I.IV. ᚲᚺᚨᛟᛊ

Images

Of
Previous
(for fun haha)







ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ

I.IV. Chaos

SIN MENATAP tajam ke depan. Taman istana yang luas tersebut sudah setengah hancur akibat dirinya sendiri. Namun, ia tak terlalu memikirkan. Fokus sepasang netra yang mirip Ulysses itu tetap terpaku pada Perces. Entah apa yang bakal ia lakukan setelah ini.

Membanting pria itu ke atas tanah bukanlah sebuah pilihan. Ia perlu mengulur waktu, memastikan bahwa tangan Perces tak bisa menjangkau Ellesmere sebelum gadis itu diberi penawarnya.

Sin.

Tepat ketika ingatan sekilas tentang seseorang terlintas cepat, telinga Sin mendadak berdenging. Mengapa sekarang? Kontan saja tangan kirinya menjenggut, mencakar, menekan keras kepala sendiri. Mencengkeram kuat sedangkan netra sosok tersebut memaksa tetap mengawasi Perces. Namun, tanpa diduga, ia lebih dulu mendapati pendarahan pada indra pendengaran sang musuh. Memerah terang yang semakin kehitaman, makin membuatnya ngilu—secara tidak langsung.

"Wanita itu selalu saja menghantuiku."

Mengernyit, kemudian Sin segera melukai tangan kanan dengan kuku. Sekejab robekan pada kulitnya menyembur darah merah gelap mengkilat keluar dari pembuluh, mengalir ke telapak tangan lalu dimanipulasi menjadi besi hitam—membentuk tombak pendek yang bakal ia pakai untuk menghancurkan kepala Perces. Kalau perlu. Ya ... kalau memang harus. Perces hanya bereaksi setelah Sin tampak sangat parno selama bersikap egois terhadap dirinya. Ia terkekeh pelan seolah tak merasakan rasa sakit padahal telinganya berdarah sangat banyak seusai tak sengaja mengingat hal yang sama dengan sang saudara sedarah.

"Lebih baik kubunuh kau di sini sebelum menyebut nama wanita itu lagi," sekian detik napasnya tertahan karena emosi membludak entah bagaimana, sorotnya kemudian menatap garang Perces. Ada dorongan yang tidak bisa ia elak. Berani menjadi manusia sama dengan bertaruh nyawa hanya untuk mengendalikan apa yang membuat manusia menjadi sempurna; emosional, tekad menghancurkan, membunuh, dendam, dan yang terpenting ... akal, berpikir jernih, terserah ingin yang mana. Sin harus menekan itu disaat bersamaan dirinya menghadapi seseorang yang paling ia benci. "Bahkan setelah merampas jiwa Serein 'Ain Sentinel dari North Aralt'Sys—"

"Bukan aku yang membunuhnya, Adik Kecil." Perces melangkah keluar dari bongkahan batu-batu yang hancur di tengah taman istana negara. Berusaha mendekati Sin meski kemungkinan besar adiknya tak akan mau menerima. Lebih, pun tak mau percaya dengan apa yang ia katakan. Mereka bertemu pada titik tepat pada kehancuran sendiri. Mau tak mau Perces harus menyampaikannya—tanpa berpikir untuk menyelamatkan nyawa atau paling tidak ... mengurus perjanjian kerjasama antar ras Lors dan Feyt.

Ia tahu ini akan terjadi.

Perces mengaktifkan regenerasinya. Dalam beberapa detik luka-luka yang tersisa tersamar seolah disapu oleh air.

Kini giliran telinga Sin yang mengalirkan darah. Semakin dongkol saja kelihatannya.

"BERENGSEK!"

"Ia tidak dibunuh," Perces berujar. Caranya berbicara seperti sedang tenggelam dalam pikiran sendiri, tetapi tidak sepenuhnya terjebak. Hanya mengizinkan diri untuk mengingat, dan nadanya terdengar melunak. "... Seharusnya akulah yang menjadi saksi atas kecelakaan itu. Namun, kita justru dibuang kemari dan kau ingin membunuhku? Itu pilihan yang buruk, kuperingatkan padamu."

