I.VII. ᚱᛟᛚᛚᛁᛜ᛫ᛒᚨᚲᚲ
SEKARANG IA tidak lagi mengenakan pakaian asal-asalan seperti saat ketika Hendrix masih menyeretnya untuk berkeliling di sekitar pasar—atau barangkali berdiri di antara para pedagang bergengsi sekaligus mendengarkan pembicaraan tentang sebagaimana hebat ketenaran mereka—sampai Ulysses merasa bakal mati kebosanan hari itu juga. Alhasil dari permintaan sang Katalis terhadap naga api, bahan yang digunakan selama perjalanan ke suatu tempat—pastilah cuma Ellesmere yang tahu—hanyalah katun halus dengan warna biru gelap, juga nyaris tampak seperti hitam. Sepatu kulit, rompi bertudung senada sekaligus sebuah pedang pendek.
Sembari menatap diri dengan jengah luar biasa Ulysses berkaca di salah satu kamar yang tak jauh dari tangga. Semakin ia sibuk berlutut mengikat tali tas perbekalan di belakang punggung dan kaki, berangsur-angsur luka yang tercipta dari belati Hendrix semakin memudar dengan sempurna. Ia melihatnya, mengecil dengan janggal bahkan melapisi—menutupi daging beserta pembuluh secepat api membakar kertas tulis.
Pandangan Ulysses cepat mengarah pada pedang yang sengaja Hendrix letakkan di atas meja. Tangan pemuda itu meraih gagang dan membuka bilahnya. Sedikit penasaran, ia segera menggenggam besi tajam tersebut dengan tangan kosong.
Kontan benda yang bahkan tak mudah hancur itu melebur, menjadi lelehan merah terang selayaknya besi cair yang baru saja dikeluarkan dari api. Ulysses tidak benar-benar menghiraukan apakah tetesan menyala di sekitar kaki bakal merusak permukaan lantai rumah Lune lagi, yang ia lakukan hanya memperhatikan tiap reaksi yang muncul atas kendali Mananya.
Lalu, terangkat kembali ke udara dalam bentuk pasak berukuran lima belas sentimeter sebanyak sembilan buah. Salah satu tangan Ulysses berayun sedikit, mengendalikan benda-benda yang bisa ia guyur dengan racun tersebut masuk ke dalam tas perbekalan kecil yang terikat di kaki. Denting samar terdengar, tetapi tak sampai merambat ke lantai bawah.
Sekarang tinggal tersisa gagang pedang tak berguna.
"Berangkat dengan kapal, huh?" gumam Ulysses sembari memasukkan sedikit gagang untuk dipasangkan kembali bersama sarungnya. Raut yang datar dan pemalas berakhir berganti angkuh. "Biar kujelaskan mengapa kau harus sesekali mendengarkanku untuk tetap memilih rute langit."
Pedang kosong yang terkesan mahal dan mengkilap tanpa bilah—kosong melompong hilang guna—kini ia selipkan di samping pinggang. Membawa asumsi massal ketika mereka tiba di atas geladak bahwa seseorang tengah membawa sesuatu yang bisa membela, terutama untuk Ellesmere sendiri.
"Tapi," Ia menyeringai kecil. "Menyenangkan juga ketika pandangan terbatas para makhluk fana itu tidak pernah berubah untuk ras seperti kami."
ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ
I. VII. Rolling (Back)
"Tidak, kau akan tetap pergi menemui Haildanerc," suara Hendrix terdengar menggema samar di lantai bawah. "Kita tidak punya waktu, mengingat kau tak sengaja menumbuhkan bunga katalis di tempat seperti ini. Ayahmu—bukan, Aslar Raem mustahil bergerak sepasif yang kau kira. Dia adalah naga roh. Siapapun bisa ia jadikan kaki tangan—termasuk kami, termasuk Sin dan seluruh Kerajaan Solvenmber."
