2/18 "Pandora"
“Wanita jalang!”
Umpatan terakhir yang diucapkan seorang laki-laki dengan pisau kecil yang menusuk lehernya. Darah mengucur perlahan dan melumpuhkan tubuh laki-laki itu sampai akhirnya ia terbaring kaku karena nyawanya sudah tak tertolong lagi. Sedangkan wanita yang berdiri disamping tubuh tak bernyawa itu segera membersihkan segala sesuatu yang bisa menjadi bukti petunjuk pelaku dari kejadian pembunuhan yang barusan terjadi. Butuh beberapa puluh menit hingga semuanya bersih, dan kemudian wanita itu meninggalkan mayat yang terbaring tanpa merasa bersalah sama sekali. Sambil berjalan keluar dari rumah besar tempat ia berpijak saat ini, ia mengambil ponsel dari sakunya, mencari sebuah kontak yang hendak ia telepon untuk melaporkan hasil pekerjaannya.
“Halo? Aku berhasil mendapatkannya. Segera siapkan uang yang telah kau janjikan karena besok pagi aku akan datang untuk menyerahkan barang yang kau inginkan.”
Panggilan ditutup, wanita itu mengendap keluar agar ia tidak tertangkap meski seluruh kamera pengawas telah berhasil ia matikan sebelumnya. Tak butuh waktu lama untuk keluar, ia segera pergi menjauh dan mencari taxi untuk pergi.
Namanya Alya, seorang wanita berumur 26 tahun yang sudah bekerja lama sebagai pembunuh bayaran. Ia berasal dari daerah peperangan di luar negeri dan diasuh oleh salah satu orang kaya raya, kemudian dibawa ke Indonesia untuk dilatih sebagai anjing pembunuh. Alya tidak takut dengan tubuh yang berdarah-darah, karena sejak kecil ia sudah tumbuh dengan kondisi perang dan banyak melihat mayat-mayat prajurit yang mati disana. Tak ada rasa belas kasihan yang Alya punya, yang ditanamkan sejak kecil dalam pikirannya adalah bagaimana ia bisa melaksanakan tugas sebagai seorang pembunuh dengan apik dan berguna bagi orang tua asuhnya itu. Teman yang ia punya hanyalah alat-alat yang biasa ia gunakan untuk membunuh seseorang. Alya memiliki hati sebagai manusia, namun tidak dengan perasaan.
***
Pagi ini langit tidak begitu cerah. Alya sedang menghadap klien yang ia layani dan memberikan sesuatu dari hasil keberhasilan misinya kemarin. Orang itu terlihat sangat puas atas hasil kerja yang Alya lakukan kemarin, lalu memberikan alias sebuah koper yang sudah ia isi uang begitu banyak sesuai apa yang telah dijanjikan dalam pembayaran tugas Alya hari ini.
“Kau bisa hitung dulu uangnya jika kau tidak percaya,” ujar lelaki di hadapan Alya.
Alya menggeleng. “Tidak perlu, aku percaya padamu. Lagipula jika kau menipuku, kau akan mendapatkan balasannya. Baiklah, pak. Aku pergi, bukan cuma kau yang harus aku layani.”
Alya pergi dengan membawa koper berisi uang yang kini menjadi miliknya dan masuk ke dalam mobil. Tak berapa lama ia menyetir untuk pulang ke rumah, hujan turun deras. Alya tak pernah menyukai hujan, karena baginya hujan hanya penghambat pekerjaan. Dan sekarang Alya merasa lapar, akhhirnya ia memutuskan untuk berhenti di sebuah restoran cepat saji. Selain bisa mengisi perutnya ynag sudah keroncongan, Alya bisa berteduh menunggu hujan berhenti. Saat ia sedang melahap burger yang telah ia pesan sejak sepuluh menit yang lalu, ponselnya bordering. Nama ayah terpampang di layar.
“Halo, Ayah?”
“Alya, dimana kamu sekarang?”
“Sedang makan burger sambil menunggu hujan berhenti. Aku sudah kembali dari rumah orang tua itu dan membawa bayaranku.”
