6/18 "The Darkness"
Di sebuah kota yang sedang ramai dengan kasus pembunuh berantai, seorang laki-laki berjalan
keluar dari kelasnya. Laki-laki yang penampilannya dapat meraup perhatian sekitar. Secara postur
tubuh, dia adalah dambaan lawan jenis seusianya.
Pada interaksi sekolah biasa, kalian akan melihat seorang laki-laki tampan dengan senyuman
mempesona. Gayanya yang sangat unik, ditambah dengan sikap yang ramah, membuatnya memiliki
banyak penggemar. Bahkan, dia menjadi idola di sekolah. Tidak ada pujian berlalu dalam setiap
harinya.
“Daffa!”
“Kak Daffa!”
Ya, para perempuan memujinya. Ah iya, hampir terlupakan dia adalah paling jenius seangkatan.
“Daffa, kau bisa bantu mengajarkanku tentang aljabar? Aku kesulitan memahaminya,” pinta salah
satu teman perempuannya, yang biasa di sebut dengan nama Alya. Daffa tidak pernah menolak
permintaan selama dia mempunyai waktu.
“Tentu saja. Saat makan siang?” tanyanya. Sifat dan penampilannya bagaikan malaikat. Bahkan,
beberapa menyatakan dia adalah malaikat dari langit, yang tentu saja dia tidak pedulikan. Dia selalu
merendahkan hatinya, menyatakan dia hanyalah manusia biasa.
“Halo Malaikat, apa kabar?” tanya temannya kepada laki-laki itu. Daffa membalas dengan senyuman
seraya menggelengkan kepalanya.
“Jangan panggil aku Malaikat, aku hanyalah manusia dengan nama. Panggil aku Daffa,” ia kembali
terenyum. Dan senyuman itu akan meluluhkan perempuan di sekitarnya, menjadikan dia magnet
yang seharusnya membuat teman-teman laki-lakinya iri. Namun, mereka justru berteman
dengannya.
Dia yang dipuja. Dia yang sangat dibanggakan. Dia yang diperebutkan. Namun, dia selalu
menampilkan dirinya layaknya manusia biasa di sekitarnya.
“Siang Daffa, sepertinya kita ada tugas kelompok bertiga. Kira-kira kau mau mengerjakannya di
mana?” tanya Sherleen teman satu kelas Daffa.
“Ah, aku ada urusan keluarga. Sepertinya aku tidak bisa mengerjakannya hari ini,” ucap Daffa
dengan nada sedikit menyesal, namun pandangannya sibuk menatap ke arah ponsel. Angka 69
tampil di skor hasil permainan burung loncat yang sempat terkenal yang dia mainkan sebelumnya.
“Bagaimana kalau di tempatmu saja?” tanya Shakira, yang juga berdiri tepat di tengah-tengah tubuh
Sharleen dan Alif yang satu kelompok dengan lelaki itu. Daffa menampilkan senyum cerahnya seraya
berpikir sejenak. Sebelum menit berikutnya berlalu, dia menganggukkan kepala.
“Keluargaku akan senang ada yang berkunjung,” jawabnya dengan senyuman manis. Ketiga
temannya sedikit luluh melihat senyuman itu, dan memberikan sebuah anggukan. Siapa yang akan
menolak kesempatan untuk pergi ke rumah sang karismatik SMA mereka?
Perjalanan itu lumayan lama, sekitar 40 menit dari sekolah dengan sepeda motor mereka. Rumah
megah yang jauh lebih megah dari sekitarnya tentu membuat teman-temannya terkejut. Jangankan
rumahnya, tanah depan rumahnya yang berfungsi sebagai taman itu saja pasti lebih luas dari rumah
mereka. Beberapa pelayan tampak mondar-mandir mengurus rumah itu.
“Luar biasa,” ucap Sherleen saat memasuki rumah lelaki itu, yang penuh dengan lukisan-lukisan aneh
namun terlihat unik dan benda-benda antik di sekitarnya.
“Aku ambil itu sebagai pujian, ayah akan sangat berterima kasih mendengarnya,” ucapnya dengan
nada senang. Mereka bertiga pergi ke ruang tamu.
