I.XI. ᚨᛒᛟᚹᛖ᛫ᛏᛁᛗᛖᛚᛁᚾᛖ
Song: Lindsey Stirling - Between Twilight (1 hour)
[Early] a/n; Ada yang suka instrumen violin? Kalau kalian ada kuota, play multimedianya dah :)) ane baru nemu lagu ini sih, sempet kepikiran udah lama gak ngintip karya-karyanya Ms. Stirling
T-T haaaaaa mau nanges denger lagunya ...!
Well, part ini ada sedikit menjelaskan motif Haildanerc, Aslar, dan Raja Dracon yang diceritakan hilang entah ke mana. Setelah sebelum-sebelumnya nekanin gimana motif Ellesmere, Hendrix, sama Perces (satu orang ini juga belum ada perkembangan huhu T-T).
Sisanya Lune (yep, dia penyihir putih, berarti masih ada hubungannya sama sihir yang diklaim Iblis) & Sin :/
Mulai dari bab satu poin sebelas sebagian pertanyaan terjawab 😌 sebagian ya hwhw semoga gaada plothole.
Selamat datang kembali di Anseont,
Dan selamat berfantasy dalam sunyi~ *eh
- n e v
"BERIKAN PILIHANMU, Menteri."
Hendrix menerawang pada sepasang netra rubin Ulysses. Penampilan sosok yang telah lama ia kenal di sana tampak mengerikan; hampir setiap pembuluh rahang, lengan, dan punggung tangannya terdapat luka berat membekas seperti retakkan. Di antara mereka ada Haildanerc dan Ellesmere beserta Orb cahaya yang sempat ia gunakan, termasuk segala ingatan lama mereka. Keempatnya menunggu Hendrix bicara, sementara pria itu masih merasa berkecamuk. Sahutan badai salju di luar gua sekitar Kerajaan Solvenmber semakin bising, paling menggambarkan pun paham akan apa yang paling menahan lidahnya hingga begitu kelu.
Tak kunjung ditimpali, Ulysses menambahkan sembari mematri senyum tipis. "... Sesuatu pasti terlihat tidak beres. Apa aku keliru?"
"Ya." Hendrix mengeratkan genggaman pada benih Bunga Api yang telah ia bawa dari North Aralt'Sys. Bahunya tampak kaku, pun menatap Ulysses dengan pandangan yang berbeda sekaligus terlihat pahit. "Di mana kami sekarang?"
"Hendrix, bukankah kau datang untuk mengeluarkanku dari Acledesent—"
"Kumohon, Yang Mulia."
Ulysses terdiam sejenak, tanpa memperlihatkan raut serius pada orang-orang yang ia undang ke luar Garis Waktu, ia kembali bersuara. "Setelah insiden persembahan atma bangsa katalis terhadap pembesar L'eucife, aku kehilangan kalian sekaligus enam kerajaan Anseont." Pemuda itu segera menyentuh retakkan pada punggung tangannya yang lain. "Meski kunci Acledesent masih ada di tanganku, aku tetap tak mampu melihat masa depan—kecuali akhir yang terakhir kulihat. Pilihanku untuk kalian hanyalah memutar waktu 100 tahun ke belakang, melihat semua terlahir kembali, kecuali separuh dari diriku sendiri."
Kemudian Ellesmere ikut menambahkan. Air mukanya menjadi lebih tegas daripada ketika gadis itu berniat terjun ke dalam Acledesent. "Ayah dan Ibu tidak berhasil menyadari siapa saja para naga yang menaruh pihak pada salah satu bangsa L'eucife—mereka adalah pengkhianat Kerajaan Dracon. Mereka ingin adanya pembersihan manusia biasa dan mengisi tanah fana hanya untuk penyihir, bangsa naga, dan siapapun yang mengakui Raja L'eucife sebagai raja tunggal."
"Mereka membelot cuma untuk mendewakan raja yang diakui dedemit?" Hendrix balas tanya. Sengaja tak sengaja nada bicara sarkasme khas sang menteri meluncur begitu saja di tengah-tengah semua orang. "Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?"
"Kalau begitu," si naga es mendongak. Pandangannya sekilas tampak bergetar. "Aslar benar-benar membunuh mereka untuk meniadakan Mana bangsa katalis."
