II. ᚨ᛫ᛊᛚᚨᚹᛖ
... semasa lembar baru sebentuk
rona lamamu; lemah
mengelu pada delusi
fajar palsu, di sini
kutemukan dirimu;
hampir.
ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ
II. A Slave
ELLESMERE MEMELUK lutut erat. Memandangi pintu kurungan anak-anak desa dan menunggu seseorang menyeret paksa mereka keluar dari sini. Sudah seminggu Ellesmere tertidur, berebut remahan roti, bahkan gatal-gatal selama tinggal di kamar beralas jerami ini.
Entah ada kemungkinan ia bisa kena penyakit kulit kalau terus-terusan berada di sana. Lebih jelek lagi berujung mati dibunuh karena tak ada yang mau membiayai pengobatan Ellesmere.
Bertahan. Bertahan. Hanya itu yang ada di dalam pikirannya. Ia dengar kebanyakan bangsawan datang untuk membeli kemari. Seharusnya memang menjadi harapan bertemu dan dibeli oleh orang kaya raya. Namun, Ellesmere tetap berperinsip bahwa tidak-belum ada yang layak untuk ia percaya.
Tidak ada salahnya mencoba bertahan seorang diri, bukan?
Seperti naik tangga, tak apa hari ini ia menjadi budak belian. Akan tetapi, di hari yang sama ia bersumpah, bertekad meraih anak tangga setinggi-tingginnya hingga tak ada seorang pun yang bisa mengganggu, membuat gadis itu sengsara sedikitpun.
Berbeda dengan anak lain yang beberapa menit sekali sesegukan berbisik minta pulang, Ellesmere tetap diam mengawasi dengan tajam ke arah pintu. Malam dan siang. Sampai suatu ketika kayu reyot tersebut terbuka lebar kemudian seorang pembeli memasuki kurungan mereka.
"Kalian semua, cepat berlutut!" suruh Ulric lantang. Dengan takut-takut semua penghuni kamar—sekitar tiga puluh anak—membenahi posisi duduk mereka. Sekilas Ellesmere melirik kepada sang pembeli. Diperhatikan dari cara pria berpostur tinggi tersebut berpakaian mencolok, membawa ajudan menggelikan, hampir tiap saat angkat dagu; memasang raut arogan yang kurang menyenangkan, lirikan sinis ke sekitar tempat terjorok ini, benar saja, mereka kedatangan seorang bangsawan! Pikir Ellesmere.
Sang bangsawan kontan mendengus, tampak kurang senang setelah Ulric membawanya datang kemari. "Kau berusaha membodohiku!? Aku tidak mau membeli secara cuma-cuma sekumpulan anak tikus ini dengan harga mahal! Aku bahkan ragu kalau mereka bisa membaca!" ia menggeretak. "Lupakan saja! Aku kembali, Simon. Aku tidak sudi mengeluarkan satu keping emas pun untuk mengurusi anak-anak bodoh!"
"Kalau Anda berkenan, Tuan, Anda bisa mengandalkan saya untuk menemukan budak yang pantas. Saya akan menjaminnya untuk Anda." Sang ajudan segera mengekor. Mereka berdua berbalik menuju pintu.
"Sebaiknya lakukan dengan cepat sebelum si bocah tengik membakar tempat ini!"
"Baik, Tuan."
Tidak ingin kalah cepat, Ulric seketika menghalau pria tinggi itu pergi. "T-tunggu! Tn. Hendrix, jangan—"
"Aku bisa membaca, Tuan."
Langkah Hendrix terhenti, begitu juga dengan ajudannya. Sedangkan Ulric ikut menoleh kaget ke arah Ellesmere, semua pandangan anak desa seketika tertuju pada gadis itu. Sedikit usaha keras tersenyum manis sembari melontarkan kebohongan. Ia tahu ini bunuh diri, akan tetapi bisa saja, tak ada yang tahu kapan keberhasilan untuk keluar dari kamar ini bisa terjadi—bahkan dengan cara yang amat gila sekali pun.
"Hoo?" Hendrix bersuara, membuat sang pedagang budak di hadapannya makin tercengang.
Ellesmere mencoba bernapas tenang. "Aku juga bisa menerjemahkan sebuah bahasa asing. Namun, jangan khawatir, Tuanku. Aku bisa belajar dengan cepat. Menguasai bahasa asing adalah keahlianku."
Tidak sang ajudan maupun Hendrix si bangsawan, keduanya mulai menatap Ellesmere dengan penuh minat. Setelah cukup lama terbungkam, kemudian sadar akan situasi, untuk yang kesekian kali Ulric mencoba untuk menghadapi Hendrix sekali lagi. "Tuan, sebenarnya Anda belum mendengarkan penjelasan saya lebih banyak. Budak ini ... adalah terbaik yang bisa saya tawarkan kepada Anda. Dan tentu saja, Anda harus membayar dengan mahal untuk itu."
Bibir Ulric mulai menyungging, memperlihatkan deretan giginya. Sayang sekali, Hendrix nampak kurang tertarik mendengarkan Ulric. Pandangan pembeli arogan tersebut masih berpaku pada Ellesmere, lalu mendorong bahu Ulric dari jalannya. "Minggir."
