I.VI. ᚨᚾᚲᛁᛖᚾᛏ

... semaumu, Jester.

angsa hitam; yang kaulempar

bersama utusmu, guyon kelam itu

gelitik kepala pembesar Raja;

maya,

namun saksiku; di tempat jauh

t'lah kauriakkan

dunia

dengan lidah.

ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ

I.IV. Ancient


ULYSSES MEMANDANG kosong ke depan. Seharusnya ia tak berdiam seperti ini, sukar merasakan apa-apa kala kekacauan baru saja meninggalkan bangkai-bangkai naga keluarga Heldist beserta jasad seorang wanita di sana. Udara mendadak saja menghampa pun waktu berhenti dengan janggal. Sakit pada kepalanya semakin menjadi, darah merah segar mengalir begitu saja di pelipis hingga mendarat sempurna ke atas kain putih—selimut tipis yang tengah membungkus hangat bayi manusia yang sedari tadi tertidur lelap dalam dekapan sang naga.

Yang Ulysses pikirkan hanyalah tentang seberapa besar sisa Mana yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan wujud manusianya agar dapat membawa bayi itu dengan cara yang benar. Selebihnya benar-benar sangat kabur. Berkat hari ini, untuk yang pertama kalinya, Ulysses merasa hancur secara perlahan—meski ia tak ingin. Bersikeras mempertahankan sisa-sisa empati sebelum segalanya menghilang berganti dengan yang lebih biadab, mungkin.

Serein telah tinggal nama. Jasadnya tidak lebih parah daripada bangkai keluarganya yang sudah berserakan di mana-mana. Naga dengan kasta paling tinggi bahkan enggan menjamin gejolak mengerikan dari para naga yang kehilangan Penjaga Segel Mana mereka.

Tidak sama sekali.

Kontraknya dirusak, jiwa yang seharusnya satu terhubung kini pecah dan nyaris tak menyisakan apapun. Bau amis darah yang masih hangat memenuhi udara North Aralt'Sys, mengundang kegerombolan keluarga besar Scandor untuk melacak mereka setelah Ulysses.

Ketika mereka datang, tak seorang pun yang lebih dulu menghampiri Ellesmere kecil.

"PANGGIL DAN BAWA KELUARGA RAEM KEMARI! CEPAT!!!"

Sandraca—wanita dari keturunan Alsoremn, naga air itu kalang kabut seraya berteriak panik. Dengan cepat dirinya mengubah wujud selama mendarat dari atas pepohonan hutan lalu menghampiri Serein dengan rona wajah memerah padam. Wanita itu menahan emosi sendiri, tentu saja. Beberapa naga betina turut meraung tinggi, menangis dengan menggemakan suara-suara yang meyayat dada begitu melihat apa yang ada di sekitar Ulysses. Namun, langit enggan berduka, memperlihatkan bahwa kematian mereka sungguh dibuat sangat hina. Ketika keluarga Raem datang tanpa mampu mendapati adanya kesempatan bagi mereka untuk mempertahankan Serein dengan segala cara, apa daya—Sandraca ikut memekik keras. Lutut yang selalu tampak tegak tersebut kini dikalahkan gravitasi. Manik kemuning yang menyala tajam pun bercelak karena air mata.

"Serein ...! Serein ...!"

Setelah bau amis memuakkan penghidu, kini yang meracuni kepalanya adalah suara tangis. Udara hangat oleh kobaran api kini lebih terasa membeku kelam, pelan-pelan mengusik bayi mungil yang tengah bermimpi. Tak ada yang tahu persis siapa yang berhak dibalas atas ini, termasuk Ulysses.

Sedikit demi sedikit ia tersadar bahwa kecacatan itu tidak hanya sampai di sana. Dibandingkan tak tahu, ia, Perces, atau Sin nantinya tak akan mengenali bagaimana rasanya marah, sakit, atau bahkan merasakan kehilangan selayaknya manusia biasa. Ulysses bahkan tak bisa bersedih dengan segala yang terpampang di hadapannya.