“Aku akan menemui ayahku dulu. Mungkin sedikit lama, Bisakah kalian kerjakan dulu tugas yang
sedikit kalian pahami?” Daffa memberitahu mereka seraya berjalan keluar dari ruang tamu menuju
kamarnya.
Teman-temannya hanya tersenyum.
Itu hanyalah apa yang bisa mereka lihat pada tingkatan dasar. Layaknya samudera yang dalam, laki-
laki remaja itu menyimpan sebuah kompleksitas yang sangat besar dibawah dari apa yang dia
tampilkan. Mereka hanya melihat mereka dari apa yang ada di mata mereka.
Manusia memang seperti itu, dan dia sangat tahu akan hal itu. Wajah cerah dan senyuman yang dia
tunjukkan kepada mereka sepanjang perjalanan dan percakapan mereka, sirna saat dia tiba di depan
pintu kamarnya.
Di balik kamar, dia melihat seorang pelayan perempuan, anak kecil sekitar umur 9 tahun bernama
Sabrina, yang memilki paras cantik yang sedikit pucat. Di kamar itu juga terdapat makanan dan
minuman untuk gadis itu. Hanya di ruangan Daffa, pelayan itu dapat terlihat, tidak di setiap sudut
ruangan rumahnya.
Wajah Sabrina yang terlihat sedikit pucat itu menjadi sebuah senyuman saat Daffa memasuki
ruangan. Lelaki itu mengambil pakaian di dalam lemari, lalu masuk ke kamar mandi yang terletak
dikamar dan segera mengganti pakaiannya.
Sedangkan Sabrina selalu menunggu di kamarnya, menanti perintah dari lelaki tampan itu.
“Sabrina, tolong beritahukan pelayan lain untuk makan siang tamu kita, dan juga makan siang kita,”
ucapnya kepada Sabrina.
Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dan menekan tombol yang ada di kamarnya, dua tombol
yang berbeda, sebanyak dua kali dan tiga kali masing-masingnya.
Dia keluar dari kamarnya, lalu pergi menemui teman-temannya yang sedang sibuk dengan tugas
mereka.
Langkahnya berhenti saat melihat kamar ayahnya. Dia tidak lupa, bahwa dia akan memberitahu
bahwa teman-temannya sedang berada dirumah.
TOK TOK TOK.
“Ayah, ada tiga teman perempuan berkunjung,” ucap Daffa.
Terdengar suara perempuan teriak kesakitan dari dalam, membuat Daffa mengerti apa yang sedang
ayahnya lakukan.
Sebelum suara itu berhenti, lelaki tua itu berteriak dan menjawab.
“Baiklah. Sampaikan salamku,” tanpa emosi.
Daffa mengangguk. Lalu meninggalkan kamar sekaligus menutup pintunya dan kembali ke ruang tamu.
“Daffa kembali,” ucap Alif yang tidak sengaja melihat Daffa yang sedang berjalan mendekat kearah
mereka.
Daffa hanya menyunggingkan sebuah senyum kecil.
“Maaf jika sedikit lama. Apakah ada yang tidak bisa kalian kerjakan?” tanya Daffa, yang dijawab
dengan anggukan. Mereka bertiga mengerjakan tugas itu hingga matahari nyaris mengakhiri
peredarannya untuk hari ini.
Saat mereka bertiga benar-benar selesai untuk tugas, mereka membuat rencana untuk melanjutkan
tugas besok hari.
“Jadi, kita akan bertemu lagi di sini besok kalau begitu,” ucap Shakira. Daffa hanya tersenyum dan
memberikan sebuah anggukan persetujuan. Mereka bertiga bersiap untuk pamit dan sang ayah
keluar tepat di saat itu. Mereka saling memperkenalkan diri secara sekilas, sebelum tiga perempuan
itu pamit pulang.
Saat tiga perempuan itu menghilang dari garis edarnya, Daffa menutup pintu rumahnya.
“Sampai besok.”
Sedangkan sang Ayah yang juga berdiri tepat dibelakang Daffa hanya tersenyum dan memberikan
sebuah boneka kecil kepadanya.
