Arc 1-8: Panen
Bab 11: Panen
❝Saatnya memanen apa yang kita tanam.❞
###
Siapa yang pertama kali pulih?
Ketika pelupuk netraku membuka, semuanya putih. Putih nan menyilaukan. Lambat laun, warna berbeda tercipta seiring terbentuknya berbagai visi. Langit-langit putih, dinding putih, lantai putih. Aku terbaring di atas ranjang kasur yang putih pula, mengenakan pakaian model terusan.
"Kau sudah sadar?"
Samar-samar, tertangkap sosok pria berbadan besar dan tinggi yang duduk di atas kursi sebelah kiriku. Pria berambut hitam kelabu tersebut memakai baju kaus dan celana panjang. Ia tersenyum hangat, tetapi tersirat kekhawatiran di wajahnya.
"Cris...?"
"Iya, ini aku," balas si pria, tetap mengulas senyum hangat. "Akhirnya kau sadar juga. Aku sudah menunggumu bertahun-tahun, bodoh."
***
Langkah kuda berderu menyusuri sepanjang jalan di antara hutan belantara. Barisan pepohonan di sisi kiri dan kanan menyaksikan bendi yang melaju tinggi, menembus jalur nan tak rata lagi bergelombang. Sang kusir, yakni aku yang mengenakan baju kesatria, tak memedulikan semua itu. Kuda yang menarik kereta terus berpacu kencang. Sepasang roda besi terus berputar cepat.
'Cris...!' Segala firasat buruk berkobar dalam benakku. Satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang hanyalah bisa segera menyusul Cris.
"Maaf, Pak Pungi, aku tidak bisa membantu Bapak. Tapi, aku janji pasti akan menemukan dan membantu Cris!"
Langkah kuda terus berpacu menelusuri jalur nan rumit juga berkelok-kelok. Aku harus menahan tali agar keseimbangan kereta bisa tetap terjaga.
"Cris, aku akan segera ke sana!"
Lambat laun, tampak sesuatu di kejauhan. Di sebelah kananku, berdiri kokoh dua pohon berkayu besar yang seolah saling menempel, tetapi terlihat jelas ada garis yang memisah kedua batang pohon itu. Kereta yang melaju kilat pun melewatinya. Mataku melirik ke arah pohon itu.
"Sepasang pohon besar yang saling memeluk!" seruku. Kereta pun terus bergerak.
Berikutnya, di sebelah kiri tampak batang pohon supertinggi yang meranggas. Pohon itu terlihat mencolok, berbeda di antara pohon-pohon lainnya yang tumbuh hijau subur. Kereta ekspres melampauinya.
"Pohon kering kerontang yang menjulang langit!" seruku lagi.
Setelah itu, ada rumah sederhana yang tampak terbengkalai, dan melihat sekilas saja aku sudah tahu bahwa itu adalah pos jaga. Kereta lajuku melaluinya.
"Pos jaga yang telah ditinggalkan!"
Kereta terus melaju tatkala kuda telah menapak keluar hutan. Pemandangan pohon lebat tergantikan oleh padang pasir nan gersang. Tanah lempung cokelat gelap berubah menjadi pasir serta debu.
Seusai bebas dari rimba belantara, keretaku menyisiri gurun yang hanya ditumbuhi kaktus dan berbagai macam sukulen. Gerombolan tumbleweed pun ikut berlarian terbawa ke arah angin bertiup. Sejumlah bongkah batu raksasa terkadang menghadang jalan sehingga membuatku harus membelokkan kereta.
Padang pasir yang semakin jauh ditempuh semakin terpencil dari peradaban. Gersang, panas terik, tanpa kehidupan. Badai pasir nan dahsyat bisa saja terjadi. Bukit batu yang tinggi lagi kokoh dapat dijumpai di sana-sini.
Di cakrawala sana, tampak titik yang menggambarkan siluet pria dewasa. Orang itu membawa senjata pedang di tangannya. Di dekat siluet tersebut, ada siluet lain lebih besar yang mencitrakan batu raksasa.
"Cris...! Ketemu!" Aku berteriak di antara derunya langkah kuda yang melaju di padang pasir.
Di kejauhan sana, di tengah gurun yang ditumbuhi kaktus dan rumput gersang, Cristopher menoleh ke arahku. Orang yang kucari-cari pada akhirnya ketemu. Pria berambut hitam kelabu itu mengenakan baju kesatria juga jubah panjang. Kucambuk tali kuda, laju kereta makin bertambah cepat.
"Aku menemukanmu!"
Di sana, Cris tengah berhadapan dengan monster raksasa. Monster Iblis. Iblis Eksekutif. Lawan nan sangat berbahaya lagi berkuasa.
Di sana, Cris berancang-ancang dengan senjata long sword-nya untuk melawan sang Iblis Eksekutif. Pria itu tampak sedikit kewalahan. Tampaknya beberapa adegan pertarungan telah terjadi sebelumnya.
