I.V. ᛒᚨᚲᚲ

Image of Previous
(for fun :D)





ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ

I.V. Back


ELLESMERE MENEGUK paksa saliva sendiri. Kerongkongannya entah bagaimana terasa disumbat sesuatu yang kaku dan kasar seperti batu kerikil. Perasaan tak nyaman pun mengelilingi hatinya. Tidak, daripada memikirkan keselamatannya terhadap kekacauan di istana negara, ia justru lebih memikirkan sebenarnya bersama siapa dia kali ini. Mereka—pria itu, yang membuatkannya dinding sewarna saga—dan bangsawan yang tiba-tiba mampu melesat diluar nalar—lalu terakhir Ulysses, mengapa—AAARRRGGHHHH!!!

Apa benar ini masih dunia manusia!? Apa dia pindah alam!? Jangan katakan kalau ia sesungguhnya tak sadar sudah lama mati lalu berada di neraka yang mirip seperti—baiklah, ini konyol.

Sudah hampir setengah jam Ellesmere diam di kursi ruang tamu. Dengan diselimuti sebuah kain penghangat, teh merah, wajah protektif sang Hendrix—ia hampir tak percaya tuannya bisa terlihat se-me-nge-jut-kan itu—dan sesuatu yang tak biasa, yaitu pelukan Lune Hassanlt.

Mereka berdua sama-sama panik tak jelas seolah punya jiwa yang sama.

"Kau yakin dia baik-baik saja!?" Lune sudah tekankan ucapan ini untuk yang ketiga kalinya, sampai Ellesmere bersumpah mampu menghapal satu kalimat penuh itu lengkap dengan intonasi syok lalu berpikir, semoga tidak terngiang-ngiang saat tidur nanti—karena secara statistik dengan keadaannya ... ia mempertanyakan hal menyebalkan yang sama! Sementara kedua tangan sang wanita—yang mampu sekali hidup di antara dua makhluk aneh tersebut terus saja memeluk dirinya tanpa mau melepaskan barang satu detikpun.

"Fisiknya memang iya, tapi aku tidak tahu bagaimana isi kepalanya!" Hendrix berusaha menjelaskan. Ia bukan terlihat mengelak dan berusaha membela diri, hanya tambah terlihat paranoid saja. Pria itu lalu mengambil langkah ke dapur—lagi. Suaranya menciut seiring ia menjauh. "Bantu aku menenangkan bocah itu, Lune. Aku akan mencari cara membuat obat yang bisa membantu."

Lalu, rentetan ucapan aneh yang sesaat terdengar seperti bahasa asing keluar begitu saja dari mulut Hendrix.

Namun, batin Ellesmere kontan menganggap ucapan itu tak lebih seperti umpatan terhadap seseorang—entah siapa. Meski intonasinya berbeda, hati gadis itu tetap bersikukuh beranggapan satu hal yang sama.

Ini membingungkan. Sebenarnya apa yang mereka khawatirkan? Ellesmere makin tidak mengerti. Terlebih bagian ketika logikanya bertentangan dengan hati. Sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin—lalu percaya begitu saja—bahkan ia kelelahan mengurusi satu hal sepele itu.

"Tega sekali," Lune bergumam sendiri. Lalu, sesekali membelai rambut hitam legam Ellesmere seolah gadis itu bukan makhluk bernyawa, tetapi boneka anak-anak. "Aku belum sempat memberikannya penawar sama sekali. Dasar maniak! Bisa-bisanya hampir membahayakan anak manusia lemah hanya untuk memberi sesuatu yang dia pun belum tentu siap mendengarkan. Apa mereka tak pernah bisa bersikap sabar sama sekali!?"

Ellesmere pelan-pelan menarik napas. Hentikan pembicaraan membingungkan ini. Jangan memikirkan apa-apa. Masalah mereka adalah masalah mereka, ia hanya bertugas memenuhi perintah tuan. Abaikan saja. Bernapas seperti biasa. Jadilah egois.

Setidaknya menjadi egois karena tak pernah mengerti jalan pikiran makhluk-makhluk seperti mereka.

