Arc 1-3: Komoditas Pangan

Bab 6_Komoditas Pangan (selessi)

[SAATNYA PETUALANGAN BERAKHIR]

***

"Bangunlah, kita sudah sampai di tempat musuh...."

Suara berat Cris membangunkanku. Ketika mata ini membuka, terlihat pemandangan berupa hutan nan lebat lagi gelap, tetapi sejumlah cahaya masih bisa masuk walau dalam kadar kecil. Sinar nang menerobos itu bagaikan pilar-pilar diagonal yang menyorot dari atas langit sampai ke permukaan tanah.

Kulihat tiga kesatria lain telah meningkatkan kesigapan juga kewaspadaan. Mereka menyiapkan senjata masing-masing serta menajamkan kelima indra. Kereta kuda masih berjalan cepat, di atas tanah nan cukup mulus. Namun, hewan yang menarik gerobak ini berlari dengan amat gelisah.

Sang kusir susah payah memegang kendali. Seketika, keadaan menjadi semakin tidak stabil dan akhirnya kusir pun berseru, "Semuanya, pegangan-"

Namun, sebuah goncangan menghentikan paksa laju kuda. Mendadak kami-para penumpang-terkena efek inersia sehingga hampir tersungkur ke depan. Kereta telah benar-benar setop. Kuda tanpa kepala itu meringkih, mengangkat kedua tungkai depan seraya mengeluarkan suara aneh.

Sang binatang beradu di atas lantai hutan tepat pada barisan pepohonan terakhir, sebelum kereta keluar dari rimbunnya pohon-pohon kayu. Kami berhenti selaras antara perbatasan hutan dan tanah lapang di depan sana.

Tanah tersebut merupakan satu-satunya tempat terang yang mendapatkan sinar matahari, tampak jelas juga kontras dibanding hutan di sekitarnya yang ternaungi pepohonan nan rimbun lagi lebat. Lapangan itu bukan hanya berupa tanah serta rumput saja, melainkan terlihat tumbuhan berdaun sejajar nan banyak dan hidup secara teratur, seolah tumbuhan tersebut sengaja ditanam di situ.

Satu per satu ketiga kesatria melompat keluar dari gerobak. Aku dan Cris menyusul terakhir. Setelah itu, sang kusir turut turun sehabis kami berlima berjalan melewatinya. Kereta kuda ditinggal begitu saja, si hewan penarik masih tetap meringkih ganjil sedari tadi. Kami berenam melangkah dengan sangat hati-hati juga waspada, terus maju menggunakan formasi nan padu. Kesatria pria paruh baya ada paling belakang, di depannya adalah tiga kesatria lain, lalu pada front ialah aku serta Cristopher.

Salah satu kesatria pemuda bertanya, "Benarkah tempatnya ada di sini? Tempat ini terlalu terpencil, dan bagaimana bisa ada yang mengetahui ada musuh di sini?"

Kesatria paruh baya menjawab, "Burung-burung yang terbang di atas hutan gelap ini selalu mengalami gejala aneh seperti kelelahan berat dan hampir terjatuh. Dari situlah kita mendapatkan laporan tempat presisi musuh."

"Berarti, musuh kali ini tidak begitu berbahaya, kan?"

"Nak, biar kuberi tahu satu hal. Monster pemilik sarang tidak akan menyerang manusia kecuali mereka merasa dalam keadaan bahaya dan terancam."

Aku dan para kesatria keluar dari hutan nan rimbun. Perlu waktu bagi kami untuk menyadari bahwa lapangan di hadap sebenarnya merupakan lahan yang dimanfaatkan sebagai ladang, tepatnya sawah tegalan. Atmosfer di sini tiba-tiba menjadi amat mencekam. Suasana terlalu hening dan tiada pergerakan apa pun yang terlihat juga terdengar, baik itu tiupan angin maupun suara serangga.

Aku, yang bersiaga untuk siap menarik pedang, terus berjalan seraya meningkatkan ketajaman indra.

Apa ini? Hawanya menjadi terlalu hening...!

Cris risau mengerling ke kanan-kiri.

'Hei, apa aku █ol█h menj█di █████mu?'

Kesatria pria paruh baya menegakkan badan. Tiga kesatria lain menambah rasa waspada.

