[F]I.IX. ᚨᚾᛟᛗᚨᛚᛟᚢᛊ

*) Quote on chapter I.VIII. Inherintances

(early)a/n: Bab ini khusus flashback chapter I.VIII. Inheritances dari sudut pandang Ulysses—terus~ titik akhirnya ada di awal chapter I.VII. Rolling (Back) pas dia turun tangga buat pamer baju ke Ellesmere. Ane pikir bakal lebih menarik kalau kalian tahu apa yang Ulysses lihat—atau barangkali justru apa yang terjadi sama naga itu dan seberapa banyak yang dia lakukan sampai battle dengan naga utusan pun kelihatan B-I-A-S-A buanget! Abis ditusuk kakinya, tinggal dikurung, mati gegara zat besi badan sendiri, dan end. Ehe. Yea, who knows. Sebelum ane pindahin pendalamannya ke tokoh lain (secara acak), mari kenal sosok Ulysses H̶e̶l̶d̶i̶s̶t̶  Shádev sebentar.

(Terakhir ada juga yang komen "emang buat apa Ulysses mundurin waktu? Apa gunanya?" Ampun, Bung~. Selamat datang dalam Game of Plot ane. Sambil bikin ente bingung, ane mau gila-gilaan nulis cerita ini.)

**) just a clue. Kalau ane kritisi sendiri buku ini, si Ulysses kelewat Over Power meski dia naga, apalagi ketepatan timingnya di bab satu poin delapan. Kek OPnya gak ada keterangan kok bisa, gimana, lho kok begitu ;-;) blank aja.

(((blank aja))).

;-;)

***) emang ... naga lawan naga bisa sedangkal itu prosesnya? *ngomong di depan kaca**nulis sendiri protes sendiri* //ditamvolreader

Inilah mengapa Ulysses sulit dipahami di buku seri The Remorseless.

Well ... //seruputkopi//

Selamat membaca!

Warning; baca part ini pas senggang dan abis makan ya '-')/

- N e v





AWAN SENJA diam-diam mengintip dari cakrawala yang jauh. Pula dalam senyap memperhatikan rona warna jingga yang menyerupai dirinya, membakar rerumputan sekaligus sekian meter pepohonan Hutan Pinus Elsorses dengan sangat ganas. Halaman yang hijau sekarang tinggal abu di segala arah. Sebagian tanah lain sudah dipenuhi bangkai bangsa hitam—Feyt, juga Lors seusai kedatangan sosok Selenour tanpa seorang pun tahu kapan tepatnya. Dalam waktu dekat prajurit Kerajaan Solvenmber pasti bakal menuju kemari—menyaksikan kengerian ini—lalu tanpa persiapan di angan-angan, Sin tak sengaja datang kemari dan seseorang akan membunuhnya.

Tidak ada yang tersisa.

"HAHAHA!!!" suara tawa serak menggema di udara berkali-kali tanpa henti, satu-satunya yang mengisi keheningan di antara para bangkai Katalis dan Naga. "HAHAHAHA!!!" saking keras tertawa sampai sang empu nyaris melukai pita suara sendiri. Sesekali tersendat mengambil napas, lagi-lagi ia meneruskan hal yang sama.

"HAHAHAHA!!!"

"HAHAHAHA!!!"

Aslar Raem—dalam gerbang perbatasan dimensi astral yang berhasil dibuka oleh Vares Raem—naga hitam arang yang habis-habisan memborbandir serangan terhadap penghuni rumah Lune Hassanlt—kini bergeming di hadapan Ulysses. Setengah senyum pria yang kehilangan raga tersebut memperhatikan sang naga titanium terikat kuat di depan badan pohon oleh benang sihir, tertawa seperti orang gila hingga terbungkuk-bungkuk, dan iris keemasan yang telah memerah darah itu bukan lepas menatap dirinya.

Melainkan menerawang pada jasad Ellesmere di kejauhan.

Dalam tumpukkan puing berserakan tak keruan di sana ada bangkai naga—Hendrix, juga Lune—sang penyihir—yang tangan dan kakinya tengah dikoyak sana-sini oleh gigi para Lors yang tersisa. Bahkan wanita itu masih menyimpan Mana di dalam saraf-saraf mati. Keberuntungan, mereka mampu berpuas hati menyantap Lune dan Ellesmere seusai Aslar membunuh kedua sosok tersebut setelah Hendrix. Sementara Ulysses, pemuda dengan perawakan yang tetap utuh—sedikit lebam di sisi bibir beserta luka sayatan di leher—sama sekali tak diburu oleh bangsa-bangsa hitam di sana. Dia dibiarkan, seakan sengaja membuat sang naga duduk diam cuma untuk menontoni segala pertunjukkan sadis nan menjijikan tanpa diberi kesempatan bangkit dari kursi teater.

"HAHAHAHA!!!"

Makin memperhatikan Ulysses, Aslar makin terpicu untuk menarik kembali sisi bibir ke atas. Tidak ada yang tahu apa pria tersebut berusaha menahan senyum sarkastik atau memang sebegitu saja reaksinya. Kadang pemuda itu tertawa-tawa sembari mendongak ke atas dengan kaki refleks tertekuk—menggerus rumput bercampur darah di bawah sepatu. Kemudian, kali ini napas yang sendat tidak ia pulihkan untuk kembali tergelak berlebihan. Ulysses menarik oksigen sebanyak mungkin demi mengisi penuh paru-paru yang menyempit, mengembuskan perlahan bersama pandangan mata kosong—tak peduli apa dirinya menghirup asap menyesakkan atau bau amis darah tuannya sendiri.

Jasad Ellesmere dan Lune sudah setengah habis. Makin mengerikan bila dilihat, sedangkan para anjing arang di sana masih saja berpesta ria mengisi perut mereka yang tak kunjung penuh. Ulysses telah bernapas normal, ia berhenti berontak, drastis, sekali lagi menarik perhatian Aslar agar tergoda memuntahkan beberapa kalimat ke dalam telinga sang naga.

"Cepat lakukan," ujar Ulysses tak jelas. "Cepat lakukan ...."

Tanpa perlu berpikir, Aslar sudah mengerti arti ucapan pemuda itu. Dia sontak menyurutkan senyum, memperlihatkan serentetan gumaman Ulysses mendadak membuatnya merasa bosan. "Kau tahu kau masih memiliki kekuatan itu."

"CEPAT BUNUH AKU, BERENGSEK!!!" teriak Ulysses menggelegar dan kontan saja ia membentur-benturkan kepala sendiri ke badan pohon dengan amat keras. Cepat bahkan tak jarang serpihan kayu terlempar ke tanah berkat benturan kepala sendiri. Berharap dari usaha putus asa itu dirinya mengalami cedera atau barangkali patah tulang leher agar bisa mati—sekarang juga.

Makin kuat Ulysses membenturkan kepala, makin Aslar menatapnya jengah. Bukan itu yang ia inginkan dari Ulysses. Mendidik anak didik kesayangan Serein—juga kesukaan dirinya tak terpikirkan bakal sesulit ini. Padahal bila sang naga titanium mau menuruti ucapannya, semua bisa menjadi lebih mudah. Tidak ada yang hilang secara permanen, tak akan ada yang merasa kehilangan, sebab bagi Aslar; Pemuda tersebut harus segera melatih hadiah pemberiannya puluhan tahun lalu.

Selama ini Ulysses hanya menggunakan sihir waktu demi memperbaiki atau mengembalikan yang rusak. Betapa mengecewakan! Dia semestinya bisa melakukan lebih! Gatal dengan kepasifan sang naga, Aslar mau tak mau turun tangan dengan menggunakan Ellesmere beserta orang-orang sekitar sebagai objek yang pantas. Dia tahu Serein mampu, kemudian wanita lemah tersebut menghalanginya, maka ia rampas paksa salah satu fragmen serupa jiwa itu dan menanamkan ke dalam tubuh Ulysses—satu-satunya naga yang berhasil membuat Aslar kehilangan raga berharga pada momen pembersihan bangsa katalis.

Tentu saja. Dia lebih layak.

Dengan langkah tegap bentuk astral sang naga roh mendekati Ulysses, menekuk salah satu lutut dengan hati-hati, kemudian angkat bicara baik-baik seperti berusaha memulai pembicaraan santai antar laki-laki—atau justru antara ayah dan anak. Dalam-dalam ia menatap manik marun Ulysses, merendahkan pandangan sembari termanggut-manggut dua kali, terakhir, silih berganti memandangi pemandangan di belakang punggung dan guratan kosong sang lawan bicara. "Aku mengenalmu, kau adalah anak yang baik. Lihat sedikit lebih lama ke sana, bukankah hal itu yang paling menyakitkan bagimu? Kau ingin melihat mereka kembali? Aku tahu kau memiliki keinginan mengembalikan mereka, membuat mereka hidup lebih lama bersamamu."