"Tidak, 601 katalis yang mati sebelum pemusnahan itu adalah perbuatanku. Aku harus melukai mereka sebelum dianggap layak disembunyikan di dalam Acledesent. Sementara Aslar telah dilangkahi lebih dulu oleh Hacrese Scandor—penasihat lamanya—sehingga ia kehilangan jasad untuk yang kedua kali. Padahal hanya sedikit lagi, dan jika aku tidak bertindak cepat sekaligus mempertahankan roh Aslar untuk tetap bertahan di sini, Aslar tak akan mampu membimbingku selama sebagian jiwaku bersama kalian tengah hilang ingatan," jelas Ulysses. Kepala sang katalis perlahan tertunduk. "Kemudian ..., adalah keputusannya menjadi titik fokus Kerajaan Dracon sebagai dalang palsu atas pembunuhan manusia agar Hacrese tak mencurigai tindak tandukku sebagai penentang L'eucife."
Sementara Hendrix memulai menyuarakan keputusan pada Ulysses dan Ellesmere, Haildanerc menerawang ke luar gua. Badai salju yang menghadang jalan masuk lebih stabil daripada pengalamannya mengendalikan tekanan angin. Meski ia adalah naga es, klan yang mampu menguasai atas Musim Gugur Putih tersebut kini justru merasa ia tak memiliki kemampuan bahkan bayangan bila ia hendak menerobos ke mulut gua.
Sihirnya terasa mati begitu saja.
"Jangan khawatir," sahut Ulysses lalu Haildanerc memutar pandangan pada asal suara. "Kau tahu irrelativitas yang diceritakan pemimpin Dracon setelah berita tentang harta Raja Sulaiman dicuri keturunan Iblis? Anggaplah semakin dalam kau menggali tanah, semakin detik dan jam dihitung lebih cepat dibanding Dunia Permukaan. Siapapun pasti tak akan sanggup menghentikan waktu, tetapi seberapa lama pun kau memutuskan pilihan padaku di tempat ini, Dunia Permukaan hanya menanggung penghabisan waktu sebesar satu atau dua menit saja."
Sang naga mencuramkan alis, gerak-geriknya gusar, tampak lebih khawatir sekaligus ngilu. "Baiklah, aku memilih untuk menitipkan sebagian jiwaku pada benih Caànan dan akan kuserahkan pada Ellesmere. Namun, setelah itu tolong dengarkan permintaanku."
"Katakan."
"Buatlah pengecualian terhadap penghapusan ingatan Garis Waktu yang lalu padaku—sama halnya yang kaulakukan pada Tn. Aslar. Biarkan aku yang menyimpan ingatan itu, lalu akan kuatur perjalanan kalian menuju tempat yang bisa kalian andalkan selama aku mengembalikan seluruhnya. Jika kau bermaksud menghindari Hacrese dalam melacak perubahan Mana yang terikat oleh kenangan, maka serahkan padaku. Izinkan aku ikut membimbing kalian."
Sejauh apapun langkah kaki itu, semua pasti akan kembali.
"Kalau begitu tolong ingatkan aku; Deas'Altmaeire—markas utama L'eucife di mana ragaku sebagai pemasok antisihir katalis diikat di atas pilar altar Hacrese. Hah, memuakkan. Si berengsek itu jauh lebih sinting daripada bangsa L'eucife ketika sudah mengincar tahta raja." Ulysses terkekeh. "Dalam beberapa hari ke depan pembagian kesadaranku hampir sempurna. Seharusnya aku tidak hanya berunding dengan Aslar; tetapi keputusanku telah tetap. Meski sesaat menjadi orang lain ...,"
Seseorang yang kehilangan jati dirinya pasti akan ingat siapa mereka ... dan kembali kepada apa yang pernah mereka mulai.
"... Sumpah itu tetap ada padaku."
ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ
I.XI. Above Timeline
"Ellesmere, namaku di dalam Garis Waktu ini adalah Ulxsses Shàdxv. Kau akan menxmuiku setelah Lune membelimu sebagai budak. Kau xkxn lupa siapa xku, bahkan ketika kita terikat kontrak; tidak mengubah bxhwa saat itu kax atau aku tidak pernah ingxt sxapa kita sebenarnya. Kau rindu rxmah, kxx ingin kxmi pulang. Kau tak mengerti mengapa kau sulit membenci Aslxr, Hendrix selalu melindungimu bersama Lunx txnpa alasan, Haildanerc mengorbankan sesuatu yang penting untukmu, lalu aku; kau mungkin terpikir mengapa aku mxmbxntxx selxrxh bxngsa kxtalxs, termxsxk mxmbxnxh ibumx."