'A█olah! Aku ke███ian di █ini!'

Aku tersekat. Cris dan keempat kesatria turut berhenti mendadak. Tahu-tahu, kami telah berdiri di tengah-tengah lapangan sawah.

'Baiklah, jika itu mau kalian....'

Lahan sawah seketika berubah merona cokelat tua, pandangan beriak, bergelombang, pepohonan menari hebat, suara burung-burung bergemuruh, pijakan bergetar, tumbuhan kecil bagai tersetrum. Kami semua berada di dalam wilayah musuh yang mengamuk.

Aku mengertak gigi, wajahku tak senang dengan serangan musuh ini. Lantas aku pun memberi perintah nan singkat dan padat:

"Dengar semua! Ini adalah monster tipe bawah tanah. Kemungkinan musuh akan menyerang dari bawah, melahap tubuh kita dengan mulut besarnya. Saat momentum serangan musuh itulah kalian berempat melompat ke empat sisi yang berlainan, sedangkan aku dan Cris akan melawan dari tengah. Mungkin kami akan dimakan sehingga kami masuk di dalam perutnya, tetapi tenang saja sebab aku akan merapal mantra untuk melepas kekuatan pedangku. Sementara, kalian berempat menyeranglah dari luar, jika bisa, menyerang titik lemah musuh seperti mata atau bagian yang tidak terlindungi kulit. Mengerti semua?"

Keempat kesatria menganggut.

Dari bawah, seketika kubah hitam dengan sulur-sulur bayangan ribut melingkupi aku dan Cris. Seperti air mancur, sulur-sulur kecil nan panjang tersebut meluncur secara melengkung dari atas ke bawah membentuk bangun setengah bola. Sementara itu, keempat kesatria lain bersiap di luar, pada tiap sudut nang berbeda. Kupel hitam yang bagai cangkang dihadapkan pada mereka.

Memejam mata, kugenggam erat pedangku, tegak menghadap ke atas di depan dada. Kemudian, aku merapal mantra laksana komat-kamit, yang seketika menghasilkan pendar kebiruan nan menyelimuti tubuh. Segera kubuka netra dengan mantap, mulut hendak tegas berucap, tetapi kejadian yang terjadi setelah itu tidaklah masuk akal.

Kubah hitam raksasa terbagi menjadi empat bagian, lalu dalam sekejap terdorong kuat ke bawah, melahap masing-masing kesatria yang tercenung di empat sudut nan berbeda. Kemudian, segalanya lenyap; baik para kesatria maupun kubah hitam tersebut, meninggalkan aku dan Cris sendirian di tengah lapangan.

Aku memelotot tak percaya atas apa yang kusaksikan. "A-apa yang terjadi!" 'Kenapa bukan aku yang dilahap? Kalau begini, mantraku tidak akan berguna!' Rapalan mantraku terpotong dan gagal.

Aku berkedip.

Terasa samar bahwa kondisi sawah di hadapanku tampak cukup berbeda daripada sebelumnya. Atmosfer menjadi lebih tenang, tetapi karena ketenangannya itulah rasa ngeri juga ganjil makin bertambah. Warna di sekitar berwarna-warni bak pelangi, tetapi ronanya lebih gelap ketimbang bianglala langit. Dedaunan pohon, semak, dan tumbuhan beragi gradasi hijau. Tanah beragam tingkat cokelat. Langit bercorak nuansa biru. Segalanya begitu indah, sekaligus memberi kesan meneror.

"Tempat ini berubah? Jangan-jangan...? Ini di dalam 'perut' musuh?!"

Tiba-tiba, aku melihat sesuatu yang mencolok jauh di depan, di tengah-tengah. Tempat di situ agak meninggi sebab terdapat rekahan dari bawah yang mengembang bagai kelopak bunga. Namun, hal yang lebih penting berada di atasnya yaitu sebuah 'benda' yang dililit dedaunan sejajar berjumlah banyak sekali, secara tak beraturan, julurannya membentuk cawan bagai saling berebut 'benda' itu.

Aku memicing mata untuk meneropong lebih jelas rupa 'benda' tersebut. Ukurannya diperkirakan besar, bentuk bulat bagai bola, dan samar-samar berwarna cokelat muda di antara hijaunya lilitan daun.

