I.III. ᚹᚨᚲᛖ
BEBERAPA GOBLIN remaja mencoba mendekat kepada tumpukkan bangkai di atas tebing pantai. Mereka bergerak dengan kikuk sekaligus menampilkan sorot enggan. Seusai kabar tersampaikan pula mendapati perintah untuk mengunjungi tempat tersebut, belasan Feyt bersayap serupa gagak beserta anjing-anjing sewarna bertanduk pun menggeram seolah menahan diri untuk tidak tergoda menghampiri lebih dekat. Tuannya akan segera tiba, yang perlu mereka lakukan hanyalah menyambut—bersiap menjadi telinga bagi sang pemimpin.
Di antara mereka yang tampak gelisah, seorang Feyt—dengan penampilan yang berbeda dari kebanyakan—sejenak mengambil langkah ke depan. Bermaksud menghadapi sebelum tuannya tiba. Satu dua goblin yang tengah sibuk mengejek bangkai kawan sendiri lantas teralih dengan tindak seorang Kanselir Raja—Selenour 'Ain Sentinel.
Mata Selenour memindai sekeliling, memastikan bahwa semua orang menaruh perhatian pada dirinya, kemudian tidak sampai tiga detik sang kanselir segera angkat bicara. "Kita sudah memastikan ini akan terjadi. Salah satu keturunan 'Ain Sentinel murni terakhir yang raja kalian inginkan kini telah bersama utusan dari Sin Heldist—mereka semua bukan tandingan kita. Semakin banyak dari kalian yang berusaha menangkap gadis itu untuk Perces ..., naga-naga North Aralt'Sys pasti akan—" Selenour tersentak. Belum lama ia bicara seorang Feyt murni menghentikannya perlahan dengan cara menyentakkan bahunya. "... Geraldine?"
Geraldine menggeleng perlahan. Sorot mata khawatir terlukis begitu saja di sana, membuat sosok Selenour segera membungkam sebelum memalingkan wajah darinya.
"Kau tidak perlu merepotkan dirimu sendiri, Darah Campuran," Perces menimpali dengan lembut, membuat kedua Fey di sana menoleh—tetap saja, bagi Selenour sebutan barusan tak lebih besar dari sebuah penghinaan. Perces segera memijak tanah setelah terbang tanpa merubah wujud menjadi seekor naga raksasa. Selenour kontan memicing tajam—gerak-gerik yang tidak kentara memang, tetapi membuat Geraldine segera mempererat sebelah tangannya pada bahu sang kanselir. Sahabatnya tak harus membuang tenaga untuk hal ini. Lalu, Perces melintasi mereka berdua menuju tumpukan bangkai goblin, "Apa pun yang kau inginkan, semua tetap dalam keputusanku. Merekalah yang melakukan perlawanan ...," ia terhenti sebentar, memandangi lekat mayat tak berbentuk tersebut.
"..., Dan ketika itu tiba, aku akan menghadiahkan mereka dengan peperangan."
Wajah dongkol sang kanselir makin tak dapat disembunyikan. Segera saja ia menyingkirkan tangan Geraldine sekaligus menghampiri Perces tanpa merasa takut atau segan. Kini Selenour tidak bisa menahan diri.
"Aku sungguh-sungguh tidak menurutimu kecuali bermaksud melacak untuk menyelamatkan klan 'Ain Sentinel yang tersisa di ranah fana. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Sekali pun Sin Heldist dikutuk karena kesalahannya, utusan-utusan Aralt'Sys tidak mungkin membunuh makhluk manapun jika itu berarti tak membahayakan ikatan perjanjian mereka terhadap manusia." Ada banyak penekanan dalam kalimatnya.
Perces tak menunjukkan tanda-tanda ia akan membalas ucapan Selenour. Malahan, setengah detik setelah berbicara, Selenour justru dipojokkan dengan tiga ekor Lors—anjing hitam di sekitar mereka, tiba-tiba saja menggonggong, geram garang memelototinya seperti menyuruh untuk tutup mulut—dan membuat sang kanselir tak terasa memundurkan langkah sebanyak tiga kali. Geraldine tak diam, ia sontak menghunus pedang kepada para Lors sekaligus angkat bicara untuk Perces.