Satu tarikan napas, Ulysses menjawab tanpa berniat menolehkan kepala—menatap lurus pada Aslar. "Kau hanya akan membuatku semakin lama membusuk di dalam Acledesent. Kau ingin ranah penuh bayang-bayang ilusi itu makin menginginkanku."

"Tidak akan pernah ada Acledesent di dunia ini, Nak." Aslar menyungging senyum penuh makna.

Perlahan tetapi pasti, iris semerah darah tersebut mulai berputar ke arah Aslar.

"Sudah pernah kukatakan padamu, bukan?" Lanjut pria itu. "Kerajaanku akan bangkit di sini. Tidak akan ada peraturan Kerajaan Dracon yang mampu membatasi keinginan kita—seperti halnya Acledesent. Kita semua akan bebas, menguasai tanah indah ini bersama orang-orang yang kita cintai, dan kau ada di dalamnya. Tanpa terkekang apapun, tanpa takut akan kehilangan."

Sekian detik keduanya saling tatap dalam diam, Aslar segera beranjak mundur—memperluas arah pandang Ulysses sambil mendekati jasad Ellesmere yang hanya tersisa koyakan tangan, separuh kepala, dan tulang belulang yang hancur keluar sumsumnya. "Sekarang terserah menurutmu apa kau sudi dituntut memberikan pengorbanan di sini ..., atau tidak. Kita punya pilihan, apapun yang kau mau, itu akan menjadi bagianmu. Milikmu. Kerajaanku tidak perlu mengajarkan harus berkorban dengan darah, kematian, bahkan untuk puteriku yang manis ini." Aslar melanjutkan, sedangkan Ulysses tak lepas menatap punggung sang naga roh hingga dirinya tersadar benang-benang sihir yang telah mengekangnya terlepas tanpa terkecuali. Namun, ia belum akan bergerak—beranjak, sampai Aslar kembali berlutut menyentuh sisa bagian kepala Ellesmere dengan sayang dan berbicara. "Beri aku sedikit kejutan, Nak."

Bergeming sejenak, Ulysses kemudian mencoba beranjak. Saraf otot yang kaku membuat cara jalan pemuda tersebut sedikit pincang dan memaksa selama menghampiri onggokan daging Ellesmere. Semringah Aslar semakin menjadi. Akhirnya Ulysses benar-benar mengerti, mengikuti keinginan hati untuk secepat mungkin menggapai jasad yang paling berpengaruh bagi kehidupannya, lalu sihir itu—sedikit demi sedikit aktif. Mengembalikan tiap sel, jaringan otot, kulit, hingga pakaian yang gadis itu kenakan beberapa jam lalu.

Kini sosok berambut legam dan kulit pucat tersebut kembali utuh di depan mata sang naga.

Aslar bangkit berdiri, memberikan ruang yang cukup untuk Ulysses seorang, pula para Lors dan Feyt yang ikut menyingkir memberi jarak. Sihir yang belum sempat dilanjutkan itu tak cukup membuat Ellesmere membuka mata. Wajah yang bahkan mirip dengan Serein tersebut tampak masih tertidur lelap, detak jantung dan napas pun masih terlalu lemah.

Tidak akan ada kehilangan.

Kedua lutut Ulysses menekuk hingga membentur tanah dengan keras. Menggerakkan salah satu tangan untuk menyentuh wajah sosok di atas tanah hitam, mengubur jauh-jauh rasa bersalah dan penyesalan atas perlawanan kecilnya kali ini, dan terhipnotis.

Tidak perlu membutuhkan waktu lama Aslar mendapatkan kembali aura semangatnya—meski sedikit, meski ini hanya permulaan—tetapi ia yakin Ulysses akan segera berbuat lebih. Lebih dan lebih terhadap sihir waktu milik pemuda itu.

Dengan sedikit dorongan lagi.

Ia melirik satu per satu Lors dan Feyt di sekitar sana. "Suasana mengharukan ini tidak akan ada habisnya. Buat itu terjadi, Tuan-tuan!" lalu berbalik pergi memasuki gerbang dimensi tanpa tertarik menoleh ke belakang kembali. "Jangan biarkan pangeran baru kita terlalu cepat merasa puas!"

Deg!

Kelopak mata Ulysses mendelik tajam menusuk. Tidak salah lagi, para bangsa hitam hina di belakangnya akan segera menyerang Ellesmere yang kesekian kali. Satu anjing ada yang sudah cepat menghampiri di samping Ellesmere, ada yang hampir berhasil menggigitinya, mengerubungi, lalu Feyt—sebagian tombak mereka sudah melesat di udara—mengarah pada gadis sekarat itu.

Ulysses ....

"Kalian semua ...."

Iris saganya menjadi remang menyalang.




ᚲ ᚨ ᛏ ᚨ ᛚ ᚢ ᛊ ᛏ ᛫ ᚦ ᛖ ᛫ ᛁ ᚷ ᚾ ᛟ ᛒ ᛚ ᛖ ᛫ ᚲ ᛁ ᛜ

I.IX. Anomalous

Ulysses menerjap dua kali, memastikan matanya yang kembali keemasan masih berfungsi dengan normal selama menatap refleksi mirat. Sudah tiga kali dalam satu menit ini ia menahan gelak di depan cermin kamar—di mana mengenakan baju pemberian Ellesmere bakal usai di sini—karena berkat sihir waktu pemberian Aslar si berengsek itu justru ikut mempengaruhi keinginan liar yang baru saja merasukinya. Oh, sialan, hampir saja! "Gh ... HAHAHA—" Ulysses cepat-cepat membekap mulut sendiri. Di sisi lain adrenalin Ulysses seakan ditancap habis ke level paling tinggi—sensasi syok sekaligus pening bagai berdiri di atas tebing untuk bunuh diri membanjiri dada sosok tersebut, menguasainya, bercampur aduk pula sempat memancing nyeri melilit di perut sendiri. Kalau dunia punya telinga mediasi sang naga akan berteriak penuh kemenangan ke semua orang di sepanjang jalanan Kerajaan Solvenmber kalau kewarasannya baru saja kembali! Astaga, meski jantung sosok tersebut tak bisa memompa dengan tenang, sungguh, berguling mundur—melompat jauh kemari terasa jauh lebih melegakan!

Tenggorokannya meneguk saliva dengan kasar, peluh bercucuran di pelipis, bahkan tangan pemuda itu makin gemetar. Masih merasa kacau karena bingung atau girang yang tak wajar. Oh, benar! Mereka akan datang lagi! Para Lors anjing terbakar gosong dan hasil insiden persilangan antara gagak dan manusia—Feyt! Tombak bangsa menjengkelkan itu beracun! Mereka semua ... mereka dalam perjalanan! "B-bagaimana ini!? Sial! Bagaimana ini!? Elle, Hendrix, Lune! Apa yang harus kulakukan lebih dulu!?"

Lalu, ia kontan menggigit tangannya yang mengepal kuat, sedangkan lengan yang lain menjadi tumpuan. Pandangan Ulysses tak tenang melirik atas dan bawah, sesekali sosok tersebut menarik napas demi menenangkan diri, lalu tak sadar berkali-kali menghentakkan sebelah kaki dengan gusar. Kemudian tak lama dari sana Ulysses melepaskan semua pose itu dan diganti dengan berkacak pinggang. Berangsur-angsur guratan wajah sang naga menjadi serius dan tajam. Sekarang masa bodoh soal kewarasan barusan, "Tetap tenang, dasar bodoh! Berpikirlah lebih keras!!! Kau ingin masalah sialan ini berlangsung untuk seumur hidupmu!?"

Ulysses membuang napas kasar, memutuskan untuk keluar kamar dan menuruni anak tangga hingga suara derap menggeduk lantai parkit terdengar nyaring, mengintip ruang tamu—tidak ada orang di sana—dan tiba-tiba saja Ellesmere ada di sampingnya begitu Ulysses berbalik. "Elle!" sentak Ulysses, kontan menarik oksigen—lagi—dan menahannya saking terkejut sedangkan Ellesmere mengangkat kedua tangan. "Kau mengagetiku!" lanjut pemuda itu protes.

Ellesmere terpancing memindai sekitar, memastikan sesuatu sebelum meluncurkan pertanyaan. "Kau baik-baik saja?"

