I.II. ᛊᛏᚨᚢ
KERETA TETAP berjalan. Suara grasak-grusuk dari barang bawaan di kereta belakang pula bunyi kayu yang mengkerit keberatan beban seolah ikut menambah kebisingan pasar beserta teriakan penjualnya. Butuh tiga puluh menit untuk sampai ke rumah Lune—dan itu artinya berpuasa selama setengah jam cuma untuk menahan diri agar tidak mengeluh sepanjang perjalanan—atau Hendrix akan mengomel.
Setelah sukses merokok sekali—tanpa sepetahuan Hendrix, Ulysses berpangku tangan. Menumpu sikut ke tepi bawah jendela kereta sembari menatap sinis ke beberapa pejalan kaki—yang nantinya pasti—satu atau dua dari mereka menolak pertanyaan Ellesmere. Dasar manusia, pikirnya, terlalu egois untuk membantu ras sendiri. Bagaimana nanti jika makhluk seperti 'mereka' yang meminta tolong?
Nah, Ulysses segera berhenti berpikir. Entah ada sambaran apa lagi sampai hatinya yang angkuh kembali terbangun. Lihat saja, sambil tetap merasa jengkel ia tersenyum kecut dan lagi-lagi ... tanpa sepengetahuan semua orang.
Pantaslah dunia manusia begitu fana.
"Sulit dipercaya ...," dan bergumam seorang diri. Sulit dipercaya reptil bersihir sepertiku dengan mudah mengkritik kalian semua!
Dan kenyataan bahwa Ulysses menahan kepala penuh kritis sendirian itu mendadak berakhir detik ini juga.
"Dia kenapa?" Hendrix menyikut lengan Lune, yang sedari tadi memang duduk bersebelahan. Berbeda dengan Ulysses, Hendrix bagai pengawal bagi Lune. Berhasil memberi sinyal untuk menontoni apa yang ia lihat diam-diam, Lune hanya memberi reaksi dengan membalas tatap pria itu. Terlepas sejauh mana sang penyihir menilai seaneh apa sesosok Ulysses di kepala sederhananya, Hendrix berharap penuh wanita itu bisa berbicara sesuatu yang berbeda. Sedikit saja.
"Itu kebiasaan kurang bagus, kukatakan padamu," tatapan polos seorang penyihir putih pun terlukis sangat jelas di sana. Tidak ada terbesit pemikiran atau penilaian apapun yang lebih baik—di mana sorot yang tertangkap sang pedagang kaya itu hanya terhias warna netra merah gelap dan sedikit binar yang malah berkesan seperti ... keibu-ibuan?
Tunggu?
Ibu!?
Dan ya, Hendrix telah mendapatkannya. Mendapati Lune berbicara berbeda, walau bukan itu yang ia inginkan.
Sedetik setelah Lune memasang ekspresi bingung yang serius, Hendrix buang muka.
"Mari hentikan pembicaraan in—" Hendrix menghentikan kalimat sendiri. Dirinya kembali melotot terkejut—bahkan lebih ketika Ulysses segera membuka jendela lebar-lebar secara mendadak hingga menimbulkan bunyi geletak yang nyaring dengan panik—sampai tak dirasa setengah menghancurkan kaca jendela—membelalakan sorot mata terhadap pantulan kaca di sisi kereta dan menyebut satu nama di sana.
"Ellesmere."
ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ
I.II. Stay
"Darahku mengalir di dalam dirimu," nada pemuda itu merendah. Manik sebiru langit siang itu segera teralih, tetapi tak lama. Sementara Ellesmere hanya mampu tergeming dengan bibir yang kelu, kemudian sorot yang kini tak asing tersebut kembali bertabrakan dengan sempurna, "Namun, nyatanya kau tidak mengingatku."
Ellesmere hampir saja melupakan keretanya. Ia bisa tamat malam ini juga! Sesaat terhenyak menyadari hal itu, sang budak belian sontak memundurkan tubuhnya dua langkah ke belakang. Sial sekali rasanya tiba-tiba mendapati orang tidak waras!