Daffa paham, lantas meraih boneka tersebut.
Memastikan bahwa boneka itu sudah sepenuhnya dipegang oleh Daffa, ia mengangguk lalu berbalik
sambil berjalan menjauh dari lelaki itu.
Tetapi sebelumnya, lelaki itu berdehem dan mengatakan. "Ayah tunggu jam 1 malam diruangan
persembahan, dan jangan lupa kau membawa Sabrina, suruh anak kecil itu berdandan agar terlihat
cantik."
Mereka bilang ruangan manusia adalah tempat rahasia dari mereka. Begitu pula kedua lelaki itu.
Tidak ada orang selain keluarganya yang bisa memasuki bagian dalam rumahnya. Tidak ada yang
tahu apa yang tidak dia perlihatkan kepada publik. Jika mereka berani mencari kebenaran,
menembus semua ilusi yang dia ciptakan, maka akan terlihat sesuatu yang mengerikan.
Setiap malam, ayahnya akan menampilkan diri di ruangan itu. Sang anak tahu apa maksud dari
kehadiran ayahnya. Dia patuh pada ayahnya, namun pada kala yang sama dia juga kehilangan
harapan, dan kebahagiaan.
Ayahnya memerintahkannya pada sebuah tindakan yang manusia biasa tidak bisa percayai:
menyetubuhi anak kecil. Anak kecil mana? Tidak lain dan tidak bukan adalah pelayan kamarnya,
Sabrina.
Benar. Dibalik penampilannya yang sangat karismatik, dia telah dibuat oleh sang ayah menjadi
seorang PEDOFILIA.
°°°°′°°°
Hentakan halus ujung sepatu terdengar, dengan pandangan yang lurus ke depan menatap sebuah
pintu kaca yang bertuliskan BOS ROOM, sesampainya di depan, tangan kekar lelaki itu menyentuh
knop pintu, lantas membukanya.
Diapun memasuki ruangan tersebut, dan mendatangi seseorang yang selama dua jam terakhir
menelfonnya berturut-turut untuk datang ke kantor, walaupun saat ini adalah harinya untuk libur
bekerja.
"Oh, Izat. Kau datang!" Ucapnya seraya menyuruh lelaki itu duduk tepat dihadapannya.
Izat berdecih, kesal karena hari liburnya diganggu setelah lelaki itu selesai menjalankan misi sehari
yang lalu, dan hari ini? Ia dipanggil kembali oleh lelaki keparat yang menyandang menjadi bosnya.
"Kau mau apa kopi? Teh? Atau-"
"Ck! Langsung saja! Kau ingin menyuruhku melakukan misi apa kali ini?"
Lelaki tua itu terkekeh, karena tahu bahwa lelaki di hadapannya ini kesal karena hari liburnya
diganggu kembali setelah selesai menjalankan misi, namun baginya ini situsi yang genting. Dimana
kota ini sedang dilanda ketakutan dari masyarakat akan halnya pembunuhan berantai dan kematian
misterius.
Lelaki itu melemparkan beberapa foto kearah Izat, dimana foto itu adalah foto-foto korban yang
terbunuh secara sadis dan kecelakaan yang tidak masuk akal. Dan hal yang sangat ganjil adalah
setiap korbannya mempunyai tanda salib terbalik yang dililit sebuah ular.
Izat tertawa, tidak percaya bahwa lelaki itu akan mendapatkan misi yang berbau dengan hal mistis
seperti ini.
"Kau bercanda? Ini sudah bukan tugasku San!"
San menggeleng, lelaki itu bangkit dari duduknya dan melangkah mendekat kearah Izat. "Ayolah,
hanya kau yang bisa memecahkan kasus ini, semua teman-temanmu tidak akan bisa sanggup bahkan
berhasil. Karena mereka tidak sejenius dirimu." Bujuk San.
Izat menggeleng," Tidak! Aku tidak ingin berkerja dengan hal aneh dan tidak nyata seperti ini, kau
terlalu percaya dengan tahayul! Bahkan masalah seperti ini kau besar-besarkan, Gila! Kau benar-
benar terhipnotis dengan hal aneh seperti ini."