“Bagus,” suara ayah terdengar senang disana. “Cepatlah ke rumah, kita akan makan malam bersama dengan teman ayah. Kamu harus ikut.”
“Baiklah. Sekarang jam sebelas siang, mungkin aku akan sampai sore. Sekitar jam tiga.”
“Belilah gaun yang cantik di perjalanan untuk dipakai nanti.”
Alya sedikit bingung. “Gaun? Untuk apa—“
Namun belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, panggilan sudah ditutup. Alya segera menyelesaikan makanannya, dan hujan berhenti tak lama setelah itu. Ia harus bergegas membeli gaun yang telah diperintahkan dan kembali ke rumah, karena jarak rumah dari lokasinya saat ini sangat jauh dan ia harus sampai sebelum acara makan malam yang sepertinya penting itu dimulai.
***
Alya memiliki paras yang begitu cantik dengan kulit putih dan tubuh yang ramping. Mengingat Alya bukan keturunan asli warga Asia, Alya terlihat lebih daripada wanita seumuran lainnya disini yang kebanyakan sudah menikah. Bahkan Alya terlihat masih seperti gadis umur 19 tahun. Alya pandai berias, dan itulah taktik yang ia gunakan saat menghampiri target dalam misinya, mengubah wajahnya dengan riasan sampai berbeda dengan wajah aslinya walau tetap sama-sama cantik. Tujuannya? Tentu agar identitasnya bisa dipalsukan. Alya sudah merasa cukup dengan kegiatan kotor yang sudah ia jalani sejak masih remaja itu.
Saat ini Alya sudah mengenakan gaun pendek berwarna hitam, tak lupa dengan riasan agar penampilannya terlihat begitu menawan. Ia terlihat begitu cantik sampai seluruh orang yang ada dalam meja makan malam ini tak bisa melepaskan pandangan darinya. Alya tidak peduli, ia sebenarnya ingin segera istirahat karena merasa sangat lelah akibat misi yang ia jalankan kemarin. Lalu di tengah-tengah acara makan malam, ayah Alya memulai pembicaraan utama.
“Selamat malam semuanya. Saya Lexiano akan memulai pembicaraan utama mengapa kita semua dikumpulkan hari ini.”
Semua orang tertuju pada Lexiano begitu pula Alya, memperhatikan ayahnya.
“Kalian tahu, saya memiliki putri yang sangat cantik dan berharga bagi saya. Mungkin kalian tahu kalau Alya bukanlah putri kandung saya, namun ia adalah satu-satunya pewaris semua kekayaan yang saya miliki saat ini.”
Kali ini, semua orang melihat Alya. Alya tersenyum menyapa semuanya.
“Pemuda-pemuda tampan disini sekalian, kalian semua juga pewaris harta ayah-ayah kalian yang merupakan rekanku. Alya sudah berumur 26 tahun dan ia perlu mempunyai suami. Kalian semua juga sebaya dengan Alya, maka dengan ini saya akan membolehkan kalian untuk mendekati Alya, dan mendapatkan hatinya agar kemudian kalian bisa menikah.
Semua tamu membulatkan bibirnya dan tertarik atas pernyataan ayah Alya. Tetapi wanita yang dijadikan pembicaraan itu nampaknya tidak senang.
“Ayah, apa maksudnya ini?” Alya berdiri dengan raut wajah yang muram.
“Kamu harus menikah, Alya. Jangan kecewakan ayah.”
“Tapi—“
“Alya!” Nada bicara ayah meninggi, Alisa hanya bisa kembali duduk dengan perasaan sebal.
Kemudian makan malam selesai, namun acara masih berlangsung. Lexiano berbincang dengan rekan-rekan bisnisnya, sedangkan Alya sedari tadi banyak didekati pria-pria yang sedang berusaha mendapakan hatinya. Alya menanggapinya sebaik mungkin, tak mau membuat keributan. Namun pada akhirnya Alya jenuh juga, dan ia permisi untuk pergi ke kamar kecil yang sebenarnya hanyalah alibi untuk menghindar.