Aku menarik tali untuk memberhentikan kuda nan berlari. Debu dan pasir berhamburan seketika, mengaburkan visi. Aku segera turun dari kereta dan berlari menuju tempat Cris berada.
"Cris, aku datang!" Aku mengeluarkan pedang dari sarungnya.
"Ketua?" Cris yang menyadari suara kereta kuda langsung terkejut kala mendapati aku berlari menuju dirinya. "Kenapa Ketua bisa sampai di sini!"
"Aku akan membantumu!" teriakku seraya terus berlari.
Cris amat kaget memandangku. Aku pun kaget pula karena melihat Cris yang sudah acak-acakan. Debu serta pasir menodai pakaiannya yang sobek kecil di sejumlah tempat. Kulit pria itu kotor oleh campuran keringat dan debris. Wajahnya lelah, rambut berantakan. Namun, Cris tetap tak gentar.
"Baiklah. Ketua, mari kita bersama-sama mengalahkan Monster Iblis ini!"
Aku menghentikan langkah kaki setelah mendekati Cris. Tentu debu beterbangan akibat sepatu bot yang menggores tanah. Kini aku telah berada di samping Cris. Kami berdua memasang kuda-kuda guna bersiap menghadapi lawan yang amat tangguh lagi berbahaya.
Monster raksasa setinggi bukit batu itu berwujud sebagian tubuh ular, yakni kepala dan leher saja, yang terpaku di tempat juga berdiri kokoh. Gelambir mengembang di samping lehernya sehingga membentuk semacam kepala sendok yang bersisik warna kelabu. Ada semacam dua buah tanduk kulit di mercu kepala monster ular tersebut. Sementara itu, bagian tubuh lain di bawah kepala dan lehernya terbenam di dalam pasir. Mata si monster berkilat kuning, beriris cekung layaknya ular. Mulut yang bergaris lebar kadang kala menunjukkan sepasang taring dan sesekali keluar lidah panjang berujung terpotong segitiga.
Monster Iblis itu berbicara, "Hahaha! Hebat sekali, Manusia! Sekarang kau mendapatkan bantuan. Tapi, mau berapa pun manusia yang melawanku, aku tetap akan menang!"
Tak gentar, aku dan Cris mendongak, menatap tajam Monster Iblis beberapa meter di depan. Kami tak boleh terprovokasi atas kata-kata yang keluar dari mulut monster itu. Kerja sama sangat diperlukan untuk sanggup menang darinya.
Aku berbisik kepada Cris. "Maaf, Cris. Aku sudah meminta bantuan kepada prajurit, tetapi mereka butuh persiapan hingga beberapa hari." Kutatap lekat pria di sebelahku. "Aku tidak bisa menunggu."
Cris agak menunduk untuk memandang wajahku. Kami saling bertatapan. "Terima kasih telah datang, Ketua. Ayo kita lawan Monster Iblis itu!"
"Kau harus menjelaskan semuanya kepadaku nanti, ya, Cris!" ancamku, sedikit senang.
Aku mengenggam erat pedangku di depan perut. Begitu pula Cris yang siap dengan long sword-nya. Monster Iblis raksasa di depan kami seolah-olah menyeringai, mata kuningnya berkilat tajam. Laksana, pertarungan hebat akan terjadi di tengah padang pasir nan gersang ini.
Aku berlari menerjang dari kanan, sedangkan Cris dari kiri. Serangan kami tujukan ke kulit tebal bersisik Monster Iblis. Hampir dekat, monster setinggi lebih dari seratus meter ini tak berkutik. Iris kuningnya mengikuti pergerakan kami.
Bunyi logam berdenting tercipta kala kedua senjata beradu dengan dinding kulit sisik di depan. "Sial, keras sekali!" umpatku.
Aku dan Cris langsung melompat mundur. Monster Iblis melancarkan serangan dengan meniupkan angin dari mulutnya, menghasilkan badai debu, yang lebih tepat disebut hujan. Debu-debu beterbangan, walhasil penglihatan pun jadi terbatas.
"Ketua!"
Aku mengangguk. Mulutku merapal mantra, "Wahai pedang yang agung, berikan kami kekuatan untuk membasmi kebiadaban!"
Pendar kebiruan menyelimuti pedang dan tubuhku. Aku menebas hujan debu di depan, lalu seketika bagai angin kencang menerbangkan debu-debu jauh melewati monster sampai sirna di cakrawala. Hujan debu pun berhenti, lawan raksasa di depan menyeringai.
"Hebat juga. Bagaimana dengan ini?"
Monster ular raksasa itu membuat bayangan yang sama persis seperti dirinya. Pertama, terbentuk satu di kiri dan satu di kanan. Kedua, terbentuk lagi di kiri dan kanan. Ketiga, terjadi hal yang sama, bagaikan membelah diri seperti sel hidup.
Bayangan-bayangan tersebut mendesis layaknya ular-tetapi di sini ular raksasa sehingga desisannya menggelegar bagai angin ribut-kemudian berbaris untuk siap membuat kami babak belur satu demi satu.
###
Kudus, 11 Januari 2020
±1180 kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top