Bahkan sedikit saja. Tanpa penyesalan.

Kecacatan seperti ini ... bukankah sama artinya mereka kembali seperti binatang? Bukan manusia?

Setengah detik lutut Ulysses hampir patah menekuk akibat kehabisan Mana, Ellesmere terbangun. Ia menangis yang mulanya pelan hingga terdengar jelas di antara kebisingan para naga. Kontan kepala pemuda itu tertunduk—mengamati wajah seseorang yang sedari tadi ia dekap erat. Sulitnya memikirkan sikap yang seharusnya dilakukan seperti berusaha menangkap angin. Tanpa wujud, tanpa bisa dicengkeram kuat.

"Ulysses."

"Ulysses." Sekian detik setelah itu, suara yang memanggilnya terdengar berbeda. Kemudian ia tersadar tengah membiarkan kelopak mata terbuka entah selama apa. Bayang-bayang langit-langit kamar Lune mendadak saja tampak—meski belum terlalu jelas—lalu menghilang begitu cepat seperti asap. Seolah gagal mengendalikan diri lagi, visual yang ditangkap justru makin bergonta-ganti dan menggila tanpa ampun. Membuat kepala sang empu berdenyut sakit, kebingungan, dan berakhir terperangkap dalam halusinasi tentang mimpi buruk itu kembali dalam waktu singkat.

"Ulysses."

Sandraca memanggil, membuat sang keturunan terakhir Heldist mendongak ke depan. Keempat netra emas seketika bertabrakan. Berbeda dengan Sandraca yang menatap seperti tengah menahan sakit—pedih—yang cukup berbeda ketika mereka merasakan cedera fisik, Ulysses lebih memandang sosok itu kosong. Kadang terbesit pertanyaan konyol seperti; sesakit itukah? Serein sudah mati, dagingnya terkoyak, pembuluhnya berhenti mengalihkan darah, tubuh yang dingin itu, bukankah seharusnya kau—dan mungkin kami juga—menggigil beku sampai pingsan? Atau sampai sama-sama lumpuh?

Wanita dengan surai keemasan tersebut telah berdiri di hadapannya bersama beberapa orang dari keluarga Scandor—naga api, seolah bermaksud memaksa Ulysses untuk menyerahkan keturunan 'Ain Sentinel murni itu. Menerka di saat seperti ini sungguh menyesalkan, pikirnya, ia berubah pikiran. Semestinya Ulysses segera menjauh dari North Aralt'Sys—neraka hina ini—juga menjauhkan manusia mungil di tangannya dari mereka.

Sorot mata mereka ... sekarang ia benar-benar membencinya.

Ulysses memutar mata kepada satu per satu dari mereka, tajam dan dingin, "Jangan menyentuhnya," salah satu tangan sang naga terangkat, mendekap lebih erat hingga tak sengaja saja tangisan itu perlahan mereda. "Dia milikku."

Di antara Scandor yang tersentak waspada, Hendrix tak bereaksi. Bergeming sekaligus terhenyak sendiri.

"Camkan itu."

Sandraca tak mau kalah, dirinya cepat-cepat maju dua langkah ke hadapan Ulysses. "Setelah ini, sudah jelas, kau akan rusak karena kehilangan nyawa Serein. Jangan menjadi pemuda lugu, Ulysses. Bayangkan betapa mengerikan ketika seekor naga yang bahkan tak mampu lagi mengendalikan dirinya sangat berani bertindak sebagai pahlawan untuk melindungi seorang manusia—di samping dia sendiri tidak mampu menjamin tak akan membunuh makhluk lemah itu?"

"..., Aku tidak akan membunuhnya." Ulysses menggeleng sekali, serta merta mulai mundur perlahan diiringi orang-orang Scandor yang hati-hati berusaha mendekatinya. "..., Kalianlah yang akan membunuhnya. Enyahlah, atau harus kuhancurkan leher kalian supaya tetap diam di sana!?"