Alya pergi ke salah satu balkon di lorong ruangan. Ia membawa segelas wine, untuk menenangkan dirinya dari kemauan Lexiano yang menyebalkan itu. Ia melihat pemandangan di luar dalam bisu. Namun ternyata memang Alya tidak diperkenankan untuk tenang hari ini.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Seorang pemuda menghampirinya, tetapi Alya merasa tidak melihatnya dalam suasana saat ia di kelilingi beberapa pemuda yang mendekatinya tadi. Wajah baru, namun ia tetap tak suka.
“Di dalam terlalu ramai. Aku hanya ingin menghirup udara segar.”
“Kau sudah menghilang selama sepuluh menit, jika tidak kembali dalam waktu sepuluh menit lagi mungkin seisi ruangan akan mencarimu. Dan kau akan dimarahi ayahmu.”
Alya ingin mendecak, namun ia urungkan karena harus menjaga nama baik.
“Aku akan kembali ke dalam segera. Kau bisa duluan.”
“Baiklah, selamat menikmati kesendririanmu, Ar…”
“Alya,” Ia sedikit terkejut karena pemuda itu tak mengetahui namanya.
“Oh, iya. Alya. Dah.”
“Hei! Siapa namamu?”
“Izzat. Oh, Arisa. Jangan terlalu percaya diri, aku tak menginginkanmu. Justru aku paling benci dengan orang sepertimu.”
Alya tersentak, Izzat pergi meninggalkan Alya tanpa merasa bersalah.
“Namaku Alya. Sialan!”
***
Alya terbangun setelah alarm berbunyi untuk kesekian kalinya. Ia melihat jam yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sepuluh pagi. Alya terlalu lelah semalam sampai tidak bisamelakukan kegiatan favoritnya, menulis semua yang terjadi saat ia menjalankan misi di buku diary miliknya. Alya terperanjat, segera bersiap karena tiga jam lagi ia harus segera terbang ke Surabaya. Bukan, bukan ada pekerjaan. Ia hanya ingin liburan dan sudah mengosongkan jadwalnya selama seminggu, dan tentunya sudah mendapat ijin dari orang tuanya. Alya bergegas, kemudian pergi ke bandara dan terbang menuju Surabaya.
Setelah selesai dari perjalanan, Alya langsung menjelajahi seisi kota. Pergi mencari makanan-makanan khas. Pergi ke tempat wisata, menghabiskan hari untuk bersenang-senang. Setelah matahari terbenam, ia segera mencari hotel tempat untuk ia menginap di kota yang tak ia kenal ini. Alya mendapatkan kamar hotelnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Alya segera bersiap untuk membersihkan diri. Namun belum selesai ia membuka pakaiannya, ponsel Alya berdering. Tetapi panggilan itu berasal dari nomor tak dikenal.
“Halo, Alya.”
Alya terkejut, suara yang terdengar menggunakan penyamaran suara robot. Ia tak pernah mendapatkan hal seperti ini sebelumnya.
“Siapa kau?”
Orang di balik telepon itu hanya tertawa kencang, bukan sesuatu yang lucu tentunya. Terdengar menyeramkan.
“Alya, jangan naif. Kamu terlalu sering bermain-main. Kali ini, aku akan memberikanmu permainan yang sesungguhnya. Taka da penolakan untuk ingin terlibat atau tidak.”
“Apa maksudmu?” Alya menaikkan alisnya.
“Carikan aku Pandora. Temukan dan kau akan mendapatkan bayaran tak terduga. Tak bisa kau lakukan, maka penderitaan akan mengikutimu. Waktumu hanya lima hari. Dan di hari ke lima kau gagal, kau akan mati.”
“Jangan main-main denganku!”
“Kau suka bermain-main, kan? Dimulai dengan besok jam sembilan pagi kau datang ke alun-alun. Akan datang petunjuk yang menuntunmu untuk menemukan apa yang kucari. Ini bukan ancaman, ini sebuah misi untukmu. Semoga berhasil.”
Panggilan selesai. Alya diselimuti kebingungan. Namun Alya tak peduli, ia ingin segera membersihkan tubuhnya dan istirahat.