Apa katanya? Ratu Loseln? Lupakan saja! Sekarang ia baru saja dibeli sekaligus mempertaruhkan nyawa sendiri demi membohongi seorang pedagang menyeramkan bahwa ia bisa membaca dan mengerti bahasa asing. "Kau pasti bercanda, Tuan," kontan ucapan setengah hormat setengah menghina itu keluar begitu saja dari mulut Ellesmere. Kini ia tak bisa berpikir jernih. "Aku hanyalah budak, dahulu aku memiliki status orang merdeka, dan aku sama sekali tidak ingat memiliki orang tua semuda dirimu—atau siapapun kau."
Pemuda itu menatap lekat dirinya.
"Aku tidak boleh berada di sini. Aku harus pergi. Sekarang aku permisi—hei!!!" Ellesmere memekik lantaran terkejut bukan main begitu tangan kanannya digenggam dengan sigap. Ia tak diizinkan meninggalkan tempat itu, atau menjauhi sosok yang entah bagaimana berangsur-angsur terasa tak asing. Ellesmere menatap nyalang padanya.
Gadis itu tak suka. Genggaman tangan pemuda di depannya makin menguat hingga Ellesmere merintih sakit.
"Lepaskan!!!" saking sakit sampai sisa tangannya berusaha melepaskan yang lain dengan tenaga seadanya. Gadis itu nyaris menangis. Wajah pemuda bertudung tersebut secara perlahan berubah menjadi buruk rupa—bagai goblin bertubuh lebih tinggi daripada Ellesmere. Memiliki warna kulit kehijauan menjijikan dan serentetan gigi yang berantakan bukan main.
"Mari, kuantarkan kau kepada Tuan Perces."
"Tidak!"
Ellesmere memekik lagi. Tangannya sungguh diseret kasar hingga lecet bahkan berdarah berkat kuku panjang yang jelek nun keruh. Entah sejak kapan sang budak berkali-kali kesusahan bernapas semenjak diseret ke arah yang berlawanan. Kemudian penglihatan sekitar pasar seolah memanjang dan melambat. Alih-alih kebingungan dalam hati, ia segera dibanting ke dalam kegelapan sunyi.
Mata dan telinganya tak mampu mendengar apa-apa kecuali angin ribut yang menerpa sekitar tubuhnya. Merasakan itu seperti membayangkan dirinya berada di udara—tunggu!?
Dan sebuah sambaran petir yang sangat dekat jaraknya seketika membangunkan sang budak. Lagi, Ellesmere berhasil membuka dan mengumpulkan kesadaran di detik itu juga. Kini ia berada di tempat yang berbeda. Pasar yang seharusnya dipenuhi banyak orang asing dan anak-anak berganti menjadi lapangan hijau. Di seberang tampak hamparan laut biru lepas pun sekarang telah senja!
A-APA YANG TERJADI!? batinnya.
Panik, Ellesmere segera bangkit berdiri. Tak tahu harus melangkah ke mana dan berlagak kalang kabut seperti kehilangan barang sampai ia menyadari ada yang tidur terlentang di sekitar sana.
Sementara angin kencang membentur kulit dengan lembut seperti sedang menggodanya untuk kembali menghilangkan kesadaran, Ellesmere terdiam sejenak. Pikirannya berkecamuk. Namun, apa boleh buat. Ia memang takut sosok itu berubah menjadi monster hijau seperti yang didongengkan orang tua di pedesaan lama. Pelan-pelan kaki Ellesmere beranjak, melangkah mendekat sementara Ulysses—yang tidur-tiduran dengan bibir darah sampai dagu tersebut segera menoleh.
Tatapan yang kosong itu malah puluhan kali lebih mengerikan daripada goblin yang baru saja menyeretnya sampai di atas tebing pantai.
Sekarang acara pemilihan konyol tentang antara menganggap sosok itu sedang sekarat atau malah mau menakut-nakuti dirinya kembali terbesit. Ia sudah muak, juga tidak tega. Argh! Cukup! Ellesmere memutuskan untuk menghampiri lebih dekat. Mana tahu ada seseorang—yang normal, tentu saja—tengah menghadapi maut sedang dirinya tak membantu sama sekali.
Begitu sedekat lima meter, kontan saja Ellesmere ingat sesuatu dan seketika lari tunggang langgang hingga hampir tersungkur menangkap Ulysses.