Terdiam sejenak, Ulysses segera menggeleng cepat. Tatapannya seolah memberi sinyal keras ingin berkata tidak, semua tidak sedang baik-baik saja! Aku baru saja melihatmu mati, Hendrix menjadi bangkai, Lune dimangsa Lors—"Tunggu!" mendadak saja kedua tangan Ulysses menyentak bahu Ellesmere hingga gadis itu terlonjak kaget.

"A-ada apa?"

"Di mana mereka!? Lune, Hendrix! Ada sesuatu yang akan menghampiri—" belum sempat melanjutkan kalimat, mata mereka terbelalak sebab udara dan tanah di rumah tersebut dipenuhi Mana yang terasa asing. Benar saja, mendadak saja sebelah kanan rumah Lune hancur porak-poranda oleh gerbang dimensi astral. Suara denging yang menusuk telinga pun didengar Ellesmere hingga pendengaran gadis itu seketika kacau dan tak berfungsi. Dalam hitungan detik, sosok yang berdiri di depan sang naga segera pingsan—tersungkur di lantai—dengan pendarahan di bagian indra pendengaran.

Ulysses mematung, membeku di tempat tanpa terpikir untuk kabur atau melakukan sesuatu. Iris emasnya melirik ke jendela. Lors dan Feyt telah menyerbu ke halaman.

"Gagal lagi, Ulysses?" suara itu, Aslar. Suara yang membuat pemuda itu enggan menoleh ke asal suara, dan dari darah Ellesmere ia membentuk pasak besi lalu diayunkan—menggaris searah horizontal. Aslar tersenyum bangga padanya, kemudian dari sabetan tersebut segalanya mengabur, menghilang.

"Anak baik."

Sihir waktu aktif untuk yang kesekian kali.

Dirinya telah kembali.

Pemuda itu menerjap mata lagi, masih merasa terguncang. Waktunya tidak banyak. Segera saja sang naga berlari menuruni tangga, melesat mengelilingi rumah mencari Ellesmere. Lune dan Hendrix entah di mana dan yang membuatnya tergerak menggapai sang katalis agar ketika gerbang dimensi astral terbuka, gadis itu bisa melakukan penetralan sekali lagi. Ya, begitu saja seharusnya cukup.

"Ellesmere!" sahut Ulysses lantang sembari setengah berlari ke halaman belakang. Dirinya memindai sekeliling—salah, bukan di tempat ini!—kemudian begitu Ulysses berbalik, Aslar sudah ada di hadapannya. Naga roh berperawakan pria bertubuh tinggi, rambut yang sama legam dengan milik Ellesmere, kemudian cahaya—Core—entah itu jiwa manusia atau naga sudah disekap dalam lingkaran sihir sewarna perak transparan.

Sambil memperlihatkan ekspresi yang tak jauh berbeda, Aslar memandanginya lurus. Memperlihatkan apa yang ia bawa di hadapan Ulysses sekaligus menerka-nerka reaksi pemuda itu selanjutnya. "Ayolah, Ulysses. Kau bisa lebih cepat dari ini."

Persetan!

Sihir waktu diaktifkan kembali.

Sadar betul apa yang baru saja dilihatnya, serta merta saja kaki Ulysses menendang kayu kaki ranjang dengan brutal, menimbulkan suara menggebrak keras di kamar—frustrasi karena beberapa pengulangan ini tidak membuahkan hasil apa-apa selain lontaran kalimat Aslar yang sering membuat telinganya terngiang. Satu, dua, dan tiga kali kembali selalu berujung pada pertemuan orang yang sama—lalu segala arah penuh oleh setumpuk jasad seakan semua terus menerus terjadi berkat kesalahannya.

Selang waktu yang makin janggal dan mengerikan, pengulangan tersebut dilakukan lagi hingga enam kali berturut-turut, selalu dimulai dari menuruni anak tangga, bertemu Ellesmere, beberapa kali bahkan sempat menarik sosok tersebut ke tempat aman di sekitar hutan, akan tetapi semua berakhir sia-sia. Sang katalis berkali-kali mati dalam keadaan mengerikan. Berkat terlampau sering memandangi sosok berlumuran darah di sana membuat Ulysses tebersit bahwa ia memang tak becus melindungi siapapun. Perasaan putus asa sesaat menghampiri sang naga, mengguncangnya lebih parah, membuat pikiran bahkan fokus pemuda tersebut mendadak hilang atau berbalik seperti semula.

"GHAAAAAAAAH!!!" pekiknya, sembari menjenggut rambut sendiri, memejamkan mata, duduk membungkuk di atas ranjang tidur setelah kembali untuk yang ketujuh kali. "Ulysses, apa semua baik-baik saja?" Sempat suara Ellesmere menyahut dari lantai bawah karena teriakkannya yang menggelegar itu.

Langkah kaki Ulysses diulangi lagi—menuruni tangga dengan cepat dan lincah—tetapi kali ini ia tidak menghampiri ruang tamu. Koridor lain menjadi sasarannya. Kapan mereka akan datang? Di mana semua orang? Muncul di mana naga pembuka gerbang dimensi keparat itu? Kepala sang naga tak henti memikirkan segala macam pertanyaan. Sorot mata Ulysses juga makin menajam dan dingin. Ia enggan menghentikan kakinya berjalan kecuali telah sampai di depan kamar Hendrix dan itu pun segera menerobos masuk.

Tidak ada orang. Ia tak menemukan sesuatu yang berguna atau barangkali bisa merekrut Hendrix untuk membantunya. Kosong dalam keadaan kamar tersebut hanya berisi lemari, ranjang, setumpukan perkamen perjanjian dagang antarnegara, bekas cacatan, berkas, dokumen lama, beberapa pakaian digantung sekaligus lecak, dan ... sebuah jam saku?

Tanpa berpikir panjang tangan Ulysses segera menyambar jam saku tersebut. Membuka penutup besi berukiran kompas dan melihat arah jarum jamnya.

Jam sepuluh lewat tiga menit.

Mana asing seperti sebelumnya kembali terasa. Ia belum pergi terlalu jauh. Ulysses ... masih terlalu lambat untuk menghentikan kedatangan Aslar. Lambat laun suara geraman anjing terdengar di segala arah, suara hantaman besar, dan pecahan kaca jendela. Ulysses mendongak, mengalihkan pandangan—menatap lurus ke depan jendela kamar Hendrix lalu menutup penutup jam saku hingga menciptakan bunyi mengklak di sana.

Sepuluh lewat tiga.

Sepuluh ... lewat tiga ... menit.

Sihir waktu aktif lagi.

Namun, ia masih membutuhkan jam sakunya.

Dalam diam ia lebih memilih duduk bersandar di salah satu sofa—memikirkan agar benda yang telah sampai ke tangannya tak akan ke mana-mana. Secara statistik itu mustahil. Semua pasti kembali ke tempatnya. Bahkan kegilaan kepalanya yang menjadi—saat bangkai-bangkai berserakan seperti sampah—menghilang tak tersisa. Hening sekali, udara kamar terasa lebih menggigil daripada biasanya. Ulysses mendongak ke atas. Kamar yang pernah ia gunakan untuk istirahat selama tinggal bersama Hendrix ini tak pernah berhenti remang. Siang atau malam.

Pengecualian? Apa ada sihir untuk pengecualian seperti itu?

Ia tak akan tahu jika tidak mencoba.

Ulysses bangkit lagi, keluar menuruni anak tangga secepat biasanya lalu refleks menghindari sabetan tombak ketika ia baru saja berbelok ke arah ruang tamu. Alhasil dari kesalahan itu, Ulysses harus menanggung banyak luka karena tak pernah ada persiapan. Tetes demi tetes darah terjatuh, pemandangan atas perburuan lengan sang katalis berakhir terjadi dengan sangat memuakkan, Lune kewalahan, dan Hendrix—jiwanya telah dirampas paksa oleh Aslar.

Ketika segalanya dipenuhi warna merah, Ulysses baru mampu memukul mundur para Feyt yang menyerangnya secara keroyokan. Besi sewarna perak terbentuk, mengisi tangan, semua tangannya yang telah ternoda oleh darah.

Di atas bangkai naga Hendrix, Aslar perlahan berjongkok. Memandangi Ulysses dari bawah yang juga menatapnya nyalang.

"Kau terlalu lama berpikir," ujarnya santai. "Atau kau ingin istirahat sebentar? Kemari, Ulysses. Kau ingin duduk di sini? Jangan khawatir. Aku akan selalu menerimamu."

Kali ini Ulysses tak berubah pikiran. "Aku akan membunuhmu."

Dalam waktu singkat nan menyedihkan ini, Aslar melancarkan semringahnya kembali tepat seusai Ulysses melontarkan kalimat tersebut. Bukan bengis atau penuh oleh amarah, bahkan sang naga titanium tak mampu menebak apa arti ekspresi itu.