"Zat, ayolah aku mohon, masalah ini semakin menyebar luas, membuat aku dan staff lainnya
bingung karena banyak laporan yang menjerumus ke pembunuhan aneh ini, dan yang anehnya
adalah semua korban wanita!" Bentak San membuat Izat bungkan dan menatap kearah foto-foto
tersebut.
Lagi? Menjalankan misi lagi? Cih! Mengapa pekerjaannya yang menyandang gengsi ini malah
menelusuri pekerjaan kampungan seperti ini.
Ya! Izat bekerja dan mengabdi menjadi agen CIA selama 4 tahun, saat ini umurnya menginjak 25
tahun, dan dia tahu dia termasuk sedikit muda untuk bekerja seperti ini.
Namun otak dan keahlian bertarungnya sangat dibutuhkan, maka dari itu San, salah satu bosnya
sangat percaya kepada lelaki itu.
Dengan perasaan kesal, dan malas lelaki itu menghela nafas lalu pandangannya jatuh kepada San
yang sudah menatapnya dengan penuh harapan.
"Aku harus mulai dari mana?"
Mendengar pertanyaan lelaki itu, San tersenyum lebar, lalu duduk kembli dan memberikan semua
intruksi dan memberitahu orang-orang yang sudah lama di curigai kepada Izat, membuat Izat
memasang wajah serius untuk mengingat semua intruksi lelaki tua itu.
********
Daffa terduduk dipinggir kasur, yang sebelahnya adalah Sabrina yang sudah memakai gaun berwarna
merah marun dengan wajah yang sudah dipolesi sedikit make up, sehingga gadis kecil itu terlihat
sedikit cantik dimatanya.
Sedangkan Sabrina, hanya terduduk lemas, karena dia tahu, jika ia sudah disuruh seperti ini ia akan
melakukan itu lagi, melakukan kegiatan orang dewasa bersama Daffa.
Sabrina tidak tahu ini sudah yang ke berapa kali melakukan semacam itu dengan Daffa sehingga
membuat gadis kecil itu bersikap biasa saja, namun jauh dari lubuk hatinya ia lelah, Sabrina lelah
dengan hidup seperti ini.
"Kau siap?" Tanyanya, membuat Sabrina mendongak kearah lelaki itu, Gadis itu tidak mengiyakan
melainkan hanya diam dan menghela nafas panjang.
Daffa yang melihat sorot wajah gadis itu hatinya bergejolak, bergejolak bahwa sebeneranya dia juga
tidak ingin melakukan hal semacam itu kepada Sabrina, namun jauh dari lubuk hatinya dari waktu ke
waktu lelaki itu menikmatinya, akibat sang Ayah selalu memaksanya untuk berhubungan dengan
Sabrina.
Daffa masih memiliki akal sehat seperti hal nya anak-anak normal lainnya, dengan semua apa yang
terjadi dirumah nya dan apa yang ia lakukan ini tidak wajar, tetapi rasa untuk melawan sang ayah, ia
tidak terlalu besar dan kuat, sehingga mau tidak mu ia harus melakukan itu.
Tangannya menyentuh kepala gadis kecil itu, mengelusnya lembut dengan rasa kasih sayang.
"Maafkan aku." Ucap Daffa lirih, namun terdengar oleh Sabrina.
Sabrina hanya tersenyum, lantas gadis itu berdiri dan meraih tangan lelaki itu dan menuntunnya
segera berjalan keluar dari kamar, perkataan maaf selalu terucap dari Daffa, setiap mereka akan
melakukan hal itu di hadapan sang ayah dan beberapa orang yang juga menganut ajaran terlarang
ini.
Setelah sampai di ruangan itu, sang Ayah dan penganut lain yang sudah menunggu mereka
ditempat, dengan jugah hitam yang masing-masing mereka pakai.
Sabrina dan Daffa berjalan diantara tengah-tengah mereka, lantas sesampainya mereka terduduk di
hadapan sebuah patung berbentuk seperti iblis yang biasa di juluki dengan sebutan iblis Asmedous,
iblis sang penguasa nafsu birahi.
