Babak 9 - Amarah
Beradaptasi dengan lingkungan baru tentu bukan hal yang mudah. Apalagi bagi orang seperti Faya. Ia masih belum terbiasa dengan kehidupan barunya yang serba berbeda. Tiap kali bangun pagi gadis itu masih suka merenung sembari menghela napas panjang. Berharap semua yang dialaminya selama ini hanya mimpi atau ilusi belaka.
Meski berat, Faya juga sadar dirinya tak bisa berlama-lama mengganggap semuanya hanya bunga tidur belaka. Ia harus tetap bangun, bergerak dan menajalani hari dengan bekerja. Walau Faya belum tahu ke mana arah kehidupan selanjutnya. Setidaknya Faya bukan hanya berdiam diri untuk pasrah dengan nasib buruk yang menimpanya.
Hari ini Faya sudah memikirkan beberapa rencana untuk kelangsungan hidupnya. Ia harus membayar uang pengganti yang dipinjamkan Dewa padanya untuk membayar sewa tempat tinggal. Selain itu Faya juga sudah berencana akan menjual beberapa barang-barang miliknya. Itu sebabnya ia meminta Martin mengantarkan kopernya.
Kemarin malam gadis itu sudah memilah barang mana yang akan dijual. Tiga buah tas yang meski Faya sangat sayang untuk melepas, tapi karena ia butuh bertahan hidup dengan uang maka Faya harus merelakannya dengan berat hati. Juga barang lainnya seperti sepatu, arloji, perhiasan dan pakaian. Ia memilih menjual barang-barangnya melalui media sosial. Untuk itu Faya juga sudah membuat akun penjualan untuk memudahkannya mendapatkan pembeli.
“Selamat tinggal, anak-anak. Doakan Mama bisa mendapatkan kalian kembali,” ucap Faya dengan berat hati meski ia tahu kemungkinan kecil ia akan mendapatkan benda-benda tersebut kembali.
Setelah membersihkan diri dan mengisi perut dengan roti dan segelas susu, Faya bersiap berangkat menuju florist. Beberapa hari ini ia jarang bertemu muka dengan Dewa. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di luar florist. Dari apa yang Faya dengar lewat selentingan obrolan pegawai lain, Dewa sedang melakukan negosiasi kerja sama dengan sebuah EO. Jika kerja sama tersebut berhasil, tentu saja akan memberikan keuntungan untuk usaha florist mereka.
“Selamat pagi,” sapaan dari Ibu Mina menyambut Faya yang baru saja tiba di florist.
Faya tak menjawab. Ia langsung melenggang menuju meja kasir. Sikapnya tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari para pegawai. Bagi Kiki, Nita dan Ambika, sikap Faya tak dapat mereka tolerir. Meski sudah mendapat permintaan dari Dewa untuk mencoba berteman dengannya. Namun ketiga gadis itu menyerah. Mereka tak lagi berusaha mendekati Faya dan bersikap seakan tak saling mengenal satu sama lain. Hanya Ibu Mina, Rino dan Putra yang masih tetap bersikap ramah pada Faya. Walau tak pernah sekali pun mendapat balasan atas sikap ramah tersebut dari si gadis es.
Suasana kerja berlangsung seperti biasa. Meski pelanggan tak terlalu ramai, tapi tetap saja ada beberapa yang selalu datang memesan buket atau bunga untuk tanaman hias. Keseharian yang Faya rasa monoton seperti itu sudah bukan hal asing lagi baginya. Ia hanya harus menjalani hari hingga waktu kerja usai. Dan kembali ke tempat yang ia sebut rumah untuk membaringkan diri.
Kadang Faya berpikir, hal membosankan seperti ini terus berputar dalam hidupnya. Ia jadi ingat kembali ucapan Dewa yang mengatakan mungkin ia akan menemukan hal baru saat bekerja di florist. Namun hingga detik ini Faya tak menemukan hal tersebut. Rasanya saat ini ia ingin bertemu Dewa dan mengejek pria itu karena apa yang ia ucapkan tak menjadi kenyataan.