Pandangan Ellesmere kemudian membanting pada Ulysses. Lain dari kedua orang super repot barusan, ia justru lebih parah tingkahnya. Sorot yang persetan dengan kalian semua itu tampak tenggelam dengan pemandangan di luar jendela ruangan sembari berpangku tangan di atas pegangan sofa. Tidak ada matahari, udara sejuk, ditambah dengan sesuatu—barangkali badai—di dalam kepalanya. Orang ini lebih sulit dimengerti. Membingungkan. Ellesmere bakal abaikan lagi.

Dan tiba-tiba saja matanya berbalik membentur langsung pada netra emerald Ellesmere.

Gadis itu seketika terkesiap, tentu saja. Ralat! Ralat! Ralat! batinnya kontan memekik ngeri, j-jangan abaikan dia!

Tidak ...

Ellesmere menahan napas.

... Tidak hari ini.

Lomba tahan kedip mata akhirnya terjadi. Ulysses memang paling semangat menyiksa Ellesmere yang malang dengan menatapnya. Ah, beberapa detik selanjutnya ternyata berbeda. Sosok itu terlihat ingin melontarkan kalimat, tetapi entah apa yang membuatnya berat ketika hendak mengucapkan itu.

Bibirnya terasa kelu. Mendadak merasa kesal sendiri tidak mampu berbicara, lalu buang muka lagi.

"Ellesmere."

Ulysses berbicara. Bukannya hanya ditanggapi oleh Ellesmere seorang, Lune dan Hendrix justru ikut-ikutan melongo seperti orang bodoh seakan kedapatan patung mistis tiba-tiba bisa berbicara di siang bolong.

"Tolong ... pergi ke kamar Lune dan tunggu di sana," pemuda itu melanjutkan dengan hati-hati, tanpa menatap lawan bicaranya. "Aku akan memanggilmu jika sudah selesai."

Apa?

Ada apa?

Aku diusir!? batin Ellesmere.

Sesaat mengernyit, Ellesmere memutuskan untuk menurut. Ia segera melompat dari sofa setelah meminta izin dari Lune untuk meninggalkannya. Gadis itu cepat-cepat pergi lebih dulu seorang diri, kemudian diikuti Ulysses sampai pintu kamar.

Ulysses mengambil alih gagang pintunya. Kembali menatap lurus pada sang budak. "Tunggu di sini sampai jam dua belas siang. Kalau aku belum selesai, Hendrix akan membawakan makan siang kemari."

Ellesmere mengangguk sekali, meski wajahnya menunjukkan ada banyak pertanyaan memutari kepalanya.

Setelah mendapati reaksi sang budak, arah mata Ulysses tak bisa diam—tampak gusar mencari-cari hal apa lagi yang mesti ia sampaikan. Lima detik berlalu, Ulysses mengambil langkah masuk—tunggu! Ini kamar wanita!!!

Rahang Ellesmere mengeras. Lupakan saja! Nah, wanita yang belum lama memperkenalkan dirinya sebagai Lune Hassanlt sekaligus sosok yang bersedia berbagi kamar dengannya itu tampak acuh tak acuh dengan sikap makhluk seperti Ulysses. Pemuda itu pun bukan manusia. Lebih, barangkali dia memang tak tahu aturan privasi bangsa fana. Kini ia kalang kabut mengobrak-abrik sesuatu dari laci meja. Sibuk sekali sampai dirinya tidak mempedulikan Ellesmere bakal memperhatikan atau cuek.

"... Apa Tn. Simon mencari sesuatu?" Ellesmere spontan angkat bicara, membuat Ulysses benar-benar teralih bahkan menghentikan aktivitasnya. "Aku bisa membantu Anda mencarinya."

Bergeming, lalu ia melanjutkan pencariannya lagi.

"Tidak perlu."

Tangannya yang tak bisa diam itu akhirnya berhenti setelah sekian detik. Mencapai laci paling bawah lalu mengeluarkan sebuah batu—berbentuk kristal sepanjang sepuluh sentimeter—lebih mirip ukuran lilin kecil. Berwarna campuran antara indigo dan kuning keemasan. Dengan volume bak jari telunjuk.