Tampaknya memang benar, selain kekacauan dirinya yang nyaris gila karena Pembatalan Ikatan, segala hal tersebut pun sama besar berdampak terhadap Sin.

Kendali atas Mana adiknya itu semakin tak wajar dan meledak-ledak.


Ulysses bersin di depan meja makan.

Sangat keras seperti sedang flu berat.

Bukan cuma suaranya yang keras, perasaan kaget bukan main itu tidak hanya melingkupi rona muka Lune yang baru tiba di pintu dapur, tetapi juga mengejutkan dirinya sendiri. Setelah semua orang melotot, keduanya berakhir menarik napas panjang. Mengalihkan syok masing-masing ... saking mandiri.

Lune segera duduk di seberang Ulysses sementara pemuda itu membanting kepala sendiri ke atas meja makan hingga menimbulkan suara jeduk yang nyaring—terlihat tertekan sekaligus seperti minta dikasihani.

Setelah diingat-ingat, ia memang lebih terlihat seperti anak sekarat.

Namun, tetap saja, dari sana Lune lagi-lagi memelototi Ulysses.

"Hentikan! Kalau tidak, bicara dan berhentilah mengagetiku!" protes Lune. Yeah, alasan kenapa ia malah meminta Ulysses segera bercerita adalah beberapa naga yang kelasnya tak diketahui mempunyai berbagai penyakit aneh. Jika Ulysses sudah tertekan, sang naga pasti akan bersin dan itu mengageti setidaknya empat dataran Desa beserta Ruin sekitar kerajaan.

Lalu, bayangkan bagaimana terkejutnya Lune ketika harus menyaksikan Ulysses bersin di hadapannya seorang diri!

Seharusnya ia sudah mati ... minimal karena serangan jantung. Kalau lemah, tambahan atas itu bisa kejang-kejang otot pula gendang telinga menjadi pecah. Sesuatu yang cukup konyol untuk dijadikan sebagai bahan penyebab mengapa seseorang—seperti dia—meninggal dunia dalam damai.

"Percayalah, walau aku sudah pensiun sebagai penyihir putih, aku sungguh-sungguh tidak berpikir untuk mati jelek hanya karena kaget dengan—"

"Lune," ucapan Ulysses terlalu pelan, memotong kalimat Lune, tetapi masih bisa didengar. Setidaknya kediaman Lune di tengah hutan pinus jauh lebih sunyi ketimbang kota di sisi kerajaan. "Bukankah kau juga dinodai? Seharusnya kau memiliki semacam sihir hitam untuk menghapus paksa ingatan lama."

Lune bergeming.

Suaranya makin tidak jelas. "... Aku sudah muak merasa menyesal."

Ulysses memejamkan mata—menertawakan apapun di dalam benak sendiri. Rupanya bersikap sangat malas-malasan dan bermain selaik manusia paling bobrok yang pernah ada tidak mampu membuatnya terlepas dari ingatan menyakitkan itu. Semakin hari semakin terbayang terlebih Ellesmere sudah menginjakkan kaki di kediaman Lune.

Segala hal sudah ia lakukan sampai manusia pun boleh menganggapnya sebagai makhluk paling pengecut untuk lari sejauh-jauhnya dari kenyataan tersebut.

Terbunuhnya Serein, Pembatalan Kontrak, dan bisikan atas nama sang naga. Suara yang entah bagaimana mendengung, berbisik, terngiang hampir sepanjang hari. Ellesmere bahkan menjadi korban fokus matanya pagi ini. Gadis malang yang tak tahu apa-apa itu harus merasa kebingungan dengan dirinya juga. Selebih itu—seperti kutukan dan lain-lain tak pernah ia ingat lama-lama.

"Keturunan keluarga besar Heldist ada di sini. Mereka akan menyambutmu."

"Terima kasih, Tn. Eraldam."

Seorang wanita dengan pakaian sewarna krem pucat panjang menjulang menelusuri jalan setapak menuju area di dalam setelah tepi hutan. Tidak membutuhkan waktu lama kibasan sayap-sayap naga dengan warna sisik yang beragam mendekati sosok manusia tersebut pelan-pelan. Bukan malu, mereka hanya tidak bisa memastikan apakah dia akan takut atau tidak.