"Sebaiknya untuk sekarang kau harus menuruti keputusan yang dibuat ratu kami."
Perces menjawab dengan nada yang sama, "Tentu saja."
Setelahnya ras Lors menoleh, memandang cukup lama punggung Perces hingga salah satu dari mereka maju dan dalam sekejap merubah wujud perawakan yang hampir mirip dengan manusia. Hanya membekas di sekitar gigi, netra merah, terakhir tekstur kulit yang lebih kasar.
"Haruskah kami mencari mereka?"
Lors—ras anjing setinggi bahu manusia dengan tanduk setajam pasak batu tersebut bergeming, menunggu jawaban. Angin kencang yang menghantarkan bau air asin kali ini datang menghantam tebing dengan kasar. Sementara Perces belum menjawab sama sekali. Netra biru langitnya tetap memandangi mayat goblin yang membusuk, seakan membayang-bayangi siapa yang sangat brutal memakan bagian mereka, lalu tersenyum tipis.
ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ
I.III. Wake
Entah apa yang terjadi kemarin, tetapi yang jelas ... Ellesmere bisa memastikan tubuhnya terasa lebih baik bahkan sebelum ia membuka mata. Perasaan nyaman menyusup batin gadis tersebut ditambah suhu udara yang tak terlalu hangat menyelubungi tempat—di mana pun itu—selama ia tertidur. Gawat, apa ia semalaman berada di atas tebing? Tergoda membuka mata, Ellesmere perlahan mendapati sebuah kamar dengan tiap sisi tengah dindingnya dilapisi kayu jati.
Apa ini kamar untuk budak?
Siapa yang membawanya kemari?
Apa ... dia diculik lagi!?
Sang budak menghirup udara kamar. Ada aroma lavender dan mawar—ajaib sekali karena kedua aroma tersebut bertemu tetapi tidak terasa bercampur aduk seketika dibau. Ellesmere membalikkan badan, langsung saja dirinya melotot kaget sebab baru menyadari eksistensi seorang wanita bersurai ungu kehitaman tengah tertidur di sampingnya.
Aroma lavendernya ... berasal dari dia, batin gadis itu tak sadar.
Wanita tersebut mengenakan piyama putih polos sedang di sekitar kakinya ada beberapa helai kain merah tua dan wadah yang diberi sedikit air.
Kamar yang lumayan luas juga terang. Ranjang tak terlalu tinggi, sederhana, dengan kayu serupa. Seorang wanita asing. Ellesmere tidak segera bangkit selama memandangi rupa sesosok Lune Hassanlt. Wajahnya begitu mulus dan cantik.
"..., Kau sudah bangun?" tanya Lune tak jelas dan Ellesmere terkejut untuk yang kedua kalinya. "Cepat sarapan sebelum kau sakit. Hendrix sudah menunggumu di dapur. Kau bisa memintanya menyiapkanmu sup ikan, susu sapi, dan ...," suara bicaranya semakin samar. Lune tertidur lagi.
Hendrix? Oh, ia mengerti. Sebenarnya setelah ini pun Ellesmere masih cukup sadar untuk mempertanyakan statusnya sebagai budak. Namun, ia tidak bisa menebak siapa tuan yang mampu membuatnya bertahan hidup. Jika itu cara mereka, berarti ...
"Aku mengerti," jawab Ellesmere cepat. Ia hanya berpikir setelah makan pasti langsung disuruh untuk bekerja—jadi makan diawal adalah kebutuhannya kali ini. Pelan-pelan ia turun dari tempat tidur, membuka pintu, lalu menelusuri lorong rumah—dengan acara tersesat sebentar—sampai ia mendengar suara rebusan air dan dua orang pria berbincang di sana.
"Hendrix, berikan aku daging domba lagi," pinta Ulysses sembari berpangku tangan di atas meja makan. "Atau bawakan aku apa saja yang ada di sana."