"Aku bersumpah."

Sihir waktu aktif, mengulang jiwa-jiwa kembali ke raganya, mengulang masa-masa sunyi dan tenang dalam satu tempat yang sama. Dalam benak yang sungguh-sungguh sudah muak Ulysses menggapai ruang tamu lebih cepat lagi—bahkan saking mengejar waktu ia sengaja sekali melompati pegangan tangga dan dinding secara bergantian. Nahas sekaligus berita baiknya, Ulysses terpeleset genangan darah sendiri. Kontan saja sang naga mendelik terkejut bukan main meski yang nyeri nan amat pedih keseluruhan itu terjadi pada bokongnya.

Selanjutnya, ia berakhir menemukan keberadaan Lune yang muncul dari gudang belakang—baru berhasil mengumpulkan isi tas perbekalan untuk Ellesmere dan ikut-ikutan melotot kaget pada Ulysses sebab hampir sebagian celana panjang pemuda itu—terutama bagian bawah punggung—terlihat seolah-olah bercucuran darah merah.

"U-Ulysses! Apa yang terjadi padamu!?" lalu wanita itu memekik ngeri ke arah koridor lain. "HENDRIX!!! CEPAT KEMARI!!!"

Ulysses memaki dalam hati selagi ia terpaku menyaksikan ekspresi nanar Lune, ditambah Hendrix, lalu Ellesmere—yang paling polos guratannya.

Anak itu ....

Dan ... oh, semua orang bakal mendatangi suara berisik rupanya, batinnya lagi.

Mananya berpedar lebih terang, sihir waktu memutar lebih jauh, melesat ke momen yang lebih awal.

Berbeda dari sebelumnya, Ulysses melompat dua kali lebih jauh ke belakang ketimbang pengulangan kesembilan yang lalu. Dirinya terjaga ketika fajar tiba, dalam pakaian yang belum mengenakan baju pemberian Ellesmere sama sekali, dan terasa benar-benar sepening bangun tidur pagi. Semoga saja ia tak sampai kesusahan membedakan antara nyata dan mimpi. Embun dingin yang memberi aroma khas, kemudian teringat soal keberatannya terhadap keputusan Ellesmere agar kali ini menggunakan kapal laut. Tentu saja, mengapa tidak? Semua orang bukan hilang karena dijebak oleh Aslar.

Dia dan Ellesmere akan pergi, kedua tuan rumah Hutan Pinus Elsorses sudah pasti mempersiapkan keberangkatan mereka berdua seperti menyiapkan perbekalan untuk anak-anak sebelum pergi ke rumah guru-guru kerajaan.

Ulysses menghela napas berat. Sedikit menyingkirkan rasa malas untuk lebih lama merenggut di atas ranjang, kini sang naga bangkit meraih kenop pintu, berbelok menelusuri anak tangga bersama pandangan mata yang masih setengah fokus, langkah yang agak gontai kemudian pergi ke dapur. Lune ada di sana. Entah sedang memasak apa, bolak-balik mencari kain dan sendok sampai tak menyadari keberadaan Ulysses di depan ruangan tersebut—terlebih, ia berdiri bagai raga tanpa jiwa.

Pandangan yang tampak dingin itu segera teralih hati-hati ke arah lemari penyimpanan pisau. Dengan perlahan langkah kaki pemuda tersebut berayun, salah satu tangan terangkat menggapai bilah tajam di depan mata, dan Lune kontan menoleh sesaat padanya. "Ulysses?" lalu wanita mengenakan celemek di sisi sang naga terkekeh meledek. "Tumben sekali kau mau bangun sepagi ini. Apa itu karena kau akan pergi bersama Ellesmere?"

"..., Ya, aku ingat. Awalnya memang begitu."

Lune mengerutkan kening, sedikit terganggu dengan nada bicara sang naga. Sesekali lagi wanita itu menolehkan kepala pada Ulysses dan sontak mencuramkan alis seusai mendapati sebuah pisau telah ada di dalam genggaman pemuda tersebut. Bukannya melakukan sesuatu, yang lebih kelihatan aneh, Ulysses mematung memandangi bilah di tangan.

Sembari berusaha tersenyum sekaligus menatap waspada, Lune meletakkan sendok ke atas piring tanpa lepas memandangi Ulysses. "Kau mengigau. Sebaiknya kau lepaskan itu, Ul. Kau bisa terluka. Aku akan membangunkanmu satu jam lagi jika itu artinya kau memang harus tidur."

Salah satu tangan Lune segera menyambar pisau dari tangan Ulysses, tetapi pemuda itu berhasil menjauhkannya dari sang penyihir. Makin Lune memperlihatkan ekspresi waspadanya, berganti mendongak pada Ulysses, lalu Ulysses mendengkus—tebersit menahan kekeh lebih kuat lagi.

Pemuda itu senyum tipis sebatas di bibir, tak diikuti mata atau aura wajah yang—paling tidak—bisa menenangkan Lune meski sebentar saja. "Aku tak butuh tidur, tidak sama sekali. Malahan, aku sudah terlalu takut melakukannya."

Sejenak membiarkan Lune bergeming, tangan Ulysses kembali tergerak. Cepat mematikan semua tungku dengan sihir—mengembalikkan kayu-kayu tersebut hingga tampak seperti tak pernah digunakan untuk memasak, menusuk telapak tangan sendiri dengan brutal hingga sang penyihir sempat terpekik menyebut nama pemuda itu, kemudian menggunakan telapak tangan berlumuran darah barusan ia meraih salah satu tangan Lune dan menariknya untuk duduk di salah satu kursi dekat meja makan.

"Ulysses!" sentak Lune, makin terkejut seusai mendaratkan dirinya ke atas kursi kayu. "Apa yang kaulakukan!?"

Ulysses menarik kursi lain, menggeret asal supaya bisa ia gunakan untuk duduk berhadapan dengan Lune. "Lune, maukah kau membantuku?"

Sorot mata Lune menajam, sementara Ulysses mengangkat tangan kembali, memperhatikan tiap tetes darah yang mengalir keluar menuju sikutnya. "Hanya kau yang akan kubuat ingat ... untuk pengulangan selanjutnya."

"Apa maksudmu?"

"Aku tahu ini gila tapi aku sudah mempermainkan kematian kalian lebih dari sembilan kali, mungkin juga akan lebih dari itu." Ulysses melanjutkan. Sebelum Lune makin kebingungan ia spontan melontarkan kalimat kembali. "Bisakah kau ... menyiapkan perbekalan Ellesmere sebelum jam sepuluh? Juga, beritahu Hendrix kalau dia akan kedatangan tamu merepotkan jam sepuluh pagi lewat tiga menit." Dari mempermainkan lengan yang sudah penuh aliran darah merah yang semakin lama semakin menciut lukanya, Ulysses berganti pandang pada Lune.

Mereka saking tatap, bedanya Lune merasakan perasaan aneh nan janggal bercampur aduk selama mencerna tiap kalimat yang dilontarkan Ulysses—entah apa yang terjadi pada pemuda di hadapannya setelah mendapatkan kontrak paksa dengan seorang Katalis. Mendapati reaksi tersebut, sang naga lagi-lagi meneruskan dengan nada tidak mau tahu. "Lakukan saja atau kau akan membunuhku."

Berkali-kali Lune mengalihkan pandangan antara pada sorot Ulysses yang tampak tak biasanya dan tangan pemuda itu yang bertambah pucat. Ia tak mampu bicara apa-apa karena pasalnya Ulysses tampak sedikit baik-baik saja kemarin lalu sekarang semakin berubah drastis bahkan lebih kacau daripada ketika sebelum terikat perjanjian.

"Semakin sering tertebas kulitku jadi ikut mati rasa," pemuda itu menghela napas. "Pagi-pagi seperti ini Hendrix pasti sibuk menempa pedang pendek untuk diberikan padaku, benar juga, lalu kira-kira dia akan menyampaikan benda itu kepada Ellesmere lebih dulu—cuma sekadar memperlihatkan bahwa aku akan membawa sesuatu dan berharap ia bisa lebih waspada padaku dalam perjalanan ke Avestorm."

Lune berusaha terkekeh. Raut yang semestinya santai kini tampak memaksa tergelak." Kita tidak tahu itu benar-benar akan terjadi atau tidak. Jika kau tetap di sini, mungkin pedang itu akan langsung sampai di tanganmu. Lagipula Hendrix memang masih menempa pedang di suatu tempat—tidak jauh dari sini." Mendengar saja spontan membuat Ulysses terkekeh samar sembari tertunduk. Suara gelak yang nyaris tak kedengaran telinga tersebut bukan terasa murni ikut tertawa, jengkel, atau mencetus keinginan untuk menyudahi pembicaraan.