“Membosankan!” desahnya setelah menutup mesin kasir.
Baru saja Faya akan mengecek ponselnya ketika benda tersebut berbunyi. Cepat-cepat Faya meraih ponselnya untuk melihat pesan yang baru saja masuk. Matanya berbinar kala membaca pesan masuk di akun sosial media yang baru saja ia buat. Seseorang baru saja tertarik untuk membeli barang yang Faya jual di akunnya. Dan meminta untuk bertemu untuk melihat tas yang ia jual. Faya pun langsung membuat temu janji saat jam makan siang.
Karena berpikir jika mungkin transaksi akan memakan waktu lebih lama, lebih dulu Faya ingin meminta izin pada Dewa. Namun karena hari ini pun Dewa tak terlihat di forist maka gadis itu terpaksa menghubungi pria itu lewat telepon.
Dewa yang saat dihubungi oleh Faya sedang berbincang dengan pihak EO cukup terkejut melihat nama gadis itu di layar ponselnya. Pria itu lantas meminta izin pada kliennya untuk memberi waktu demi menjawab panggilan.
“Halo, Faya?” ucapnya setelah menggeser layar ponsel untuk menjawab.
“Saya ada perlu saat jam makan siang. Mungkin akan balik ke florist agak terlambat. Bisa minta pegawai lain memegang bagian kasir selama saya belum kembali?”
Dewa memijat sela antara alisnya sembari tersenyum kecil. “Harusnya kamu minta izin ke saya sebagai Bos kamu, bukan dengan nada perintah seperti itu. Bukan begitu cara kerjanya, Faya.”
Faya menggigit bibirnya untuk menahan diri agar tidak mengumpat. Ia tidak ingin diceramahi dan tidak ingin bertengkar dengan Dewa. Meski apa yang Dewa katakan memang benar. Namun Faya belum sepenuhnya terbiasa dengan keadaan mereka sebagai atasan dan karyawan.
“Oke, Pak Dewa, bisa beri saya izin untuk terlambat bekerja?” ucap gadis itu akhirnya dengan wajah masam.
“Saya tahu kamu pasti mengucapkan dengan wajah yang tidak enak dilihat. Beruntung saya saat ini sedang tidak ada di hadapan kamu …”
“Cut the crap! Dikasih izin atau tidak?” potong Faya mulai tidak sabar.
Dewa sepertinya harus mulai bersikap tegas agar gadis itu mulai sedikit menunjukkan perubahan yang lebih baik.
“Tidak kalau kamu nggak mau bersikap sopan terhadap atasan!”
Faya mendesah tak percaya. Matanya menatap nyalang pada Kiki dan Nita yang sejak tadi memandang Faya yang sedang bertelepon.
“Saya nggak …”
“Kalimat itu nggak akan mempan, Faya. Sampai kapan kamu mau tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di hidup kamu? Kamu sudah merasakan sakitnya jatuh. Yang kamu butuhkan bukan keras kepala kamu, tapi kesadaran kamu untuk mulai bersikap lebih rendah hati dan menerima kehidupan kamu saat ini.”
Faya langsung mematikan sambungan. Membuat Dewa hanya bisa menghela napas di tempatnya saat ini berada. Sedang Faya yang masih kesal karena ceramah yang didapatkannya dari Dewa hanya bisa menatap nyalang pada layar ponselnya.
Seorang pelanggan yang mendekati meja kasir tampak ketakutan melihat raut wajah Faya yang begitu menyeramkan. Kakinya melangkah mundur mendekati Kiki untuk meminta bantuan gadis itu menyelesaikan pembayaran atas pesanannya. Padahal Kiki pun sama takutnya. Namun karena tak mungkin menolak permintaan pelanggan, Kiki memberanikan diri menuju meja kasir. Sang pelanggan pun mengikuti di belakang Kiki.
“Tolong proses pembayaran pesanan ini,” ujar Kiki dengan suara bergetar ketakutan.