Sementara Hendrix sendiri tengah sibuk mempersiapkan mangkuk kecil, mengukus sesuatu entah apa, dan sudah ada celemek berwarna cokelat gelap menutupi baju rapinya. Uap-uap di atas kompor tungku dan biasa sudah menari-nari di sekitar pria itu.
"Panaskan sendiri, Ulat Malas!"
"Hendrix ...."
"Tidak ada kata tapi, Ulysses!"
"Kau semakin mirip dengan Lune."
"... B-benarkah!?" Hendrix menoleh ke belakang, tanpa disengaja turut menyadari keberadaan Ellesmere yang tengah berdiri canggung di depan pintu dapur.
Begitu juga dengan Ulysses. Netra kemuningnya melirik Ellesmere dengan setengah niat—dalam posisi pangku tangan yang sama.
Sekarang selamat untuk dirinya sang Ellesmere malang. Terjebak dalam tatapan dua orang dewasa yang di mana salah satunya adalah monster—pemakan—goblin, tidak, dia juga makan manusia.
Suasana yang kurang menyenangkan. Yeah, masabodo dengan ucapan wanita di kamar barusan, statusnya sebagai budak rendahan tidak akan pernah berubah.
Gadis itu bahkan sempat tertunduk dalam cuma untuk berkedip berkali-kali akibat cemas. Ia tidak akan pernah tahu apa yang harus dilakukan, terlebih ngeri sekali kalau-kalau salah satu dari mereka mendadak memarahi dirinya. Kemudian Ellesmere terpikirkan untuk bertanya secara langsung.
Sang budak menarik napas, menenangkan diri sekaligus mempersiapkan mental dengan segala sesuatu yang bakal terjadi—entah separah apa pagi ini.
"..., T-Tuan, boleh aku tahu apa yang harus kulakuka—"
"Duduk di sana."
"Eh?"
Menahan bibir untuk tersentak lebih keras, Ellesmere segera menggeleng dan menuruti apa yang baru saja dikatakan Hendrix sebelum pria tersebut memalingkan wajah kembali pada masakan. Kakinya melangkah mendekati kursi kosong di sebelah Ulysses sementara sosok itu tak lepas menatap sang budak sampai duduk dengan sempurna. Selama menunggu pun Ellesmere terpikirkan tentang kenyataan bahwa mereka tak jauh beda dengan Ulysses tampak bakal sukar dipungkiri.
Jika sisanya manusia biasa, mereka pasti sudah mati dimakan habis-habisan bak daging gantung.
Ellesmere mencoba menatap sosok di sisinya, meski takut-takut, memastikan apa Ulysses benar-benar memelototinya sampai selama itu. Bolak-balik berpaling pandang ragu, tetapi sisi polosnya makin penasaran. Sesaat memfokuskan pandangan dan semakin kentara, Ulysses kontan buka mulut. "Apa yang kau lihat?" sembari berganti menatapnya tajam.
Sontak saja Ellesmere berpaling dan tertunduk lagi. Di sisi selain takut, ia juga jengkel dengan sikap Ulysses. Kau sendiri, ada apa denganmu!?
Kemudian bunyi geletak pelan dari mangkuk yang ditaruh Hendrix terdengar, membuat Ellesmere segera mendongak setelah memandangi isi sup, kemudian sebelas susu, dan tiga roti manis di atas piring. Tak membutuhkan waktu lama bagi Ellesmere menyadari bahwa perutnya terasa lapar sekali. Beda dengan sang budak, Ulysses seolah memberi sinyal berupa pandangan sengit terhadap Hendrix. Aku tidak mungkin ikut-ikutan makan makanan seperti ini! Dan Hendrix tak kalah sengit membalas sorot itu. Namun, lebih cepat fokus terhadap si gadis kecil.
"Kau akan ikut denganku untuk bekerja. Jadi makanlah dan bersihkan dirimu sebelum semuanya berantakan. Jika kau pingsan," sekarang Hendrix justru tersenyum janggal padanya. "... Kau mungkin tidak akan suka kalau kuceritakan sekarang."