Lune menambahkan, tampak lebih mengiyakan ucapan Hendrix. "Kami mohon pergilah ke Aō Lidris dan minta Haildanerc menanamkan bunga es Caànan di tanganmu yang lain. Selain kau, kami tidak memikirkan Katalis North Aralt'Sys yang bisa diandalkan, terlebih setelah sebagian besar terbunuh semenjak Ulysses disingkirkan ke Ranah Pengasingan Acledesent. Jika tidak—"
Sengaja sekali kedua kaki Ulysses menekan lantai kayu hingga timbul suara menggeduk lambat sekaligus berkali-kali menghantam permukaan dengan gema yang cukup nyaring. Dirinya turun menghampiri ruang tengah, berniat menghampiri Ellesmere—yang kini berperawakan seorang wanita dewasa—pun bukan sesosok anak gadis ingusan dengan tampang keras kepala nan memusingkan. Siapa sangka reaksi dari aksi sang naga titanium justru sukses besar membuat kedua tuan rumah Hutan Pinus Elsorses tampak jengkel kecuali sang Katalis. Mulanya Ulysses memandangi mereka satu persatu, Hendrix mulai mendengkus kesal, kemudian mata kemuning yang nyaris beralih zamrud tersebut berhenti pada Ellesmere.
Dia lalu menghentakkan sebelah kaki tiga kali sembari melancarkan senyum tertahan pada calon lawan bicaranya. "Katakan, apa aku sudah keren?" Seusai itu ia bertingkah seakan tinggal sang Katalis saja di hadapannya.
Ellesmere balas senyum pasrah.
"Oho," sarkastis Hendrix. "Jadi ini sifat aslimu?"
"Kepada Serein yang terhormat, tentu saja."
"Serius, Ul. Kau menjijikan." Lune menambahkan.
Jauh dalam benak Ellesmere, ia mampu mengetahui sesuatu selain kebohongan dalam hati sang naga. Terasa seperti ia kebingungan harus terkekeh lucu atau miris di detik yang sama. Ia yakin Ulysses merasa muak menatap refleksi dirinya semenjak berdiri di depan cermin karena iris zamrud milik Ellesmere—salah satu warisan sang ibunda—yang kini Ulysses akan memilikinya juga. Kemudian melihat perawakan sang katalis yang semakin mirip dengan seseorang yang naga titanium itu sangat mengenalinya, terpikir apa luka yang telah tergores itu semakin melebar dan memilukan hingga nanti.
Ia tak pernah tahu kapan akan menyakiti sosok seperti Ulysses—bukan fisik, meski itu adalah trauma yang mungkin akan sirna, meski itu hanya tersisa kenangan. Atau barangkali, siapa tahu, justru akan terjadi sebaliknya?
"Siapa yang bilang?" Ulysses melipat tangan ke depan dada. Bukannya merasa marah atau sinis, pemuda itu makin melancarkan teknik memancarkan cahaya kelebihan pesona supaya Lune cepat-cepat buta. "Lihat kemari baik-baik! Aku sudah belajar sesuatu yang sangat berguna—aku tidak tahu mengapa Tn. Heiron bilang ini berguna ..., berguna di hadapan manusia wanita, err—baiklah, lupakan soal mengapa! Kau seharusnya langsung tersenyum suka padaku, Lune!"
"Tuntutan macam apa itu!?"
"Pak Tua mesum dari Kerajaan Dracon sampai kau dengarkan, Ul!"
"Kau juga, Hendy. Sadarlah sedikit!"
Dahulu tenggelam dalam lamunan adalah hobi rutinan bagi Ulysses di saat semua orang sedang berisik. Sekarang Ellesmere bisa melakukannya tanpa sadar.
"Siapa yang bilang ...," Ulysses mengulangi pertanyaan sebelumnya, sembari luwes menolehkan kepala pada Ellesmere tanpa merubah lipatan tangan hingga manik gadis itu segera menyadari kedua manik mereka saling bertabrakan. "... Kalau hal itu akan semakin merusakku?"
Dalam sekian detik selama semua orang bergeming termasuk Ellesmere yang terdiam seribu bahasa, Ulysses menerjap sekali dan kontan iris pemuda tersebut telah sempurna berwarna zamrud. Sorotnya menjadi berkilat tajam.
"Ellesmere?" tambah Ulysses, dengan nada pongah yang sama. Sama—bukan, tekanan aura sosok itu lebih kuat dibandingkan ketika mereka berdua sedang berada di meja makan. Mana sepanas api yang menggulung ke sekitar ruang tengah kini makin terasa saling bertolak. "Kau berani berpikir kau akan mengenalku sebaik ibumu, lalu inilah aku. Sampai sekarang pun aku bahkan ragu akan diakui—paling tidak sebatas sebagai seorang partner di dalam kepalamu."
