Arc 1-9: Pascapanen
Bab 12: Pascapanen
Adegan aktion yang gak action.
By the way, distribusikan hasil panen ke pasar ^^
Selamat membaca!
###
Aku terengah-engah, kewalahan menghadapi monster ular raksasa yang jumlahnya banyak itu. Cris pula sudah kehabisan tenaga. Ia berdiri bertumpu lutut seraya mengatur napas. Sedari tadi, satu per satu monster ular menyemburkan hujan baik itu hujan debu, pasir, kristal, bahkan kaca. Serangan yang disebut terakhir menyebabkan kulit serta baju sobek-sobek.
"Cris, beri tahu aku seperti bagaimana monster yang kita lawan ini?"
"Iblis Eksekutif, monster ular raksasa yang sering disangka sebagai bukit batu. Kekuatannya yang paling sering dikeluarkan adalah hujan badai seperti tadi, yang membuat kita tak dapat melihat. Kemudian, dalam hujan badai itu, dia melancarkan serangannya. Untung ada Ketua yang dapat menggunakan sihir pada pedangnya." Cris menurunkan dagu. "Aku tidak bisa melakukannya."
"Aku hanya bisa menggunakan sihir pada pedangku. Lalu, serangan apa lagi yang dia bisa?"
"Menghasilkan bayangan, membuat hujan kristal, badai pecahan kaca. Dia menyerang tanpa bergerak sedikit pun. Keahliannya adalah membuat lawan kebingungan supaya pertahanannya melemah sehingga mudah untuk dia serang. Kita harus ekstra berhati-hati agar tidak masuk ke dalam jebakannya."
Kami yang fokus berdiskusi membuat musuh menjadi jemu. Salah satu monster ular pun berkata, "Hei, hei, kalau kalian sudah kewalahan seperti itu, kalian tidak akan bisa menang melawanku, lo! Haha!"
Tuntas menyusun rencana, aku dan Cris saling angguk. Kami mengenggam erat senjata masing-masing, memfokuskan lawan-lawan di depan.
Aku membaca mantra, "Wahai pedang yang kuasa, beri kami kekuatan untuk mengalahkan kebiadaban!"
Dalam sekejap, dari pedangku tercipta angin kencang yang mengembus amat keras. Angin puyuh itu tertiup menerjang monster ular. Namun, serangan tersebut bagai angin lalu saja. Tak ada efek pada para musuh.
Satu monster di kiri dan satu monster di kanan meniupkan angin debu ke samping dengan arah yang berlawanan. Kedua angin itu kemudian berbelok ke arah berlawanan lagi dan saling bertumbukkan di titik aku dan Cris berada. Kami terlingkupi oleh hujan debu kembali.
Cris melirikku. "Ada yang salah dengan ini. Ketua, lakukan rencana B!"
Aku mengangguk. Kurapal mantra pula, "Wahai pedang yang agung, berikan kami kekuatan untuk melawan kebiadaban!"
Angin puyuh tercipta lagi dari pedangku. Hujan debu pun tertiup menjauh ke segala arah kemudian lenyap. Pada jurus sekilat itu, Cris berlari menerjang para lawan. Belum genap ia mencapai tempat monster ular berada, pria itu berhenti mendadak lalu melakukan tebasan ke udara kosong.
Monster ular terkesiap. Pemandangan tepat di hadapan Cris termanifestasi menjadi dinding kaca tembus pandang. Cahaya matahari mengilapkan dinding kaca itu sehingga jelas-jelas kaca di depan Cris memang tampak. Para monster iblis pun bagai bayangan maya di dalam kaca.
Dinding itu berikutnya retak-retak dan pecah berkeping-keping, termasuk para monster ular yang seolah berada di dalamnya. Setelah dinding kaca tersebut tuntas hancur, tersisalah satu monster ular, berdiri kokoh dan mengulas seringaian tajam.
Monster itu tertawa, kemudian berkata dengan suaranya yang bergemuruh, "Hahaha! Pintar juga kau, Manusia! Jurus itu akhirnya ada yang berhasil mengetahui dan menghancurkannya! Tapi, tidak apa, karena-"
Tanpa menunggu sang Iblis berhenti mengoceh lagi, Cris berlari maju, menebas dinding kulit bersisik, tetapi tak berhasil. Monster Iblis tertawa terbahak-bahak melihat usaha Cris yang sia-sia.
"Hahaha!"
Aku berlari menyusul, melompat jauh sehingga menggapai dinding kulit yang lebih tinggi. Kutebas dinding itu, tetapi tak terjadi apa pun.
"Hahaha!" Iblis pun mentertawaiku.
Memanfaatkan celah di antara sisik-sisik pada dinding, aku berpijak, lalu meloncat lagi, menebas lagi, tetapi tak berefek apa-apa.
"Hahaha!"
Aku melompat terbang makin tinggi, berputar-putar di udara, menghasilkan pusaran angin tajam. Namun, serangan itu lenyap setelah menabrak dinding kulit.
"Hahaha!"
Aku turun, jatuh, lalu berjejak pada tanah berpasir. Cris memandangku heran, lalu terkejut bak mendapatkan sebuah ide.
Ia memusatkan kekuatan pada long sword-nya, kemudian berteriak, "Sekarang!"
Aku berlari menuju Cris, melompat kemudian bertumpu pada senjatanya. Selanjutnya aku loncat, seakan terbang tinggi, meluncur cepat ke atas. Bagai roket, tubuhku melejit melawan tiupan angin, sampai jubah dan baju pun bergelebar.