Ulysses segera menjauh dari meja, berganti menghampiri Ellesmere hingga duduk setengah jongkok menyamakan tinggi badan sang budak. Benda itu kemudian diberikan kepadanya—dengan enteng—begitu saja.

"Kau boleh membuka lebar jendela kamar, tetapi jangan pernah melepaskan batu ini."

Ellesmere makin menatap bingung. Dilihatnya batu itu terkenal sedikit pancaran sinar mentari yang memantul jadi jendela kayu, memperhatikan kilau yang berbeda dari berlian, menerawang retakkan-retakkan yang tampak di dalamnya.

Retak ...?

Daripada barusan, sorot Ulysses lebih melunak. Untuk yang pertama kalinya ia mencoba tersenyum tipis.

"Aku tahu kau tidak pernah bisa mengerti siapa kami—atau mereka. Banyak hal yang harus kujelaskan setelah berbicara dengan Hendrix. Bila berhasil ...," Ulysses terdiam sejenak. "Aku akan mengangkatmu dari status budak menjadi manusia merdeka."

Kontan saja netra kehijauan Ellesmere membulat sempurna.

"Kau tidak perlu lebih mendekat. Akan aku sembunyikan kau dari mereka."

Gumaman samar selama pemuda itu menunduk pun justru terdengar jelas di telinga Ellesmere. Pikiran gadis itu berkecamuk. Mengapa ... sosok yang ia tahu bukan manusia lantas mampu berniat membebaskan status budaknya tanpa syarat? Untuk apa?  Apa yang dia pikirkan? Kemudian batu indigo di tangannya. Namun, ketika hendak bertanya lebih banyak, Ulysses cepat bangkit keluar kamar dan menutup pintu. Meninggalkan Ellesmere dengan ucapan yang di luar perkiraan itu.

Lutut Ellesmere turun, membiarkan raganya terduduk di atas lantai parkit polos menghilang sementara dadanya masih merasakan terkejut bukan main. Sebisa mungkin ia menenangkan diri.

"Untuk apa menyembunyikanku?" kalimat itu keluar begitu saja dari mulut sang budak.

Ellesmere ...

Ellesmere ...

Netra Ellesmere perlahan menoleh ke kanan. Ada dorongan aneh setelah mendapati sesuatu di sekitar sana. Bisikan yang samar itu seolah datang dari sebuah keramik putih bergambar Merak merah. Sembari menggenggam erat batu pemberian Ulysses, Ellesmere perlahan mendekat. Memandangi lukisan itu, mengikuti garis-garisnya, hingga berakhir di atas penutup seakan bulu merah tersebut menjadi sulur yang sebenarnya hidup.

Ellesmere ...

Gadis itu diam-diam membuka keramik berbentuk vas berukuran sedang. Berat, lantas sisa tangannya melepaskan batu indigo keemasan dan membantu tangan lain membuka wadah itu. Dan cerobohnya ia, sampai tak sengaja menekan bagian tajam penutup di sana dengan keempat jemarinya sendiri.

"Akh!"

Ellesmere mendesis. Tetesan darah segar segera mendarat ke dalam wadah di hadapannya.

Mengguyuri sebuah bunga yang hampir mati.

Sudah dua jam setelah Perces bertatap muka dengan gadis kecil itu. Setengah mati menahan diri untuk tak beranjak dari kursi yang biasa ia gunakan ketika singgah di Istana Loseln—berharap akan kedatangan Ellesmere—atau malah hilang akal hingga memaksa sosok itu untuk ikut bersamanya. Suatu hari nanti. Pasti. Perces mengernyit ngilu, entah kenapa. Apapun yang terjadi ia berpikir bahwa di samping kenyataan bahwa pria itu membutuhkan Ellesmere sebagai obat penenangpenekan—segel atas segala yang berkaitan dengan para naga North Aralt'Sys—di saat bersamaan sang naga pula berusaha mengasingkan eksistensinya.