Ellesmere menerjap. Dia melamun, entah sudah berapa lama setelah penyerangan terakhir. Netra zamrudnya mendelik ragu, terasa ada yang hilang, pikirnya. Seseorang, pikirnya. Tentu saja, Ulysses, ia teringat perkataan pemuda itu di suatu tempat.
Apa yang dia katakan saat itu masih terlalu kabur untuk diingat.
Senja yang direnggut sang naga es terlanjur terbenam oleh awan kelabu. Mereka tak keberatan bila hilangnya Mana Haildanerc dari wilayah Solvenmber membuat seluruh kristal-kristal salju rela turun sebagai sifat sejatinya; air, hujan gerimis. Sedang langit kurang sudi bersembunyi, hingga ia bersengkokol dengan sisa sinar mentari yang hampir mati—lalu mendorong kuat selimut hitam tersebut—demi membebasi seri cahaya segala rasi yang menanti.
Hari ini, hujan sekaligus terang matahari senja terjadi. Bersama-sama udara yang dingin menusuk pula tetesan air yang hangat gencar-gencaran melomba dalam sunyi; mengisi warna bumi.
Ellesmere memegangi lengannya yang sempat disayat, lekat menerawang lurus kepada kejauhan sementara sisi wajah gadis itu disoroti sinar keemasan. Sekalipun hujan telah menerjang dirinya, ia tetap bersikeras berdiri di tempat. Bangkai-bangkai Feyt yang berhasil masuk ke dalam pembatas perlahan menghilang bak kayu yang hangus terbakar. Menghitam kemudian menjadi bubuk abu yang dihujam air. Mereka lenyap dengan sendirinya, termasuk si naga hitam utusan Aslar.
Dalam waktu singkat, rune segi delapan yang membekas berantakan memberi jejak porak-poranda pada tanah sekaligus beberapa pohon tumbang karenanya, menjadi sepi, bahkan jika itu hanya setetes darah hitam di atas daun jukut.
Ulysses tersenyum puas luar biasa menatap langit senja sembari menghela napas panjang. Seusai menghabisi sisa Feyt di balik pembatas kedua, ia menggeletakkan badan sendiri ke atas tanah. Aroma embun lembap yang datang bersama hujan perlahan menutupi bau amis yang tersisa di lengan baju pemuda itu. "Akhirnya kalian binasa, Sialan." Lalu, tertawa keras—dengan intonasi seperti pria jahat dalam teater drama kerajaan—sendirian di tengah lapangan luas.
Sayang sekali tawa yang dibuat-buat itu tak berlangsung lama. Selagi ia mendadak kehilangan semangat atas perayaan kecilnya di antara puing-puing rumah Lune, Ellesmere menghampiri pemuda itu. Mengamatinya sibuk tergelak sambil tidur terlentang, momen deja vu ketika Ulysses selesai memangsa lebih dari lima goblin di atas tebing laut.
Tentu hanya ketakutan yang bisa Ellesmere tunjukkan, tetapi sekarang tidak lagi.
Sambil membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan lega, Ellesmere mengulurkan tangan. Sementara Ulysses hanya sampai meliriknya dalam diam.
"Ayo, kita harus bergegas. Aku tidak ingin membuat Lune dan Hendrix menunggu kita lebih lama."
Sedangkan yang mesti menerima uluran tangan justru menilik seperti tengah memandangi orang menyebalkan, "Kau kejam sekali." Ia lantas buang muka. "Bergegas, huh? Aku pernah dengar wanita yang kehujanan cepat atau lambat pasti memberi isyarat kalau mereka membutuhkan payung. Benar, payung berenda. Kau tidak akan pernah membuatku terjun ke dalam robohan rumah Lune demi mengambil sebuah payung—tidak akan. Jadi biarkan mereka menunggu kita."
"Wanita yang kehujanan." Ellesmere sampai mengulangi dengan masam sambil memicing mata. Menyerah, ia menurunkan uluran tangannya dan duduk memeluk kedua kaki. Ucapan gadis itu menjadi terdengar lebih lunak. "Lupakan soal bergegas. Istirahatlah. Tapi tolong jangan terlalu lama. Dibanding melihat darah, rasanya lebih mengerikan diam di tempat yang berantakan seperti ini. Dan juga ... tanahnya mulai licin di mana-mana."