"Kau tidak mengerti. Dia bukan milikmu!"

Ulysses mendelik. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram kuat kain-kain yang ada di sekitar. Pandangannya tetap kosong mengarah ke langit-langit hingga seseorang berseru khawatir.

Ia tak pernah tahu bagaimana harus terbangun.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan!" yang berseru lantas berbicara dengan nada gemetaran, terisak. "Aku melihatnya! Segalanya terlihat jelas tapi aku tidak bisa menjangkaunya! Ia menolakku untuk ikut campur!"

Pemuda dengan surai abu-abu tersebut menggertak. Sihir yang merambat bak gelombang penuh sengat listrik sejauh satu setengah meter ke depan dan tekanan udara panas kontan meledak menggelegar—otomatis mengempaskan Sandraca dan Scandor hingga sepuluh meter jauhnya sementara Ulysses terus bersikeras menjaga manusia tersebut. Beberapa dari mereka harus menerima hantaman badan pohon hingga tumbang dalam sekian detik. Percikan api tercipta, membakar dedaunan sekitar mereka.

Semua naga bertahap nanar. Tak terkecuali Hendrix—yang terdorong ke belakang sampai jatuh menyeret tanah. Pun ia harus merasakan setengah raga manusia sang naga api nyaris lumpuh bahkan lecet karena serangan barusan. Sengat listrik yang setara kuatnya dengan pecahan sambaran petir itu membuat telinga sang naga api berdenging cukup lama. Pandangan beberapa detik kabur pun kepalanya terasa sakit.

Sesaat berusaha bangun, yang lain tersadar telinga mereka sudah berdarah.

Di tengah napasnya yang memburu, Ulysses terhenti untuk mundur. Aliran Mana yang dilepaskan secara horizontal kini jatuh ke sekitar kaki. Ia bisa saja menendang mereka sampai mati kalau perlu. Apapun yang terjadi, satu manusia yang berada di tangannya tak akan ke mana-mana. Namun, tanpa disangka suara sesamar bayang-bayang terdengar bergaung di telinga. Memanggil nama sang naga dengan janggal.

Ulysses ... Ulysses ....

"Ibu ...? Ibu!?" gumam Ulysses, tampak kalang kabut memandang ke sana kemari kebingungan. "A-apa ...? Mengapa—" tangan kanan Ulysses sontak mencemgkeram kepala sendiri seusai menangkap kembali di mana jasad Serein terkoyak jelas. Memerah berdarah.

Air mata pemuda itu mengalir pelan.

"Hentikan," kini suara Ulysses berbata, tersekat entah mengapa. "..., Berhenti memanggilku."

Sandraca bangun. Si surai emas meringis kecil sembari memegangi lengannya yang cedera. "Sial, dia mulai berhalusinasi."

"Ulysses," alis Hendrix bertaut.

"Berhenti memanggilku, Serein!!!"

Geraman itu berhenti seketika setelah sebuah tusukan benda tajam terasa di bawah nadi pemuda itu. Meninggalkan jejak panas terbakar dan pedih hingga tetesan darah membasahi pundak sang naga.

Hening.

Kini netra kemuning elang tersebut bertabrakan dengan iris Hendrix yang sewarna tembaga menyala. Tangan sang pedagang pun nyaris mencekik—menekan kuat-kuat leher Ulysses sementara tangan yang lain berhasil mengiris sebagian permukaan kulit di hadapannya. Mereka berdua terdiam cukup lama—paling tidak sampai iris sang naga api meredup secara keseluruhan, tak peduli menggubris kesenyapan selama sekian detik seolah pria dengan pakaian sutra hitam tersebut sungguh menaruh niatan memastikan apakah sosok bocah ingusan di depannya sudah benar-benar bangun. Hanya saja berbeda dengan Hendrix, Ulysses tengah terbaring dengan raut sedikit syok dan napas memburu.