Tentu saja. Mengamankan dirinya dari Ellesmere. Atau semua dari mereka yang telah dinodai, dikutuk, diasingkan oleh kerajaan sendiri. Seandainya ...

... Seandainya ia mampu bertahan hidup dengan merampas kebebasan Ellesmere—menjadi manusia melalui sebuah sumpah, lalu secara tak sengaja menanamkan ingatan terhadap sang Katalis bahwa dirinya hanyalah seorang iblis berengsek yang egois—tidak.

Perces mengambil napas perlahan. Rahangnya mengeras, gelisah.

Kendalikan dirimu.

Udara yang hangat perlahan merembes ke dalam ruangan. Cahaya mentari semakin membentang, menggapai hingga sudut redup yang ditempati Perces. Seakan mendekati seperti anak lugu—menyentuh permukaan kulit manusia sang naga—membuatnya bersinar cerah pun menghibur sementara. Hanya saat ini, sebelum pria tersebut menyadari bahwa sebelah telapak tangannya yang diterpa matahari kini berganti seperti patung kaca bening—seolah semakin menuntut sang empu raga—menyadarkan ia tak seharusnya hidup di dunia fana.

Perces memperhatikan tiap jemari kaca itu, membisu, membayangi bagaimana Sin atau Ulysses jika telah mendapati pemandangan seperti ini terhadap diri mereka. Menyaksikan dekatnya kehancuran itu sendiri.

Waktunya tidak banyak.

Perces segera beranjak, meninggalkan ruang istirahatnya, melintasi sejumlah jendela menjulang dengan sedikit bercak darah hitam di sisi dinding. Membiarkan raganya berganti serapuh kaca sebelum menuju suatu tempat.

Ada yang hilang setelah Mana Serein melebur untuk mereka. Salah satunya adalah ingatan Perces. Di sisi lain, meski ia tahu bagaimana nasib sang ibunda dari Ellesmere, Perces sama sekali tidak memiliki bayangan apapun terhadap sesuatu yang mengincar puteri tuannya—kecuali berita mengenai Aslar—yang ia tahu adalah sosok ayah yang pergi mendahului Ellesmere. Mereka terguncang setelah belum lama tiba di dunia fana.

Dalam perjalanan menuju Taman Eden, sebuah tempat khusus—tanpa dinding, belasan pilar penyangga putih, lalu lantai yang nyaris semua ditutupi dedaunan semak setinggi betis kaki—untuk ia kunjungi dikala kerajaannya; Lors, Feyt, dan juga ...

Sang ratu, Qeera, akan kesakitan jika tak diberi makan berupa jiwa manusia atau yang setara dari itu—Mana dan darah naga.

Perces menghentikan langkah. Mengembangkan senyum—bukan ramah pula lain dari seringaian—terhadap sesosok wanita bertubuh tinggi, tegak bahkan berbalap mengalahkan pria yang berada tepat di seberangnya. Qeera segera tersadar. Sudah belasan menit menghibur diri dengan berkeliling istana yang ia sendiri renggut bersama para Feyt, kini manik hitam kelam yang juga terhias oleh darah hitam di dalam saraf—sehingga menampilkan ilusi retakkan-retakkan di sekitar matanya—berakhir jatuh tepat dalam netra saga Perces.

Namun, berbeda dengan Perces, Qeera tak terhenti. Kakinya terus bergerak sampai keduanya benar-benar berhadapan.

Beberapa detik bergeming memandangi sang lawan bicara seolah tak sadar antusias mencari luka di sana, lalu melirik jendela penuh cahaya sekilas, Qeera memulai, "Kau sudah kembali. Bagaimana kunjunganmu terhadap Raja IIgnish?"

Ekspresi Perces belum berubah. Ketiadaan perubahan itu membuat Qeera sedikit menerka-nerka dalam hati. Sudah biasanya Perces akan melanjutkan langkah, berbicara dengan nada sedikit meledek, tidak peduli apakah Qeera suka atau tidak, atau ikut dan kadang sekedar berbalas sengit di tengah-tengah kerumunan Feyt yang berlalu-lalang. Lalu, yang paling parah, mungkin sedikit mengekang.