Harusnya kau katakan saja, batin Ellesmere acuh tak acuh. Aku sudah terbiasa dengan itu, kau tahu?
Bicaralah pada wanita dewasa, dasar bodoh, lalu Ulysses menarik napas dalam-dalam. Tampak jengah sekali dengan ucapan Hendrix. Dan sadarlah. Kau belum menjadi manusia!
Hendrix merogoh jam dari saku, sesaat komat-kamit menghitung sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kau punya waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap, ganti bajumu yang kusut itu di kamar paling belakang, kenakan sepatunya, pita rambut juga. Setelah itu, tanamkan dalam pikiranmu bahwa aku tidak selembek orang ini," dia menunjuk Ulysses—tentu saja sampai yang ditunjuk merasa terganggu sungguhan.
Lembek? Ellesmere baru ingat. Ya, benar. Ulysses tidak membangunkan dirinya selama perjalanan kemari. Itu artinya ada kemungkinan sosok tersebut membawanya dengan cara—entah apa lagi—cuma untuk dibawa sampai pada kamar yang dihuni seseorang beraroma lavender tersebut.
Manik Ellesmere seketika terbelalak.
"Kalau kau bekerja dengan baik, setiap pagi dan malam kau bisa makan enak seperti ini pun begitu seterusnya. Namun, bila kau tidak berguna, aku benar-benar akan menelantarkanmu. Ingat itu baik-baik, Ellesmere."
"Kau harus duduk seperti ini," Hendrix memperagakan cara duduk dengan merapatkan kaki lalu menempatkan kedua tangan di depan perut—di mana salah satunya di atas menggenggam tangan bawahnya—meski terkesan konyol untuk ukuran seorang pria seperti dirinya. "Aku tidak peduli seberapa mudah kau mendengar hinaan-hinaan dari tuanmu dahulu, tetapi aku minta kau untuk ringan senyum—paling tidak sampai orang-orang percaya bahwa kau pribadi yang ramah."
Ellesmere mengikuti, persis seperti yang Hendrix lakukan selama tiga detik terakhir. Roda kereta berputar, melindas dataran tanah berpasir lebih sering sebelum berbatu yang cenderung kasar. Dalam perjalanan menuju suatu tempat Hendrix dengan mudahnya mengajari sang budak belajar tata krama dan etika. Entah bagaimana ia mampu mengerti di mana Ellesmere benar-benar menangkap apa yang ia bicarakan dan juga tidak. Pun ia sendiri tampak santai saja menanganinya.
"Jangan sekali-kali membungkuk hanya karena lelah. Aku tahu kau belum terbiasa dan bukan berarti aku melarangmu untuk bersembunyi demi beristirahat. Apapun yang kautemui, ceritakan padaku—itu jika kau tidak ingin terkena masalah."
Gadis tersebut diam mendengarkan. Di samping itu, tepat ketika Hendrix tak lagi berbicara hingga sepuluh detik, netra emerald Ellesmere menurun memperhatikan penampilan sendiri. Rasanya baru kemarin ia menjadi anak yang kumuh dan dalam sekejap rupanya seolah dihias persis menjadi seorang bangsawan. Setelan bajunya pun disamakan dengan sang pedagang—yakni mengenakan pakaian bercorak merah hitam berbahan sutra.
Ia bergumam tanpa terpikir untuk mendongak, "Baju ini terlalu bagus." Namun, gadis itu tidak tersenyum bahkan terlihat senang sama sekali.
Hendrix menoleh sejenak, kemudian menjawab sembari melipat tangan di depan dada. "Pembeli tidak akan tertarik membeli jika salah satu penjualnya terlihat kusut."
Pria itu tak langsung menatap Ellesmere. Pandangannya lurus ke depan sedangkan Ellesmere kembali memandangi dirinya dengan bingung.
