Zia! mengapa menangis?” Sekonyong-konyong Jaka muncul.

Dari balik tubuhnya, muncul Ule yang baru saja memasukkan ponselnya ke saku celana. “Heh, Daffa! Kamu apakan dia sampai menangis begini?”

Daffa langsung menggoyangkan tangannya panik. “Tidak, aku tidak melakukan apapun! Dia menangis sendiri!”

Jaka memosisikan tubuhnya di sisiku. Tatapan bukan main. “Kau mengapa menangis?”

“Ayo cerita, kami pasti dengarkan masalahmu, kok!” lanjut Daffa.

Ule ikut menatapku, seakan menuntutku bicara.

Aku terdiam. Memang, sejak hari itu aku tidak menceritakan apa yang kulihat pada teman-temanku. Aku memendamnya untuk diriku sendiri karena sisi pecundangku. Aku takut mereka akan memandangku buruk, tetapi sekarang aku tidak bisa menahannya lagi. Kutatap wajah ketiga lelaki itu satu persatu.

“Hari itu … aku melihat sesuatu yang mengerikan.”

Keheningan mendadak menyelimuti kami sampai Ule bersuara, “Kami tahu itu. Alasan kamu menarik kita pergi dari rumah itu kan karena kau bilang ada kamar berisi potongan tubuh binatang?”

Aku menggigit bibirku, tetapi sedetik kemudian langsung meringis karena rasa perih yang menjalar. Bodoh, memang. “Sebenarnya bukan itu.”
“Lalu apa?” Jaka terlihat tak sabar.

Menelan ludah tidak pernah terasa sesulit ini. Aku kembali menatap mereka. “Aku melihat seorang anak perempuan yang dicabuli lelaki tua.”

“APA?!”

Mereka semua menjerit. Berhasil menarik perhatian beberapa teman sekelas yang masih ada di kelas walau bel pulang sudah berbunyi lima belas menit yang lalu.

“Ke-mengapa kau tidak bilang kemarin?!”

“A-aku … takut.”

Setelah itu kembali hening. Daffa mengusap wajahnya frustrasi, Ule menghela napas sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa penat, dan Jaka mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

“Kalau begitu, ayo kita kembali ke rumah itu,” ujar Jaka mantap.

Daffa melotot. “Kau gila? Kau mau apa ke sana? Seharusnya kita laporkan ini ke polisi!”

“Tidak, aku setuju,” potong Ule. Semua mata langsung beralih pada si lelaki tambun itu. dia membenahi letak kacamatanya sebelum melanjutkan, “Di buku diary (aku) yang kita temukan kemarin tertulis kalau hanya kita yang bisa menolong anak gadis itu.”

“tetapi kita ini kan hanya anak SMA!” tolak Daffa tegas.

Aku mengepalkan tanganku kuat. “Tidak. Kita harus tetap menolongnya. Aku merasa berdosa karena tidak menolong anak itu saat itu,” ujarku, “kita juga nanti bisa hubungi polisi, ‘kan?”

Ule dan Jaka mengangguk setuju, sedangkan Daffa yang masih tidak setuju dengan usul Jaka hanya menghela napas kasar. Pada akhirnya lelaki itu tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula nuraninya menjerit ingin membantu.

Ya, akhirnya kami kembali ke rumah itu.

***

Kami benar-benar kembali ke rumah itu. Rumah tua tak terurus di tengah hutan yang terlihat mengerikan meski langit masih terang. Jaka yang memimpin di depan menolehkan kepalanya saat kami memijak pintu depan yang sudah reyot dimakan usia itu. Kami mengangguk yakin dan Jaka membuka pintu itu sepelan mungkin untuk menghindari risiko ketahuan oleh si pemilik rumah.

Tidak ada yang berubah dari rumah ini; debu di mana-mana dengan sarang laba-laba di langit-langit, barang antik dan ‘aneh’ di setiap sudut ruangan, serta bau tak sedap yang membuat kami refleks menutup hidung.

Ule menoleh lengan atasku dan bertanya tanpa suara, “Di mana?”