***
Bel tanda kebakaran berbunyi kencang membangunkan Alya dan tentunya seisi pelanggan hotel yang Alya sedang tempati. Alya terkejut, segera ia membereskan kopernya dan pergi keluar hotel sesuai intruksi petugas. Untungnya koper Alya belum dibongkar sepenuhnya, jadi hanya memakan waktu sekitar lima menit saja dan Alya segera keluar dari kamar. Alya memilih keluar dengan jalan yang ia cari sendiri, karena petugas hotel begitu lambat. Alya berhasil keluarlewat jendela bagisan belakang hotel dan segera menuju ke depan lobi utama hotel itu. Sudah ada pemadam kebakaran, karena terlihat ada api yang melahap hotel di lantai-lantai bawah. Namun ada hal yang lebih mengejutkan Alya. Terdapat tulisan besar menggunakan pilok berwarna merah yang tertulis di tembok hotel.
‘Jam 9, alun-alun. Jangan terlewat.’
Alya tercekat, tiba-tiba kepalanya pusing bukan main. Alya mengerti, kini ada teror untuk dirinya. Teror yang hars ia selesaikan sendiri.
Ini permainan yang bukan main-main.
Alya langsung bergegas, mencari kendaraan umum yang menuju alun-alun, tak mempedulikanhotel tempat ia tertidur semalaman tadi. Tak peduli apakah ada atau tidak ada korban berjatuhan akibat kebakaran itu. Bukan urusannya, hanya itu yang bisa menjawab ketidakpdulian yang Alya punya.
***
Alya sampai ke alun-alun jam sembilan kurang dua puluh menit. Ia menengok ke sekelilingnnya, tak ada apa-apa. Ia tak mengerti, petunjuk apa yang harus ia dapatkan di tempat ini. Ponselnya bordering, nomor tak dikenal itu menghubunginya lagi.
“Apa harus kebakaran yang membangunkanmu, cantik?”
“Siapa kau sebenarnya?”
Orang dibalik telepon itu tertawa lagi. Alya semakin geram dengan perbuatannya.
“Aku? Kau seharusnya tau siapa aku. Anggap saja permainan ini sebagai media untuk menebus dosa-dosa yang kau lakukan selama ini. Ah, bagimu menghilangkan nyawa manusia bukanlah sebuah dosa. Melainkan kesenangan, bukan?”
“Kau keluarga targetku? Jangan jadi pengecut. Hadapi aku sendiri dan jangan libatkan orang-orang. Lagipula bukannya hal itu akan merugikanmu?”
“Sejak kapan kau peduli. Wanita jalang sepertimu tahu apa soal belas kasihan? Sekali pendosa, tetaplah pendosa. Jangan terus membuatku tertawa. Hei, jangan berani kau katakana hal ini pada ayahmu atau ia akan mati mendahuluimu. Baiklah, selamat bersenang-senang.”
Telepon dimatikan, Alya semakin dilanda kebingungan. Lelucon macam apa ini, liburannya menjadi kacau. Ia tahu ini seriu, ia tak mau mengorbankan ayahnya.
Alya harus melewati hal ini sendiri.
Lalu tak lama, terdengar sebuah tembakan yang mengarah ke seseorang. Semuanya terkejut dan banyak yang berteriak histeris. Lalu ada orang yang menabrak Alya, tapi Alya tak mempedulikannya.
“Inikah petunjuk yang dimaksud?” Tanya Alya kebingungan.
“Hei! Wanita itu pelakunya!”
Alya terkejut karena orang yang berteriak barusan menunjuk kea rah dirinya. Ia melihat sekeliling. Dan, sialnya, Ada pistol yang terjatuh tepat di kaki kanannya. Ternyata orang yang menabrak tadi sengaja menempatkan Alya dalam masalah.