Sudah kuduga, batin Ulysses. "Lucu benar caramu mengaku tidak benar-benar khawatir dengan mereka berdua," timpalnya mencebik. "Baiklah, kucarikan payungnya. Semoga saja tidak rusak tertiban puing."
Kaki Ellesmere sontak menendang kaki terdekat Ulysses, tetapi tak kena. "Aku tidak butuh!"
Pemuda itu tergelak lagi.
"Aku tidak tahu harus meneduh di mana. Rumah Lune selalu hancur setelah aku datang kemari—jadi rasanya seperti semua adalah salahku. Dan lebih parah," setelah itu pandangannya merendah ke tanah. "... Aku bisa saja tambah merepotkanmu setelah bertemu dengan Haildanerc."
Semenjak kalimat terakhir yang diucapkan Ellesmere, Ulysses tak berniat segera menimpali atau menghibur dengan cara yang sama. Bibirnya justru mengatup, lalu menarik perlahan pedang pendek merah kehitaman di dekat puing-puing.
"... Kurasa aku berlebihan."
"Tidak," tukas Ulysses. Pedang yang telah ada di genggamannya segera mencair darah, menciut membentuk lingkaran besi berukuran kecil. "Jika kau sangat tahu apa yang kaulakukan, kau tak akan memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya kaupikirkan."
Ellesmere bergeming.
"Selain Mana katalis, apa yang kaupunya?"
Sebelum menjawab, gadis itu membuatkannya dua buah Orb cahaya putih sebesar genggam tangan tanpa menulis rune. "Rædistrum; sangkar yang biasa Keluarga Raem gunakan untuk mengunci jiwa naga ke dalam Ranah Pengasingan." Penampilan sihir itu seketika membuat Ulysses cepat beranjak duduk. Netra keemasan pemuda itu tampak tertarik pada Orb yang menggantung di udara sekaligus terang benderang tersebut. "Tapi kali ini aku menggunakannya untuk membawamu keluar dari Acledesent," tambahnya. "Setidaknya ... kau pernah aman."
"... Apa aku bisa membawanya?" gumam Ulysses.
"Eh?"
Baru saja tersentak, tahu-tahu Ulysses menangkap satu Orb dengan kedua tangan. Menguasainya seorang diri sembari mematri sorot berbinar.
Dan dia sungguh mendapatkannya.
"Luar biasa!" katanya kegirangan. "Aku bisa menggenggam cahaya!"
"Ul—" Ellesmere segera berhenti bicara. Ia terkejut bukan main. Baru saja mendongak untuk memperingati Ulysses agar berhati-hati dengan Rædistrum, mendadak gadis itu mendapati sepasang iris Ulysses telah memerah darah.
Dia tetap tersenyum sembari memperhatikan Orb Ellesmere, tampak senang sekali, kemudian bergumam pelan.
"... Maaf membuatmu datang,"
Lalu, matanya memutar menatap depan.
"... Aslar."
Ellesmere cepat mendelik sekaligus bangkit dari duduk. Mendengar nama Aslar sontak membuat gadis itu segera menengadah pada arah tatapan Ulysses sembari memperbanyak jumlah Rædistrum di sekeliling mereka. Benar saja, pria itu berdiri tak jauh dari Ellesmere, mengamati dengan lekat pemuda yang masih terduduk di atas tanah.
"Bagaimana mungkin?" tanya Aslar, lebih tampak bergumam pada diri sendiri. Mustahil sebuah Orb mencetus ingatan lama, bahkan ketika itu semestinya masih dijaga oleh Haildanerc.
"Rupanya Orb ini masih ikut bersama Elle ketika kami menawarkan pilihan pada Ksatria dan Menteri Dracon." Ia makin terlihat senang, bahkan sempat terkekeh. "Sangkar ini masih mengingatku."
Tanpa sepengetahuan Ellesmere, Aslar bersedekap, menghela napas sekaligus geleng kepala sekali. Dia pun melempar pandang ke sembarang arah saking tak habis pikir. Sorotnya menusuk seakan berniat bicara sadarkah kau hampir saja menghancurkan rencanamu sendiri? tetapi ia urungkan. "Kau senang karena diingat oleh Sangkar Jiwa?"
"Apa maksudmu?" selak Ellesmere sembari berganti mengawasi Aslar. Antara tegang dan bingung, terlebih Ulysses tidak menunjukkan bahwa ia serius beranggapan bahwa Aslar adalah ancaman. "Ulysses, sadarlah!"