Dengan tatapan jengkel sekaligus jijik Hendrix segera menyingkirkan bilah yang telah menghitam merah bagai lava api dari jangkauan Ulysses—melempar asal ke sembarangan arah hingga menimbulkan bunyi denting berat di atas lantai kayu—dan menaruh nada bicara yang selaras dengan cara ia memandang pemuda tersebut sebelum akhirnya benar-benar menjauh.

Hendrix mendengkus gak tahan.

"Akhirnya kau bangun, Berengsek."

Lagi, Ulysses masih mematung dengan ekspresi yang sama. Ia tidak mengerti.

"Kalau kau masih tidak ingin berusaha membedakan antara dunia nyata dan ingatan lama, lebih baik kugorok saja lehermu itu sebelum semuanya musnah."

Hembusan angin semilir menerpa kulit Ulysses, membuatnya menoleh ke sisi kanan setelah sempat memicing mencerna tiap kalimat yang Hendrix lontarkan. Kemudian benar saja, kamar Lune beserta koridor sudah porak-poranda dengan sisa-sisa api kecil persis seperti bekas ledakan besar di ingatannya.

Tanah sekitar halaman ikut berantakan menganga seakan ada monster yang tak sengaja mencakar habis rerumputan hijau kekuningan di sana dengan kuku raksasa. Beberapa badan pohon sama terbakar seperti lantai dan dinding kamar Lune, serpihan kayu beterbangan di udara, sulur sulur bunga api katalis North Aralt'Sys yang merayap menguasai tiap sisi ruangan, dan hawa panas yang menyengat kulit.

Namun, setelah melihat sekeliling Ulysses bisa merasakan kepalanya perlahan pulih dan ototnya tak terasa selumpuh barusan. Ia beranjak, tidak pelan, malahan berkesan buru-buru dan bisa saja orang awam yang melihat kemungkinan kontan menatap ngeri seusai mendapati pemuda dengan pakaian setengah rusak tersebut masih bisa berdiri selayak orang normal.

Salah satu telapak tangan Ulysses terangkat menekan titik luka yang Hendrix ciptakan ketika membangunkannya. Sama persis dengan kejadian di Istana Negara Solvenmber, ia kemudian memanipulasi sebagian tempat yang hancur akibat ledakan. Semua api menyusut dan serpihan kayu tampak ditarik bagai magnet hingga kembali berkumpul—menyatu membentuk dinding dan lantai dengan sempurna sekaligus teras sampai tepi atap rumah.

Hendrix tak bergeming. Ia segera menyadari bahwa Ulysses memulihkan semua benda mati di hadapannya, akan tetapi tidak pada lukanya—meski ia yakin pemuda itu bisa saja melakukan regenerasi paling tidak untuk diri sendiri.

"Kau berusaha tetap bangun dengan mengorek dan makin memperparah lukanya," ujar Hendrix. Sejujurnya ia lebih memilih tidak peduli. Namun, semakin sengaja ia lihat, semakin pria itu merasa tidak nyaman dengan jari-jemari yang dengan enteng luar biasa malah menekan luka menganga di sana. "Kau jadi makin sinting."

Bukannya merasa terganggu, Ulysses justru tambah sibuk terfokus dengan rasa pedih yang menjalar di antara syaraf dan otot lehernya. Dia tak langsung menjawab, menganggap ucapan Hendrix sebagai angin lalu, dan mencoba menerjap dua kali sekaligus isyarat langsung kalau ia memang sudah sedikit terusik dengan rasa nyeri buatan sendiri.

"Kupikir sekarang ... aku mulai membutuhkannya," timpal Ulysses lambat. Membayangkan diri mengiris kulit ketika akan kambuh mungkin ide yang bagus. Dibandingkan dengan suasana sebelumnya, sekarang ia sendiri pun merasa aneh.

