Arc 1-4: Komoditas Pangan

Bab 7: Sawah Tegalan

###

...

Tujuan dari misi ini apa, ya?
.
.
.
Eh? Aku tidak ingat. Bukan, bukannya tidak ingat. Aku tidak tahu. Tidak ada seorang pun yang memberitahukannya kepadaku!
.
.
.
...
.
.
.
Misi tidak jelas dan tanpa tujuan ini terus mau diapakan, hah? Lagi pula, mengapa aku terima begitu saja misi ini tanpa bertanya apa-apa? Apa karena aku terlalu memercayai Cris sebagai teman seperjuanganku dan Miss Aya sebagai psikiaterku?
.
.
.
Tenanglah, tenang dahulu. Berpikir! Berpikirlah! Memang benar, saat itu Cris dan Miss Aya mengatakan sesuatu kepadaku-

"Sepertinya mereka telah menjemputmu," ucap Miss Aya.

"Sudah saatnya pergi, Ketua. Ada misi untuk kita," kata Cris.

-tetapi, tetapi ... tidak ada satu pun dari keduanya yang mengatakan misi apa ini dan untuk apa tujuannya!
.
.
.
Setelah itu, aku pergi bersama Cris dan para bawahanku. Tidak! Mereka juga tidak mengatakan apa-apa soal misi ini!
.
.
.

Apa maksudnya ini?
Bagaimana ini?
Apa yang harus kulakukan!
.
.
.
...

"Bangunlah, kita akan beristirahat dahulu."

Itu adalah suara berat Cris nan familier. Sudah sering terdengar di telingaku, dan asal untuk diketahui bahwa suaranya itu sering kali mengganggu jam istirahatku. Aku membuka mata, kulihat pria itu berada di atas, bermaksud membangunkanku yang mulanya tertidur. Perlahan aku pun bangkit, Cris dengan sigap menjauh untuk memberikan ruang meregangkan badan.

"Ini di mana?" tanyaku, diam menatap hamparan tanah di belakang kereta.

"Ini di tengah hutan, Ketua. Kita akan beristirahat untuk memasak makanan," jawab salah seorang kesatria, menyiapkan barang-barang kemudian membawanya ke luar kereta.

Kami berenam melingkari api unggun yang telah dinyalakan, memanggang hewan buruan yang baru saja ditangkap, berupa hewan reptil, pengerat, dan larva serangga. Makanan itu dicampur dengan bumbu khusus yang dibuat salah satu kesatria, dan dia juga membakar sejumlah umbi di atas bara api. Aku, Cris, dan empat kesatria lainnya menyantap makanan tersebut dengan lahap, memastikan isi perut kami tak kosong untuk melanjutkan perjalanan nantinya. Sang Chef, kesatria yang kubicarakan tadi, masih sibuk mengurusi masakan yang belum habis-habis; tetapi kini harusnya dia agak tenang sebab menu sudah hampir bersih.

Setelah selesai makan-makan, para kesatria beristirahat dahulu di bawah pohon rindang. Mereka mengobrolkan pembahasan singkat yang mungkin cukup sepele. Selagi berbincang, salah dua kesatria memandang ke arah kami, aku dan Cris, yang duduk agak memisah, sikap serius, saling tatap, dan mengeluarkan kata-kata yang bermakna tinggi-bisa jadi?

"Hei, Pak, apa yang Ketua bicarakan di sana?"

"Itu lo, Nak, sudah dengar kalau Ketua tinggal bersama profesor? Katanya, Ketua menderita gangguan jiwa, dan cara untuk menyembuhkannya adalah dengan berbincang-bincang begitu, katanya. Benar-benar, aku tidak tau bagaimana pemikiran para profesor sampai sekarang."

Kesatria yang menanyai tadi kembali memandangi kami dengan tatapan, yang mungkin, agak terheran-heran, bertanya-tanya: apa yang kami bicarakan?

Apa yang kami bicarakan tentunya sama seperti biasanya. Dalam 24 jam, aku harus melakukan obrolan biasa selama satu jam dengan orang lain, membahas topik sehari-sehari yang santai. Namun, Cris kali ini, mungkin saja, mengambil topik yang agak serius.

"Sepertinya lokasi musuh makin dekat. Apakah Ketua sudah menyiapkan senjata Ketua?"