"Dengan ini aku mengenalimu sekali lagi ... dan bersyukur kalian baik-baik saja." Kini giliran Ulysses bangkit. Dia berpindah tanpa melepaskan Orbnya, kemudian membelakangi Ellesmere dan melanjutkan, "Terima kasih. Seandainya kau tak tepat waktu, Lune pasti sudah mengira bahwa aku adalah bagian dari L'eucife."
Semenjak Ulysses membelakangi Ellesmere hingga gadis itu mengendurkan kuda-kudanya, Aslar tak berbicara lebih banyak. Belum, tidak sekarang. Dia hanya memperhatikan putrinya dengan sorot datar nan dingin selama sekian detik sebelum kembali memperingati Ulysses. "Lima menit, Yang Mulia," katanya sembari membalikkan badan, bersiap pergi. "Tolong buat itu berarti."
"Aku mengerti."
Aslar telah berpindah tempat. Namun, bara Mana yang ditinggalkan oleh pria itu masih terasa tepat di sekeliling Rædistrum milik Ellesmere. Seakan dari awal tempat tersebut telah dibungkus kain transparan dan udara seketika menjadi lebih hangat karenanya.
Selanjutnya, Ulysses berganti fokus kepada gadis itu. Dia memutar badan, membuatnya lurus menghadap Ellesmere sementara si lawan bicara terlanjur mematri sorot tak mengerti. "Aslar adalah salah satunya yang kutandai bisa melangkah di atas Garis Waktu sebelum pembantaian. Setelah mendapati kesempatan kembali tanpa raga, dan dengan keadaan seperti itu, ia memanfaatkan perhatian North Aralt'Sys agar kambing hitam atas pembantaian bangsa katalis cepat ditetapkan," katanya. "Dan tebak, kita masih berada di sekitar Kerajaan Solvenmber?"
"T-Tentu saja! Kita bahkan belum bertemu dengan Sin! Juga, apa maksudmu dia bisa melangkah di atas garis!?" Sekilas, gadis itu ternganga selama memandangi penampilan Ulysses bahkan nada bicara yang jauh berbeda dari sebelumnya. Lalu, kedua tangan Ellesmere menyentak dan mengguncangkan bahu Ulysses. "Sebentar! Kau ini sebenarnya siapa!? Di mana Ulysses! Keluar! Keluar dari tubuh kakakku! Ul, cepat bangun!"
"Astaga." Yang diguncang justru menggumam sebal. "Kakak, katamu? Hanya Kakak?"
"Cepat keluar, dasar maniak!"
"Ini aku, Adik Kecil."
Ellesmere berhenti menggeretak pada bahu lawan bicaranya. Air muka sang katalis cepat melunak, tetapi tak mengurangi waspada. Terkadang terlintas di pikirannya untuk berdiam dan menunggu supaya memiliki celah menerobos pikiran sosok tersebut—entah berhasil atau tidak. Ulysses kemudian menghela napas panjang, "Waktuku hanya lima menit. Ada banyak yang ingin kukatakan, dan tentunya, di luar masalah ini. Kuharap kau ingat soal Rumah Kaca di sekitar Hutan Romersen, kau suka buah persik dan anggur yang kudapatkan tiap kamis, pembesar Dracon selalu pamer sambil membicarakan lelucon rumah tangga raja dan ratu yang datar hingga membuatmu tertawa terpingkal-pingkal, atau apapun tentang—" Ulysses terhenti lagi. "... Baiklah, aku keterlaluan."
Ellesmere menerjap.
"Aku tidak bisa menahan lidahku sendiri."
"Ini benar kau." Gadis itu menerawang pada iris Ulysses. Sesekali dengan apa yang disebutkan pemuda itu, ia dapat melihat keping-keping ingatannya—meski tak sempurna dan kabur. Kelopak mata Ellesmere perlahan membulat sempurna, tak percaya. "Tidak mungkin. Aku melihatmu membuat kontrak dengan Ayah, bukan dengan Ibu. Lalu, mengapa ... tubuhmu diikat—"
"Elle," potong Ulysses. "Aku menunggumu di Deas'Altmaeire."