Namun, lorong istana kini sepi. Tak ada siapapun atau paling tidak—ucapan yang sungguh mengusik, kemudian entah sejak kapan Qeera menjadi terbiasa dengan segalanya.

"... Kurasa memang seburuk yang kupikirkan." Qeera menambahkan. Tidak, percuma saja.

Gak kusangka aku lebih dulu berharap itu terjadi, Qeera mengatup mulutnya rapat. Kalau diingat-ingat kembali, Perceslah yang kini memegang tahta tertinggi. Kalau bukan akibat acara rampasannya yang mengancam Qeera dengan pembersihan ras Feyt dalam sehari semalam, pun tawaran terhadap Loseln. Ia pikir ia akan tertekan sampai mati, tadinya.

Sekarang seringai tipis akhirnya terhias begitu saja di wajah Perces.

Malahan, sampai mendengkus menahan gelak sendiri. "Sial, apa kau baru saja memikirkanku? Pagi-pagi seperti ini?"

Qeera sontak terdiam. Membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencerna kalimat Perces sekaligus mengoreksi apa yang baru saja ia katakan pada rajanya. Lalu, ia melotot, tersadar lagi, dan kontan saja netranya menjauhi mata saga Perces. Dagu wanita itu pun terangkat, menutupi—mengendalikan diri sendiri dengan bersikap arogannya dahulu.

Belum puas menyerang satu kali, Perces menambahkan—tetapi dengan nada yang lebih lunak.

"Ratuku, tampaknya mulai pagi ini Istana Negara bakal terasa panas dingin di mana-mana. Kuharap kau bisa cepat-cepat memastikan wajah bekumu itu bisa merona lagi di hadapanku." Seusainya, Perces semringah puas. Ia kemudian segera melanjutkan perjalanan menuju Taman Eden.

Qeera menyerah—memutuskan untuk tetap mengikuti. Ia sudah sungguh terbiasa dengan semua yang Perces katakan dari awal sampai detik ini. Terkadang terasa seperti pria di sana sedang setengah mengujinya tanpa usaha. Dia naga terkutuk, dinodai, sama halnya menetralkan sosok Perces menjadi  penghuni wilayah kegelapan—menjadi bagian dari dunia sang ratu. Namun, bukan makin tenggelam, kutukan itu justru membuahkan hasil yang sangat bertolak belakang.

Seseorang yang tak pantas dikutuk, semati apapun jiwa itu, tetap membawa pedar cahayanya sendiri.

Angin berhembus, sesaat mulai mendapati beberapa Feyt—yang baru saja melesat seperti asap pekat lalu sengaja merubah wujud menjadi manusia dengan sayap bayang-bayang hitam mereka yang tegak menantang—terhenti demi memberikan penghormatan ketika keduanya melintas, Qeera baru bisa menangkap lagi pemandangan di balik jendela kaca yang jernih.

Langit semakin indah begitu kemunculan Malk (Malěk), Wdrin (Wedřin), dan Skala (Şekhála)—tiga bulan yang tampak samar di atas mega biru. Menampakkan diri seolah memiliki jiwa, menatap yang di bawah atap sebuah kerajaan terasing, menjadi saksi atas dirinya bahkan ketika hari belum gelap.

Malk adalah satu yang paling besar ukurannya, paling atas, pula paling tajam warnanya selaik darah. Sementara Wdrin menampilkan rona hijau botol yang gelap terkadang tampak berdekatan dengan mentari, dan Skala sebagai si Bulan Mati yang sebagian badannya hancur berserakan seperti pasir tersebut justru tetap tegak di sekitar—mengelilingi Skala. Rusaknya sungguh berguna.

Qeera sedikit menurunkan pandangan.