"A-Anda ... Tn. Simon!?" nadanya menjadi ketakutan. "Tuan, apa yang terjadi!? Kau terluka dan—" belum selesai berbicara, pandangan Ellesmere tak sengaja menyapu ke sisi raga Ulysses karena bau darah yang menyengat. Mata sang budak menjadi nanar dalam sekejap. Sekilas, ada belasan tangan, kaki, isi perut, bahkan kepala goblin yang hancur berserakan di atas rerumputan—terkoyak sana-sini mirip habis disantap. Itu pun ia mampu melihat setengahnya sebab Ulysses segera bangun dan menutup kedua mata Ellesmere dengan paksa—tak mengizinkan melihat lebih dari itu.
Ellesmere terkesiap.
Sayangnya Ulysses tak senormal yang Ellesmere pikirkan.
Napasnya tersendat-sendat, tangan gadis itu bergetar hebat, dan sekejap kakinya melemas bak tak bertulang. Siapa lagi yang tengah bersamanya sekarang!? Mengapa dalam sehari ia tidak berhenti menemukan hal-hal aneh dan janggal!? Tak tahan, Ellesmere berteriak keras.
Sangat keras dan horor.
Sayangnya pekikan ketakutan itu kalah nyaring dengan suara angin.
Tampak seperti Ulysses terlalu pintar mengetahui reaksi Ellesmere mengenai dirinya hari ini. Sehingga sengaja dibawa kemari hanya untuk membiarkan gadis itu melampiaskan ketakutan sendiri.
"Kau tahu bagaimana sikap singa kekenyangan, bukan?" ucap Ulysses enteng, terdengar seakan berbicara sembari tersenyum. "Tunggu sebentar lagi di sini sampai aku tidak mengantuk."
Untuk yang kesekian kalinya Ellesmere nyaris memekik lagi.
"Hentikan itu kalau kau tidak ingin aku tambah kesenangan."
Mulanya, napas Ellesmere tertahan paksa. Ia jadi betul-betul diam—yang tersisa sekarang hanya isakkan kecilnya. Bukan para bandit, penculik, atau pria-pria dengan ucapan yang menghina, kengerian kali ini malah berlipat-lipat membuatnya kehilangan tekad. Yang ada hanya satu; takut.
Perlahan Ulysses melepaskan tangan dari mata Ellesmere hingga gadis itu bebas sepenuhnya. Membiarkan sang budak berusaha susah payah bernapas seorang diri dan sedang dirinya kembali tidur-tiduran dengan malas. Ulysses menghela napas. Diam beberapa detik sebelum tergoda untuk melirik si gadis manusia yang baru saja ia selamatkan.
Ia masih ketakutan.
Terkadang utusan sang penyihir putih itu harus—mau tidak mau memutar otak kembali hanya untuk sebuah hal yang ia anggap sepele. Nah, jadi ... bagaimana sikap manusiawi yang sering manusia bicarakan itu?
"Ellesmere."
Ellesmere tidak menoleh.
Dari terlentang, Ulysses kemudian membalikkan sedikit badan hingga benar-benar menghadap kepada punggung Ellesmere. Memperhatikan lebih lekat seakan berusaha memasuki pikiran gadis kecil itu meski terasa sangat mustahil. Netra serupa elang itu sejenak berpaling. Setelah dipikir-pikir, ia memang terbawa suasana setelah makan sedikit daging. Seorang anak manusia—masih sangat muda jadi ketakutan karenanya.
Baiklah, hati manusiawinya berhasil. Namun, sikapnya tidak ada!
Bagus sekali, pikirnya, apa Lune seumur hidup seperti ini!? Ia pikir dengan terikat kontrak dengan Lune, Ulysses bisa mendapatkan raga serupa manusia lengkap dengan sifat dan sikapnya. Namun, apa ini!?
"... Apa ... kau akan memakanku juga?"
Ulysses tersentak. Ellesmere mendadak berbicara, itu pun beruntung karena Ulysses sampai hati menganggap itu tindakan yang berani, paling tidak untuk ukuran bocah kecil sepertinya. Sesekali ia terpaku dengan pundak Ellesmere yang kini bergetar entah menahan tangis atau takut. Sisi manusianya pun menambahkan sugesti bahwa gadis itu mungkin lebih rapuh daripada yang ia duga.