"Kemarilah," wanita itu tersenyum tipis. "Namaku Serein 'Ain Sentinel. Aku mencari naga di antara kalian yang siap untuk dikirim ke dunia fana. Jika berhasil, kalian akan menjadi bagian dari keluarga 'Ain Sentinel, mempelajari apa yang kami pelajari, dan hidup sebagai manusia seutuhnya di sana."

Tanpa menunggu, Serein mengeluarkan jemari tangan kanannya. Dengan sigap menciptakan sebuah lingkaran putih bak cermin—menyentuh sihir tersebut hingga menimbulkan tiga buah benang sewarna yang bersinar. "Aku hanya mampu menyalurkan kepribadian manusiaku untuk dimurnikan kepada tiga naga saja. Dan lainnya—"

Belum selesai berbicara, mendadak saja tiga benang tersebut diterjang oleh dua anak laki-laki berumur tujuh tahun dan seorang lagi berusia sepuluh tahun.

Serein tahu ketiganya adalah naga, hanya saja dengan umur yang masih muda mereka telah mampu meniru wujud manusia secara sempurna adalah bakat langka. Seusai mematung mendapati tingkah ketiganya yang muncul diselingi senyum kecil bak anak-anak yang percaya diri sekaligus nakal, Serein tampak gusar.

Naga-naga remaja hampir beranjak dewasa di belakang ketiga anak naga itu hanya bisa memicing tajam sedangkan yang menang cepat tidak mau peduli.

"Oops," ujar Perces. Bermaksud mengejek saingannya yang berdiri di belakang sana. "Aku duluan."

"Salah sendiri tidak bergerak cepat." Sin menambahkan. Lalu, ia tertawa puas sekali. "Asyik sekali lomba dadakan tadi!"

Sementara Ulysses—seperti biasa—netranya justru terpaku lama terhadap Serein. Ia yang paling tidak peduli dengan semua orang, kecuali tujuannya sendiri.

"Aku pernah melihatmu di aula Paviliun North Aralt'Sys minggu lalu. Hanya kau yang tidak bisa kubaca," katanya tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.

"Sebenarnya ... manusia seperti apa kau ini? Hei ..., apa kau benar-benar bisa membantuku menjadi manusia yang sesungguhnya? Bukan Iblis?"

Benang yang digenggam erat itu akhirnya menyatu dalam tangan hingga pembuluh darah Ulysses, sekaligus kedua kakak laki-lakinya.

Serein hanya tersenyum. Untuk yang pertama kali wanita itu mengerti perasaan sang naga lalu tangannya bertengger di atas bahu Ulysses. Alih-alih menjawab dengan mengenalkan pemicu rasa tenang itu.

Padahal sudah terhubung sejauh ini ...

"... Maaf, aku tidak bisa menyelamatkanmu."

"Ulysses,"

Ulysses tersentak. Ia kini sadar berbicara sendiri, masih di hadapan Lune, sedangkan sang penyihir memandanginya dengan khawatir.

"Kau berhalusinasi lagi."

Pemuda itu membeku. Sorot matanya sesaat menanar kembali meredup diikuti ekspresi dongkol yang teramat sangat. Tak tahan, Ulysses kontan beranjak dari dapur. Lekas pergi dengan gusar dan Lune masih mengikutinya dari belakang. Selama menuju pintu keluar, ia berujar kesal, "Aku benar-benar tidak bisa berjauhan dengan anak itu."

"Kau mau pergi ke mana!?"

Ulysses melangkah ke halaman depan—tanpa mengenakan alas kaki, kemudian salah satu tangannya tergerak—menyalurkan sihir berupa pasak yang terbuat dari petir. Lalu, berancang-ancang menembakkan benda itu ke langit. Sekaligus tertulis runes yang seolah akan melahap tangannya sendiri bila tak ia lepaskan.

"Melacak seseorang." Tombaknya dilepaskan, mendorong angin dengan begitu kuat menimbulkan gema debum raksasa hingga radius empat ratus kilometer. Karena kesal, ia jadi tak bisa mengendalikan tekanan dan tabrakan angin di saat bersamaan. Beberapa—setidaknya perbatasan kerajaan di Benua Anseont ikut-ikutan kena serangan terkejut sama seperti yang dirasakan Lune beberapa saat lalu.