Faya sedang tak ingin menambah ledakan amarah. Dengan cepat ia mengetikkan pesanan hingga total pembayaran muncul di layar. Pelanggan tersebut pun segera mengeluarkan sejumlah uang untuk diserahkan pada Faya. Setelah itu ia mengucapkan terima kasih pada Kiki dan bergegas meninggalkan florist dengan buketnya.
“Anu, Mbak Faya, kalau bisa tolong jangan pasang wajah begitu di depan pelanggan kita.”
Faya menatap tajam pada Kiki yang berani bersuara. Namun ia tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas Kiki. Membuat Kiki bisa bernapas lega karena Faya tak menyemprotnya dengan kata-kata tajam andalannya. Gadis itu pun bergegas meninggalkan daerah kekuasaan Faya agar tak menyulut api kemarahan Faya lagi.
Di tengah proses berpikirnya, Faya akhirnya mengalah. Menjadi pusat perhatian rekan-rekan kerjanya juga pelanggan karena ekspresinya yang menyeramkan, sedikit banyak membuat Faya merasa tak nyaman. Mungkin memang sudah sepatutnya Faya mengubah cara berpikirnya. Tak lagi menganggap diri sebagai yang berkuasa. Karena memang begitulah kenyataannya saat ini. Faya tak berbeda dengan orang-orang di sini. Dia membutuhkan uang. Dan etika utama dalam sebuah pekerjaan adalah kesopanan. Entah di mana pun berada, sikap sopan harus selalu ditunjukkan oleh orang yang memiliki jabatan lebih rendah dari atasan.
Meski masih merasa berat hati, Faya kembali menghubungi Dewa. Menunggu beberapa saat hingga panggilannya diterima. Tak seperti awal tadi Dewa menyapanya. Kali pria itu tak bersuara. Sebagai isyarat agar Faya lah yang memulai pembicaraan.
“Saya ... saya minta maaf atas sifat kasar saya tadi. Tapi bisakah saya mendapatkan izin untuk mendapatkan waktu makan siang lebih lama? Ada hal cukup penting yang harus saya lakukan.”
Senyum Dewa merekah di ujung sana. Suasana hati pria itu makin bertambah baik dengan Faya yang mau memperbaiki sikapnya. Setelah negosiasi kerja sama yang ia ajukan diterima oleh pihak EO. Kali ini permintaan Faya dengan nada sopan membuat pria itu semakin senang.
“Tentu. Saya izinkan, Faya.”
…
Setelah dari rumah mengambil tas yang akan dijual, Faya bergegas menuju salah satu kafe tempat pertemuan dengan calon pembeli. Beruntung kafe tersebut tak jauh dari florist jadi ia bisa menghemat waktu dan biaya untuk menuju lokasi.
Ia tiba lebih dulu dari calon pembelinya. Faya memilih memesan minuman. Ia akan makan setelah transaksi berjalan lancar. Dengan begitu ia bisa merasa lega. Hampir lima belas menit lamanya Faya menunggu, tapi belum ada tanda-tanda calon pembelinya muncul. Bahkan ketika minuman yang dipesannya sudah tandas, orang yang dinanti belum juga tiba. Kesabaran Faya benar-benar diuji. Ia melirik pada arlojinya. Jika sampai sepuluh menit lagi sang calon pembeli tak datang, maka Faya akan pergi.
Belum sampai sepuluh menit, orang yang ditunggu akhirnya tiba. Seorang perempuan muda yang mengenalkan diri sebagai Vera tersebut awalnya begitu terkejut kala bertatap muka dengan Faya. Ia tak menyangka jika orang yang akan menjual tas dengan merk terkenal Chanel tersebut adalah seorang perempuan muda yang menurutnya sangat cantik. Dan ia juga seperti tidak asing dengan wajah Faya. Hanya saja otaknya enggan diajak bekerja sama untuk berpikir di mana ia pernah melihat Faya.
“Boleh saya lihat tasnya?” pinta perempuan tersebut setelah bertukar basa-basi sejenak dengan Faya.