Hendrix tidak mungkin menambahkan apa-apa. Mendengar Ulysses sontak berbicara tentang saling percaya tersebut sudah pasti berasal dari keraguan Ellesmere seorang. Dalam diam ia tergoda untuk terkekeh sampai membayangkan ke belakang bagaimana sikap Lune baru-baru ini terhadap sang naga api. Tentu saja, ia mengerti apa yang terbesit di otak naga titanium seperti Ulysses—terlebih pemuda itu telah terikat kontrak dengan manusia sama seperti dirinya. Sedangkan Lune sendiri tak sengaja mematri raut tegang yang perlahan memudar terhempas waktu. Jika keraguan ikut serta menjadi penghalang tepat setelah terikat kontrak ...
"Haruskah aku melakukan sesuatu yang lebih agar kau mau mengandalkanku?" tanya Ulysses terdengar lebih melunak. Namun, tetap saja Ellesmere terbungkam cukup lama dan malah lebih memilih mendengarkan. "Kemudian tidak akan membuatku tersinggung dengan perasaan khawatirmu."
... Maka, penentuan itu ada pada hari ini.
Sekian detik sebelum bereaksi, pandangan mata Ellesmere perlahan merendah, teralih ke sembarang arah hingga Ulysses sampai salah sangka bahwa gadis itu mungkin akan mengatakan sesuatu yang kurang kedengaran menyenangkan. Ternyata tidak, Ellesmere lantas mendengkus tak tahan lalu terkekeh kecil—tampak tergelitik. "Astaga, kupikir kau bisa lebih kejam daripada ayahku. Semua manusia memiliki sifat khawatir dan itu wajar saja, Ul. Khawatir akan sesuatu yang buruk, menghadirkan perasaan ketakutan dan juga harapan."
Ulysses menunggunya melanjutkan ucapan.
Sementara Ellesmere mendongak—menatap lurus iris sang naga titanium.
"Inilah manusia, Ulysses Heldist—makhluk paradoks yang selalu mereka sangka sangat sempurna." Gadis itu tersenyum getir, berusaha membuat Ulysses lebih paham dengan situasi yang menimpa pemuda itu. "Kami memang sempurna—banyak hal yang kami miliki dibandingkan bangsa lain—tetapi hal itu pula yang membuat kami tetap menjadi makhluk dengan segunung kekurangan."
Ellesmere menambahkan lagi, setelah kembali melempar pandangannya lebih rendah sekaligus menelan saliva, "... Dan kau akan menjadi bagian dari mereka suatu hari nanti."
Di luar pengawasan Ellesmere setelah itu, diam-diam Ulysses melirik Lune penuh selidik sekaligus Hendrix. Tanpa mengubah posisi tangan yang melipat di depan dada, tidak ada ekspresi menegang meski selama sekian detik, juga guratan lain yang membuat siapapun melihatnya bakal menerka bahwa pemuda itu sedang tidak senang.
Tidak lama kemudian Lune tertarik menolehkan kepala pada Hendrix—melempar sorot yang sama-sama tak terbaca. Lalu, kontan di detik yang sama ketika ia berfokus lagi pada Ulysses, Lune segera bersuara, "Salah satu dari kalian tidak mungkin memaklumi kedua hal itu, aku tahu. Kau memiliki tujuan baru, Ul, dan Ellesmere tak akan mampu membuang sifat manusianya secepat pula semudah itu. Terkadang membutuhkan waktu untuk membentuk jiwa kalian seperti satu. Namun, Ulysses ...."
Selagi Lune melanjutkan, Ulysses sedikit memiringkan kepala. Manik zamrudnya berkilat. "Ini kali pertama kau membentuk kontrak dengan manusia, setelah denganku, seusai rune pemanggilan itu. Kami tidak sepenuhnya mempunyai pemikiran yang serupa dengan bangsa fana, itu seringkali membuat para Dracon sedikit terkejut. Aku mengerti Ellesmere memiliki perasaan yang sama dengan Serein—ibunya, juga tuanmu terdahulu. Bagaimanapun akan ia pikirkan supaya kau terhindar dari kesalahan persis seperti yang telah diperbuat oleh Aslar."
Ulysses hanya mengembangkan senyum, kemudian mengangkat bahu sekali. "Hm. Aku akui," ujar Ulysses. Dalam suasana yang mencair itu, Ellesmere makin tertunduk, sedikitnya mencuri perhatian sang naga titanium kembali, bahkan setelah kedua tangan gadis itu mencengkeram kuat baju sendiri.