"Biji? Besar sekali...? Apakah...?"

Kuputuskan untuk berjalan mendekat, meninggalkan Cris di belakang yang masih waspada. Akan tetapi, ketika aku mendekat, sebuah daun sejajar panjang menyembul dari dalam tanah, hendak melilitku yang agak lengah. Serangan tersebut langsung kutepis dengan mengayun pedang, memotong daun itu.

Sejumlah sulur-sulur lain turut menyembul dari dalam tanah, bergoyang-goyang untuk bersiap menyerangku layaknya mangsa nan lezat.

"Kalau seperti ini, akan sulit...."

Aku berhenti, menyimpulkan suatu hal.

"Mungkinkah?! Itu adalah inti dari musuh ini? Kalau begitu, sejak awal, tempat ini bukanlah tanah lapangan, melainkan tubuh dari monster itu sendiri?"

Aku bergidik, sesuatu menyerangku. Jantung bagai terlepas, berdetak tak keruan sebelum akhirnya serasa terhenti paksa. Mataku terbelalak, ekspresi wajah menahan rasa sakit luar biasa di dada. Pedang dari genggaman terbanting begitu saja. Aku terjatuh, berlutut menahan tanah, dengan perih nang terus mengoyak rongga dada.

"A-apa yang terjadi...?"

Aku tidak bisa menggerakkan kaki dan tanganku yang tak henti bergetar. Anggota tubuh itu laksana dikunci oleh kekuatan yang mengekang kehendakku. Kekuatan misterius ini pastilah keluar dari tempat aneh di sini.

"Apa ini? Kekuatan macam apa ini? Ter-terlalu kuat...!"

Sesuatu memasuki kepalaku. Gambaran asing muncul dan mulai berputar. Gambaran itu merasuk paksa ke dalam otak, berusaha mengubah dirinya agar menjadi familier bagi benakku.

Aku meringis, iris bergetar. Kuremas pelipisku sembari meraung melawan rasa sakit. Suara manusia nan terpencil muncul, bergema memasuki pendengaran.

Dia berbohong padamu....❞ Lalu, perkataan tersebut diikuti tawa.

"Siapa!" Aku mengangkat muka, berteriak.

Pria itu berbohong padamu....❞ Suara itu muncul lagi, lalu diikuti tawa.

"Aku bertanya siapa yang berbohong padaku, Monster!"

Suara-suara itu berdesis, berkerumun, bermunculan satu demi satu, berebut bagai kumpulan bernga di permukaan buah busuk.

Cris....❞
❝Cris....❞
❝Cris-lah....❞

"A-apa...?" Aku tercengang mendengar nama itu disebut. "Apa yang Cris lakukan padaku! Cepat katakan!"

Sang pemilik suara bermanifestasi menjadi wajah manusia yang tak kuketahui. Bukan hanya satu saja, muncul yang lain, kemudian muncul lagi, lalu muncul lagi, terus bermunculan hingga berjumlah sampai lima belas wajah asing. Benar-benar hanya berupa wajah saja, beserta rambut dan sejumlah aksesori yang terpasang.

"A-apa? Siapa kalian!"

Wajah-wajah itu berputar mengelilingiku, membentuk lingkaran yang terus memutar. Mimik mereka berubah menjadi mengerikan, meraung-raung, menghasilkan suara aneh seperti babi atau binatang berkaki empat jorok lainnya. Wajah mereka berlendir, entah apa warnanya, yang penting sangat menjijikkan. Mulut para wajah itu meneriakkan kata-kata ganjil yang lebih tepat disebut igauan.

Aku tak dapat mendengar jelas karena aku lebih memilih menutup telinga rapat-rapat. Mataku melihat wajah-wajah tersebut terus berputar di atas, membuat muka ngeri dan berucap dengan gerakan bibir dan otot pipi yang aneh. 'Apa-apaan ini? Apa ini! Apa sebenarnya ini!'

Tiba-tiba, badanku melemas, kedua lengan yang awalnya menutup telinga kini jatuh lemah. Aku tak dapat melawan, badan tak mampu kugerakkan. Wajah-wajah itu kini tertawa, dengan tetap menyebut nama ganjil seperti sebelumnya.

"Marjan!"
"Marjan!"
"Marjan!"