Telunjukku otomatis menunjuk salah satu pintu di sudut ruangan. Kami langsung melangkah pelan. Pintunya terbuka sedikit. Dari celahnya, kami bisa melihat seorang anak gadis yang terkapar di kasur dengan kedua tangan terikat di sisi kanan dan kiri kasur.

“Aku jaga di luar, kalian bawa anak itu!” bisik Daffa dan kami segera memasuki kamar itu.

Keadaan anak gadis itu mengenaskan; gaun putih lusuh membalut tubuhnya yang bagaikan kerangka berlapis kulit, benar-benar kurus. Wajahnya pucat dan rambutnya gimbal.

Ule langsung mengambil cutter dari sakunya dan memotong tali yang mengikat tangan gadis itu. Aku segera membantu Jaka yang menggendong gadis itu di punggung.

“Cepat!” bisik Daffa dari balik pintu.

Kami langsung bergegas keluar kamar. Daffa terlihat panik dan langsung mendorong kami keluar.

“Cepat lari!” seru Daffa tidak sabaran dan setelah kami semua berhasil keluar dari rumah itu, terdengar geraman dari dalam.

“Anak-anak sialan! Untuk apa kalian kembali lagi ke sini, hah!”

Jantungku berpacu cepat. Aku terus memaksa tungkaiku melaju secepat mungkin sambil menarik tangan Ule untuk terus berlari; setelah ini aku akan memaksanya untuk sedikit mengurangi bobot tubuhnya. Di antara rasa tegang itu, aku menoleh dan mendapati si lelaki tua yang baru saja muncul dari balik pintu dan menatap kami terkejut.

“Hei! Kembalikan anak itu!”

Hanya suara itu yang terdengar sebelum langkah kami semakin menjauh dan aku tidak bisa lagi melihat sosoknya.

***

Anak gadis itu hanya diam dan tak mau bicara, bahkan setelah kami sampai di rumah Jaka. Aku membantunya membersihkan tubuhnya yang kotor. Setelah berpakaian layak (kami membelikannya pakaian di perjalanan tadi), aku mengajaknya ke ruang tengah menemui ketiga temanku yang langsung menatap anak itu iba.

“Dek, namamu siapa?” tanya Daffa lembut. Ya, lelaki populer dengan sejuta pesonanya ini sedang mencoba membujuk anak gadis itu bicara. Di saat seperti ini masih sempatnya aku tertawa, untung saja Ule langsung menegurku.

Anak itu masih enggan bicara. Sudah pasti trauma yang dideritanya begitu parah sampai dia tidak sanggup bicara. Aku mengelus kepala anak itu lembut.

“Makan dulu, yuk! Kamu pasti lapar.”

Aku dan Jaka langsung mengantar anak itu ke ruang makan. Kami masih terus berusaha mengajaknya bicara, tetapi sepertinya anak itu masih enggan buka suara. Jaka yang mulai gemas, terus memaksanya untuk bicara, tetapi aku segera menahan lengannya dan menggelengkan kepala.

“Kamu habiskan makanannya dulu, ya. Kalau ada apa-apa nanti bisa panggil kami.”

Aku menarik Jaka untuk kembali ke ruang tengah sebab anak gadis itu masih belum menyentuh makanannya. Sepertinya tidak nyaman kami tatap dan terus ajak bicara begitu. Di ruang tengah, Ule dan Daffa langsung menatap kami penasaran.

“Anak itu sudah bicara?” tanya Daffa.

Aku menggeleng. “Sepertinya psikisnya terganggu. Kita sebaiknya membawa anak itu ke psikiater besok. tetapi, Jaka apa tidak apa dia ikut menginap di sini semalam?”

Jaka tersenyum. “Tidak apa, lagipula rumahmu juga masih direnovasi, kan? Orang tuaku juga kan sedang di luar kota, jadi dia bisa istirahat dengan tenang malam ini.”

Aku masih menatap Jaka tak enak, tetapi akhirnya menyerah juga karena tak bisa berbuat apa-apa.

“Kalau begitu, kami pamit, ya.”
Malam itu, aku tidak pernah menyangka kalau itu adalah kali terakhirnya aku melihat Jaka.