Melainkan memperlihatkan kehampaan.

"... Kau mau lihat?" tanya Ulysses, cenderung bergumam tanpa merubah pose. "Akan kupercepat pertemuan mereka."

"Eh?"

"Ellesmere!" Suara Hendrix lantang terdengar di depan ruang tamu. Matahari mendadak saja sudah menggantung di langit—menyinari rumah berelemen kayu milik Lune dengan sinar jingga yang menawan. Lune mendelik, terkejut untuk yang kesekian kali selama menerawang mendapati Hendrix melangkah ke koridor lain sembari membawa senjata berupa pedang pendek lengkap dengan sarungnya. Tentu saja, yang dipanggil segera muncul. Mereka berdua kemudian berbincang sebentar sebelum Hendrix pergi memasuki kamar sendiri.

Belum percaya dengan apa yang dilihat mata kepala sendiri, Lune seketika beranjak berdiri dengan gusar. Ini diluar kemampuan sihirnya—tidak, orang sinting macam apa yang mampu mempermainkan waktu hingga semudah ini!?

Dia tak pernah tahu Ulysses memiliki sesuatu yang bahkan bisa saja membahayakan lebih dari satu kerajaan—sekiranya pemuda itu sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Ditatapnya sang naga dengan nanar, sedangkan Ulysses perlahan mengembangkan semringah pada Lune. Baru kali ini ia merasakan betapa menyenangkan melihat ekspresi waspada dan ketakutan dari seseorang. "Sekarang kau mengerti, jadi lakukanlah apa yang kukatakan. Anggap saja ... bantu aku agar Ellesmere tidak segera bertemu dengan ayah kandungnya di sini—di rumahmu."

Tanpa berlama-lama pemuda itu bangkit berdiri, melangkah keluar dapur sembari merogoh saku—kemudian menenteng jam milik Hendrix yang kini terlihat lebih mengilat. Entah sejak kapan sang naga mengambilnya dari kamar Hendrix—pula mengubah penampilannya dengan sihir yang sama. Penutup benda penunjuk waktu yang telah ditandai dengan sedikit bercak darah tersebut dibuka, menunjuk di atas angka sembilan dan delapan.

Sebentar lagi jam sepuluh pagi.

Di tengah perjalanan ke koridor lain, tepat di depan tangga Ellesmere menghampirinya sambil membawa pedang pendek dengan kedua tangan, memancing sang naga mengalihkan perhatian dari jam yang ia genggam. "Ulysses, aku akan menaruh ini di kamarmu. Pastikan kau membawanya sebelum berangkat."

Gadis itu segera berlalu menelusuri anak tangga, kakinya berjinjit setengah berlari. Yang diajak bicara beberapa detik lalu tak lepas memandangi punggung sosok yang baru saja melenggang ke lantai atas. Sampai Ellesmere menghilang dari pandangan, barulah Ulysses berlanjut mendatangi Hendrix. Ini bukan waktunya untuk terpaku! Benaknya tak berhenti berkata demikian—terlebih sambil mengutuki diri sendiri seusai sadar tak mampu memalingkan muka secepat mungkin.

Jam ditutup kembali, mengklak nyaring dan arah mata Ulysses segera menangkap sosok Hendrix keluar dari pintu belakang sebelah kanan. Pria itu membawa beberapa pakaian bersih dan sebuah wadah terbuat dari rotan. Pantas saja, ternyata ia pergi mandi. Buru-buru Hendrix berlari ke belakang rumah menuju kamar kecil seakan ia bakal tertinggal undangan penting dari raja.

Bisa-bisanya pria sinis itu diam-diam bersikap panik di belakang sana.

"Ulysses, kau juga harus mandi."

Terkesiap, Ulysses lantas menoleh ke asal suara. Ellesmere muncul lagi di hadapannya dengan membawa sepasang baju, sepatu, juga tas perbekalan dan tiba-tiba saja gadis itu menyerahkan semua sekaligus tanpa mau tahu sang naga belum siap menangkap tiap barangnya. Beruntung, sebagian yang hampir jatuh masih bisa ia raih. "Kita akan berangkat sebentar lagi, dengan kapal, tidak ada bantahan. Aku tidak tahu harus seberapa lama berbincang dengan Sin di istana kerajaan agar ia mau mempermudah kita bepergian ke kediaman Haildanerc, yang pasti, lebih cepat lebih baik." Lalu, Ellesmere berkacak pinggang.

Lihat sisi cerewetnya, batin Ulysses datar.

"Mengapa harus naik kapal kalau terbang ke langit bisa lebih mudah?" Ulysses memicing tajam, masih mau protes. "Dan ... apa kita benar-benar harus menemui Sin? Mengapa? Asal kau tahu saja, kakakku yang satu itu tidak terlalu ramah padaku. Bisakah kita langsung pergi saja dari sini tanpa harus bertatap muka dengannya? Jangan bilang setelah ini kau ingin melihat Perces juga."

"A-apa?" Ellesmere sontak tertawa terbahak-bahak. Antara menganggap ucapan Ulysses terlalu lucu untuk sosok seukuran dirinya atau justru ke arah yang lain. "Lihat aku nanti. Kau bisa mengandalkanku jika Sin benar-benar tidak senang kau datang ke sana. Yeah, bepergian dari negara ke negara lain tidak bisa sesederhana itu."

Ellesmere melangkah masuk ke dalam rumah. Sontak saja Ulysses mengekori, "Cih! Siapa yang bilang? Kau pun belum sampai dua minggu di dunia ini." kilahnya. Mereka berdua menelusuri koridor kecil dan begitu Ellesmere masuk kamar, pemuda itu kontan terhenti di depan ambang pintu dengan keadaan tangan yang penuh barang sendiri. "Memang kau tahu apa? Aku tidak percaya begitu sampai di sini kau langsung paham aturan kusut manusia soal mengatur pendatang baru—"

Ellesmere kembali menghampiri ambang pintu, tetapi tidak sampai membiarkan Ulysses masuk seenak dengkul seperti ketika sang naga menerobos kamar Lune Hassanlt. "Tentu saja Hendrix mengajariku. Tepat sebelum kami melewati portal West Erven, sebelum Haildanerc menitipkanku di sebuah desa karena pengaruh Mana pembatas Kerajaan Dracon untuk sementara, dan kemudian Lune memanggilmu. Semua sudah dipersiapkan kecuali Mana milikku yang tak pernah stabil." Sang katalis terhenti sebentar, mencari kata yang tepat untuk melanjutkan. "Aku mengkhawatirkanmu, Sin, dan Perces. Aku melakukan apapun secepat yang kubisa untuk sampai kemari. Kerajaan Dracon harus tahu kalian tidak pernah pantas dikirim ke Acledesent, bahkan ditanamkan kutukan."

Ulysses terdiam seribu bahasa. Pandangannya merendah ke bawah.

"Jangan terlalu dipikirkan," sekarang Ellesmere memalingkan pandangan gusar. "Setelah menghentikan Ayah, kita semua akan pulang."

Tidak pantas, entah mengapa serentetan kata yang sederhana itu membuatnya begitu tertegun. Segala hal yang terjadi belakangan mendadak terasa bertambah kosong, kabur, dan menciut. Andai Ellesmere tahu apa yang pernah ia perbuat—saat di Kerajaan Dracon atau dunia fana ini—apa gadis itu masih mampu berkata tidak pantas untuknya? Andai saja. Ulysses bahkan tak tahu harus memberikan tanggapan terhadap besarnya rasa percaya dari sang katalis.

Terlebih dari itu semua; ia berjalan sejauh ini berkat keputusan—berkat tekadnya juga.

Namun, sang naga tahu ia tak punya kesempatan untuk kembali. Meski sihir waktu sangat mampu, walau semua bisa saja ditutupi lebih dalam lagi.

"Ellesmere," kepala Ulysses menyandar di salah satu sisi ambang pintu, sedikit demi sedikit semringah penuh makna itu tersungging sempurna. Mungkin juga ... berharap gadis itu menyadari sesuatu. "Ayahmu sudah menghasutku lebih dari sembilan kali ... agar sepenuhnya menggenggam seseorang."

Suara kekehan terdengar samar, satu-satunya mengisi suasana senyap koridor tersebut hingga Ellesmere dibuat tertoleh menghadap pada sang naga. Tanpa perlu mendongak pun Ulysses mengerti betul bagaimana rona mimik yang dipancarkan dari Ellesmere. Gadis itu mulai membungkam rapat, barangkali tebersit beberapa hal di kepalanya, lalu memandang cemas ke dinding kamar.