Harusnya ia tetap merasa kacau.

Seingatnya. Sekarang semua sangat kosong. Rasanya lebih melegakan, walau pun setelah bangun benar-benar tampak tak bertenaga sama sekali. Beban penyesalan yang memuakkan itu seolah baru saja pergi sembari sedikit menjejaki kepala sang naga dengan percikkan endorfin yang membingungkan. Persis ketika Serein masih ada, bahkan ia sadar betul terdorong setengah tersenyum selama sedang mengoreki luka di leher.

Ada yang hilang.

"... Tapi, rasanya jauh lebih baik." Pandangan Ulysses tetap mengarah ke dinding kayu, tetapi gerak-gerik irisnya tidak jelas. "Aku merasa ...," ia termanggut sekali, meyakinkan Hendrix sekaligus pada dirinya sendiri. "... jauh lebih baik."

"Hendrix, kau baik-baik saja?"

Sayup-sayup terdengar suara Lune di belakang pintu kamar. Sebelum ia pedulikan, Hendrix terpikirkan untuk segera memeriksa keadaan Ellesmere terlebih dahulu. Sudah pasti si penyihir putih membawa anak manusia—yang mendadak saja pulih dari hilang ingatan—ke tepian hutan pinus selatan. Biar bagaimana pun, ia tak mungkin pura-pura tak tahu apa yang terjadi. Ini kecelakaan. Ia pikir dengan menyimpan salah satu benih bunga katalis dalam jangkauan Lune—seperti yang Haildanerc serahkan terhadap tuannya—bisa menjadi jaminan yang berarti untuk mengendalikan tiga naga Heldist agar ranah mortal tak sepenuhnya berakhir kacau.

Benih itu selayak kartu as.

Sekarang hanya tersisa satu saja di Timur Avestorm. Rahang Hendrix mengeras, memikirkan dua senjata guna melumpuhkan naga-naga terdampar itu justru terasa berakhir menjadi bumerang sendiri. Sejauh yang Klan Scandor tahu, sebuah Kontrak Paksa tak menutup kemungkinan memiliki kecacatan yang parah—sedikitnya kepada para naga—atau jika beruntung, hasilnya bisa jauh lebih efektif dibandingkan kontrak biasa.

Penetralan yang satu ini justru sama sekali tidak bisa ia prediksi.

Kelopak netra Hendrix sempat memicing tajam selama memperhatikan sikap Ulysses, kemudian ia beranjak mendekati pintu. Kontan tanpa bisa-basi seketika membuka gagang dan menariknya hingga Lune sungguhan terlonjak seperti mendapati setan di depan mata.

"Astaga, Hendrix! Kau mengagetiku!" Lune sontak mundur beberapa langkah. Hawa rumah yang ia datangi lagi ini masih memiliki hawa sehangat api unggun yang menyengat, padahal kayu-kayu yang terhempas sampai pecah berkeping-keping itu sudah menyatu seperti semua, dan bertambah sepanas matahari setelah Hendrix—dengan ekspresi tajam menusuk yang mengerikan—mendekati pintu, menggubris keberadaannya.

Lune segera memandang pria itu curiga. Apa dia sedang marah? "A-aku berubah pikiran. Lebih baik aku kembali menjaga Ellesmere sampai kau selesai. Aku akan menunggumu di sana. Gadis itu ingin bicara padamu tentang Ulysses dan ... Keluarga Raem."

Tidak ada perubahan pada sorot Hendrix. Kalau Lune punya kesempatan untuk protes lagi, satu hal yang bakal ia lontarkan lebih awal adalah diamnya sang naga. Suasana di koridor makin tak mengenakan, membuat wanita di hadapan sosok itu menjadi lebih kikuk begitu berusaha kabur keluar dari rumah.

Setelah dua langkah sebelum berhasil angkat kaki dari koridor, Hendrix mendadak saja bersuara. "Kau terluka?" sembari beranjak lagi dari ambang pintu, lalu melintasi Lune yang terpelongo dengan pertanyaan—yang sebenarnya bisa ia anggap remeh, kalau mau.