Sang ajudan menunggu di belakang, sebagai bonus menyaksikan Ulric terhempas dan nyaris tersandung kaki sendiri. Hanya beberapa langkah saja Hendrix akhirnya mampu menghampiri Ellesmere yang mulai keringat dingin.
Perut gadis itu terasa tegang, malahan semenjak hening meliputi kamar di sana, ia merasa akan mengeluarkan isi perutnya sekarang juga.
Degup jantung Ellesmere semakin menjadi ketika Hendrix mendadak mencengkeram rahang tirusnya begitu ia berjongkok. Tatapan pria itu tampak merendahkan, seolah menahan tawa begitu merasa kehabisan akal dan tertarik menghampiri Ellesmere sendirian.
"Biar kulihat sebentar," Hendrix mengangkat alis, melebih-lebihkan ekspresinya. Lalu, mendesis. "Kau juga punya wajah yang cantik."
Ia terkekeh sebentar. Meski kentara sekali Ellesmere memasang sorot waspada, Hendrix tetap melanjutkan. "Kita lihat apa yang bisa ditawarkan anak tikus kemarin sore ini. Bahasa asing? Berani menawarkan diri ..., caramu berbicara bahkan tidak lebih kedengaran seperti seorang pelacur kelas teri."
Sesaat mencurankan alis tajam, Hendrix melepaskan rahang Ellesmere dengan kasar, tak peduli gadis itu meringis ketika ia berusaha beranjak mendekati Simon sembari tersenyum puas.
"Bawa anak itu. Aku akan mengujinya, apakah ia benar-benar anak yang pintar atau hanya seorang penipu. Dan bila ia membohongiku," pandangan Hendrix beralih ke arah Ulric, "Maka kau tahu apa yang akan kulakukan."
Ulric menelan ludah.
Sang bangsawan berlalu cepat dari kamar. Barulah sang pedagang memberikan penghormatan. "T-tentu saja Anda bisa mempercayai saya, Tn. Hendrix."
Simon tidak bergeming. Ia segera melempar sejumlah keping emas di dalam kain lusuh kepada Ulric hingga pria bertampang memuakkan di sana tergirang-girang dan segera menghampiri Ellesmere. Gadis itu hanya terdiam, entah apa yang dipikirkannya, wajah budak belian di sana terlihat lebih pucat dari beberapa menit yang lalu.
Ya, ia pikir apa pedulinya?
"Bangun, gadis cantik," ucapan Ulric bahkan cenderung terdengar sekedar ejekan belaka di telinga Ellesmere. Terlebih selagi membantunya berdiri seolah mengangkat barang yang bisa ia tarik—angkat—dorong—hempas hingga nyaris jatuh. "Bersikap baiklah pada majikan barumu, dan semoga beruntung."
Beruntung?
Kata itu ... entah menghilang sejak kapan dan berbalik seperti kutukan—yang jadi sangat jarang keberadaannya.
Simon sudah menunggunya di depan pintu. Sesekali Ellesmere menoleh kepada anak desa lainnya. Tentu saja ia mengenal beberapa anak, bahkan sahabatnya yang sudah ia hiraukan. Shara. Gadis berperawakan lebih kecil dibanding Ellesmere itu menatap dengan sorot sedih.
Apa Ellesmere akan benar-benar meninggalkannya di sini? Menepis dirinya bagai beban?
Ellesmere berpaling tanpa ekspresi. Beranjak kepada Simon hingga keduanya meninggalkan tempat itu. Suasana kembali sesunyi biasanya, terutama setelah Ulric mengunci mereka kembali.
Shara. Ellesmere tahu ia tidak bisa membawa gadis rapuh itu pergi bersamanya. Entah secepat apa ia akan berhasil merauk salah satu bangsawan ini. Ia akan ingat. Lalu, dengan beberapa harta, tentu saja tidak ada yang mustahil menyelamatkan Shara beserta anak desa lain keluar dari perdagangan budak. Ellesmere menarik napas perlahan, merasakan udara luar yang tak bisa ia rasakan seminggu terakhir. Segar, tetapi tidak juga membuatnya lega.
Simon menjelaskan kereta yang biasa sang majikan gunakan ketika berkeliling ke tengah pasar Kerajaan Solvenmber. Ini memang waktu untuk repot-repot menemani sang istri berbelanja hingga membutuhkan sepuluh kereta kuda beruntun demi membawa barang mereka, sementara Hendrix hanya baru mengambil satu orang budak. Kemudian dituntunnya untuk ikut menaiki sebuah kereta paling belakang milik Hendrix.
Satu hal yang bagus, kereta ini bergerak agak lambat—entah apa lagi yang bakal mereka belanjakan. Begitu pula dengan isi kereta paling ujung yang ia huni selama beberapa jam kemudian.
Diam-diam Ellesmere tersenyum.
Tampaknya ... istri seorang Hendrix sangat menyukai buku panduan beserta bahasa asing. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top