"Seseorang pasti sudah menunggu," Perces menggantungkan kalimat, tidak lama, sampai ia tahu Qeera mampu terfokus terhadap ucapannya. Mereka telah tiba di Taman Eden. Semak hijau tua sesekali menyentuh permukaan kulit kaki Qeera yang cenderung seputih susu. Memang lantainya dibiarkan sedikit terbenam oleh dedaunan mati, antara ia memang malas mengganti suasana taman tersebut atau tempat ini terlalu cocok dengan daun kemuning yang lusuh layu.

Seperempat jalan memasuki taman, Perces berhenti. Dengan sigap dirinya membalikkan bahu, menghadapi Qeera sepenuhnya.

"Kau pura-pura tidak tahu," Qeera berujar, lebih cenderung seperti sedang berbicara pada diri sendiri ketimbang mempedulikan bagaimana perubahan ekspresi rajanya ketika mendengar itu. "... Kau mengorbankan tiap tetes darahmu untuk Kerajaan Loseln—untuk kami. Kurasa terjadi sewaktu-waktu, tetapi aku percaya kau memang mampu mengetahuinya bahkan dari awal mengunjungi taman ini."

"Qeera," Perces sedikit mencuri kesempatan melirik ke sembarangan arah, memikirkan kosakata yang tepat untuk menimpali sosok itu sembari memperlihatkan senyum kecut. "Aku bukan dewa ... atau apapun."

Tentu saja, memang bukan. Namun, kau tetap tahu, kini sang ratu memandangnya lekat.

Bagusnya, Perces tidak buru-buru menyangkal seperti biasa. Senyum kecut yang seharusnya tetap di sana kini mulai luntur. Entah ada dorongan apa sehingga ia tak begitu bersemangat untuk mengelabui kembali. "Ya, sebagian," dari sana, Perces segera meraih belati. Mulai mengarahkan bila besi pada telapak tangan sendiri.

"... Bagaimana pun, aku tidak bisa menulikan telinga sendiri ... meski ingin."

Selenour, Sin, atau kau. Segalanya.

Perces mulai mengiris permukaan kulitnya, dari perlahan—menekan lebih dalam—lalu disayat cepat. Kontan saja cairan merah kental menyembur keluar. Yang bermula mengalir bebas ke punggung tangan, mengguyuri satu kuncup bunga beserta batang yang sudah berwarna hijau tua. Sela-sela tanah terbuka perlahan, seolah berebut menelan tetes demi tetes saking lahap.

Deg!

Lutut Qeera mendadak saja membentur tanah dikalahi gravitasi. Kesadarannya tiba-tiba menipis dan ada sensasi panas terbakar yang menjalar di paru-paru. Wanita dengan gaun serba merah menjuntai tersebut segera mendongak. Tidak hanya dirinya, Perces juga merasakan hal yang sama. Namun, pria itu masih mampu berdiri. Salah satu tangannya menekan dada dengan kuat. Alih-alih merasa kesakitan sekaligus gusar, Perces justru mendapati satu, dua, lalu ribuan bunga Katalis; Erley 'Asmeere kini menguasai Taman Eden. Dedaunan tertutup sempurna di mana-mana bahkan sulur tanaman yang seharusnya hanya tumbuh di North Aralt'Sys itu melingkar ke atas atap.

"A-apa yang terjadi!?" tanya Qeera, memaksa setengah mati berbicara di tengah erang sakitnya.

Aroma dan Mana yang mampu melemahkannya itu ...

Perces tidak mau menebaknya.


Lirikan Ulysses membanting ke samping, mengawasi Lune yang mulai berdiri mendekati mereka berdua. Sementara dia dan Hendrix masih sibuk berbicara di teras depan. Yeah, setidaknya memang begitu.

Mereka memang sedang berbicara, ia harap Lune atau sayuran pun rempah-rempah apa lagi yang bakal ia sihir untuk menghentikan Hendrix agar segera merapatkan mulut—kalau-kalau harus—demi Tuhan, apa saja yang membuat mereka seolah-olah tampak ingin mengamuk bak gorila kesetanan dalam hitungan detik.