Kemudian ia menambahkan, "Katakan pada dia bahwa Haildanerc tidak hanya memiliki benih katalis, tetapi sesuatu yang lebih penting. Tak dipungkiri kau masih bertanya-tanya mengapa Aslar tampak berbeda dari yang diberitakan oleh North Aralt'Sys, bukan? Kau dan dia akan mendapatkannya. Kepulangan yang kau inginkan, kau akan mendapatinya."
"... Ulysses."
"Aku hampir lupa," ia memandangi Ellesmere dan Orb cahaya secara bergantian. "Kudengar kau terusik jika tak sempat berbuat banyak. Biar kubantu. Elle, setiap bangsa katalis memiliki hak istimewa untuk mengendalikan naga. Los Arc'Endis, kau akan memilih memanggil mereka dari arah yang jauh atau memberikan Mana yang kaupunya pada beberapa dari mereka sebagai pendukung."
"Kau tak perlu khawatir kau akan melukai mereka karena hak itu," tambah Ulysses. "Kau adalah wanita yang kuat. Kau tetap menjadi pewaris darah keluarga Raem, seseorang yang selalu mereka diandalkan dan kau pun mampu melindungi mereka. Dan di sisiku, ini tugasmu. Kau telah dipersiapkan untuk menghadapi dan menyambut hal yang besar seperti ini."
Pemuda itu mendekat, membisikkan ucapan terakhir sebelum melepaskan Orb cahaya.
"Ratu atas para naga."
"Litch f'our Man'Ark Dracos," suara yang serak dan berat bak monster itu terdengar mendekat. "Hm, L'eucife akan menggantinya menjadi Ilumost f'our L'eucifær. Gaung doa seperti itu, apa akan terasa menyenangkan di telinga raja naga kita? Ah, beruntungnya kalian, pewaris generasi baru. Tanpa ambisi, kekuatan yang sempurna, dan lugu. Tak peduli kau telah memutar waktu dan pembesar L'eucife menyayangi nyawamu, caramu bertindak tidak lebih dari sekadar orang dungu."
Dia berderap, menaiki anak tangga hingga mencapai lantai altar. Menghampiri seorang pemuda yang tertunduk tak sadarkan diri kini mulai menengadah pada yang berbicara. Iris yang dahulu kemuning elang, sekarang terbuka dalam rona merah berkat Mana dari bangsa L'eucife. Dia tak akan dibiarkan mati, rantai-rantai yang mengikatnya setegak pilar putih menyerap Mana si empunya sekaligus mengganti dengan yang lebih kotor—sihir hitam. Memaksa aliran Mana asing masuk ke dalam tubuh yang bukan pemiliknya seakan memberi penyiksaan berupa sayatan belati setiap detik.
"... Setelah kau mampu menanggalkan Mana katalis seluruh pasukanku, kusangka kau akan berbuat lebih jauh terhadap kami. Anak polos memang tak berpikir melakukan hal selain kecerobohan untuk banyak orang."
Ulysses Romersen—sosok yang telah membuang nama keluarga Heldist di Garis Waktu pertama, menjadi pewaris Acledesent sekaligus tahta Aslar—tersebut menarik satu sudut bibirnya dalam hening. Rona pada suatu ruang sewarna arang dan darah di Deas'Altmaeire mulai menambahkan penerangan dengan bara api di tiap sisi kecuali lantai menuju pintu keluar. Dia mendengkus. "Apa kau sungguh mengharapkan aku berbuat lebih dari ini?" ia balas tanya. "Tentu saja, tidak. Jangan bilang sebelum bangsa L'eucife disambut hadiah kecil dariku, kau yang pertama menanggapinya dengan teriakkan horor bersama bawahanmu. Sayang sekali, aku tak bisa ikut serta menikmati pekikkan dan ratapan kalian."
Hacrese bergeming. Berkat api-api itu, ia mampu menyaksikan detail guratan ekspresi tawanannya dengan jelas. Kemudian rahang sang naga berdarah Scandor mengeras menahan amarah.
"Apa Mana bangsa katalis itu sangat berarti, Hacrese? Kau benar, kali ini aku adalah raja yang dibenci kerajaanku sendiri. Untuk sekarang, aku layak, aku menginginkannya, aku bebas. Kau tidak akan mengerti sesuatu yang bermakna pengekangan," tambah Ulysses. "Kau akan menjadi raja ... di saat bersamaan kau terpikir dan akan selalu takut kehilangan kekuatanmu. Betapa mengharukan. Sejauh itukah arti kemenanganmu, Pengikut L'eucife?"
