Arc 1-7: IRRI (International Rice Research Institute)

Bab 10: IRRI (International Rice Research Institute)

Bab berisi dialog lagi :((())):
Selamat membaca \( ^ o ^ )/

###

"Selamat sore, Pak Pungi."

Pria paruh baya yang ada di hadapanku ialah Pak Pungi. Dia mengenakan baju santai dan celana panjang. Wajahnya berkeriput serta kantung netra berlapis. Pria tersebut duduk tegak pada sofa, kedua tangan luwes di atas paha, menandakan wibawanya yang menyiratkan bahwa dia lebih tua.

"Selamat sore, Ketua Marjan." Ucapan selamat soreku dibalas olehnya. Kami kemudian berbasa-basi dahulu seperti menanyakan kabar, "Bagaimana kabar Bapak?", "Baik.", memberi tahu bahwa cuaca cerah cocok untuk berbincang santai sambil minum teh hangat dan kukis, bercerita singkat bagaimana aku bisa sampai di sini, dan lain-lain.

Sampai akhirnya, lawan bincangku bertanya, "Jadi, ada urusan apa datang kemari, Ketua Marjan?"

Aku terpegun. "Ah, iya," jawabku sehabis terkejut, "Aku ingin menanyakan soal keluarnya Bapak dari party Geng Beta Besar."

Dia mengambil cangkir di atas meja, lalu menyeruput teh. "Aku sudah meminta izin ke Ketua Cris." Setelah itu, cangkir dia kembalikan.

"Itu benar, tapi aku ketuanya di sini, Pak. Aku, Marjan, ketua dari Geng Beta Besar."

"Soal itu, aku sudah tau," balasnya singkat.

"Lalu?"

"Iya, benar. Benar, aku meminta izin ke Ketua Cris. Kasihan sekali dia. Dia harus menanggung semuanya selama ini. Kasihan Cris. Kasihan Cris. Kasihan sekali Cris."

Pak Pungi menggumam tak jelas laksana suara bising lalat. Tangannya saling bertaut menumpu pada paha. Dia menunduk, bertopang dagu.

Aku terheran. "Maaf, Pak? Bapak baik-baik saja?"

"Iya, aku tidak apa-apa." Pak Pungi kembali bersikap normal bak sedia kala.

"Kalau boleh tau, kenapa Bapak memutuskan untuk keluar dari Geng Beta Besar?" Aku mengganti pertanyaan.

Dia menatap wajahku lekat. "Ketua tau kalau misi terakhir kita tujuannya apa?"

"Soal itu," aku memikirkan kata-kata yang tepat, "tentu saja membunuh Monster Iblis yang menjadi penguasa di tempat yang kita tuju sebelumnya."

Tengok-tengok, muka Pak Pungi tampak ngeri, bercampur dingin. "Siapa yang membunuhnya?"

"Aku, Pak Pungi," jawabku, tetapi kemudian terpancar keraguan di wajahku. "Tapi, anehnya iblis itu berkata bahwa dia ingin menghentikan peperangan dan menyelamatkan dunia ini. Katanya dia bukanlah iblis yang jahat."

"Oh, begitu. Jadi dia itu iblis yang menunjukkan usaha untuk menjadi baik, ya?" gumamnya.

"Aku baru mendengar ada yang begitu," kataku, mungkin tak menyadari gumam Pak Pungi.

"Tahukah Ketua siapa orang yang memberi request tersebut?"

Mendapat pertanyaan itu, aku-entah mengapa?-harus berpikir terlebih dahulu.

"Tidak tau, ya."

Si pria paruh baya berdiri, sedangkan aku seketika berhenti berpikir setelah melihat ekspresi yang mendadak berubah dari Pak Pungi.

Pria tersebut menatapku supresif.

"Orang yang memberi request itu adalah," nada bicaranya menyuratkan amarah sekaligus kepongahan, "aku, lo."

Eh? Aku mematung, memandang pria di hadapanku.

Pak Pungi tetap berdiri kala menjelaskan, "Iya. Suatu pagi, adikku-perempuan muda, rambutnya poni-mendapat laporan dari bawahannya bahwa ketika dia lewat Daerah X untuk mencari jalan pintas, dia merasakan hawa keberadaan iblis. Hawa itu sangat kuat dan mengerikan, membuatnya amat ketakutan.