Ulysses memejamkan mata, tampak ngilu dengan ucapan sendiri. "Lupakan saja. Aku pikir aku memang sudah gila." Kemudian Ulysses menarik diri, menghindari ambang pintu—menjauhinya.

"T-tunggu, Ulysses—"

Lalu, belum lama berbalik menjauhi kamar, Hendrix muncul—dengan rambut legam mengkilap kuyup terkena air—melesat menelusuri arah yang sama dengan Ulysses. Alhasil dari kecemasan sang katalis, kontan saja yang sedari tadi melangkah baik-baik saja—kini tubuh Hendrix mendadak merendah cepat dikalahkan gravitasi dan jatuh tersungkur di atas lantai begitu saja. Ulysses menoleh, tersentak bingung ketika gema menggebrak di belakangnya terdengar keras. Nyaris saja ia melompat sekaligus menjatuhkan sebelah sepatu tepat ke atas kepala si naga api.

Bagusnya, Ellesmere seketika merubah fokus. Di saat bersamaan ia spontan mendatangi Hendrix sebelum Ulysses. Paham apa yang terjadi, efek dari perasaan cemas Ellesmere memicu ide kurang sehat bagi kepalanya.

Ya, ia bisa menggunakan Mana gadis itu.

Ellesmere mengguncangi bahu Hendrix, makin terserang panik. "Hendrix! Hendrix! Astaga, maafkan aku! Apa yang harus kulakukan!?"

"Akan kupanggilkan Lune."

Tidak ada gunanya ia membantu Hendrix, tentu saja, pengulangan ini akan dilakukan lagi—untuk yang terakhir. Masih ada beberapa bagian krusial yang harus dilakukan. Ia benar-benar meninggalkan Ellesmere di belakang meski telah berkata akan menyuruh Lune mengatasi Mana katalis yang mengunci Hendrix. Langkah kaki sang naga mengayun menaiki anak tangga menuju kamar sendiri sembari membawa perlengkapan dan baju bersih.

Dalam hitungan detik, seperti dugaan Ulysses siluet bayang seseorang akan muncul di lantai dua—dua menit sebelum gerbang dimensi astral terbuka demi menyambut kedatangan Aslar—dan rasanya ingin sekali ia membunuh Vares sebelum mengembalikan naga arang tersebut untuk hidup lagi, supaya Ulysses bisa melakukan hal yang sama pula.

Perlahan pemuda itu meletakkan barang di dalam kamar, meraih pedang pendek hingga membuka sarung tanpa pikir panjang, meninggalkan kamar dengan posisi pintu terbuka yang sama lebar, melangkah menelusuri koridor lantai dua mendekati bayang dari dari pantulan sinar mentari sambil menghitung dengan hati-hati berapa langkah jika ia menghampiri dari lantai bawah.

"Kena kau."

Vares—yang tak menyadari seseorang telah ada di belakangnya—kontan terpancing untuk segera menoleh akibat bisikan mengerikan itu. Namun, sebelum sempat mengelak Ulysses sudah lebih dulu membekap mulut sosok tersebut sangat kasar, mendesaknya ke dinding hingga kepalanya terbentur keras sekaligus meletakkan ujung pedang di leher si target.

Selama Vares berusaha berontak, Ulysses makin tak mampu menahan kekehannya. Pedang pendek itu ia gunakan untuk mengorok pelan-pelan leher Vares, waktu dimundur beberapa detik, kemudian menusuk jantung sang naga arang, waktu dimundur lagi, Ulysses coba-coba menguliti wajah sosok tersebut, dan waktu dikembalikan untuk bagian terakhir, leher Vares diiris—diisi Mana milik Ulysses—hingga utusan Aslar di sana mati secara perlahan-lahan dengan banyak jarum berukuran sedang keluar menembus mata, telinga, tenggorokan, dan dada.

Kemudian ia jatuhkan jasad berwajah hancur penuh darah merah kehitaman di atas lantai sebelum menarik napas berat. "Jika Ellesmere tidak pernah punya kesempatan untuk membantuku, sudah jelas, cara ini yang paling kuinginkan."

Tak puas hanya dengan menemukan cara membunuh Vares, Ulysses segera keluar melalui salah satu jendela lantai dua—memanjati atap rumah Lune. Berdiri di atasnya dan berancang-ancang berlari. Mengambil kesempatan menghirup banyak oksigen, lalu spontan dengan cepat kaki pemuda tersebut bertolak—berlari sekuat tenaga menuju ujung atap rumah Lune kemudian melompat bebas ke udara. Sempat dirinya menikmati angin hingga puluhan meter jauhnya.

Lors dan Feyt tetap menyerang, tidak berarti dengan Aslar gagal kemari semua prajurit dari bangsa hitam otomatis ikut mundur dari rumah Lune. Mereka memang menyusahkan! Pengganggu! Dari bawah sana tampak para anjing ganas tersebut berusaha mengobrak-abrik menerobos tiap jendela dan pintu sementara lagi-lagi Ulysses meninggalkan mereka begitu saja di belakang. Tidak, jangan pernah berbalik! Pemuda itu harus tetap fokus, mengikuti jejak Mana, dan menentukan titik yang akan ia batasi.

Ulysses mendaratkan kaki di dahan puncak pohon, lalu membuat Mana miliknya mengalir ke kaki sekaligus bertolak agar melompat lebih jauh. Mentari sudah tinggi, langit tampak biru bersih dan terang benderang, tetapi tak mengubah kengerian baginya terhadap mimpi buruk ini. Sudah pasti ada darah yang menetes di rumah tersebut. Dengan Hendrix mampu bersikap leluasa memukul mundur tiap Lors dan Feyt, tak menutup kemungkinan juga Ellesmere akan terbunuh.

Bukan hanya itu, seakan sengaja memperlihatkan segala situasi tersebut kepada Lune, Ulysses membiarkannya—menyaksikan sembari bertahan bersama kedua orang yang tak akan pernah ingat kekacauan yang akan mendatangi mereka.

Seusai mendarat yang kelima kali, Ulysses berhenti. Berlutut, bertahan di atas dahan tersebut lalu menyadari hidungnya mengalirkan darah. Pemuda itu mendelik, sedikit terkejut dan langsung menyeka cairan merah pekat dengan punggung tangan. Apa ia sudah mencapai batasnya? Ulysses tertawa dalam hati. Tanpa diduga pun rasa pening menusuk tiba-tiba saja menyerang kepala sang naga.

Kepalanya menggeleng dua kali sambil mencak-mencak sendiri. "Bangun! Sial! CEPAT BANGUN!!!" Kemudian pelan-pelan kakinya menegak bangkit dari posisi berlutut, berpegangan pada badan pohon lalu menyeka darah kembali.

Sejenak memandangi darah yang berlumuran di tangannya, Ulysses segera menulis rune pertama—rantai Mana utama yang ia pasang lima ratus meter ke timur dari rumah Lune. Kemudian ketika darah sang naga telah mengering dalam perjalanan memasang rantai kedua, lalu ketiga hingga ke delapan, sang naga akan melakukan cara yang sama—yakni melukai tangannya—tak peduli seberapa banyak yang harus ia lakukan.

Dalam kurun waktu hampir dua jam Ulysses baru akan memutar waktu kembali, menjadi pukul setengah sepuluh pagi. Duduk di dapur berhadapan dengan Lune seperti sebelumnya. Memandangi wanita itu dalam diam—sendu kehabisan Mana—memberi sinyal bahwa ia harus bersiap. Sementara Lune dengan tangan gemetaran, pula syok untuk yang kesekian kali selama memandangi sekitar yang telah berbalik drastis, sekaligus berusaha keras untuk bernapas tenang.

Begitu netra mereka berhasil saling bertabrakan lagi, Ulysses berbicara. Antara jengah dengan kenyataan yang akan ia ucapkan dan juga hal yang sudah pasti pemuda itu harus lakukan. "Hanya kau yang paling didengar Hendrix. Pria itu bukanlah seseorang yang mudah mempercayai orang lain. Tolong buat dia lebih berhati-hati."

Puas berkali-kali tarik napas, Lune menyengir tajam. Lebih dari sembilan kali? Ia pasti lebih cepat terserang kegilaan dibandingkan Ulysses.

"Kautahu, awalnya aku benar-benar tidak yakin akan berhasil menyingkirkan serangan bawahan Aslar hanya dengan persiapan beberapa menit belakangan. Tapi kau membuatnya seakan terlihat seperti kesempatan besar," ujarnya, sambil menampilkan ekspresi amat tertekan. "Sinting, tapi aku kagum padamu."