"Apa maksudmu, Cris? Aku selalu siap siaga setiap saat. Senjata pedang ini telah ditempa oleh ahil besi terkenal di penjuru kerajaan; tidak ada yang tidak mengenali Tuan Smith Sang Pandai Besi di pusat kerajaan. Bukankah begitu?"

Cris mengangguk.

"Pedang ini sangat hebat. Aku bisa menerapkan mantra sihirku ke dalam pedang ini sehingga bisa meningkatkan ketajaman tebasannya dan mempercepat seranganku, tanpa bisa membiarkan musuh lolos."

"Hebat juga, ya. Aku baru dengar itu."

"Kau baru dengar, Cris?" Aku tertawa tertahan seraya agak menyembunyikan muka, mengejam mata.

Cris terlihat biasa saja. "Ketua, berhati-hatilah. Musuh yang kita hadapi kali ini berbeda dengan musuh-musuh sebelumnya. Tipe-"

Aku memotong, "Iya, aku tau. Aku akan berhati-hati."

Cris tampak hendak menyambung pembicaraan tadi, tetapi ia memilih mengurungkannya dan memandang ke arah empat kesatria yang duduk bersantai di bawah pohon di tempat agak jauh dari kami.

"Ketua, mari kita lanjutkan pembicaaraan ini. Masih banyak waktu yang harus kita habiskan."

***

Roda kereta berputar cepat, terus-menerus tanpa henti. Di dalam kereta itu ada lima orang: dua orang sedang beristirahat, sisanya menjalankan tugas berjaga. Sementara, kesatria yang menjadi si kusir memegang kemudi mantap, selayaknya dia adalah seseorang yang ahli dalam bidang sais.

Gerobak melewati jalan setapak di antara pepohonan lebat yang sebagian besar merupakan konifer, amat tinggi dan berdaun rimbun. Anak-anak burung bercicit menanti kepulangan ibu mereka yang membawa makanan. Serangga-serangga kecil keluar dari tempat persembunyian untuk mencari makan. Para elang terbang di angkasa, mengamati keadaan permukaan kalau-kalau terlihat mangsa empuk dari atas sana.

Kereta itu terus berjalan dengan sangat cepat, mengikuti jalur panjang yang tersedia. Kadang kala si kusir harus berhati-hati ketika potongan batang pohon menghalangi jalan dan membuat lajur jadi riskan. Namun, karena dia adalah sais nan andal, maka segala rintangan dapat dilalui dengan mulus.

Kembali ke dalam kereta, dua orang yang sedari tadi terlelap adalah aku dan Cris. Sementara itu, tiga orang yang berjaga ialah para kesatria. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun keberadaan musuh, semuanya berlangsung terlalu damai dalam perjalanan ini.

Menyadari aku di belakang yang tertidur dengan nyenyak, sang kusir, kesatria pria paruh baya, menjadi agak murung. Dia membatin sesuatu yang dipendam dan tak bisa diutarakan. Kemudian, kesatria itu beralih menatap ke samping, pada pemandangan nun jauh hingga cakrawala. Ketika barisan pepohonan terjeda, matanya tersuguhkan oleh suasana alam perbukitan nan elok lagi damai. Sang kesatria tersenyum kecil.

"Ini akan segera berakhir."

Seketika, angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering di sepanjang jalan.

***

Kereta telah berhenti, diparkirkan sembarang pada tepi jalan. Semua kesatria, aku, Cris, dan empat kesatria lain, bergegas turun lalu menderap menuju suatu tempat di depan sana. Di situ tampak seperti padang rumput luas yang tersembunyi di dalam rimbunnya hutan. Bagian langit-langit seolah sengaja berlubang, tidak dinaungi pepohonan konifer, sehingga tumbuhan di atas permukaan tanah bisa mendapatkan sejumlah cahaya matahari. Meski demikian, bagian tersebut masih diselimuti sedikit kegelapan.

Kami segera berjalan menuju padang rumput di depan. Tiada tanda suara maupun gerak-gerik mencurigakan yang ditemui, hanyalah nyanyian serangga dan bisikan angin yang ada. Dedaunan pun bergoyang akibat ditiup udara nan bergerak.