"Kemudian adikku menyampaikan hal itu kepadaku. Aku pun membuat request misi yang langsung kutujukan kepada party. Kita kemudian mengetahui bahwa iblis itu adalah salah satu iblis pemimpin di dunia, yaitu Iblis Eksekutif. Sadar bahaya besar yang ditimbulkan Iblis Eksekutif, maka mau tidak mau kita harus mengalahkannya untuk membawa dunia pada kedamaian. Akhirnya kita semua setuju untuk menerima misi ini. Ketua menyetujui menerima misi ini."

Dia memandangku dengan salah hati.

"Tentang kesepakatan itu, masa Ketua tidak ingat?" tanyanya selepas duduk kembali.

Aku menggeleng kepala.

"Lalu iblis yang Ketua bilang telah Ketua bunuh, tahukah Ketua apa yang terjadi setelahnya?"

Aku menggeleng lagi.

"Dia bangkit dan mengamuk, tetapi Ketua Marjan dan Ketua Cris berhasil membasminya. Tidakkah Ketua ingat bahwa Cris menolongmu?"

Aku menundukkan kepala, tersipu segan. "Tidak."

"Ya ampun, dasar Anak Muda. Tidak tahu apa-apa."

Aku diam, tak bisa menyangkal pernyataannya.

"Terus, kuda tanpa kepala, tahukah apa yang terjadi setelahnya?"

Tentu aku membalas dengan menggoyang kepala ke kiri dan kanan lagi.

"Kuda itu kembali menjadi kuda seperti biasanya. Yap, dia memiliki kepala kembali. Sulit dipercaya, kekuatan yang ditimbulkan dari iblis yang dikalahkan sangatlah dahsyat. Sekarang kuda itu ada di istal keluargaku." Terdengar keceriaan dalam kalimatnya.

Aku tak tahu.

Aku tak tahu.

Aku tak tahu.

"Aku tak tahu!" Aku membentak.

"Dasar Anak Muda, haha," Pak Pungi tak terkejut, malah tergelak terbahak-bahak.

Aku menyadari perbuatanku, tetapi tak melakukan apa-apa setelahnya.

Pak Pungi menyeruput teh, lalu mengembalikan cangkir ke meja. "Ngomong-ngomong, Ketua juga tidak tau bahwa Geng Beta Besar punya dua ketua?"

Eh?

Aku tercengang. "Memang bisa satu party ada dua ketua?" Pak Pungi serasa terbalik di mataku.

Eh?

Aku terkesiap. "Lagi pula, siapa ketua satunya itu?" Pak Pungi seakan mengecil di kepalaku.

Suaranya bak tenggelam dalam laut dalam, "Tentu bisa ketuanya ada dua. Ketua Marjan, dan ... Ketua Cris."

Dua kata terakhir terdengar jelas di kupingku, menusuk bagai jarum tipis menelusup masuk saluran telinga.

Semuanya monokrom, berwarna hitam putih. Di dalam suatu ruangan berlantai ubin cokelat, sinar mentari masuk melalui jendela-jendela dan pintu nan terbuka lebar. Di ruangan yang disebut sebagai ruang tempat berkumpul itu, aku dan Cris berdiri di depan. Di hadapan kami berdua ada empat orang yang berbaris rapi. Salah satu dari mereka adalah pria paruh baya, Pak Pungi.

"Mulai sekarang, kalian semua resmi sebagai anggota dari Geng Beta Besar!" ucapku.

Tergambar kegembiraan serta kepuasan pada wajah masing-masing orang yang telah menjadi anggota Geng Beta Besar itu, meski monokrom pun.

"Memang benar, aku merekrut empat bawahan. Salah satunya Bapak. Tapi, aku tak ingat pernah menyetujui ada dua ketua!"

"Tak perlu persetujuan. Itu keputusan Pusat, Ketua Marjan."

Mataku terbelalak, pupil menyempit, napas tertahan. Aku tercengang, tak paham, mengapa bisa itu terjadi?

Pak Pungi menyeruput lagi tehnya yang kemudian habis. "Kembali ke pembahasan tadi. Sebenarnya ... tentang iblis itu yang bukanlah iblis jahat, aku tau itu."

Aku mengerjap mata beberapa kali, dan berikutnya terperanjat. "Eh? Bapak tahukah!"

Dia mengangguk. "Ada tiga pemimpin utama dunia iblis, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Iblis yang kita lawan itu, katanya adalah Iblis Eksekutif, tapi itu sebenarnya bukan. Aku bohong ke kalian. Aku tau bahwa iblis itu adalah iblis yang katanya menentang iblis lain yang berusaha menyerang dunia manusia."