Tepat setelah menembak ke arah langit—seolah melompat mengejar sihir yang tengah menuntunnya ke suatu tempat—Ulysses menghilang.


"Ayo, Sin! Kuda-kudamu harus kuat! Kalau begitu caranya kau tidak akan sanggup melindungi Ulysses di dunia sana!"

Secara teknis, Sin kecil sudah kelelahan karena lebih banyak berteriak dan menggertak Perces.

"Jangan mau kalah dengan adikmu—"

"Berisik! Dasar kakak cerewet!"

Serein memperhatikan dari atas dahan bersama Ulysses. Sesekali ia terkekeh melihat kakak-beradik itu bertengkar sesaat lalu bertarung lagi. Seperti tidak pernah kehabisan tenaga begitu terkena provokasi. Tak cuma menonton, ia juga mengawasi dari jauh. Segera sigap turun menghampiri bila terjadi sesuatu yang membahayakan mereka.

Perces dan Sin pun menyadari Serein tertawa. Mereka bukan bingung, mungkin tidak kali ini. Keduanya menengadah sementara Sin ambil kesempatan untuk bernapas istirahat.

Penasaran apa yang akan ia pikirkan jika melihat segala yang terjadi hari ini.

Apa sekarang kau akan terkekeh juga, Serein? Melihat dari masing-masing mata kami yang hendak saling membunuh?

Ah, apa yang kupikirkan ...

Tentu saja, ia akan bersedih.

Perces melukai lengannya, memanipulasi darah sendiri dengan tepat menjadi tameng sebelum dirinya sempat dihantamkan tombak besi yang telah disiapkan Sin.

Apa kami bisa menghentikan 'kami'?

"KAU PEMBUNUH! ENYAHLAH!!!"

Sin melompat, memberikan hantaman sangat keras dari atas. Denting antar besi tak terelakkan sementara tekanan udara yang diterobos mereka berdua membuat sekitar tanah kontan ikut berhamburan bahkan lebih porak-poranda daripada sebelumnya.

Di tengah-tengah kemurkaan sosok yang ia kenal, Perces tak sadar terkekeh—tertawa-tawa melihat kemarahan lawannya. Tidak, dia ketakutan. Ia tahu itu. Selain efek tempramen Sin yang membludak tanpa sebab, berbeda dengan sang adik, Perces justru merasa dirinya harus menahan godaan untuk melukai—menyiksa habis-habisan Sin hingga pemuda itu berteriak kesakitan. Setelah mendapatkan pekikan keras pun yakin tak akan puas secepat yang ia mau.

Kaki Perces bertolak, mengambil jarak dan posisi baru sedangkan Sin melompat lagi hingga memijak tanah. Namun, tak bergeming sebentar, ia langsung menghantam belasan kali lipat dengan kecepatan dan memutar yang lebih cenderung menyudutkan Perces untuk segera hilang fokus. Padahal sang kakak belum sempat membuat pedang atau tombak serupa untuk membela diri.

Namun, jika ada, Perces mungkin tetap enggan akan membalas. Ia terfokus untuk menahan diri begitu kuat. Ia tak boleh berubah. Bukan sekarang. Tidak di tempat ini. Perces bergerak sedikit lebih cepat—menyamai—kemudian melampaui kecepatan serangan Sin yang gila tersebut dan mengambil tindakan.

Dengan sekali tendangan, tangan kanan yang menggenggam tombak itu seketika patah—tidak parah, tetapi cukup mengagetkan Sin dan membuatnya pelan-pelan berhenti. Kemudian semakin dipaksa maka terasa makin terasa menggeletak tabrakkan, hingga Sin mau tak mau terhenti secara sempurna.

Napasnya memburu sama seperti Perces. Tidak sempat melanjutkan, sang adik melemparkan tatapan tak mengenakan kepada sang kakak.

"Kau puas?" Perces termanggut-manggut, memandangi—membalas sorot itu dengan sedikit rasa iba yang dibuat-buat. Ia kemudian membenahi napas lagi sebelum melanjutkan dengan sarkastik. "Serein pasti sangat bangga padamu."