Sejauh ini Hendrix tampak acuh tak acuh dengan apa yang hendak Lune lakukan. Ia mundur selangkah ke belakang, bersandar ala kadarnya di tepi meja berbahan kayu. Kayu Jatee, berwarna cokelat yang telah dipoles sana-sini menjadi agak kemerahan jika dilihat ketika siang. Mengkilap dan lumayan menyatu dengan model rumah Lune.

"Jika kau mau membebaskannya, maka kau harus memiliki jaminan bahwa di luar sana—sebagai manusia biasa—dia akan aman dari ancaman apapun yang berkaitan dengan Dracon. Ancaman kalian. Jangan bertanya mengapa aku selalu bersikeras membuatnya mampu bekerja denganku ..., atau budakku," Hendrix melipat tangan di depan dada. Rautnya belum terlalu serius. "Dunia ini terlalu kejam untuk seorang anak seperti dirinya."

"Aku tahu," Ulysses menatap lurus pada Hendrix, melontarkan perkataannya dengan mantap. "Aku lebih baik mengembalikan—bukan, menyembunyikannya di Lidris. Ada cukup banyak sukarelawan yang bisa membimbingnya dan kupikir itu sudah cukup, untuk sekarang saja."

Dalam menit selanjutnya, Hendrix belum bereaksi apa-apa. Alunan kabut halus masih bisa kentara melintas dalam sunyi. Membawa udara dingin yang menusuk seperti malam tetapi Ulysses masih bisa merasakan sensasi sepanas api unggun selayaknya festival kerajaan tahun lalu. Ia tahu Hendrix memang tidak pernah keberatan atas apapun keputusannya. Sebagai bukti, pria itu meminta Lune untuk segera menarik Ulysses dari Ranah Pengasingan—Acledesent, tepat setelah ia mengetahui bahwa Perces membuat kesepakatan dengan Ratu Feyt, yakni Qeera.

Ketika Sin justru dipanggil Artherus yang terprovokasi entah oleh siapa—melalui darah Pangeran IIgnish Solvenmber, Hendrix mempercayai Ulysses untuk mengawasi kedua kakaknya yang sudah terserang kegilaan tidak peduli di mana.

"Kalau begitu kau akan bepergian ke timur Avestorm," pria yang tetap mengenakan sutra hitam bercorak merah khas Solvenmber tersebut menurunkan pandangan. Tampak dirinya membuang napas perlahan seraya mempertimbangkan apa yang akan dikatakan selanjutnya. "Baiklah, untuk jaga-jaga aku akan menghubungi Haildanerc. Kalian berdua akan singgah sebentar di Desa Beauzac bersama tuan dari si naga es itu. Kesopanan—anggap saja budaya ketimuran mereka bakal membuatmu sedikit sebal."

Ulysses bergeming, lebih terlihat memutuskan untuk mendengarkan ucapan sang lawan bicara lebih lama lagi. Kini, arah pandang Hendrix berganti. Menerawang sepenuhnya kepada sela-sela pepohonan pinus, seakan mencari letak cakrawala sembari memicingkan mata silau. Tidak ada yang tahu hal apa yang menantinya di sana.

"... Ini tugasmu. Kau telah dipersiapkan untuk menghadapi hal yang besar seperti ini. Menghadapi dunia manusia yang sebenarnya." Hendrix terhenti, ia sedikit menaikkan satu sudut bibir dan terkadang kelihatan ingin sekali menertawakan sesuatu, yang jelas, Ulysses tak bisa menebaknya. "Aku dan Lune tentu belum sepenuhnya menyatu dengan ranah ini. Kami hanya hidup seperti mereka—bukan menjadi bagian dari mereka. Mungkin tidak kali ini. Namun, kau berbeda. Kau bisa saja meninggalkan North Aralt'Sys dan beralih sebagai ras yang lain. Selain kami."

Sensasi panas itu sedikit memudar, berganti udara sejuk sesaat sebelum mentari menggantikannya. Sejak saat itu, Hendrix tak berbicara lebih banyak. Ia diam seribu bahasa tanpa menoleh dari pemandangan yang tersaji di depan kediaman Lune, seperti memperlihatkan kalau sang naga api begitu terlena dengan apa yang ada di depan sana. Tak peduli secerah apa sinar matahari yang menerpa retina sewarna tembaga tersebut.