'Cris membohongimu. Cris menyembunyikan semuanya darimu. Cris menipumu. Cris ingin kau tersakiti. Cris tidak ingin kau hidup damai. Cris melakukan semuanya demi dirinya sendiri. Cris berniat menyiksa dirimu selamanya.'

"Marjan!"
"Marjan!"
"Marjan!"

Tidak! Tidak mungkin! Tidak mungkin ini semua terjadi!

"Marjan!"
"Marjan!"
"Marjan!"

'Cris membohongiku. Cris menyembunyikan semuanya dariku. Cris menipuku. Cris ingin aku tersakiti. Cris tidak ingin aku hidup damai. Cris melakukan semuanya demi dirinya sendiri. Cris berniat menyiksa diriku selamanya.'

"Marjan!"
"Marjan!"
"Marjan!"

Badanku menegang mendadak. Kedua mataku melolot, rahang membuka lebar. Tangan meremas pelipis kuat-kuat. Dalam posisi berlutut, aku berteriak sekencang mungkin, melaung hingga suaranya menggema ke penjuru hutan. Tubuhku bergetar bagai tempayak yang menggeliat. Sementara, para wajah terus saja tertawa penuh kepuasan.

"Marjan!"
"Marjan!"
"Marjan!"

Di sana tidak jauh dariku, Cris susah payah menebas sulur-sulur yang menyerangnya. Dia mencoba untuk meneriakiku, tetapi suaranya tak pernah sampai padaku. Padahal rahangnya terbuka lebar, matanya memelotot, dan dia berusaha sekuat tenaga berseru kepadaku.

"Ketua harus kembali ke sini! Kalian tidak boleh mengambilnya!"

"Yang Ketua butuhkan hanyalah kami! Kalian tidak pantas bersamanya!"

"Ketua pasti meminta pertolongan selama ini! Itu pasti! Dan aku pasti akan menolongnya!"

Cris, dalam keadaan kepayahan, badan penuh darah dan luka, rambut acak-acakan berdebu, ia menoleh ke arahku, "Ketua!!! Panggil namaku! Katakan bahwa kau membutuhkanku!"

'Cris tak pernah bohong padaku. Cris tak menyembunyikan apa pun padaku. Cris tidak menipuku. Cris tak ingin aku tersakiti. Cris ingin aku hidup damai. Cris melakukan semuanya demi diriku. Cris berniat membuatku bahagia selamanya.'

"Cris ..., bantu aku...."

Cris melempar tombak panjang padaku, seketika kutangkap dengan lengan lurus ke atas. Aku segera bangkit, menatap dingin lawan di depan layaknya mangsa. Dalam lesatan secepat kilat, kupelesatkan tombak itu ke arah hadap, pada fokus tujuan yang menjadi pusat perhatian, yakni inti bola besar cokelat muda.

Seketika, bola itu retak-retak, menyemburkan cahaya kemilau, lalu pecah berkeping-keping. Seluruh sulur yang menyelimutinya meluncur dan tertarik ke bawah dalam kedipan mata. Segala gemuuruh mereda, segala ribut menjauh, keadaan sekitar menjadi tenang seperti biasa di luar sana. Warna aneh pun menghilang, para sulur pun melenyap, dan langit kembali biru-sebiru lautan. Kubah hitam tak kasatmata melebur, menyisakan para kesatria yang terheran-heran dibuat kaget juga terkagum akan perubahan lingkungan yang luar biasa ini.

Cris berjalan mendekat. Aku, yang tak berkutik setelah melempar tombak tadi, langsung mengambil sikap semangat lagi tenang, menyambut kedatangan pria yang penuh luka itu. Walau terluka demikian, ia tetap bisa membuat senyum khas. Senyum yang tiada seorang pun bisa menunjukkannya selain Cris seorang.

"Terima kasih telah menyelamatkanku."

Dan, terakhir, seekor kuda cokelat sempurna-tanpa kecacatan-dengan kereta gerobak yang ditariknya, berjalan ke arah kami sambil mendengkus. Aku langsung mengenalinya sebagai kuda cacat tanpa kepala yang kami gunakan sebelumnya. Hewan itu mendengkus lagi.

Sleman, 14 September 2019

±1920 kata hehe sori telat sebulan :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top