"Lalu apa maumu terhadap Ellesmere!?"

"Ah, puterinya itu?" Perces menoleh. Manik sewarna langit siang tersebut memindai ke arah lorong istana dari pintu-pintu kaca. Dengan jelas ia menangkap wajah Ellesmere yang setengah menangis melihat mayat-mayat anjing Lors dan dirinya berganti-gantian. Gadis itu ketakutan, bersembunyi di bahu Hendrix tanpa bisa bergerak lari sama sekali. "Setelah jiwa Serein terpecah untuk kita bertiga, bukan berhasil menjadi manusia—kepalaku justru semakin kacau. Aku yakin kau pun merasakan sakitnya. Kupikir dengan mencari gadis itu bisa membantuku menyembuhkan rasa sakit sebelum kembali menerobos masuk ke Aralt'Sys, menghadapi Madam Sandraca. Juga ... ada yang harus kusampaikan mengenai ayahnya."

"Jangan harap kau bisa mempengaruhiku, Perces!"

"Kalau begitu kau tahu bagaimana menyelesaikan masalah kita terhadap Aralt'Sys?"

Rahang Sin mengeras. Ia benar-benar membenci pembicaraan ini.

"Terima kenyataan, Sin. Kita semua dicap sebagai pembunuh salah satu manusia berdarah murni klan 'Ain Sentinel. Sikap egoismu tidak akan berguna ... terlebih untuk Ellesmere sendiri."

Lucu sekali, setelah enteng mengatakan kalimat itu pun Perces semakin tersinggung dengan cara Aralt'Sys menanggapi kehadirannya sebelum dituduh. Ia mengingatnya lagi. Bayang-bayang bagaimana Sin, Ulysses, dan dirinya dinodai—dikutuk dengan sebuah tombak milik seorang algojo—sekaligus menusuk mereka bertiga hingga seketika darah beserta Mana dalam raga naga-naga tersebut menjadi hitam legam—bukan merah.

Tidak, mereka bukan berakhir begitu saja. Seolah pecahan jiwa Serein menangkal kutukan itu—ketiganya hidup di dunia fana sebagai setengah manusia dan naga. Bukan bangsa terkutuk.

Kecuali sebagai alibi, mereka menggunakan nama belakang Shádev untuk mengelabuhi Sandraca.

Ellesmere menerawang pada kejauhan, tepatnya di taman istana. Kini ia mulai sedikit tenang dan bisa sepenuhnya mencerna situasi. Entah apa yang dipikirkan Hendrix, pria dengan sutra yang nyaris terciprat noda darah itu tak mau melepaskannya.

Kalau Ellesmere bisa menyadari sihir naga, sebetulnya Hendrix membuat pertahanan berupa dinding sihir merah—mirip api di atas lahar gunung merapi—membuat makhluk sekitar mereka kepanasan bak dibakar hidup-hidup hingga menjauh seratus meter. Kecuali yang dilindungi, udara yang melingkupi Ellesmere justru lebih segar bahkan sejuk.

Sebagai akibatnya, pintu-pintu kaca yang sudah setengah rusak tersebut meleleh, mencair hingga tak berbentuk sama sekali.

Setengah detik Ellesmere tersadar ditatap seseorang di seberang sana. Pemandangan soal mayat-mayat anjing jadi-jadian tak jauh dari sisinya seolah menciut—dihalangi—disamarkan oleh dorongan yang membuatnya menatap ke samping. Siapa? Pria tersebut begitu lekat memandang dirinya seakan telah sangat mengenal jauh sebelum Ellesmere terjebak dalam kerajaan ini.

Benaknya seperti ingin sekali berteriak padanya. Ke mana saja!? Mengapa baru sekarang? Namun, logikanya menentang itu semua. Ia terlahir belum lama—dan mengenal jauh sebelum terlahir adalah gagasan paling konyol bagi kepalanya.

Bukan hatinya.

Ellesmere merasakan sesak sekaligus lega, sesaat pula tak lagi bisa membedakan ia benar-benar merasakan kedua emosi abstrak itu atau tidak.