Cris menatap dengan netra tajam juga penuh waspada, begitu pun halnya kesatria pria paruh baya serta tiga kesatria lain. Aku memimpin di depan, memasang sikap siap siaga. Senjata pedang teracungkan di depan dada, diam mengikuti gerakanku yang terus melangkah. Sekali lagi, walaupun tempat ini terkena cahaya matahari, keadaan tetap gelap dan kondisi di depan tidak dapat kami lihat dengan jelas sepenuhnya.

Salah satu kesatria pemuda tiba-tiba berteriak, menyebabkan suasana menjadi riuh. Kami semua terkejut, tetapi terkejut bukan karena teriakan si kesatria, melainkan sesuatu nan besar, yang ada di depan sana, tertutupi oleh bayangan kelabu.

"Monster!"

Kami melihat sesosok makhluk raksasa di tengah padang rumput yang gelap ini. Kawanan awan tebal yang berkelana di angkasa turut menambah kesan runyam. Butuh waktu bagiku untuk mencermati rupa si makhluk raksasa. Makhluk itu tampak laksana bukit batu berwarna cokelat keunguan, setinggi sekitar sepuluh meter, ditumbuhi rumput di beberapa bagian, dan memiliki wajah bak monster batu. Namun, dia tidak bergerak sedikit pun ketika kami berjalan mendekat. Setidaknya, terdengar sayup-sayup suara dengkuran dari dalam tanah, tepatnya dari dalam bukit si makhluk.

"Tidak apa-apa, semuanya," ucap kesatria paruh baya. Dia melangkah menuju makhluk raksasa, memandang dengan muka tenang, tetapi terbesit kerisauan dari mimiknya.

Kesatria itu mengulurkan lengan ke bebatuan cokelat makhluk raksasa, menempelkan telapak tangan, kemudian mengelus sebentar. Dia mulai berbicara lagi, sementara kami menyimak dari belakang sambil berjalan mendekat pula.

"Request dari misi ini adalah untuk menemukan salah satu iblis penguasa yang posisinya diduga berada di sekitar sini. Seperti yang kalian lihat, monster di depan kita adalah iblis yang sedang memasuki tahap tidur."

Salah satu kesatria muda berujar, "Tampak tidak berbahaya sekali, ya?"

"Benar sekali. Tapi, kita juga harus berhati-hati, karena bisa jadi monster iblis ini akan terbangun dan mengamuk, menyerang kita semua."

"Kenapa monster ini tidur, ya?" tanya kesatria muda.

"Kemungkinan, beberapa ratus tahun lalu, para kesatria mengalahkannya, melemahkan kekuatan iblis ini dan menyegelnya supaya tidak menyerang umat manusia lagi."

Sementara itu, aku, di dalam suasana ketegangan ini, mematung dan hanya bisa diam menyaksikan mereka dari belakang. Cris yang ada di sampingku pun bergeming, walau ia masih fokus serta waspada akan keadaan sekitar.

Aku tercengang, makhluk raksasa bukit itu laksana mengisap diriku untuk masuk ke dalamnya. Perhatianku dicuri. Aku tampak seperti orang yang melamun. Kini aku seolah telah berada di bawah hipnotis makhluk tersebut.

'Jangan! Sudah kubuat agar kalian tak mendekati kami lagi, tapi mengapa...! Mengapa!' Terdengar suara wanita yang memohon, tetapi tak dapat tersampaikan ke telinga para kesatria, selain aku.

Mataku berkedip.

Semuanya gelap, aku laksana berada di dunia kekosongan dengan latar tanpa apa pun-segalanya hitam. Aku mendongakkan kepala untuk melihat sekitar. Kedua tanganku yang kosong mengepal di samping badan.

"Siapa?" tanyaku, pada entitas entah apa maupun siapa.

Kulihat seberkas cahaya tampak dari kejauhan. Merasa tertarik, aku tanpa sadar berjalan menuju arah datangnya sinar. Kerlip itu berwarna hijau daun bercampur biru langit, tampak bagai sorot lampu nan indah lagi memesona. Semakin dekat, kelip hijau-biru semakin kuat dan semakin besar.

Aku tahu-tahu telah berada pada sebuah ruang bersinar putih, bahwa sinar putih itu berpendar dari sesuatu yang ada di hadapanku; sebuah ranjang tidur berwarna merah jambu. Ranjang tidur tersebut memiliki kanopi dari kain, dan sejumlah gorden terpasang pada tiap sisi ranjang. Penataan kain serta gorden tampak sangat rapi juga indah. Berbagai macam hiasan seperti stiker, pita, dan sebagainya diatur sedemikian rupa. Seprai kasur berwarna putih, bantal-bantal bermotif bunga merah muda, dan selimut beledu merah hati.