Ha? Apa? "Apa...? Kenapa...?" Aku tak percaya Pak Pungi melakukan hal ini. "Kenapa Bapak melakukan hal itu!"

Untuk pertama kalinya, dia tersenyum lebar. "Karena aku tak mau dunia segera damai. Sebagai veteran, aku tak ingin perang berakhir. Bila berakhir, usaha istal keluargaku akan bangkrut, karena tidak ada lagi yang memesan kuda sebagai kendaraan transportasi ke medan perang. Selain itu, iblis baik tidaklah ada. Tidak akan pernah ada. Karena itu, aku tau dia menipu semua orang. Yang seperti itu, bukankah sesuatu yang sangat berbahaya?"

"Tidak mau perang berakhir ... berarti Bapak telah melanggar sumpah dengan kerajaan! Bapak tidak waraskah!"

Pak Pungi bermimik sendu, tak senang. "Tapi semalam, semua itu sudah kukatakan ke Cris. Dia tau bahwa misi melawan Monster Iblis itu adalah tipuan dariku. Dia tahu bahwa Iblis Eksekutif tidaklah sekuat itu. 'Iblis yang kita lawan sebelumnya sangat lemah,' katanya. Sekarang dia tengah menuju tempat yang benar. Ya, tempat di mana Iblis Eksekutif yang sebenarnya berada."

Apa? Cris...? "Jadi Cris sudah tau?" Kenapa Cris tidak bilang ke aku? "Kenapa Cris malah memutuskan hal yang nekat! Seharusnya dia meminta bantuan ke Pusat! Cris yang bodoh! Selalu saja seenaknya!"

Sementara aku mengoceh, Pak Pungi merenung. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya.

"Ketua Marjan, dia akan melawannya sendirian. Iblis yang sangat kuat, jahat, dan membunuh banyak orang. Ketua mau membiarkannya?"

"Tentu saja tidak! Aku akan menyusul Cris! Dia selalu saja begitu! Tolong panggilkan bantuan, Pak Pungi! Aku akan segera berangkat setelah ini."

Dia tidak mengiakan, tidak pula menolak. Pria itu memainkan cangkir kosong yang ada di meja, memandangnya dengan jemu sambil tersenyum getir. "Ketua Marjan, meski aku telah keluar dari party, aku masih memanggilmu Ketua. Sungguh aneh. Sangat aneh," gemamnya.

"Tidak apa-apa, Pak Pungi. Terima kasih telah memberitahukannya kepadaku. Aku akan berangkat sekarang." Aku bangkit, berdiri menghadap Pak Pungi.

Tiba-tiba, penglihatanku memburam.

"Baiklah, semuanya sudah kukatakan kepadamu, Ketua."

Pak Pungi memburam.

"Saatnya perpisahan."

Cahaya matahari petang yang menelusup, membuat mata silau.

Tangan Pak Pungi mengeluarkan sesuatu dari balik saku celana. Benda yang bisa digenggam, pendek dan kecil.

Sebuah senjata.

Senjata api.

Pistol saku.

Pak Pungi pasrah, dia tak sedih, tak gentar, tanpa emosi, duduk sembari menempelkan mulut pistol berkaliber .22 LR itu ke pelipis kirinya.

Aku membeliakkan kelopak mata, sebelum mengulur lengan, menjulur badan untuk menghentikan Pak Pungi.

Namun, semuanya terlambat.

Suara tembakan yang keras. Bau mesiu yang tercium di udara. Badan yang tumbang berlawanan arah dengan jatuhnya senjata pistol. Kepala berlubang yang menghantam lengan sofa.

Darah bercecer, mengalir, membasahi sofa. Merah. Cairan merah. Cairan itu menetes-netes, membentuk genangan di lantai.

Aku terbelalak, badanku gemetar. Aku terisak, menatap pilu jasad yang ada di hadapanku.

"Pak Pungi...!"

Sementara itu, di ruang sebelah, istri Pak Pungi bersimpuh memeluk anak perempuan yang masih kecil. Dia terisak duka, menangis tanpa suara. Anak itu diam ketakutan. Pelukan keduanya semakin lama semakin erat dalam keheningan.

###

Kudus, 8 Januari 2020

Kenapa?
Gak tau. (づ ̄ ³ ̄)づ (((maaf)))

Pembaca yang baik hati, jangan lupa tekan bintang untuk memberi vote dan mendukung penulis agar semangat melanjutkan cerita ini~ Juga tinggalkan komentar di kolom yang tersedia! Trims!

±1490 kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top