Lune menggeleng, mati-matian mengembalikan fokusnya dan menjawab dengan nada yang agak konyol, "Tidak?" dan raut skeptis seketika terpancar begitu saja di wajah sang penyihir. Tetap saja, kakinya tak membiarkan ia diam sedikit lebih lama hingga Lune memutuskan untuk buru-buru mengekori Hendrix yang sudah sampai di ruang tengah. Suara mereka terkadang sedikit menggema ke langit-langit selama bicara sambil melangkah berbalapan menuju keluar rumah. "Manaku tersisa sedikit untuk membawanya dan kembali ke sini. Dia masih cukup terganggu dengan ingatan Ulysses. Aslar—bukan, ia bahkan tidak ingin bicara apa-apa setelah ingat sesuatu termasuk ayahnya."

"Aku tahu," timpal Hendrix cepat. Dengan lincah pria itu menuruni anak tangga dan menginjak tanah cuek tanpa alas kaki. "Kemari, Lune. Aku tidak mungkin tahan berbincang satu hal pun dengan manusia cedera. Aku membutuhkanmu."

Dibandingkan cara jalan Hendrix yang berkesan santai tapi cepat, Lune justru tampak kesulitan sampai-sampai ia terpaksa memakai sepatu sekenanya saja hanya demi mengimbangi sang naga dalam berjalan kaki. "Aku sudah memastikan sendiri, dia tidak terluka, lagian, kau sendiri yang memperhitungkannya, sudah pasti aku bisa tepat waktu membawa gadis itu, dan," setelah sedikit bisa menyamai, kini wanita tersebut bicara berbata-bata sebab masih sibuk membenahi kaki hingga selesai total. "... Dan, sebenarnya apa yang terjadi? Kau tidak pernah benar-benar bercerita tentang apa yang sedang kamu khawatirkan selain Ulysses dan Ellesmere."

Sang naga menghentikan langkah, diikuti dengan Lune. Namun, mulai dari sana ia bisa memastikan Hendrix jauh lebih melunak saat menimpalinya.

"Percayalah, aku tidak benar-benar ingin melibatkanmu dengan sesuatu yang sangat menyebalkan untuk diurus termasuk musuh Aralt'Sys," ia kemudian menatap lurus pada Lune, memastikan lawan bicaranya segera menangkap apa yang ia katakan. "Kupikir itu memang tidak perlu. Sekarang aku membutuhkanmu agar tetap menjadi manusia dan selebihnya adalah melindungimu dari rasku sendiri. Mungkin karena alasan itulah mengapa Ellesmere ikut tutup mulut padamu. Dia mengenalku ... dan aku pun sudah lama mengenalnya."

Alis Lune bertaut selama menatap lurus kepada sang naga. Netra tembaga tersebut segera melengkung sebelum salah satu tangan Hendrix menggapai bahu sosok di sampingnya.

Sesaat terbesit sugesti bahwa pria itu sedang berusaha bercanda, ia berharap begitu. Namun, Lune makin membenci pikiran sendiri setelah lebih yakin dengan asumsi yang bertolak belakang dengan sugesti kecilnya.

Dia ada di ranah ini bukan tanpa alasan, bukan?

Hendrix tersenyum tipis, "Jika kau berusaha melindungiku, aku akan tersinggung."

Pedar merah darah yang tercipta membentuk lingkaran di atas tanah. Keduanya seketika berpindah tempat secara serentak.