Sesuatu tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tubuhnya terselimuti kain beledu tebal yang terasa hangat. Bermacam boneka binatang menemaninya yang tengah tertidur. Ketika aku berjalan mendekat untuk melihat lebih jelas, rupanya sesuatu itu adalah makhluk seukuran batu, berbentuk bulat lonjong warna kecokelatan, mempunyai sepasang lubang mata nang tertutup dan seutas garis mulut nan tersenyum.

'Yang ada di depanmu sekarang adalah inti dari makhluk yang kalian lihat tadi, yang kalian sebut sebagai monster iblis, Pi.' Terdengar suara wanita lagi, bergema riuh memenuhi ruangan, tetapi suaranya begitu lembut lagi menenangkan.

"Siapa kamu?" Aku memasang kuda-kuda, mataku waswas mencari sumber suara.

'Aku adalah yang kamu lihat di depanmu: inti. Namaku Tripelpi.'

"Inti...?" Aku mengernyitkan alis, berpikir. "Jadi maksudmu, inti yang menjadi sumber kehidupan suatu makhluk?"

'Mungkin singkatnya seperti itu, Pi. Jika kamu menyentuh inti sedikit saja, maka makhluk yang kalian sebut monster iblis akan tersakiti dan kekuatannya menjadi melemah, Pi.'

Aku berubah menjadi waspada. "Apa tujuanmu membawaku ke sini?" Kubertanya pada entitas bersuara mirip wanita-yang entah berada di mana?-yang sedang berbicara di ruang putih ini.

'Aku ingin memberitahumu sesuatu, Marjan, Pi.'

"Bagaimana kau bisa tau namaku!"

'Itu tidak penting, Pi. Sekarang, yang paling penting adalah, aku membawamu supaya kamu bisa mendengar pesan dariku, Pi.'

"Pesan...?"

'Ramalan, tepatnya, Pi. Ramalan bahwa Marjan akan mengalami masa berat, dunia berada pada ambang kehancuran, dan satu-satunya pahlawan yang bisa menyelamatkan dunia adalah kamu, Marjan, Pi.'

"Apa yang kaukatakan!" Aku menjadi gusar, "Bukankah kalian para iblis yang membawa dunia kepada kehancuran? Kalianlah sendiri yang memicu peperangan! Dan, sekarang, salah satu dari iblis datang kepadaku untuk menyuruhku menyelamatkan dunia? Lagi pula, ini adalah masa damai. Tidak ada peperangan lagi selama para iblis tidak menyerang kami."

'Itu salah besar, Pi. Pada awalnya, iblis hidup terpisah dari manusia, saat itu kehidupan kami sangatlah damai, Pi. Hingga suatu ketika, para manusia datang ke dunia kami, membuat portal dimensi yang menyatukan dunia iblis dengan dunia manusia, Pi. Akibat itulah, iblis dan manusia saling berperang, Pi.'

"Tapi, itu hanya-"

'Aku tau ini hanyalah cerita versi para iblis, Pi! Aku yakin cerita versi manusia yang dibuat justru sangat berkebalikan, Pi. Tapi, aku, sebagai perwakilan kaum iblis, memohon dengan sangat kepadamu, untuk menghentikan peperangan dan menyelamatkan dunia ini, Pi!'

Aku tampak berpikir sebentar, mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh entitas iblis ini.

'Jikalau kamu masih tidak percaya, kamu boleh melakukan ini, Pi.' Sebilah belati kecil tercipta dan terjatuh ke atas kasur. 'Bunuhlah aku, Pi....'

Aku tercenung. "Apa-apaan...?"

'Jika kamu membunuhku, monster iblis ini akan mati juga, Pi. Jika kamu membunuhku, kamu akan percaya bahwa membunuh iblis pun tidak akan membawa perubahan apa pun, Pi. Aku mau kamu mendengarkan permintaan egoisku, Pi: Iblis tidak bersalah, aku ingin kamu memercayai para iblis, Pi. Aku ingin kamu percaya, Pi. Percayalah dengan membuktikannya, Pi.'