Lesatan yang sangat jauh serta dalam kejapan mata, membuat aku hampir sampai pada mulut si monster ular yang tertawa. Pedang lantas kutancapkan ke dinding kulit, lalu begitu bisa, segera kupakai sebagai tumpuan loncatan berikutnya. Monster ular itu kembali tertawa melihatku. Aku meluncur lagi, dan berhasil sampai di depan mulut si raksasa.
Tak mengindahkan lawan yang tertawa, kuulur tangan, meraih pegangan. Lekukan pada mulut atas si monster berhasil jadi cengkeraman kedua lengan. Badanku melenting, lantas naik hingga puncak kepala si Monster Iblis. Anehnya, si monster malah seolah tergelitik, tertawa geli. Kujejakkan kaki dan bergegas memusatkan perhatian pada titik lemah Iblis yang tertawa geli itu.
Aku menghunus belati dari saku celana, seraya berlari, terus berlari, tak mengacuhkan monster yang tergelitik, hingga mencapai bola mata ular nan beriris kuning. Kuayun belati untuk menusuk mata yang memandangku itu. Namun, hasilnya senjataku malah patah setelah ujungnya mencium bola mata yang keras bagai besi. Si Iblis tertawa kecil. Tak menyerah, aku mengayun belati patah, tetapi malah rasanya seperti mencucup belati ke batu padat.
Aku membuang belati patah tersebut, dan mengatup tangan juga mata guna fokus. Beberapa saat kemudian, pedang yang kutancapkan sebelumnya kini terbang ke arahku. Kusambar senjata itu, lantas menusukkannya ke mercu kepala monster ular nan bersisik. Berhasil, kucabut pedang, lalu kutetakkan ke mercu kepala kembali. Aku membuat goresan di kulit kepala musuh, memanjang. Terus kubacok kepalanya. Terus kubuat goresan di atasnya. Namun, itu tak memberi dampak apa-apa kepada Monster Iblis. Dia malah tertawa geli seperti dikilik-kilik. Sementara, Cris yang mengamati jauh dari bawah terlihat begitu cemas.
Aku terus menebas dan menebas, tak berhenti walaupun sebentar, tak berhenti walau berdampak kecil pun. Hal yang terpenting ialah berhasil kena. Terbentuk semacam retakan panjang di kulit puncak kepala itu. Aku lanjut menebas tanpa henti, bagai orang yang hilang kewarasannya.
"Hei, Manusia, maukah kau mendengar satu kelemahanku?" di tengah amukanku, musuh pun berbicara, "Tapi, sebagai balasannya, kau harus melakukan sesuatu untukku."
"Aku tidak akan tertipu! Tidak akan! Tidak!" Aku terus menebas dan menebas.
"Tenang saja.... Tidak akan sulit kok!"
"Berhenti menghasutku, Iblis Biadab!" Aku tanpa berhenti menebas dan menebas.
"Manusia itu, manusia yang ada di bawah. Aku minta kau untuk membunuhnya."
"Aku tidak bodoh! Berhentilah menghasutku!" Aku menebas dan menebas tanpa putus-putus.
"Hanya itu, lo. Maukah kau melakukannya, Manusia?"
"Tidak!" Aku menebas dan menebas.
"Tidak!" Aku menebas dan menebas.
"Tidak!" Aku menebas dan menebas.
"Mengapa? Mengapa kau sebegitu kerasnya menolak tawaranku?"
"Karena...," Napas yang tertahan membuatku berhenti sejenak, "hati manusia tidaklah semudah itu untuk diperdaya!"
Merasa putus harapan, akhirnya si Iblis pun menyerah. "Oh, jadi begitu. Baiklah."
Di bawah, Cris tampak khawatir sekali. Ia berteriak, "Ketua, berhenti! Ketua tidak akan bisa mengalahkannya dengan cara begitu! Ketua, cepat turunlah!" Akan tetapi, teriakannya tak sampai padaku.
Aku menebas tanpa henti, lalu pendar merah keluar dari celah-celah panjang yang banyak di beberapa tempat. Celah itu meretak, berhasil membuat kulit kepala monster ular terbuka. Cairan merah menyembur kuat, membasahiku yang sudah berakhir menebas, mencengkeram kuat pedang.
Sang Iblis berteriak kuat, tersurat kesakitan yang dalam, "Aaargh!"
Aku yang sedang mengatur napas, mengulas seringai kepuasan. Mendadak, muncul semacam jeruji melingkar yang mencuat dari leher monster ular, berjaya menusuki tubuhku yang tak sempat menghindar. Aku memuntahkan darah. Jeruji-jeruji itu kemudian diselubungi kulit tipis yang mengembang bagai payung, berputar cepat macam mesin penggiling. Walhasil badanku seperti diacak-acak oleh putaran kuat jeruji itu, luka berat terbuka di sana-sini. Darahku bercampur dengan darah si monster sebelumnya. Hilang kuasa, aku jatuh, sementara jeruji bak payung tetap berputar hebat.
"Ketua!!!" Cris menjerit, dipenuhi oleh keputusasaan. Ia menangkap tubuhku yang terjun dari ketinggian. Aku pun menghantam tubuh pria besar itu yang tak kuasa menahan berat.
Diliputi amarah dan keputusasaan, Cris menyeret tubuhku nan bersimbah darah ke tempat yang jauh dari si Monster Iblis. Aku, dalam ketidakberdayan, sayup-sayup melihat Cris yang menggeram kuat. Ia mengenggam erat senjata dan menatap tajam monster di hadapannya.
"Kau akan membayar ini!" Seketika tubuhnya menguarkan sejumlah asap panas nan berdesus.
###
Kudus, 13 Januari 2020
±1300 kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top