Alya mengambil pistol yang ada di kakinya itu. Ia menembak ke atas dan sejurus kemudian semua orang yang ada disana menjauh darinya. Adayang berteriak histeris lagi sampai menangis, Alya memanfaatkan situasi untuk kabur berlari. Ia meninggalkan kopernya. Untung saja ia membawa tas kecil yang berisi semua benda penting, jadi Alya tak perlu khawatir meninggalkan kopernnya yang hanya berisi pakaian. Ada lelaki-lelaki besar yang ikut mengejarnya. Alya terus berlari dan menindar ke arah gang-gang kecil. Namun sayangnya yang ia temui hanyalah jalan buntu.
Alya membuang napas. Ia memasukkan pistol itu ke tas kecilnya dan bersiap menghadap 4 orang lelaki bertubuh besar yang sudah terlihat emosi dengan tuduhan yang dijatuhkan pada Alya. Dan sesaat kemudian mereka menghampiri Alya, Alya pun melawannya.
Orang pertama berhasil Alya lawan dengan mematahkan tangan dan kakinya, orang kedua Alya lumpuhkan dengan membenturkan kepala lelaki itu ke tembok bangunan dengan kuat lalu tubuhnya dilemparkan ke orang ketiga. Dilanjutkan dengan membunuh orang ketiga dengan meusuk matanya dengan jepitan yang tadinya menjepit rambut indah milik Alya itu. Orang keempat sudah bergetar melihat kemampuan bertarung Alya dan ketidaktakutan ia membunuh manusia. Alya pun dengan mudah melumpuhkan pergerakannya. Alya pun pergi lagi melarikan diri.
***
Alya mendapati pesan dari ayahnya mengenai keributan di televisi atas kejadian terror di Surabaya. Berdasarkan ciri-ciri pelaku yang telah disebar di media massa, ayah Alya dapat mengenali maksud dari orang yang dielu-elukan di berita acara adalah Alya. Orang tua siapa yang tidak cemas ketika ada masalah besar yang
“Alya, jelaskan ada apa?!”
“Alya akan jelaskan nanti, ayah. Yang jelas Alya tertuduh, Alya akan membereskan semuanya.”
Panggilan yang amat sangat singkat antara seorang ayah dan putrinya yang sedang beradadalam masalah yang begitu besar. Alya tidak tahu mau berbuat apa. Untungnya sebelum identitas tuduhan pelaku tersebar, Alya sempat membeli beberapa baju ganti. Jadi Alya tak perlu begitu khawatir mengenai identitasnya. Ia juga membeli beberapa alat riasan pengganti yang tertinggal di kopernya. Dan saat ini Alya tengah menggunakan wajah palsu hasil karya dari kemampuan berias Alya yang luar biasa. Saat ini Alya sedang bersantai. Sebnarnya tidak benar-benar bersantai dalam artian kata yang sebenarnya. Ia hanya berusaha menarik napas sejenak dari hal-hal yang tejadi sekitar tiga jam yang lalu.
Di tengah panas terik matahari dan riu-riuh warga negara ini yang menganggap sedang ada teroris yang mengancam kedaulatan negara, Alya mendapatkan panggilan dari orang—bajingan sialan—yang sudah Alya tunggu sedari tadi.
“Permainan sudah dimulai. Kau yang jadi penjahatnya.”
“Kau gila. Katakan dengan jelas apa yang kau mau, bajingan!”
“Jangan berbicara kasar seperti itu, sayang. Kapan lagi kau diincar oleh ribuan manusia yang ingin membunuhmu atas kesalahan yang tidak kau buat itu? Santai saja, kau akan menikmatinya ketika kau menurutiku, menuruti semua petunjuk yang akan mengarahkanmu pada sebuah jawaban.”
“Pengecut sepertimu memang hanya bisa berbasa-basi.”
Orang itu tertawa lagi. Alya hanya bisa berdecak karena permainan bahkan baru dimulai.
“Pandora, sebuah kotak yang terukir dengan indah, menawan namun yang berada di dalamnya adalah segala keburukan yang memenuhi seluruh dunia ini.”
“Aku tak butuh dongengmu. Bodohnya kau mengira aku bodoh tak mengetahui cerita klise itu.”
“Ah, aku lupa. Kau anjing didikan Lexiano si brengsek itu. Baguslah kalau begitu.”