“Silakan,” Faya menyerahkan kantong kain putih yang ia gunakan untuk membungkus tas tersebut.
Vera membuka kantong kain tersebut untuk melihat tas yang ada di dalamnya. Mata perempuan itu tampak berbinar kala melihat tas yang hanya bisa ia lihat gambarnya kini berada di genggaman. Ia mengagumi tas tersebut sebelum akhirnya mengembalikan fokus perhatiannya pada Faya.
“Tapi mengenai harganya, apa nggak bisa dikurangi ya, Mbak. Buat saya harga segitu masih terlalu mahal untuk barang secondhand.”
Dahi Faya berkerut mendengar permintaan dari perempuan tersebut. Bahkan ia sudah memangkas harga hingga lima puluh persen dari harga aslinya. Dan perempuan ini bilang bahwa harga tersebut masih mahal?
“Maaf, tapi saya nggak bisa. Ini barang asli. Saya beli di US. Kalau anda nggak percaya, silakan cek di website official merk ini untuk memastikan harganya.”
Vera merasa terganggu dengan nada bicara Faya yang terkesan arogan. Jika memang Faya mengaku membeli barang tersebut di Amerika, mengapa ia harus menjualnya. Sekali lagi Vera menelisik Faya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apa yang digunakan gadis itu memang terlihat mewah.
Vera memang tertarik dengan tas tersebut. Namun sekali lagi, ia merasa harga yang Faya tawarkan masih terlalu mahal. Ia ingin mencoba peruntungannya saat mengajak Faya bertemu. Sebelum melihat langsung tasnya, tadinya Vera sempat mengira tas tersebut adalah barang counterfeit. Namun setelah memegang langsung, ia yakin tas tersebut memang asli adanya. Hanya saja jika ia bisa mendapatkannya dengan harga yang jauh lebih murah, kenapa tidak mencoba.
“Mbak yakin kalau itu barang asli? Kok saya nggak percaya, ya? Sekarang ini kan banyak banget ya penipuan begini. Menjual barang yang katanya asli tapi ternyata barang KW. Bahkan artis juga banyak kok yang kelihatannya pakai tas branded tapi nyatanya KW-an.” Vera mencoba memainkan triknya. Siapa tahu Faya tipikal orang yang mudah digertak dan akhirnya bersedia menurunkan harga untuknya.
Sayangnya trik Vera tak akan berhasil terhadap Faya. Gadis itu sudah muak berurusan dengan orang-orang seperti Vera. Orang-orang oportunis yang akan memanfaatkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.
“Huh, kalau nggak mampu beli, jangan berlagak punya uang,” desis Faya sembari memasukkan tasnya kembali ke dalam tas kain.
“Apa?” Vera membalas tajam. Tak terima dengan ucapan Faya.
“Kamu, kalau nggak punya uang, jangan sok mau beli barang branded. Cari barang murah di pinggir jalan. Mungkin itu lebih cocok untuk orang yang keuangannya pas-pasan seperti kamu, tapi berlagak mau pamer barang mewah!”
“Heh! Siapa yang nggak punya uang!” balas Vera membentak. Suara gaduh dari meja mereka menjadi pusat perhatian seisi kafe. “Kamu yang harusnya sadar. Jual tas KW kok mau untung gede!”
“Apa? Tas KW? Kalau bicara jangan sembarangan! Tas ini jelas asli. Kamu saja yang miskin. Nggak punya uang kok sok mau beli tas branded saya!” Faya membalas tak kalah keras.
“Kamu pikir saya percaya itu tas asli?” Vera mengelak.
“Terserah! Memang susah berurusan dengan orang miskin tapi sok kaya!”
Faya tak ingin memperpanjang perdebatan. Suasana hatinya sudah buruk sejak diminta menunggu perempuan itu. Ditambah lagi transaksi yang tak berjalan lancar. Membuat hatinya semakin panas saja. Ia langsung pergi meninggalkan kafe setelah menyerahkan uang untuk membayar minumannya di meja kasir. Tak dipedulikannya Vera yang berteriak kesal memanggilnya. Ia sedang tidak minat untuk kembali bertengkar. Cukup pertengkaran dengan Dewa saja yang ia lakukan untuk hari ini.