Lalu, ia mulai berbicara setelah membersihkan darah yang hampir mengering di sekitar mulutnya.
"..., Aku bisa saja menyantap seorang penyihir atau bahkan manusia yang paling ditakuti manusia lainnya, tetapi tidak denganmu."
Ellesmere menelan saliva. Saluran napasnya yang sedikit tersumbat oleh ingus sedikit demi sedikit membaik walau tidak untuk perasaan takut. Karena mendapati nada bicara Ulysses melunak begitu saja, ia coba membalas tanya. "Kenapa?"
Sedang pemuda itu tidak menjawab dengan cepat. Sembari menyadari suara setrum listrik masih aktif di sekitar setumpukan daging di atas rerumputan berdarah, Ellesmere perlahan mendongak. Air matanya sudah mengering. Kini tinggal rasa pegal pada otot netra dan sensasi tak menyenangkan menunggu Ulysses menjawab pertanyaan gadis itu.
"Aku akan menjawabnya nanti," mendadak saja suaranya menjadi ketus. "Sekarang biarkan aku tidur."
A-apa—
Tak sadar Ellesmere menoleh cepat kepada Ulysses. Sayang sekali, sosok dengan surai kelabu itu sudah menutup mata lebih dulu. Mudah sekali tertidur di atas rumput dengan ritme angin yang lumayan kencang dan segar.
Bukan tertegun, tentu saja, Ellesmere makin dibuat bingung sekaligus tak terima. Namun, pasrah pada akhirnya. Menghabiskan lebih dari tiga puluh menit untuk sabar-sabar menunggu rekan sang pedagang menyeramkan bernama Hendrix itu terjaga. Manusia bisa bosan pula lupa—begitulah, setelah ketakutan hilang seperempat habis, Ellesmere mengisi waktu sendirian dengan lari-lari sana-sini, berguling-guling di atas rumput empuk—dua puluh meter jauh dari bangkai goblin—dan memandangi laut untuk yang pertama kali.
Kepala desa pernah mengunjungi suatu tempat yang penuh dengan air garam menggunakan perahu kayu—lalu kakek itu menyebutnya sebagai Laut. Pasti ini, pikirnya. Bau air asin yang khas tercium pekat meski ia berada di atas tebing. Udara yang hangat. Debur ombak yang selalu menarik perhatian lewat suara. Senja yang cerah kemudian berganti malam berbintang.
Sesekali Ellesmere menoleh, Ulysses belum bangun juga. Lalu, sialnya lagi, perut gadis itu sudah benar-benar keroncongan. Hendrix tampaknya terlalu galak untuk memberikannya sepotong roti bahkan sebelum bekerja sama sekali. Menghela napas, Ellesmere perlahan menggerakkan kaki, mendekati Ulysses lalu berbaring tak jauh dari sana. Lebih baik ia tidur daripada merasakan kelaparan yang lebih buruk saat tengah malam.
Dengan paksa tingkat tinggi gadis itu memejamkan mata, merasa kelelahan bermain juga, ia berhasil tertidur pulas. Bagaimana Ulysses akan membangunkannya adalah masalah belakang. Waktu istirahatlah yang terpenting. Tanpa disangka, di saat bersamaan Ellesmere terjun ke alam mimpi, Ulysses membuka mata—bahkan tampak telah terbangun entah sejak kapan.
Dirinya beranjak duduk, menguap sekali, lalu memperhatikan sang budak lagi. Tertidur dengan wajah yang sedikit kusam di sekitar pipi dan ada beberapa daun rumput yang tersangkut di sekitar surainya. Pakaian yang kotor akibat debu juga sepatu yang sudah tak layak dikenakan—secara penampilan.
Ulysses mendengkus.
Tiga detik setelah berpaling ke arah laut, Ulysses segera membopong tubuh kecil Ellesmere. Membungkusnya dengan dinding sihir transparan sewarna emas berbentuk lingkaran, melayangkannya di udara sementara separuh dirinya berganti kulit menjadi sisik sebelum terbang perlahan dan membawa bola berisikan anak manusia tersebut tepat di sisi kanannya.
"Akan kuberitahu jawabannya, ketika kau sanggup berjanji untuk tidak takut denganku." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top