Hanya membutuhkan waktu tiga detik untuk menyusul Ellesmere. Kini gadis itu tengah mengenakan pakaian Lune—bahkan panjang gaun biru pucat dengan bordir sederhana itu malah berkesan menjauhi mata kaki saking tinggi. Lalu, sesuatu yang lebih penting dari semua itu; ia telah memperoleh ingatannya kembali—setelah setengah mati terombang-ambing di tengah-tengah khalayak manusia berhati iblis—sekarang ia mendapatkan jati dirinya kembali. Kemudian sial sekali begitu sang keturunan terakhir 'Ain Sentinel harus terpaksa menahan sakit selama benih bunga api yang menancap di antara pergelangan tangannya berhenti menumbuhkan sulur dan kuncup merah kehitaman perlahan-lahan di atas kulit tangan sendiri.

Sesekali ia meringis kecil—merasakan sensasi pedih dan sepanas bara api. Seharusnya ia menghindar saja, pikirnya sesal, terutama ketika ia tak sengaja mengguyur benih itu dengan darah sendiri dan tanpa diduga setelahnya justru mendadak menghempas cepat seolah sungguh-sungguh mencari sela luka segar dengan darah yang serupa didapat untuk wadah hidup yang baru.

Ellesmere menghela napas, "Baiklah, apa boleh buat. Kalau diingat-ingat lagi, Aralt'Sys akan terhubung denganku—atau paling tidak, semua sarang naga di Benua Anseont ini berada di bawah pengawasanku."

Gadis itu memejamkan mata. Benih ini pun sama terhubung dengan sesuatu yang serupa di suatu tempat sekitar Lidris—Avestorm. Harum yang berbeda dan dingin menusuk seperti bongkahan es. Sesempat mungkin Ellesmere mengatur napas sendiri, menenangkan diri hingga pertumbuhan sulurnya melambat, dan bunga-bunga api menjadi sukar bermekaran.

"Kau tidak perlu cemas soal benihnya, Hendrix."

Iris Ellesmere kontan membanting pada samping kiri seusai bicara. Kepekaannya terhadap keberadaan seseorang menjadi lebih sensitif—bahkan sangat parah daripada ketika sebelum ia dijebak untuk jatuh menempati ranah ini bersama Hendrix dan Haildanerc. Yeah, naga api yang telah terbiasa adaptasi menggunakan raga manusia dan Lune si penyihir sudah berada tak jauh dari tempatnya terduduk di bawah pohon pinus.

Tentu saja, Lune makin menatapnya khawatir sementara Hendrix menunggu Ellesmere agar segera berbicara lebih.

"Sekarang ... benih katalis yang kaubawa untuk menjagaku ini sudah benar-benar tidak bisa dimusnahkan."

Ellesmere tersenyum simpul.

Hendrix tahu ia sudah bergantian memicing memandangi antara ekspresi Ellesmere yang berbanding terbalik dengan beberapa jam barusan, fisik, dan cara bicara gadis itu sekaligus kelopak bunga berserakan di atas tanah—yang seketika membuatnya seakan kehabisan tenaga secara terus menerus dan mengalirkan peluh—akan tetapi tak membuat pria dengan sutra hitam Solvenmber tersebut bertambah enggan bahkan meminta Lune untuk berbicara menggantikannya bersama sosok tersebut.

Katalis seperti Ellesmere tidak seperti bunga api. Dia tetap manusia, hanya saja memperoleh Mana dan mengendalikan sejumlah naga melalui kontrak.

Lalu, bagaimana sekarang? Setelah tertanam benih bunga katalis tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa Ellesmere justru makin mudah melahap Mana naga yang ada di sekitar dirinya—lebih, tanpa ia sadari—dalam jumlah yang besar tanpa usaha keras.

Salah satu tangan Ellesmere yang lain meraih kristal indigo pemberian Ulysses dan menyerahkannya pada Hendrix.

"Aku tahu di mana Aslar, ayahku," ucap Ellesmere hati-hati. "Dia sudah lama tinggal di ranah ini, bersama kita."

Sedangkan Ulysses, pandangannya cukup lama terpaku dengan Tanpa Sumpah yang melingkari lengan kanannya seperti ular kehitaman. Tak perlu memastikan langsung dari Lune, Tanda Sumpah atas kontak sang naga Heldist dengan penyihir putih seharusnya sudah menghilang. Diganti, direnggut.