Sedangkan yang lainnya yang sedang berdiri mengelilingi mereka berdua, berucap mantra-mantra
yang biasa mereka alunkan untuk persembahan ini, dan mantra itu bisa membuat jiwa Daffa terhipnotis untuk segera melakukan itu kepada Sabrina, sehingga Sabrina hanya terdiam menahan
tangis saat Daffa sudah menyentuh dan mendekatinya.
Keesokan paginya, di tempat berbeda dengan orang yang berbeda, Izat memikirkan hal-hal yang
diceritakan oleh San yang berhubungan dengan kasus seperti ini.
Ditambah baru saja ia di beritahu oleh staff kantor bahwa pembunuhan terjadi lagi yang korbannya
terdiri tiga siswi ternama di kota ini.
Yang mau tidak mau lelaki itu harus datang kesekolah ini dan mencari petunjuk agar tahu siapa
pelakunya.
Ia keluar dari mobil, lalu berjalan memasuki perkarangan sekolah dengan baju seperti halnya guru-
guru lainnya, dan mencari seseorang dengan ciri-ciri seperti San beritahu kemarin.
Saat pandangan nya hatuh kepada seseorang yang terduduk di depan kelas, sambil menulis sesuatu
di buku kecil berwarna hitam, yang biasa orang sebut dengan diary.
Menatapnya lekat dan memperhatikan penampilan lelaki itu secara detail, merasa benar dia adalah
orangnya, Izat menghampiri dan duduk tepat disebelahnya.
Daffa menoleh, menatap dingin lelaki itu sebari segera menutup buku diarinya.
Sedangkan Izat, hanya berdiam memperhatikan wajahnya secara seksama, lantas berdehem dan
tersenyum ramah.
"Aku guru baru di sini, tidak masalah bukan aku duduk disini?"
Daffa diam, lalu senyuman terukir ramah."Tidak masalah siapa namamu?"
"Izat, guru biologi, kau?"
"Daffa, aku kira hari ini pelajaran itu tidak akan di laksanakan, karena salah satu anaknya meninggal
dan juga teman-teman nya."
Mendengar penjelasan lelaki itu, membuat dirinya yang tidak percaya bahwa Daffa adalah
pelakunya, tiba-tiba berubah menjadi curiga akibat penjelasan nya.
"Kau tahu?"
"Semuanya sedang heboh atas kasus itu, bahkan akhir-akhir ini." Jelasnya
Sial dia benar, mengapa dirinya tidak berfikir seperti itu juga, bodoh! Namun tetap saha yang patut
dicurigai adalah dia, karena clue yang diberikan San menuju kearahnya.
"Apa yang kau tulis?" Tanya Izat
"Tidak ada, hanya menulis keseharian ku saja, yang sedikit membosankan. Aku rasa aku harus masuk
ke kelas, sampai jumpa di kelas."
Izat mengangguk, pandangan nya masih melihat kearah Daffa yang sudah berjalan jauh dari
tempatnya.
••••••••••
Akibat rentetan pertanyaan tadi siang selama disekolah karena kematian Sherleen, Alif dan Shakira
teman satu kelompok nya membuat kepala lelaki itu pening.
Daffa melentangkan tubuhnya diatas kasur menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
Daffa lelah, lelaki itu lelah dengan kehidupan seperti ini, ia ingin hidup normal.
Namun bagaimana? Nyalinya sedikit menciut bila sudah bertemu dengan ayah, tetapi mau sampai
kapan!
Dengan pikiran yang bercabang namun hati dan logikanya terus memberontak, lelaki itu
memejamkan kedua matanya sembari menghela nafas, untuk merilekskan tubuh yang bisa dibilang
sedikit sangat lelah hari ini.
Malamnya, Sabrina yang sudah terlihat cantik membangun kan Daffa yang tertidur pulas dari tadi
sore.
Saat tangan mungil itu menyentuh tangan Daffa dan sedikit mengelus-ngelus pelan, Daffa sedikit
terkejut sehingga membuat Sabrina ikut terkejut juga.