***
Kabar kematian Jaka terdengar esok hari. Sebab kematiannya karena serangan jantung.

Tentu saja aku tidak percaya. Jaka adalah satu-satunya manusia tersehat yang kami tau. dia biasa berkelahi hingga kehabisan napas, tetapi mengapanapasnya justru hilang hanya karena jantungnya yang berhenti sejenak. Bahkan Daffa saja sudah siap marah karena tidak menerima kenyataan ini.

Siang harinya kami mengantarkan Jaka keperistirahatan terakhir. Siang itu semua orang dibanjiri rasa sedih yang menguar di mana-mana hingga aku saja tidak tau sudah berapa kali aku menangis dan berapa tisu basah yang habis untuk menyusut ingus dan air mataku.

Semua ini ... terlalu menyakitkan.

Masih dengan rasa sedih menyelimuti, kami berkumpul di rumah Ule degan gadis kecil yang kamu bawa kabur itu duduk di meja makan dan kami duduk di ruang tengah. Kami bisa melihat bagaimana gadis itu ikut murung dan hanya menundukan kepalanya.

“Sekarang di akan tinggal di mana?” tanya Daff. “Aku tidak mau menampung gadis itu di rumahku.”

“Saat ini bukannya waktu yang tepat buat ngomong beginian kan?” tanya Ule sengit.

“Ku mohon kalian berhenti dulu. Aku muak harus terus emosi,” sergahku cepat.

Tanpa kami tau, gadis itu justru beringsut mendekat dan sudah berdiri di depan kami. Kami melirik gadis itu yang masih menunduk takut sambil memilih ujung bajunya. “Tolong jangan kembalikan aku ke dukun itu,” cicitnya kecil.

Aku membulatkan mati terkejut. Ini pertama kalinya gais itu berbicara.

“mengapa jangan?” tanya Daffa masih degan seluruh pesona lembutnya.

Gadis itu semakin menunduk dalam. “Lelaki itu dukun jahat. Dia suka menyentuhku dan semua boneka di rumahnya menyeramkan. Orang-orang aneh juga suka ke rumahnya dan membicarakan tenang santet. Ku mohon, jangan kembalikan aku ke sana.”

Aku menghembuskan napas lega lalu tersenyum kecil. Ule sudah ikut tersenyum dan berjalan mendekati gadis itu dan memegang tangannya lembut.

“Tidur di sini mau? Nanti aku belikan es krim,” ajak Ule penuh perhatian.

Gadis itu mengangkat wajahnya cepat kemudian tersenyum. “Mau!”

Aku melirik Daffa yang masih merengguk kesal, tetapiaku tau diapun lega Ule ingin membawanya.

Malam itu aku pamitan pulang bersama Daffa yang mengantakan aku hingga rumah. Gadis kecil itu bahkan mulai bisa tersenyum dan melambaikan tangannya ketika kami berjalan keluar rumah. tetapiDaffa masih terlihat gelisah begitu kami keluar dari rumah.

“Gadis itu, aneh.” Daffa menlirikku dari ketika mengemudi.

“Aneh bagaimana?” tanyaku heran.

“Kita semua tau Jaka tidak mungkin mati secepat itu. Pasti kematian Jaka berhubungan dengan gadis itu,” jelasnya.

Sebenarnya, aku tidak ingin percaya. tetapi keesokan harinya kabar kematian itu terdengar lagi. Nama Ule diumumkan di toa sekolah dan sekolah kembali lagi berbela sungkawa. Sungguh, aku sudah lelah untuk menghadapi ini semua dan Daffa kembali lagi dengan argumannya.

“Apa aku bilang! Gadis itu pasti membawa sesuatu di tubuhnya,” sergahnya cepat.

“Berhenti menjelak orang lain! Tubuhku terlalu lemas untuk berdebat denganmu. Aku baru bertemu dengan gadis itu dan gadis itu juga ikut terpukul,” kataku cepat. Badanku benar-benar terasa tidak bertenaga. Bahkan saat ini aku tnegah duduk seperti seonggok daging di dalam rumah Daffa. Seluruh tubuhku ngilu dan rasanya aku lelah sekali.

“Aish. Kita harus pergi ke rumah itu lagi. Kita harus mencari tau sesuatu,” ucap Daffa cepat.