Aku masih memikirkan kalimat yang diucapkan si entitas iblis. "Sulit dipercaya." Aku meremas pelipis dengan tangan kanan. "Aku ingin memberitahukan kepadamu, tapi ini sangat akan membuatku terlihat egois."

Entitas iblis membalas, 'Baiklah, Pi.'

"Jika aku membunuhmu, monster iblis akan mati. Artinya, misiku berhasil dan Cris dan para kesatria akan berbahagia. Setelah itu, orang-orang menjadi merasa aman dan tempat ini akan dilalui banyak kendaraan. Mereka, para manusia, merasa aman karena iblis yang mengancam telah dibunuh. Padahal, pada kenyataannya dunia masih terancam dan ancaman yang sebenarnya bukanlah berasal dari para iblis. Kau tidak keberatan dengan itu, kan?"

Terjadi jeda agak lama sebelum akhirnya si entitas iblis menjawab, 'Memang benar itu akan menjadi hal yang menyedihkan, Pi. Umat manusia merasa tenang, padahal ancaman yang sebenarnya tengah mengintai mereka. Tapi, itu tidak apa, Pi. Yang terpenting adalah hal itu bisa membuatmu percaya. Aku ingin kamu juga memercayai para iblis, Pi. Ingatlah kalimat ini, Pi: Sebuah bahaya besar sedang mengintai kita.'

Aku mengangguk. Sepertinya berpikirku telah tuntas, aku sudah membuat keputusan. Kuulur lengan untuk meraih belati kecil di atas kasur. Kuperhatikan makhluk bulat lonjong yang seolah bernapas karena tubuhnya tampak mengembang dan mengempis. Kulihat wajahnya dengan garis mulut melengkung ke bawah.

'Jika aku membunuh iblis ini, setelahnya aku akan menentukan bahwa iblis dapat dipercaya atau tidak.'

Bilah belati itu kuacungkan di atas badan makhluk bulat lonjong.

'Selamat tinggal, Iblis.'

Belati pun terdorong. Ujung tajamnya menusuk masuk ke dalam tubuh makhluk, yang sama sekali tak merasakan kesakitan apa pun itu.

Seketika, ruangan putih makin bersinar kuat, amat menyilaukan sampai-sampai segalanya tak terlihat. Segalanya berkilau. Namun, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

***

Malam menghitam, hujan turun sangat deras. Langit tertutupi oleh awan kelabu. Aku, yang memakai pakaian santai, tengah berdiri mematung di beranda rumah, memandang kebun halaman belakang yang tersirami air hujan.

Berjuta tetesan air jatuh dari langit dan membasahi bumi, yang mengakibatkan tanah menjadi gembur serta tanaman menjadi subur. Kulihat Miss Aya yang mengenakan sweter menyender pada ambang pintu, menyilangkan tangan di depan dada. Dia memandangku dengan wajah maklumnya.

Aku menyadari keberadaan Miss Aya, menoleh dan bertanya kepadanya, "Cris di?"

Miss Aya mengejam sejenak, kemudian membuka mata dan menjawab, "Pergi ke luar."

Aku tampak terkejut.

***

Aku, yang mengenakan baju kesatriaku, membuka pintu suatu ruangan. Ruang tersebut merupakan tempat berkumpulnya para anggota party-ku yang bernama Geng Beta Besar. Aku berjalan masuk dan menjumpai seseorang.

Di sana ada kesatria pemuda yang sedang berdiri di depan papan, mencermati apa-apa yang terpampang di sana. Dia berbalik dan kaget ketika tahu bahwa aku ada di sini.

"Ah, selamat pagi, Ketua Marjan," sapanya, "Ada berita besar untuk kita."

"Apa itu?" tanyaku.

Si kesatria pemuda terlihat amat terkejut. "Eh, tidak tahukah? Pak Pungi* telah mengundurkan diri dari Geng Beta Besar."

Sementara itu, mantan kesatria pria paruh baya yang dibicarakan sekarang tengah bersantai duduk di sofa rumahnya, menikmati secangkir teh dengan pakaian kasualnya. Dia mengulas senyum misterius penuh tanda tanya.

Kudus, 21 Desember 2019

±2510 kata, hehe selamat mabook membaca :v

Ket.:
*Pungi dibaca sama halnya seperti fungi-->fanjai, yaitu Panjai.

###

Bonus:
Devolusi Rancob
Panji>>Panjy>>Panjay
((untung kelasku Bu Ambyar :v))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top