Dengan hati dongkol, Faya berjalan menuju florist. Udara siang yang terik makin menambah panas suasana. Faya butuh cepat-cepat segera berada di ruangan berpendingin florist untuk mendinginkan kepalanya.
Faya mendesah lega kala udara dingin ruangan florist menyejukkan tubuhnya. Perlahan panas di hati dan kepalanya mulai memudar. Ditambah lagi wangi bunga-bunga yang dulu selalu membuatnya pusing kini justru memberi kesan menenangkan baginya. Karena waktu istirahat belum usai, Faya hanya melihat Ibu Mina, Rino dan Putra yang sedang mengobrol sembari menikmati camilan gorengan. Ketika melihat kehadiran Faya, Ibu Mina dengan ramah menawarkan untuk Faya bergabung yang langsung gadis itu tolak mentah-mentah. Ia memilih beranjak menuju lantai dua untuk bertemu Dewa guna mengembalikan uang yang ia pinjam.
Namun ketika tiba di lantai dua, ia mendengar suara tawa tiga gadis rekan kerjanya. Mereka sedang menikmati makan siang sambil mengobrol. Dari apa yang Faya dengar, gadis-gadis itu tengah membicarakan tentang selebriti idolanya.
“Lihat deh, idolaku Serena baru aja ikut donasi untuk korban banjir. Kenapa sih ada orang kayak Serena ini. Udah cantik, ramah, baik banget lagi. Enggak salah kalau aku idolain dia, perfect kayak malaikat,” ucap Ambika menggebu saat membicarakan idolanya. Kiki dan Nita hanya tertawa saja mendengar ocehan gadis itu.
Ada keterkejutan di wajah Faya kala mendengar ucapan Ambika. Terlebih gadis itu yang memuji sosok Serena sebagai malaikat. Faya yang mengenal Serena yang dimaksud Ambika hanya bisa mengeluarkan tawa mencemooh yang didengar jelas oleh ketiga gadis itu. Mereka langsung mengarahkan tatapan pada Faya yang baru muncul.
“Serena? Malaikat? Hah!” ejek Faya.
Andai Faya tidak tahu seluk beluk dunia sosialita, mungkin Faya tidak akan mencela Serena. Sayangnya Serena berada dalam lingkaran pergaulan yang sama dengannya. Faya tahu jelas bagaimana peliknya dunianya dulu. Dibalik kehidupan glamour nan megah, tersimpan sejuta rahasia. Salah satunya rahasia kehidupan seorang Serena yang Ambika bicarakan.
Mendengar nada cemooh dari ucapan Faya pada idolanya, tentu saja membuat Ambika mengernyit tak suka. Faya boleh saja tidak menganggap remeh orang lain bahkan dirinya. Tapi Ambika tak terima jika idolanya yang baik hati pun pandang rendah oleh Tuan Putri yang sekarang menjadi si miskin yang malang tersebut.
“Maksud Mbak Faya apa ya, bicara begitu?” tanya Ambika menuntut penjelasan.
“Nothing. Saya cuma mau kasih kamu peringatan untuk tidak menyukai sesuatu atau seseorang secara berlebihan. Karena apa yang terlihat baik di luar belum tentu dalamnya putih bersih.”
Ekspresi Ambika makin menunjukkan ketidak sukaan. “Maksud Mbak Faya, Serena itu baik di luar tapi busuk di dalam?”
“Ya!” ucap Faya dengan nada ringan.
“Sayangnya Serena itu memang baik. Jadi Mbak Faya jangan pernah menjelekkan dia. Mbak Faya kan nggak kenal siapa dia.” Ambika mati-matian berusaha membela idolanya.
“Hah? Saya memang nggak mau kenal sama dia. Sayangnya saya cukup tahu sepak terjang idola kamu itu di belakang layar. Karena itu saya kasih kamu peringatan. Sukai sekadarnya. Jangan sampai nanti kamu kecewa saat tahu idola kamu nggak sebaik yang kamu banggakan.”