“Lalu apa maumu, sialan?”
“Beri aku jawaban apakah wujud Pandora itu. Waktumu menjawab setiap jam sembilan malam. Jika kau tidak mendapatkannya, maka sepanjang waktu di keesokan harinya nasib buruk yang dibawa Pandora itu akan mengikutimu.”
“Jangan—“
Lagi-lagi orang-orang senang sekali menutup panggilan ketika Alya belum selesai berbicara. Alya pergi dari tempat duduknya, kembali berjalan tak tentu arah. Hanya untuk mencari sebuah jawaban.
Pandora.
***
Alya menghabiskan harinya dengan sibuk menjelajah internet seputar Pandora. Yang ia dapatkan hanyalah cerita –cerita donngeng mitologis yang tak memberikan petunjuk apapun. Alya rasanya ingin membenturkan kepalanya berkali-kali ke tembok karena merasa sangat bodoh. Ia benar-benar tak mau terlibat dalam masalah besar begitu lama. Ia benci seperti ini, rasanya lebih baik mendapatkan misi membunuh target klien selama tujuh hari berturut-turut daripada terlibat pada hal-hal menyusahkan seperti ini. Alya rasanya ingin menjadi gila. Lalu tak sadar hari sudah larut dan jam menunjukkan pukul sembilan malam. Panggilan tak dikenal itu datang lagi.
Meminta jawaban, tentunya, batin Alya.
“Selamat malam, nona cantik. Siang sampai malammu dihabiskan dengan begitu damai, kan?”
Alya tak menjawab. Ia benci rayuan manis yang terdengar begitu sampah di telinganya.
“Jadi, apa jawaban yang kau berikan untukku?”
“Kau.”
“Hebat!
“Jadi?” Alya bernada ketus.
“Hampir benar! Tapi tetap saja. Salah! Selamat berjuang esok hari. Semoga bisa bertahan hidup, ya. Nanti tetap akan ada petunjuk kemana pun kamu pergi, kok. Selamat malam, Alya.”
“Hei! Kau—“
Panggilan berakhir. Alya rasanya ingin berteriak sekencang mungkin.
***
Hari kedua dilewati dengan barang Alya yang dicuri. Riasannya sudah luntur, padahal ia harus tetap menyamar demi kerahasiaan identitasnya. Untungnya Alya berhasil mengamankan dompet yang berisi kartu kredit dan berbagai kartu penting lainnya. Ada juga beberapa uang tunai yang bisa ia pakai.
Selanjutnya adalah, terjadi pengeboman di salah satu tempat ibadah dekat dari posisi Alya berpijak. Media massa semakin gencar dengan pemberitaan pelaku yang merujuk pada Alya, tersangka penembak misterius di alun-alun kemarin. Alya semakin panik, ia menggunakan masker dan kacamata, serta mengubah gaya rambutnya agar penampilan Alya tak terlalu dikenali.
Akhirnya Alya memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pelarian dan perjalanannya mencari jawaban peneror misterius itu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang hari ini, ia berhasil menemukan kafe kopi yang sepi di pinggir jalan. Hanya ada seorang barista, dua pelanggan laki-laki dan seorang mitra ojek daring yang menunggu pesanan pelanggannya.
Kopi pesanan Alya datang. Namun ada telepon tak dikenal menghubunginya. Ia pun meninggalkan pesanannya dan pergi ke luar kafe sebentar untuk menjawab panggilan.
“Jangan hilang semangat untuk mencari jawabannya hari ini.”
Alya berdecak. “Jika tak ada yang penting. Tutup saja.”
“Baiklah. Kita akan segera bertemu juga. Aku hanya ingin menyapamu, kok.”
Panggilan ditutup. Alya kembali untuk mengambil pesanannya. Caramel machiatto, minuman favoritnya. Tetapi, mungkin itu adalah caramel machiatto terakhir yang dapat ia nikmati. Karena pada satu tegukan pertama, semua pandangan Alya berubah jadi gelap.