“tetapi aku lelah–“

Daffa memotong ucapakanku cepat dan mengakut tubuhku bagai karung beras. dia membuka pintu mobilnya kasar dan menaruhku di kursi penumpang di seat depan. dia duduk di bangku pengemud dan selanjutnya mobil itu melaju ke pinggir kota, ke arah hutan. Aku tak tau mengapa, tetapi begitu kaki kami melangkah memasuki rumah itu, tubuhku baru kembali bertenaga lagi. Aku bahkan sudah bisa menguasi kakiku untuk berjalan lebih lincah.

Tanpa basa-basi, Daffa mendatangi dukun itu dan bertanya cepat. “Siapa gadis itu? dia sudah membunuh dua temanku.”

Aku sempat menahan lengannya agar tidak dulu berbicara, tetapi Daffa sudah bertanya dulu.

Dukun itu terlihat terkejut dan menatap kami tak percaya. “Apa? Sudah dua orang?”

Kali ini aku yang justu dibuat bingung. “Hah? Kau tau sesuatu?”

Dukun itu mencedak. “Gadis itu bukan gadis biasa. Dia itu tengah kerasukan iblis jahat dari boneka di rumahku.”

Aku tiba-tiba teringat dengan boneka yang matanya menatapku terus.

“Makannya aku melarang kalian untuk membawa gadis itu. Dia berbahaya. Dia memakan jiwa manusia agar bisa berkembang dan tinggal di dunia manusia. Aku menyegelnya dalam tubuh gadis itu agar tidak berkeliaran dan mudah dikendalikan dalam sosok manusia,” jelas lelaki paruh baya itu. dia kemudian terlihat ketakutan. “Dia sudah memakan 2. Dia sudah bertambah kuat.”

“Lalu kita harus apa?” tanyaku takut.

“Di mana gadis itu sekarang?” tanya dukun itu.

“Di rumahku. tetapi aku menyuruhnya untuk tidur di kamarku,” jawabku cepat.

“Kita harus pergi sekarang! Dia bisa saja memakan jiwa lainnya,” sergah Daffa.

Lalu kami kembali di rumahku. Namun tubuhku lemas seketika dan aku terjatuh di depan rumah.

“Kalian duluan! Dia di kamarku. Ku mohon. Kejar dia duluan,” mohonku dengan sangat.

“Kau baik-baik saja?” tanya Daffa terlihat khawatir.

Aku mengangguk. “Aku akan menyusul setelah tubuhku tidak terlalu lemas.”

“Kita harus cepat,” kata dukun itu.

“Daffa, cepatlah. Kita harus menyelesaikan ini,” mohonku.

Daffa tau-tau jongkok dan memunggungiku. “Cepat. Aku tidak bisa jika tanpamu,” sergahnya.

Aku tidak punya waktu untuk tersipu. Aku naik ke pundaknya dan Daffa berjalan ke kamarku dengan dukun itu di belakang kami.

“Kau siap?” tanya dukun itu meyakinkan dengan tangannya memegang kenop pintu.

Daffa terlihat mengagguk.

Lalu pintu itu terbuka dan menampilkan seorang gadis yang tengah tertidur di kasurku. Dukun itu mendekat dan membalikan tubuhnya, namun yang meyapa kami justru tubuh putih dengan bibir membiru.

Dukun itu membalikan tubuhnya degan mata membulat. Bahkan pada mata itu ada sebuah ketakutan mendalam. “Kita terlambat. Iblis itu sudah mempunyai tubuh baru.”

Daffa terkejut. “Apa maksudmu?”

“Dia berpindah tubuh. Dia bertemu siapa sebelum kamu meninggalkannya?”

“Dia tidak bertemu siapa-siapa seingatku –eh, tunggu.” Daffa ikut terkejut dan memutar kepalanya mentapku. “Dia hanya bertemu denganmu.”

Aku membalas tatapannya kemudian menyeringai puas. “Kamu terlambat untuk menyadarinya, sayang.” Lalu aku mengigit tengkuknya kuat. Daffa menjerit tetapi sayang, aku lebih cepat untuk meminum darahnya habis dan membuat Daffa jatuh lemas di atas lantai.

Lalu aku menatap dukun itu bengis. Aku tersenyum menyeringai. “Kamu tau apa yang akan terjadi padamu bukan?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top