Selain kami, Ulysses mengurangi dalam hati, tak sengaja menyimpan kalimat itu di dalam kepala. Antara menjadi manusia yang sesungguhnya atau melebihi iblis dan bisa saja, Ulysses akan berbalik memerangi mereka. Tak terkecuali Hendrix sendiri.

Sang naga api yang menyamar menjadi seorang pedagang pun akan menjadi manusia—hanya saja, tak secepat Ulysses.

Sampai nanti, bertatap muka sebagai kawan atau lawan.

"Kita lihat apa yang bisa kulakukan."

Ulysses mulai berbalik, memasuki kembali kediaman Lune sebanyak tiga langkah sebelum terhenti sejenak. Bibirnya menyungging senyum samar lalu menoleh ke belakang, "Terima kasih ...." Hingga langkahnya berlanjut menggapai kamar Lune, menjemput Ellesmere.

Teras seketika menjadi lebih senyap. Tanpa aba-aba Lune segera menghampiri Hendrix setelah melihat Ulysses masuk dan melewati dirinya begitu saja. Wanita itu tidak mendapati Hendrix mengalihkan pandangan kepadanya kecuali pada arah yang sama. Sesekali pria tersebut memejamkan mata lalu mengembuskan napas—Lune bisa menyadarinya ketika pundak tegak sang naga tampak sedikit turun sebentar.

"Hendrix."

Lune berujar pelan, tetapi tetap saja suara sehalus apapun Hendrix mampu menangkapnya. Dirinya kemudian menoleh ke belakang, menangkap eksistensi sang penyihir putih dengan sorot tak terbaca. Dan sesaat melirik ke sembarangan arah, Hendrix akhirnya ikut masuk—bernaung ke dalam sebuah tempat sederhana bernama rumah di sana.

Sementara Ulysses, dirinya sibuk menelusuri koridor. Suara derap samar semakin terdengar nyata sampai kakinya berhenti di sebuah pintu. Tentu saja, pikirnya, seusai membawanya untuk memerdekakan status budak, Ulysses harus segera membawanya dan mengganti nama Ellesmere di tempat yang baru.

Menjelaskan sesuatu yang bukan berkaitan dengan Dracon, memastikan bahwa seseorang yang menjadi pembimbingnya mampu membuat gadis kecil itu menjalani kehidupan normal seperti anak manusia kebanyakan. Ya, ia harus melepaskannya di tempat yang tepat.

Ulysses membuka pintu.

"Ellesmere, aku—"

Seketika saja tubuh Ulysses merendah ke depan dan tersungkur di atas lantai parkit. Ia merasakan sekujur tubuhnya panas seperti dibakar kobaran api, sedangkan kamar Lune justru telah dipenuhi sulur beserta bunga yang mampu melemahkan bangsa Dracon seperti dirinya. Mati-matian Ulysses memindai ke kanan, sembari merasakan telapak kaki dan lengannya nyaris terkubur oleh kelopak merah terang.

Ellesmere pun sama tersungkur entah sejak kapan. Namun, tidak sama, ia tak lagi tampak seperti gadis kecil malang yang sedari tadi Ulysses pikirkan. Melainkan seorang wanita dewasa—lebih tinggi daripada Lune, tengah memandanginya kosong seperti patung hidup, surai legam panjang sepunggung tergerai bebas di lantai, lalu sebelah tangan yang tergores berdarah. Setengah tubuhnya tertutup sulur yang bersumber dari sebuah keramik putih.

Sejenak sebelum dunia dikuasai kelebat bayang hitam pekat, sebuah Tanda Sumpah dengan pola khas dalam lingkaran tepat di lengah bawah Ulysses mendadak saja tercipta.

Léam Ălqıașrıu ( ᛚ ᛖ ᚨ ᛗ ᛫ ᚨ ᛚ ᚲ ᛁ ᚨ ᛊ ᚱ ᛁ ᚢ ).

Setelah itu, tentu saja, segalanya tak akan sama. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top