Kemudian, kekehan Ulysses menggema hingga sekian detik. Tak sampai di sana, ia pun melanjutkan dengan nada rendah—bermaksud mengguncangkan pemikiran pria itu. Kemudian, sontak saja Hacrese ambil langkah—kakinya bertolak—melesat ke atas pilar demi meninju rahang sekaligus mencekik Ulysses. Selagi menjejaki udara, ia menggertak kembali, murka akan ucapan si tawanan. "Begitu kudapatkan momenku, akan kulenyapkan kau." Namun, risiko melampiaskan semua itu tanpa kegaduhan, Hacrese terpaksa melontarkan kalimatnya dengan suara yang lebih rendah.
Dasar bodoh.
"Kau salah besar ... menggangapku dan Aslar sebagai raja yang agung."
Perlahan-lahan dan pasti—
"Hacrese, apa L'eucife juga menyayangi nyawamu ... sama seperti yang mereka lakukan padaku?" seringainya tambah melebar. "Apa ... kau berharga bagi mereka?"
—Dia membunuh jiwanya.
"Begitu. Jadilah naga yang pemberani ... Hacrese. Cobalah untuk membunuhku sekali lagi. Lagi."
Semakin keras cekikannya hingga arah wajah Ulysses mendongak lurus ke atas, semakin yang tergambar di sana hanyalah seringai puas. Hacrese, salah satu naga pembelot yang digadang-gadang menjadi pemimpin baru untuk kaumnya sendiri adalah bahan provokasi sekaligus hiburan si tawanan sehari-hari. Sedikit demi sedikit Hacrese tak lagi mampu menahan amarah lebih lama. Dia tambah merasa tidak puas atas sikap abai Raja L'eucife dalam permintaan meniadakan Ulysses, dan sekarang pemuda itu mempermainkannya.
Bagus, jangan menahan diri.
Lakukan, Hacrese.
"TN. HACRESE!!!"
Tersentak, Hacrese segera mengendurkan cekikkannya. Sang naga lalu berbalik, mendapati dua bawahannya bersama satu orang bangsa L'eucife; berpostur lebih tinggi, memiliki kulit yang kaku bak retakkan serta rona yang persis seperti patung berlumut di bawah laut, sepasang tanduk di atas kepala, juga satu sayap senada. Ada tombak yang diarahkan pada kedua naga di depan pintu masuk. Sementara yang dihunus telah ketakutan bukan main—berharap Hacrese mau menghampiri dan menyelamatkan mereka sesegera mungkin. "Paduka tidak menyuruhmu membunuhnya selain mengambil Mana yang telah ditetapkan bagianmu. Kau melanggarnya lagi ... dan kau akan memberikan penembusannya."
Tombaknya dilesatkan secara horizontal, secepat pedang berat yang diayunkan, dan dalam sekejap memutuskan dua kepala naga dalam wujud manusia di sana. Kontan darah sekaligus serpihan daging bahkan pecahan tulang bergeletakkan di dalam ruang altar hitam. Bau amis menguar, menyiksa semua penghidu. Berbeda dengan Ulysses yang masih sibuk terbatuk-batuk dan sesak, Hacrese hanya mampu bergeming lebih lama. Pandangannya yang semula bergetar kini menjadi kosong. Apa yang pria tersebut lakukan hanya pergi menjauhi Ulysses, menapaki lantai kembali, pun melangkah mengarah keluar bersama si penjaga.
Begitu hendak melintasi kepala manusia yang tergeletak di depan kakinya, Hacrese dengan mudah melangkahi tanpa memandang ke bawah. Seakan, di sekitar sana tak pernah terjadi apa-apa selain peringatan barusan.
Ulysses mengambil napas lebih dalam lagi, berusaha menghirup sebanyak yang ia bisa sambil memperhatikan Hacrese meninggalkan ruangan. Sesekali dia terbatuk lagi dan merasakan suasana tempat ini menjadi sepi. Ketika pintu mulai bergerak menutup, Hacrese menyempatkan membalikkan arah muka; melirik pemuda itu dengan sebelah mata yang jauh lebih nyalang dan bengis.
Sedangkan Ulysses kembali diam-diam semringah tiga detik sebelum pintu yang menjulang di sana benar-benar tertutup rapat.
"Semoga panjang umur, Raja Baru." []
BIG THANKS untuk kalian yang mampir baca kemari ><)/ have lot of nice days!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top