Pemuda itu hampir mendengkus. "Lucu benar pujianmu. Nah ..., sekarang aku tidak bisa melompat lebih jauh. Manaku hampir habis."

Ulysses beranjak pergi dari dapur, merogoh jam saku sembari melangkah sedangkan Lune menyambar cepat perbekalan yang dibutuhkan Ellesmere tanpa hitung-menghitung di gudang. Alhasil, wanita itu selesai dalam waktu lima menit.

Sambil memperhatikan tiap detik, Ulysses menggoreskan kulitnya pada salah satu jemari hingga darahnya menetes di atas lantai parkit ruang tamu.  Dari tetesan tersebut ia menulis rune untuk delusi Ellesmere. Biar ketika Hendrix dan Lune telah keluar dari tempat ini, Mana katalis sudah menyebar dengan sangat pekat.

Memikirkan soal tersinggung, paling tidak gadis itu bakal menamparnya gara-gara rencana manipulasi di ruangan ini.

"Hendrix!" Lune menyahut menghampiri ke depan kamar pria itu, melintasi sang naga titanium yang berjalan pun menjadi lambat.

Di tengah perjalanan ke koridor lain, tepat di depan tangga Ellesmere menghampiri Ulysses sambil membawa pedang pendek dengan kedua tangan, memancing sang naga mengalihkan perhatian dari jam yang ia genggam. "Ulysses, aku akan menaruh ini di kamarmu. Pastikan kau membawanya sebelum berangkat."

"Tidak, berikan padaku." Salah satu tangan Ulysses menyambar pedang pendek tanpa lepas mengawasi jam sakunya. Guratan wajahnya masih sama sendu. "Dan, aku ingin tahu apa Hendrix akan memberiku satu pasang baju lagi untuk—"

"Benar, aku melupakannya," gadis itu terkekeh, menertawakan kecerobohannya lalu berlari kecil kembali ke kamar hingga berhadapan dengan Ulysses lagi. "Ini, baju, sepatu, dan tas perbekalan. Kau harus bersiap-siap juga. Aku akan menaruh ini di kamarmu jadi pergilah membersihkan diri—"

Untuk yang kesekian kali Ulysses menahan lengannya, "Berikan itu padaku. Aku bisa mengurusnya." Jam kontan ditutup, dikembalikan ke dalam saku kemudian mengambil alih semua barang tersebut dari tangan Ellesmere. Gadis itu hanya mampu menatapnya—terkadang malah kelihatan lugu—juga terlihat menerka-nerka terpikir mengapa dan apa. Sampai Ulysses sempat menggigit lidah sendiri bahkan masih saja dipelototi sang katalis bak anak polos.

Lama-kelamaan muncul cairan darah di sudut bibir sang naga.

"Ulysses," mata Ellesmere memicing, melihat lebih dekat. "Mulutmu berdarah."

Ulysses masih saja menggigiti lidah sendiri. Pura-pura tidak tahu dan tak mau tahu. "Benarkah?"

"Kau ... apa kau ingin muntah darah? Kau sedang sakit parah!?"

"Maaf, Elle. Setelah ini kau juga harus ingat."

"Apa maksud—"

Dari jemari yang tergores mengeluarkan darah Ulysses sambar belakang kepala Ellesmere, membuat sang katalis segera mencondongkan kepala sehingga pemuda itu mampu mengecup puncak kepalanya dengan mudah. Kontan saja Ellesmere membeku, netra sosok berambut legam di sana tak henti terbelalak, sedangkan Ulysses—tanpa merasa berdosa sama sekali melanjutkan ucapan, "Aku baru ingat Lune berpesan padaku agar kau pergi menemui  Hendrix ke ruang tamu sebelum berangkat. Ada hal yang ia sampaikan padamu mengenai ... Haildanerc."

Ellesmere masih membatu di tempat.

"Jangan sampai lupa, Adik Kecil." Ulysses berlalu dari pandangan Ellesmere, menelusuri koridor hingga tepat di depan pintu Hendrix, ia sempat terhenti. Lune beralih memandanginya, memberi isyarat bahwa wanita itu sudah memberitahu semua yang akan terjadi kepada Hendrix sedangkan pria bernetra sewarna tembaga tersebut ikut menatapnya tajam sekaligus waspada.

Kini Ulysses hanya tinggal menggangguk mengiyakan Lune. Memperhatikan mereka yang serempak keluar dari rumah menggunakan sihir teleportasi milik Lune dan dirinya lanjut mendatangi kamar mandi di luar sembari membawa perlengkapan dengan amat santai.

Ia tahu apa yang ia lakukan. Bisa-bisa kali ini Ulysses tak akan banyak gerak bak naga pemalas lagi. Yeah, lagipula pemuda itu sudah sangat kelelahan.

Semua berjalan dengan normal, tak ada pengulangan waktu—hal yang paling curang seumur hidup Ulysses—hingga ia selesai membersihkan diri, mendapati Ellesmere telah terperangkap dalam sihirnya, dan demi mempersiapkan pedang pendek menjadi pasak-pasak yang akan ia gunakan ketika para gagak jadi-jadian itu datang—Ulysses memutuskan untuk naik ke lantai dua terlebih dahulu.

Lima menit membentuk ulang senjata, pemuda itu baru akan menuruni anak tangga lagi—menjemput Ellesmere.

"Tidak, kau akan tetap pergi menemui Haildanerc," suara Hendrix terdengar menggema samar di lantai bawah. "Kita tidak punya waktu, mengingat kau tak sengaja menumbuhkan bunga katalis di tempat seperti ini. Ayahmu—bukan, Aslar Raem mustahil bergerak sepasif yang kau kira. Dia adalah naga roh. Siapapun bisa ia jadikan kaki tangan—termasuk kami, termasuk Sin dan seluruh Kerajaan Solvenmber."

Lune menambahkan, tampak lebih mengiyakan ucapan Hendrix. "Kami mohon pergilah ke Lidris dan minta Haildanerc menanamkan bunga es Caànan di tanganmu yang lain. Selain kau, kami tidak memikirkan Katalis North Aralt'Sys yang bisa diandalkan, terlebih setelah sebagian besar terbunuh semenjak Ulysses disingkirkan ke Ranah Pengasingan Acledesent. Jika tidak—"

Ellesmere menerjap sekali, lalu mendapati kedua leher tuan rumah Hutan Pinus Elsorses tersebut segera terhujam masing-masing dua jarum besi seukuran lima belas sentimeter setelah melesat dari belakang rambut Ellesmere. Sang katalis seketika terkesiap, memundurkan kaki setelah sosok—yang berganti menjadi dua gagak hitam legam—itu ambruk di detik yang sama. Sementara suara derap kasar yang tak lagi dihentak secara sengaja telah berhenti tepat di depan pintu.

Diiringi ekspresi syok selama berganti tatap pada bangkai gagak dan si penyerang; Ulysses, Ellesmere memanggilnya pelan.

Pemuda itu tidak bicara apa-apa selain menarik kembali besi-besi yang menyerap darah korbannya dengan jemari telunjuk dan tengah. Menjadi ukuran yang lebih besar selayak tongkat, kemudian gagak yang terlepas dari senjata sang naga seketika membatu, meretak, dan hancur melebur.

Dengan enteng mengubah bentuknya kembali, yang sebatas tongkat runcing menjadi pedang pendek sambil bertanya, "Kau sudah bangun?"

Ellesmere masih membeku di tempat.

"... Adik Kecil?"

Memikirkan situasi yang membekuknya membuat Ellesmere tak sengaja mengumpulkan kesadaran lagi dengan menarik napas dalam-dalam. Demi Tuhan! Dia benar-benar tidak menyangka itu akan terjadi! Semua terasa biasa saja, bahkan normal! Namun, dalam beberapa waktu, tidak dipungkiri bahwa Ulysses pasti akan bepergian bersamanya—terlepas pemuda tersebut masih memikirkan hal yang sang katalis ucapkan atau hal tersebut malah tidak dianggap. Gadis itu harus bangun! Sekarang juga! Kepala Ellesmere menggeleng dua kali sembari berusaha menghampiri Ulysses. Ia akan dan harus terbiasa dengan sesuatu yang kelihatannya lebih buruk dari sekarang.

Sementara dirasa cukup mengawasi Ellesmere di sana, Ulysses segera berlanjut mendatangi beberapa ruangan di koridor lain.

"Di mana Lune dan Hendrix?" tanya Ellesmere cepat. "Apa mereka baik-baik saja?"

"Astaga, kukira kau sudah habis napas." Ulysses terkekeh. "Kau akan tahu."