Terlepas dari itu, berbagai Mana naga tanpa aba-aba sontak menerobos masuk menusuk paksa tulang rusuk pemuda itu sampai sesak napas, hingga Ulysses tak sengaja menyadari satu dari energi sihir yang terasa familiar.

Ia bisa merasakannya.

Di samping perasaan lega yang membanjiri entah dari mana Ulysses pun tersadar betul bahwa kekacauan barusan terjadi setelah ia menangkap keberadaan Ellesmere—yang tak lagi seperti anak kecil. Entah bagaimana kumpulan bunga dan sulur katalis tumbuh pesat di kamar Lune secara tiba-tiba. Namun, bukan itu yang membuatnya mudah melepaskan rasa bersalah terhadap Serein.

Ah, benar juga. Yang hilang hanya penyesalannya.

Tapi ... bukankah itu tak masalah?

"Sebentar lagi cuaca di sekitar tempat ini tidak akan membantu."

Ulysses menengadahkan kepala. Dia baru sudi melepaskan goresan pada lukanya begitu mendengar suara Ellesmere tepat di belakang—di ambang pintu kamar. Cara bicara yang polos dan bodoh itu sudah berubah menjadi suara wanita dewasa. Mungkin juga sedikit lebih sinis sekaligus tampak kurang bisa diajak basa-basi. Lebih, membiarkan diri menyadari salah satu tangan yang baru saja menjauh dari leher sudah kuyup oleh darah merah.

"Dan kurasa siang ini kita tidak punya kesempatan untuk bepergian di udara ... atau hanya sekedar buang-buang waktu sambil menontoni dunia tepat di bawah kaki," Ellesmere melanjutkan, masih kurang peduli terhadap reaksi Ulysses yang memandanginya tak terbaca.

Ellesmere mulai mendekat beberapa langkah hingga berhadapan dengan salah satu Naga Titanium Heldist di sana. Kontan tanpa perintah dari otak, perlahan bibir Ulysses membentuk seringai tipis yang lebih terlihat menjengkelkan. Sekarang bukan dirinya lagi—juga Hendrix—yang sangat mampu memancarkan Mana naga seperti udara panas terbakar selayak bara. Tentu saja, di bawah Kontrak Paksa ini Ulysses akan dilemahkan sebagai naga.

"Tampaknya tidak ada pilihan selain ikut denganku naik kapal menuju Kerajaan Loseln. Aku benar, 'kan, Ulysses?" gadis itu memiringkan sedikit kepala. Namun, ia tetap tidak bisa menebak apa yang terbesit di benak lawan bicaranya. "Bakal jadi sangat menyenangkan jika kau bisa mabuk laut."

Pemuda itu mendengkus tak tahan. Seorang gadis kecil yang pernah tinggal di Aralt'Sys—mengejar dirinya beserta Sin dan Perces ketika Aslar Raem memutuskan untuk menjatuhkan kutukan—lalu mengasihani pemuda tersebut selama tertidur belasan tahun di dalam Acledesent hingga tak sadar jatuh bersama-sama ke ranah fana. Menggelikan. Kini ia sudah benar-benar bertemu dengan sosok yang ia cari ... atau ia hindari setelah kematian Serein.

Sejenak ia mengizinkan diri untuk ingat bahwa tuannya yang dahulu sudah tak mungkin ia jangkau.

Sekarang tidak ada celah untuk kembali.

"Kau pun harus ingat kalau aku belum sepenuhnya sembuh," ucap Ulysses dengan nada rendah. Serta-merta lengan penuh darah itu diletakkan di depan dada kiri—menekuk jemari telunjuk dan tengah lalu memutar menempatkan ibu jari mengarah ke atas, memberi penghormatan.

"Tapi sekarang aku benar-benar merindukan langit."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top