Melihat Sabrina yang membangunkannya Daffa merubah posisinya menjadi duduk, lalu berdiri dan
masuk ke kamar mandi untuk segera bersiap-siap melakukan persembahan dan ritual lagi.
Sesudahnya, Daffa sudah memakai kemeja hitam yang terlihat cocok saat ia kenakan begitu pun baju
dengan warna senada dengan Sabrina, membuat gadis itu juga terlihat cantik seperti sebelum-
sebelumnya.
"Sabrina?" Panggil Daffa, yang membuat langkah gadis itu berhenti tepat di pinggir pintu yang belum
ia buka.
Terlihat Sabrina sedang menunggu ucapan Daffa, lelaki itu menghela nafas panjang."Kau ingin tahu
mengakhiri ini semua bukan?" Tanyanya, membuat Sabrina diam seribu bahasa namun di lubuk
hatinya yang paling dalam ia sangat menginginkan itu.
"Bukankah itu tidak mungkin?" Ucapnya lalu pergi meninggalkan Daffa dikamar sendirian.
Saat mereka berdua sudah berada diruangan, kali ini mereka berdua tidak dihadapkan dengan
patung Asmedous namun melainkan Lucifer, Raja Iblis dari semua Iblis.
Dimana Ritual malam ini adalah mewajibkan membawa boneka yang sudah dipasang foto-foto
korban yang dipilih oleh mereka untuk dijadikan santet buat keuntungan masing-masing penganut
ajaran ini.
Dalam diam Daffa memperhatikan, semua penganut setia ajaran ini, dan menghitung nya dalam hati.
Saat lelaki itu sudah selesai menghitung, ada satu yang tidak datang, lelaki tua yang biasa ditugaskan
oleh ayahnya.
Tapi kali ini Daffa tidak peduli, yang ia pedulikan adalah, Daffa ingin mengakhiri semuanya,
mengakhiri semua kekonyolan yang dampaknya bagi Daffa tidak ada, tetapi membuat jiwanya
menjadi rusak.
Dengan Sabrina tepat berdiri di sebelahnya, dan Ayah membaca mantra diikuti oleh yang lainnya,
Daffa mengeluarkan sebuah pistol milik sang Ibunda, yang sudah terbunuh oleh ayahnya sendiri.
Daffa menyimpan nya untuk berjaga-jaga.
Sabrina yang melihat itu menggeleng tidak percaya bahwa Daffa menyimpan benda itu. Melihat
Daffa yang sudah mengarahkan pistol ke sang Ayah, Sabrina diam namun masih tidak percaya apa
yang akan dilakukan oleh lelaki itu.
Duar! Duar!
Suara itu terdengar tanpa henti sampai pada akhirnya semua orang disana dan juga ayahnya
terjatuh akibat tembakan yang dilakukan oleh Daffa.
Hanya mereka berdua yang berdiri tegak dan melihat mereka terlentang dengan darah yang
mengalir.
Daffa mendekat lelaki itu berniat untuk memastikan bahwa mereka benar-benar mati.
Saat Daffa sudah yakin mereka benar-benar mati, lelaki itu berbalik, dan mendapat pandangan
dimana Sabrina telah disekap sekaligus di todong dengan sebuah pistol oleh lelaki yang ia temui
disekolah.
Itu Izat, yang mengaku kepadanya kalau dia adalah guru biologi.
"Jadi kau pembunuhan berantai itu?"
Daffa diam, menatap Sabrina yang sudah ketakutan di dekapan Izat.
"Itu bukan urusanmu!" Tegasnya, membuat Izat tertawa.
"Jelas-jelas aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa kau memang pembunuhnya,
ditambah semua lambang aneh ini terpampang jelas diruangan."
"Bisa kau lepaskan dia," pintanya, namun membuat Izat menggeleng.
"Jelaskan apa alasanmu membunuh, dan aku akan melepaskan gadis kecil ini."
Daffa diam, lelaki itu berfikir keras, bukan bermaksud untuk melindungi antek-antek ayahnya, tetapi
memang Daffa tidak tahu apa tujuan lelaki itu membunuh seseorang yang pernah berkunjung
kerumahnya.