Ambika benar-benar tak tahan kalimat buruk yang Faya layangkan pada Serena. Gadis itu beranjak dari duduknya untuk menghampiri Faya. Siap berperang demi membela idolanya.
“Mbak jangan fitnah, ya. Hanya karena orang lain punya hidup lebih baik, terus Mbak Faya merasa iri dan bisa menjelek-jelekkan orang lain. Serena itu baik. Beda sama Mbak Faya yang galak. Pantas saja nggak ada yang suka sama Mbak Faya. Karena sikap Mbak yang suka merendahkan orang lain.”
Emosi Faya tersulut saat Ambika dengan ekspresi nyalang berdiri di depannya demi membela Serena.
“Heh, anak kecil! Kamu tahu apa tentang dunia sosialita? Kamu pikir idola kamu itu sesuci malaikat? Sorry to say, Babe, tapi Serena itu nggak lebih dari sugar baby yang doyan main sama laki-laki tua demi uang!” Faya berucap lantang membuat Ambika tertegun.
Tak hanya Ambika, tapi Kiki dan Nita yang tadinya tak ingin tahu pun dibuat terkejut. Ambika yang masih tak terima bersiap akan kembali melakukan pembelaan dengan matanya yang sudah memerah karena menahan kemarahan. Namun Faya lebih dulu kembali melayangkan ucapan pedasnya untuk membuat Ambika tak berkutik.
“Kamu itu nggak pernah tahu bagaimana dunia kelas atas bekerja! Memangnya kamu pikir siapa itu Serena? Selebgram kemarin sore yang entah darimana tiba-tiba melesat bagai roket! Kamu pikir dunia keartisan dan hiburan begitu indah seperti dongeng. Ada banyak permainan kotor dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jadi, anak pinggiran seperti kamu, cukup kagumi tapi jangan puja berlebihan!” sekali lagi Faya mengingatkan. “lagipula apa sih yang bisa dibanggakan dari manusia palsu seperti dia!”
“Jangan pernah jelek-jelekin Serena! Dia bukan Mbak Faya yang nggak terima kenyataan karena jatuh miskin!” Ambika berteriak nyalang membuat Faya makin ikut terpancing.
“Oh, ya? Sayangnya idola kamu itu nggak lebih dari wanita murahan yang rela hinggap dari pangkuan satu pria ke pria lain demi uang!”
“Mbak Faya!”
Baru saja Ambika akan merangsek untuk memberi Faya pukulan setelah tubuhnya di tahan oleh Kiki dan Nita yang bergerak cepat. Sedetik saja mereka terlambat, entah apa yang akan terjadi. Karena Faya jelas tidak akan membiarkan satu orang pun melayangkan tangan padanya. Jika Ambika berani menampar atau memukulnya, maka Faya akan membalas tak kalah keras untuk gadis muda itu.
Keributan antara keduanya membuat Dewa yang sedang bekerja di ruangannya seketika bergegas menghampiri. Begitu juga Ibu Mina, Rino dan Putra yang langsung berlari menuju lantai dua. Mereka tertegun kala menyaksikan Faya yang bersedekap dengan mata menyalang menatap Ambika yang kini sudah bersimbah air mata.
“Ada apa ini?” tanya Dewa.
Semua mata kini menatap ke arah Dewa. Kiki dan Nita saling pandang satu sama lain. Namun keduanya tidak ada yang berani menjelaskan duduk perkara pada Dewa. Mereka memilih untuk berusaha menenangkan Ambika yang kini hanya terisak setelah tangisnya reda.
Dewa menatap bergantian antara Ambika yang menatapnya dengan mata memerah. Dan Faya yang tak mengubah sedikit pun ekspresi dinginnya. Kepala Dewa seketika berdenyut memikirkan kemungkinan pertengkaran antara kedua pegawainya tersebut.
…
Note : harus di cut karena kepanjangan. selamat membaca dan selamat istirahat.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 04/02/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top