Kereta kuda membelok tajam. Jalan setapak penuh pohon Pinus kini menghilang berganti jalanan ramai dipenuhi bangunan rumah yang lebih tinggi. Sedang di ujung depan sana telah terlihat jelas sebuah istana negara Kerajaan Solvenmber.
Menelusuri sebuah halaman depan yang luas luar biasa dipenuhi pepohonan pula semak kembang sepatu di tiap sisi jalan masuk. Ada satu pancuran air tepat tak jauh di depan teras. Begitu kereta terhenti, Ellesmere sampai merasakan jantungnya berdegup hebat lantaran takut tersandung sepatu sendiri sebab rok beserta alas kakinya hampir sama panjang menyentuh tanah.
"Tn. Hendrix," sahut Ellesmere sementara mereka berdua mulai melangkah memasuki istana. "Tuan tidak pernah bercerita akan membawaku kemari. Tapi, tempat apa ini? Ini sama sekali tidak terlihat seperti pasar."
"Kau terkejut?"
Ellesmere kontan menoleh ke sana kemari. Semua yang ada sangat berkilau dan cantik—setidaknya itulah yang ia pikirkan. Pilar-pilar istana menjulang tinggi, lampu bak permata putih, lantai marmer yang terpoles dengan baik, dan ... dilintasi oleh para ningrat.
"Kurasa kita salah masuk tempat."
"Kau pikir aku bodoh?"
"Apa kita akan membuka sebuah stan toko di dalam bangunan megah ini?"
"Tidak, kita tidak akan pernah melakukan hal konyol seperti itu."
"Bagaimana caranya naik ke sana? Bau apa ini? Sedap malam? Apa semua dicat dengan emas? Aku ingin tahu di mana mereka mendapatkan bunga-bunga yang bagus itu. Kenapa suasananya terasa jadi lebih berat sekali? Apa mereka semua pedagang hebat sepertimu? Tapi kenapa mereka mereka tidak tersenyum?"
"Jaga sikapmu, Ellesmere."
"..., Maafkan aku."
Seketika itu juga Ellesmere membungkam mulutnya rapat-rapat sampai tiba di aula kedua sebelah barat. Membutuhkan waktu lebih dari lima belas menit hanya untuk menelusuri dua lorong pertama. Untung saja Hendrix melangkah dengan santai atau jika tidak ... dirinya pasti sudah jatuh duduk karena kelelahan.
"Kita akan menemui seseorang."
Usai bicara, Ellesmere mendongak ke atas—memandangi pundak sekaligus kepala sang pedagang yang berpostur tubuh tinggi dan berisi. Tak kurus juga gemuk. Bersurai hitam legam, sedikit berjanggut dengan rahang hampir sama seperti Ulysses, tegas. "Siapa?" tanya gadis itu.
Langkah Hendrix terhenti. Bukan karena Ellesmere bertanya tentang siapa. Pria itu menangkap keberadaan seorang pemuda dengan seragam yang menunjukkan bahwa ia adalah anggota kerajaan. Mengenakan jubah putih yang tebal dan pandangan mereka saling bertabrakan.
"Sin Heldist."
Kemudian sorot itu tiba-tiba membanting pada Ellesmere hingga sang budak tersentak kecil.
Sin kembali menaruh perhatian pada Hendrix. Kalau dilihat lebih teliti, ekspresi wajah sosok yang baru saja tak lama muncul di depan mereka tersebut secara instan melunak bahkan bahunya mengendur ke bawah seolah dibanjiri rasa lega luar biasa. "Apa Haildanerc belum juga memberikanmu penawar untuknya?"
Alis Hendrix sedikit bertaut. "Tidak sekarang, Sin."
Terheran sejenak, Sin kemudian segera menyadari sesuatu. Keduanya seketika memindai sekeliling—masih perlahan, sesekali, pula menjaga gerak-gerik tubuh sendiri agar tak terlihat tengah mengawasi sekitar istana. Sadar dibuat makin cemas, Sin memutar bola mata ke arah depan.
"Bawa dia ke tempat yang aman."