Netra Ellesmere memicing tajam memadangi sekitar. Cara jalan Ulysses yang cepat membuatnya harus mengeluarkan sedikit usaha untuk mengimbangi dan nyaris berlari kecil. Ia tidak begitu mengerti apa yang tengah menyerang tempat ini, yang jelas, tak mungkin sesuatu selain utusan sang ayahanda. Namun ... mengapa yang pertama justru para gagak? "Haruskah aku menetralkan tempat ini sekali lagi?"

"Aku malas mengakuinya tapi itu ide yang buruk." Ujung pedang Ulysses kontan ditempelkan ke atas plafon. Menggeretnya sambil melangkah sehingga menghasilkan bising samar seperti pisau menggores triplek kayu yang licin. "Jika kau ingin tahu, mereka datang karena tanganmu. Mungkin juga ingin memotong habis tanganmu begitu tahu lengan mana yang tertanam katalis api milik North Aralt'Sys."

Sengaja tak sengaja Ellesmere tidak mampu menutupi ekspresi terbelalaknya. Tangan, sial, tangannya ingin dirampas! Mendengarnya saja sungguh terdengar gila!

Langkah Ulysses terhenti, nyaris membuat Ellesmere menabraknya. "Jadi, biarkan mereka kebingungan di sini." Sang naga melanjutkan, seusai menandai di mana plafon ia berhenti, setelah memperingati Ellesmere untuk segera memberinya ruang agar bergerak leluasa, dan dirinya sontak menusuk hingga menembus permukaan kayu di atasnya.

Mulai dari cipratan darah merah kehitaman, hingga pekik sakit seorang laki-laki yang dalam waktu singkat beralih menjadi raungan berat menggelegar bak sambaran petir. Dan, ah, jangan lupa soal dimensi astral yang mendadak saja aktif di tempat itu.

Sebentar lagi, melepaskan jiwa seseorang bisa menjadi sangat mudah.

Lalu saat eksekusi ...

"Nah, di mana-mana sudah lumrah kalau menjadi orang spesial itu menyusahkan." Ulysses berujar seolah-olah terdengar wajar sekali bahkan ketika Ellesmere menangkap nada bicara sosok itu seperti kembali lagi membahas soal tangannya yang bakal dipotong. "Kupikir selama beberapa tahun ini sedikit bermalas-malasan, hilang semangat, dan merasakan ratusan penyesalan menggelikan tidak akan mengubah apapun terutama dalam masalah ... Takdir?" serta merta saja iris yang masih sama keemasan di sana berputar kepada Ellesmere.

Gadis itu menatapnya tajam, jelas saja seusai naga utusan lengkap dengan gagak-gagak di sekitar Hutan Pinus Elsorses lagi-lagi menghancurkan rumah Lune. Namun, dengan santai luar biasa Ulysses tidak melakukan apa pun yang membantu selain dengan sentakkan terkejut Ellesmere yang membuat batu indigo kemuning pemberian Ulysses jatuh dan pecah menjadi dua bagian.

Keberuntungan lain dari situasi mengesalkan itu—dari pecahan batu milik Ellesmere berakhir menciptakan barrier; pembatas serupa kilat-kilat cahaya aurora bersamaan rune segi delapan kini menghentikan terbukanya dimensi astral kekuasaan para Naga Roh. Paling tidak—perasaan ketakutan yang sengaja Ulysses cetuskan terhadap Ellesmere melalui manipulasi waktu hingga gadis malang di sana membicarakan tentang pembatalan kontrak di depan para gagak—bisa ikut andil dalam memperlemah si naga arang.

Secara statistik dari perasaan sang Katalis ketika tinggal di gubuk obat-obatan herbal bersama Serein, Mana miliknya aktif begitu Ellesmere merasa terganggu dan dirasuki kecemasan. Hari ini—di dalam situasi konyol nan menjengkelkan yang tidak pernah terbayang sama sekali oleh keturunan Serein tersebut baru saja disadari letak kejanggalannya—semua, satu per satu.

Dan Ulysses memanfaatkannya.

"Takdir?" Gigi geraham Ellesmere sampai menggeletuk saking kesal. "Kausebut ini takdir? Dalam ilusimu kau terang-terangan berkata padaku kalau aku tidak mengakuimu. Wah, selamat, Tn. Heldist. Kau berhasil tanpa ikut campur tanganku. Kau dengar, tanpa aku. Sekarang lihat siapa anak malang yang tidak diakui?" Gadis itu melipat tangan di depan dada. Ia bisa begitu asalkan tidak disuruh lebih dekat-dekat lagi dengan naga tawanan mereka.

"Meskipun kukenakan baju baru yang sudah berlumuran darah naga antah berantah ini untuk yang pertama kalinya dengan semangat, sekaligus serapi mungkin—ini, perhatikan baju pemberianmu dan segala porak-poranda dari tamu kita, hmm? Mari berpikir sedikit bijak, Adik Kecil. Kau tidak bisa merubah sesuatu—jelas tidak bisa—kecuali jika sesuatu tersebut ditakdirkan lagi untuk berubah. Dan sebagai bukti," jari telunjuk Ulysses segera menjentik ke atas. "Kau tidak akan sanggup menghukumku sebagai naga paling kurang ajar sepanjang sejarah Benua Anseont karena kau memang tidak mampu melakukannya. Aku mati rasa. Aku tak bisa merasakan Mana Katalismu."

Untuk yang pertama kalinya ia mendengar Ellesmere berniat berdecih dan setengah gagal melakukannya.

"Lalu, untuk gantinya," ia kemudian menurunkan posisi tangan seperti semula. "Dunia menghukumku menjadi seorang manusia biasa berkat Tanpa Penyesalan itu."

Tanpa penyesalan? Ellesmere mengulangi dalam hati, mencuramkan alis, terheran. Kemudian ia mendengkus, memaksa sugesti positif terhadap ucapan barusan lalu termanggut dua kali. "Kau dijebak. Tentu saja."

Ulysses menggeleng pelan.

"Acledesent tidak akan sembarang menelan bangsa naga seperti penjara manusia."

"Serein! Serein!!!" tangannya mengguncangkan bahu wanita yang terkulai itu, sembari berlutut memeluk satu jiwa yang sama rapuhnya. Perlahan ia naik pitam—menelusuri sekitar lewat sepasang mata keemasan, mencari si kambing hitam.

"Bagai neraka dunia, harus ada dosa."

Perces telah terluka parah, perutnya memiliki lubang seolah baru saja ditusuk oleh sebuah pedang. Kemudian pekikkan tepat di depan sana nyaring memekakkan telinga—Sin baru saja menusuk dirinya sendiri, seseorang dari keluarga Thratos berusaha membantunya menghancurkan senjata itu sendiri dan dua detik selanjutnya ia justru menusuk dirinya lagi—dengan cara yang sama janggal, seakan dipaksa.

Tangan sang empu mata gemetar hebat, kemudian mengepal kuat.

Iris yang berkilat garang tersebut segera beralih pada mayat lain; yang sebelumnya terlentang tak bernyawa kini bangun seketika dalam posisi berdiri. Jelas sosok tersebut dirasuki, pula hanya satu naga yang mampu melakukan hal mengerikan seperti itu.

"Tidak ada seorangpun yang mengatakan kami tak pantas ditenggelamkan di sana."

Kepala Ulysses tertunduk, menyembunyikan seulas senyum tipisnya.

Serta merta sang naga titanium menarik napas lalu mengembuskannya sembari menatap langit putih. "Tidak hanya Serein, ayahmu pun menyukaiku. Dia memberiku beberapa hadiah setelah aku berhasil menghancurkan raganya."

Setumpukkan daging yang telah hancur lebur berkat besi dalam tubuh sendiri, memerah, memerah.

Darah.

Raung naga terus menggema memekakkan telinga. Pelan-pelan dari pembuluh hingga kedua mata naga arang tersebut dikendalikan menjadi beku dan tajam, keluar membentuk jarum-jarum raksasa menembus keluar perut, kepala, dan leher dalam sekali kedip. Semburan darah merah kehitaman menyiprat ke segala arah, rerumputan putih menjadi marun basah sekaligus menyokelat, bau amis memuakkan menari dengan kejam di udara, lalu waktu yang hening ini—semakin senyap, acuh, dingin menggigil—seperti ingatan itu.

"Aroma kematian yang tak wajar, kekuatan atas pengorbanan sebelum mencarimu di ranah fana ini, kemampuan yang bahkan aku mengutukinya adalah pemberian Aslar Raem untukku."

Pekikkan sang naga berhenti.

Alunan detak jantungnya melemah.

Tubuh Ellesmere membeku, pandangan gadis itu berubah kosong.

Statis.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top