"Katakan, Ulysses. Apa tujuanmu ... demi hal apa, kau memilih ikut denganku dan berkeinginan menjadi manusia?" Entah apa yang membuat sang Katalis mengalirkan air mata di tempat yang sama, Lune pun tak mampu menebaknya. Sedangkan Hendrix, sekilas tetap, tidak ubahnya membayangkan sang ayahanda dari Ellesmere.
Naga Roh yang beralih menjadi manusia, menjadi Katalis.
"Tidak mungkin ada satu pun manusia yang tak berpotensi menjadi Iblis. Manusia bisa menjadi monster bagi mereka sendiri. Mereka rapuh, jauh lebih lemah dibandingkan bangsa manapun. Anugerah cahaya yang menekan sisi iblis dalam diri mereka tercipta atas pembiasaan dan kerelaan; bukan kelebihan yang sudah ada tanpa keinginan dan tetap." Sebentar menghirup napas sekali, tangan Ellesmere segera berganti mencengkeram lengan baju Ulysses—menyentaknya bersama perasaan yang kini dirasa akan memangsa, menggerogoti kepalanya juga. "Tidak masalah kalau kau berubah pikiran. Aku ... aku berencana membawamu menemui Haildanerc selain membawa katalis es, sekaligus mencari cara agat kontrak ini bisa terlepas darimu. Dengan begitu kau tidak perlu menanggung beban yang sama, terutama untuk Sin dan Perces. Bukankah itu lebih baik?"
Bukannya tampak serius memikirkan serentetan ucapan Ellesmere, pemuda itu hanya menanggapi dengan sorot yang sama; bahkan lebih santai daripada ketika saat ia berbicara tentang kemungkinan Ellesmere tidak akan mengakuinya sebagai partner. Seakan omongan yang dimuntahkan sembari tak sengaja menghujam sang naga dengan perasaan negatif—yang kala itu terhubung tanpa pengecualian—hanya sekedar angin semilir belaka.
Oh, siapa sangka dibalik hantaman kecemasan yang asing dari hati Ellesmere bakal terasa seperti gula bercampur pasir kasar nan panas di dalam mulutnya? Berkat keinginan mulia manusia itu, dalam waktu sementara ia benar-benar mencicipinya selayak makanan penutup. Pula keinginan terhadap bayang-bayang kengerian membawa sang naga merasakan rasa nyeri dipaksa untuk menelan yang sama sekali tidak ia inginkan.
Dengan hati-hati netra Ulysses menyusup ke dalam pupil yang sewarna kristal hijau di hadapannya.
Ia bergumam pelan, "Mengecewakan."
"Ulysses ...."
"Namun ..., terima kasih." Senyum pemuda itu semakin kontras.
"Sepenuhnya membentuk sugesti agar kau putus asa dan menahanku; reaksimu tidak buruk, Adik Kecil." Dia malah terdengar agak protes. "Seharusnya tadi kau bicara lebih banyak."
"Apa maksudmu?" alis Ellesmere bahkan sampai bertaut saking heran. "Mengapa kau malah membahas—"
Denting pada jam saku, pasir waktu, dan mentari emas yang mengintip di sela pecahan awan sontak berhenti dikekang hening. Ellesmere tidak mampu melanjutkan ucapan sendiri, bahkan setelah seketika menyaksikan waktu berguling mundur dengan janggal hingga mencapai titik momen di mana Ulysses turun melalui tangga.
Suara derap langkah yang menggeduk itu kembali terdengar, dan semakin nyaring.
Segalanya kembali dari awal.
"Tidak, kau akan tetap pergi menemui Haildanerc," suara Hendrix terdengar menggema samar di lantai bawah. "Kita tidak punya waktu, mengingat kau tak sengaja menumbuhkan bunga katalis di tempat seperti ini. Ayahmu—bukan, Aslar Raem mustahil bergerak sepasif yang kau kira. Dia adalah naga roh. Siapapun bisa ia jadikan kaki tangan—termasuk kami, termasuk Sin dan seluruh Kerajaan Solvenmber."
Lune menambahkan, tampak lebih mengiyakan ucapan Hendrix. "Kami mohon pergilah ke Aō Lidris dan minta Haildanerc menanamkan bunga es Caànan di tanganmu yang lain. Selain kau, kami tidak memikirkan Katalis North Aralt'Sys yang bisa diandalkan, terlebih setelah sebagian besar terbunuh semenjak Ulysses disingkirkan ke Ranah Pengasingan Acledesent. Jika tidak—"
Ellesmere menerjap sekali, lalu mendapati kedua leher tuan rumah Hutan Pinus Elsorses tersebut segera terhujam masing-masing dua jarum besi seukuran lima belas sentimeter setelah melesat dari belakang rambut Ellesmere. Sang katalis seketika terkesiap, memundurkan kaki setelah sosok—yang berganti menjadi dua gagak hitam legam—itu ambruk di detik yang sama. Sementara suara derap kasar yang tak lagi dihentak secara sengaja telah berhenti tepat di depan pintu.