Kontan saja Hendrix—tanpa terlihat seperti ia masih menganggap Ellesmere setara dengan budak rendahan—dengan sigap menarik salah satu tangan gadis itu sementara pria tersebut tak berkata apapun untuk menjelaskan. Ellesmere yang makin kebingungan pun hanya mampu terseret, melintasi Sin begitu saja sedang sosok tersebut tetap menatap arah yang sama.
Alih-alih membawa pergi, dalam beberapa langkah saja mendadak kedua orang yang hendak berlari ke dalam ruang singgasana justru mendapati deretan manusia—berteriak keras hingga menunjukkan deret gigi mereka yang serupa anjing bawahan Perces—kini telah tertusuk pasak besi tajam sepanjang lima meter yang muncul dari bawah tanah. Ada puluhan dari mereka yang masih hidup, belasan sudah mati.
"Ellesmere ...."
"Ellesmere, Ayah menunggumu ...."
"Ellesmere, pulanglah ...."
"Ellesmere ...!"
"Berikan dia ...."
"Berikan kembali ...."
"Kembalikan ...."
"Kembalikan ...!"
"KEMBALIKAN DIA KEPADA KAMI!!!"
Yang berteriak pertama mendapatkan tusukan pasak ke dalam kerongkongan, begitu pula diikuti oleh yang lain. Kini mereka tak lagi bisa berteriak hingga menggema ke arah aula lain. Pita suara semua yang menyusup sudah dirusak dengan fatal, bahkan sampai tak berbentuk. Darah merah menyiprat hingga ke dinding lorong, menambah kesan horor pada tempat itu.
Ellesmere menatap nanar pemandangan itu, lalu memekik keras. Sontak membuat Hendrix segera menarik gadis itu—tak pergi ke depan atau pun kembali.
"SIN! CUKUP!!!" bentak Hendrix sembari mendekap Ellesmere agar gadis itu tak menoleh ke mana-mana. Sedang yang dibentak justru diam memperhatikan—cenderung seperti menontoni daripada melindungi. Sikapnya yang barusan berubah menjadi seratus delapan puluh derajat; tatapannya menjadi dingin menusuk, tersenyum selama pekikan itu terdengar, lalu mengabaikan Hendrix.
"Aku tahu kau di sana, Perces," ujar Sin mendadak. Tak dipungkiri Hendrix segera waspada setelahnya. Kemudian Ellesmere tak sengaja mengintip, memandang pemandangan yang membuatnya ngilu sekaligus mengocok perut. "Keluarlah, sebelum aku yang menyeretmu keluar dari sana."
Ellesmere tak mengerti. Tampaknya ia telah masuk ke dunia yang salah. Tidak seperti ini. Di sini bukanlah tempatnya. Tempat yang bagai mimpi buruk penuh darah dan pembunuh. Bahu gadis itu bergetar kembali, berpikir entah kapan semua ini akan selesai.
Baru saja tiga detik tak mendapati jawaban, Sin melesat. Menangkap seseorang yang tengah berdiri di belakang ratusan pasak milik Sin, membawanya dalam kecepatan tinggi, kemudian membantingnya hingga terhempas ke atas setelah tiba di taman istana. Suara dentum keras seolah ada bongkahan batu menghantam tanah dengan bebas menggema ke sekitar.
Sin pun mesti menahan kecepatan kaki sendiri dengan cara menekannya hingga merusak tanah di sisi lain. Setelah itu terjadi pun Sin tetap mendengar gelak tawa yang gila di sana.
Ya, Perces menertawakannya.
"Akh ... sakit," lalu tertawa lagi. "Tunggu ..., salah."
Di antara tumpukan tanah yang rusak luar biasa itu Perces bangkit, tubuhnya yang hampir semua mengalami patah tulang menciptakan suara geletak keras sana-sini hingga semuanya kembali pada tempatnya. Lalu, pria itu menoleh ke belakang, memandangi Sin sembari menahan tawa.
"... Menjauhkannya dariku jauh membuatku sangat sakit," lanjut Perces. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top