***
Alya terjaga, dan apa yang ia dapati sangat membuatnya terkejut. Ia berada di sebuang gang kecil dan bahkan hari sudah malam. Tubuhnya sudah tak lagi berbusana, ada dua laki-laki yang sedang menghisap rokok di hadapannya. Ia sadar, dan ingin menyerang namun Alya tak bisa menggerakkan tubuhnya. Seperti diberi bius agar dilumpuhkan. Dua orang itu menyadari Alya yang sudah terbangun dari tidur manisnya.
“Hei, nona manis. Sudah terbangun?”
“Si-siapa kalian?”
“Kami hanya melaksanakan perintah dari atasan kami. Tapi belum selesai, tahu? Setelah mencicipi tubuh indahmu itu, harusnya kami potong. Tapi kami tidak tega.”
“Lepaskan aku, sialan!”
Tiba-tiba datang seseorang dari ujung gang, mengenakan jas dengan rapih dan membuat dua laki-laki besar yang menjajahii Alya menunduk. Saat wajahnya terlihat, Alya terkejut bukan main.
“I-izzat?”
Izzat tertawa terbahak-bahak. Alya tak bisa berkata-kata.
“Kau tahu, Alya? Kau lebih terlihat menawan di saat kau menderita seperti ini. Tadinya ingin kuselesaikan di hari kelima. Tapi jadwalku terlalu pdat. Kau harus kuhabisi sekarang juga.”
“Apa tujuanmu? Apa urusanmu denganku?”
“Urusan? Jangan membuatku tertawa. Apa selama ini kau membunuh orang-orang karena kau mempunyai masalah dengan mereka? Psikopat! Apa bahkan kau manusia? Sudah berapa ratus keluarga yang kau buat menderita?”
Alya tercekat. “Kau salah satu keluarga targetku?”
“Iya. Aku anak orang yang kau bunuh terakhir kali. Padahal ayahku berkawan karib denganmu, dan harusnya ikut hadir di acara makan malam itu. Tapi kau dengan mudahnya membunuh dia dan bahkan ayahmu tidak merasa bersalah ama sekali?!”
Alya tak bisa berkata-kata. Segala sesuatu yang memenuhi kepalanya adalah segala wajah orang yag telah ia bunuh.
“Ayahmu sudah mati setelah meneleponmu terakhir kali. Kau menyusul sekarang.”
Izzat mengeluarkan sejenis pedang dan memotong kedua kaki Alya. Alya meenjerit, Izzat pergi membelakangi Alya.
Semuanya gelap, tak ada lagi harapan untuk keluar dari sini. Kakinya sudah terpisah dari tubuhnya. Baru kali ini Alya merasakan sakit yang amat sangat, di semua pertarungannya selama ini, tak pernah ia merasa semenderita ini. Ia tak pernah menyangka bahwa akhir dari hidupnya akan menjadi seperti ini.
Alya yang sudah terbujur lemas itu menangis. Tak kuasa menahan sakit dari kaki yang terpotong dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada yang menemaninya. Hanya Izzat yang benar-benar sudah membuatnya menderita yang berada di hadapannya. Sebelum pergi, Izzat menoleh.
“Sekarang kau mengerti, kan? Menderitanya hidup seperti ini. Ini adalah balasan yang kaau terima atas semua perbuatanmu. Memang tak jaman lagi menggunakan santet untuk menyelakai orang, dan benar bila orang-orang menggunakanmu sebagai boneka pembunuh. Rasakan semua itu. Oh iya, kurasa juga kau menikmati siksaan yang baru diberikan dua bawahanku itu, bukan? Kau adalah Pandora, keindahan yang memberikan penderitaan bagi semua orang. Kau menawan bagai lukisan yang dipamerkan. Namun kau, hanya manusia hina.”
Pandangan Alya mengabur. Alya sadar akan segala kesalahannya.
“Terima itu, jalang!”
Izzat pergi dibawa hujan yang deras turun ke bumi. Sebelum nyawanya habisa keluar dari raganya, Alya menyadari hal terpenting dalam hidupnya. Dia tak lahir untuk bahagia.
Pandora adalah dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top