Bahkan Daffa pun tidak pernah tau apa yang diperintahkan ayahnya kepada lelaki tua itu.
"Aku tidak tahu menahu tentang pembunuhan itu,"
"BULLSHIT! Sekali kau berbohong lagi aku tidak segan untuk menembak kepal- AWW!" Izat meringis
kesakitan, saat tangannya mendapat gigitan kecil dari Sabrina lalu gadis itu lari kearah Daffa.
Melihat ada kesempatan itu Daffa lari sembari menarik tangan Sabrina untuk mengikuti nya, mereka
berkari keluar dari ruangan dan rumah itu menuju hutan yang dekat dari rumahnya.
"Kita akan pergi kemana?" Tanya Sabrina. Daffa diam tidak menjawab, namun terus fokus berlari
dan menghindar, dan memastikan gadis kecil ini aman sekaligus bisa kembali pulang.
Setelah berlari jauh dan yakin bila Izat tidak mengejar, mereka berhenti dan mengatur nafasnya.
"Pulanglah," ucap Daffa disela-sela lelaki itu menghirup udara.
Mendengar itu Sabrina diam, tidak percaya Daffa akan melepaskan dan membiarkan gadis itu
pulang.
"Pulanglah, dan jangan pernah kembali ke tempat ini." Membuat Sabrina tersenyum lebar dengan
mata berkaca-kaca, lantas memeluk erat lelaki itu.
"Terimakasih." Ucapnya lalu lari menjauh meninggalkan Daffa, lelaki itu tidak tahu tujuannya saat ini
akan kemana, karena rumahnya sudah tidak aman lagi akibat salah satu anggota CIA mengetahui
semua isi rumah tersebut.
Ditambah dia dikira pembunuh akibat kasus yang sedang ramai itu.
Dengan nafas memburu dan tubuh sedikit lemas, tiba-tiba saja lelaki itu muncul. Bahkan berhasil
menemukannya.
Disertai pistol yang sudah mengarah kepalanya, Daffa hanya diam dan pasrah.
"Aku akan menarik pelatuk ini jika kau masih tetap tidak memberitahu ku siapa pembunuhnya,"
Daffa yang sudah lelah dan lemas lelaki itu mau tidak mau hanya memberi tahu ciri-ciri orang yang
mendapatkan tugas untuk membunuh.
"Dia lelaki tua, sedikit gendut mempunyai bola mata berwarna coklat terang disertai rambut hitam
lenggam yang sekalu tertata rapi."
Mendengar tuturan Daffa, Izat diam, lelaki itu berfikir keras saat ia diberi tahu siapa pelakunya,
namun Izat menggeleng tidak percaya.
Tidak dan jelas tidak mungkin! Tidak mungkin kalau yang dimaksud adalah San
Tiba-tiba, sebuah pistol menyentuh kepala Izat dari samping, lelaki itu melirik yang membuat ia tidak
percaya.
Itu San, yang sudah tersenyum evil kearahnya.
"Kejutan!" Ucapnya bangga, membuat Izat mati kutu karena lelaki itu telah memblock nya dengan
pistol di kepala. Jika ia bergerak sedikit, Izat yakin San akan menarik pelatuknya bila gegabah.
"Ternyata, kau tidak sehebat yang aku pikir Izat, kau gampang terkecoh," ledeknya.
"Mungkin saat ini kau bertanya-tanya kenapa aku melakukan ini semua, karena aku senang bila
melihat wanita kesakitan terutama bila melihat darah segarnya."
Saat Izat bergerak dan menghindar, San langsung menarik pelatuk sehingga membuat darah
mengalir deras dari kepala lelaki itu.
Ya! San menembaknya, karena lelaki itu yakin bahwa Izat juga akan menyerangnya ditambah dia
akan menyelesaikan misi ini dengan mudah, yang membuat dirinya akan masuk kedalam penjara.
Pandangannya jatuh kepada Daffa yang tidak percaya bahwa San juga membunuhnya.
"Carilah tempat tinggal, aku tidak akan membantaimu juga," ucapnya lalu pergi meninggalkan Daffa
seorang diri di hutan yang masih mematung dengan apa yang ia lihat tadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top