Tidak hanya itu, entah bagaimana ia ingat seharusnya ada seseorang lagi.

Seharusnya memang pernah ada.

Kau sangat pandai mengajariku untuk menjadi diriku sendiri, tetapi kau jugalah yang sangat mampu menghancurkanku secara perlahan.

Jika sampai nanti aku terlihat sangat bodoh hanya karena rela dikhianati oleh seseorang, dan itu adalah kau, lalu dengan senang hati kupersembahkan rasa terima kasihku dengan cara itu.

Serein ...

Ia tak segera melangkah mendekat. Kakinya tertahan begitu saja sedangkan Ellesmere sedang menatap lekat padanya.

Dalam dataran tanah dunia fana dan rumah-rumah yang dihuni manusia fana ketiganya melangkah. Melupakan kenyataan bahwa mereka telah dikutuk, dibenci ras sendiri, kehilangan ikatan terhadap seseorang, kemudian mendongak tajam ke depan.

Sebelum aku menemukanmu kembali, pasti ...

"Kerajaanku ... akan bangkit di sini."

Perces berpaling—membalikkan badan cepat, menghindari Ellesmere tanpa memberikan kesempatan diri untuk menggapainya. Membuang rasa sakit itu sedikit hanya dengan memandang dari jauh, meski masih sangat banyak yang membekas sangat pekat.

Ia melangkah menjauh tanpa mempedulikan Sin yang belum meregenerasi cideranya.

Pada akhirnya ia tetap tidak bisa menahan diri menyampaikan apapun sekarang.

"Sekarang Kerajaan Loseln tak akan diisi oleh sampah-sampah yang akan mengusik gadis kecil itu, aku bisa menjaminnya," ia terhenti sebentar dan Sin mulai menaruh perhatian terhadap kalimat itu. "... Aku akan memberi makan kepada warga kerajaanku seperti biasa ... dan menunggunya bertamu untukku."

Raga Perces semakin tembus pandang dan samar. Secara perlahan ia berpindah tempat—berbeda cara dengan teleportasi—secara sadar bisa menyaksikan dua, tiga, atau empat tempat sekaligus dalam satu waktu tanpa harus fokus pada satu arah.

"Katakan padanya aku akan selalu menantinya di sana."

Perces telah benar-benar pergi dari Solvenmber. Sedetik setelah itu Sin menggenggam sikut sendiri—yang sempat dipatahkan oleh sang kakak—lalu tersadar. Dirinya segera menengadah ke arah salah satu pilar istana yang menjulang.

Ulysses, entah sejak kapan, sudah duduk memperhatikan mereka dari atas sana.

Pandangannya yang dingin seolah tak bisa peduli kedua kakaknya akan saling bunuh-membunuh sekalipun. Yang ingin ia lakukan hanyalah tak berjauhan dengan Ellesmere—memastikan gadis itu aman—lalu menontoni kegiatan kedua kakaknya yang menggila selama hampir satu jam lebih.

Hai, Kak.

Kau kelihatan tidak baik.

Seketika Hendrix segera beranjak keluar menuju kereta yang juga sontak menghampiri mereka, berusaha menjauhkan Ellesmere dari kekacauan itu—meninggalkan istana dengan terburu-buru, lalu menyuruh sang kusir memacu kudanya pergi dengan cepat.

Sebelum pergi, Ulysses sempat mengetuk atap dengan jari telunjuk sebanyak tiga kali. Seketika itu juga waktu seolah dimanipulasi dengan cara yang sangat suram.

Para ningrat berlalu-lalang seperti biasa—tak mendapati adanya sesuatu yang menghantam tanah atau puluhan pasak besi karena kini segalanya menjadi sama seperti semula. Kecuali, ia tak mungkin mampu mengembalikan kematian para anjing Lors di lorong dekat taman istana.

Begitu menyadari kereta Hendrix telah keluar dari gerbang istana Solvenmber, Ulysses meninggalkan Sin—berbalik mengikuti dari atas langit, mengawasi dari jauh, mencoba mengingat dengan jelas apa yang dibicarakan Perces sebelum mereka memasuki ke kedalaman hutan pinus. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top