Diiringi ekspresi syok selama berganti tatap pada bangkai gagak dan si penyerang; Ulysses, Ellesmere memanggilnya pelan.
Pemuda itu tidak bicara apa-apa selain menarik kembali besi-besi yang menyerap darah korbannya dengan jemari telunjuk dan tengah. Menjadi ukuran yang lebih besar selayak tongkat, kemudian gagak yang terlepas dari senjata sang naga seketika membatu, meretak, dan hancur melebur.
Dengan enteng mengubah bentuknya kembali, yang sebatas tongkat runcing menjadi pedang pendek sambil bertanya, "Kau sudah bangun?"
Ellesmere masih membeku di tempat.
"... Adik Kecil?"
Memikirkan situasi yang membekuknya membuat Ellesmere tak sengaja mengumpulkan kesadaran lagi dengan menarik napas dalam-dalam. Demi Tuhan! Dia benar-benar tidak menyangka itu akan terjadi! Semua terasa biasa saja, bahkan normal! Namun, dalam beberapa waktu, tidak dipungkiri bahwa Ulysses pasti akan bepergian bersamanya—terlepas pemuda tersebut masih memikirkan hal yang sang katalis ucapkan atau hal tersebut malah tidak dianggap. Gadis itu harus bangun! Sekarang juga! Kepala Ellesmere menggeleng dua kali sembari berusaha menghampiri Ulysses. Ia akan dan harus terbiasa dengan sesuatu yang kelihatannya lebih buruk dari sekarang.
Sementara dirasa cukup mengawasi Ellesmere di sana, Ulysses segera berlanjut mendatangi beberapa ruangan di koridor lain.
"Di mana Lune dan Hendrix?" tanya Ellesmere cepat. "Apa mereka baik-baik saja?"
"Astaga, kukira kau sudah habis napas." Ulysses terkekeh. "Kau akan tahu."
Netra Ellesmere memicing tajam memadangi sekitar. Cara jalan Ulysses yang cepat membuatnya harus mengeluarkan sedikit usaha untuk mengimbangi dan nyaris berlari kecil. Ia tidak begitu mengerti apa yang tengah menyerang tempat ini, yang jelas, tak mungkin sesuatu selain utusan sang ayahanda. Namun ... mengapa yang pertama justru para gagak? "Haruskah aku menetralkan tempat ini sekali lagi?"
"Aku malas mengakuinya tapi itu ide yang buruk." Ujung pedang Ulysses kontan ditempelkan ke atas plafon. Menggeretnya sambil melangkah sehingga menghasilkan bising samar seperti pisau menggores triplek kayu yang licin. "Jika kau ingin tahu, mereka datang karena tanganmu. Mungkin juga ingin memotong habis tanganmu begitu tahu lengan mana yang tertanam katalis api milik North Aralt'Sys."
Sengaja tak sengaja Ellesmere tidak mampu menutupi ekspresi terbelalaknya. Tangan, sial, tangannya ingin dirampas! Mendengarnya saja sungguh terdengar gila!
Langkah Ulysses terhenti, nyaris membuat Ellesmere menabraknya. "Jadi, biarkan mereka kebingungan di sini." Sang naga melanjutkan, seusai menandai di mana plafon ia berhenti, setelah memperingati Ellesmere untuk segera memberinya ruang agar bergerak leluasa, dan dirinya sontak menusuk hingga menembus permukaan kayu di atasnya.
Mulai dari cipratan darah merah kehitaman, hingga pekik sakit seorang laki-laki yang dalam waktu singkat beralih menjadi raungan berat menggelegar bak sambaran petir. Dan, ah, jangan lupa soal dimensi astral yang mendadak saja aktif di tempat itu.
Sebentar lagi, melepaskan jiwa seseorang bisa menjadi sangat mudah.[]
a/n:
Hi, welcome back to Catalysts The Ignoble King!
Buat yang dijanjiin update bab terbaru ini, selamat membaca dan semoga terhibur :D
Multimedia: Two Steps From Hell - Mythic
//ugh:") lagu kaporit skali//
- N e v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top