Babak 8 - Sunflower Man
“Kenapa kerjaanku dikasih ke anak baru, Mas?” rengek Ambika pada Dewa.
Saat tiba siang tadi, Ambika mendapati bagian kasir sudah diisi oleh wajah pegawai baru. Meski bukan baru kali ini Ambika bertemu Faya. Hanya status Faya memang pegawai yang baru bekerja di florist mereka.
Ambika sempat ingin meminta kembali tempatnnya pada Faya. Namun langkahnya terhenti ketika perempuan cantik dengan wajah dingin itu menatapnya dengan tajam. Membuat kuduk Ambika bergidik ngeri. Tak berani melangkah maju, gadis itu memilih mundur dan berkeluh kesah pada Nita dan Kiki. Yang pada akhirnya gadis itu lampiaskan perasaan gundahnya pada Dewa.
Dewa hanya bisa mengulas senyum dengan rengekan gadis manis itu. Hampir satu tahun bekerja, sedikit banyak Dewa mengerti karakteristik Ambika. Selain memang masih muda, Ambika kadang memang tak ragu menunjukkan sikap manjanya pada semua orang yang semuanya lebih tua darinya. Ambika sudah seperti adik bungsu bagi Dewa dan pegawai lainnya.
“Mas kasih posisi kamu ke Faya karena memang tidak ada posisi yang lebih baik dari itu untuk gadis yang temperamennya agak buruk seperti dia. Di balik meja kasir memang paling aman untuk Faya, semua orang dan florist kita.”
Ambik mencebikkan bibir tipisnya. “Bukan karena Mas pilih kasih, kan? Mas suka ya sama dia?”
Dewa lagi-lagi hanya bisa mengulas senyum. “Mas suka sama semua orang. Dan Mas lebih suka kalau bisa menjalin hubungan baik dengan semuanya. Tapi untuk masalah ini, Mas nggak pilih kasih, kok. Semua sudah dipikirkan secara matang. Kamu pasti tahu kan bagaimana sikap Faya?”
Ambika mengangguk. “Iya. Galak, Mas. Seram!”
Dewa tertawa mendengar penjabaran Ambika. “Ada alasan dibalik sikap dan sifat setiap manusia. Kamu tahu, siapa Faya itu?”
Kali ini Ambika menjawab dengan gelengan. “Enggak.”
“Coba kamu ketik Faya Cassandra di aplikasi pencarian ponsel kamu?”
Gadis itu langsung mengerjakan apa yang diperintahkan Dewa. Begitu laman terbuka, mata Ambika membelalak kaget. Tak menyangka jika ada cukup banyak berita yang menampilkan tentang gadis bernama Faya tersebut. Ambika membuka satu laman dan membaca isinya. Ekspresi wajah gadis itu berubah-ubah seiring kalimat-kalimat yang ia baca di layar ponselnya.
“Ck,” decaknya sembari menggelengkan kepala. “enggak nyangka ya, Mas. Ternyata Faya itu tadinya anak orang kaya. Pantas saja sikapnya ampun-ampunan kayak Tuan Putri.”
“Dari apa yang kamu baca, sekarang kamu bisa mulai sedikit bersimpati untuknya, kan?” ujar Dewa.
Ambika mengangguk kemudian menggeleng, “Bisa sih kalau ekspresi dinginnya diturunin derajatnya sedikit aja. Enggak ada yang berani dekat-dekat sama dia kalau sikapnya begitu terus, Mas.”
“Karena itu Mas minta kerja sama kalian semua. Coba untuk pelan-pelan berteman dengannya. Seburuk apa pun sikap Faya, Mas yakin dia pasti akan tahu kalau kita di sini bersedia menjadi temannya. Bersedia memandang Faya seperti manusia lainnya tanpa berusaha mengasihani.”
Ambika menatap Dewa dengan wajah tersipu. Tak salah jika siapa pun bisa jatuh hati pada pria itu. Dewa begitu baik dan sangat bisa diandalkan. Terlebih hati pria itu yang begitu lembut pada setiap orang. Sayangnya pria itu seperti menolak peka terhadap perasaan yang yang ditunjukkan para wanita padanya. Baik secara terang-terangan atau secara tersembunyi.
“Jadi, kita sudah sepakat ya kalau kamu bertukar tempat dengan Faya?” Dewa memastikan sekali lagi.
“Iya, deh. Tapi Mas, gimana bisa perempuan dari kasta langit kayak dia terdampar di florist kita yang sederhana ini?”
Dewa tertawa mendengar pemilihan kata Ambika. Mau tidak mau ia menjelaskan sedikit tentang pertemuan dirinya dan Faya. Tentang gadis itu yang mengalami kemalangan yang membuat Dewa tak sampai hati jika tak menolongnya.
“Mas Dewa baik banget, sih. Jadi makin suka kan akunya,” aku Ambika dengan wajah tersipu.
“Kamu ini, sana kembali bekerja.” Dewa hanya bisa menggeleng kecil melihat kelakuan pegawainya.
Bukan pertama kali Ambika secara terang-terangan menggodanya. Namun Dewa tak pernah menganggap serius candaan yang dilontarkan gadis itu. Meski ia tahu jika Ambika dan dua pegawai lainnya sering memandangi dan mengagumi Dewa. Namun bagi Dewa mereka semua seperti adik kecil yang harus ia jaga selama mereka bekerja. Tidak ada perasaan romantis yang timbul di hati Dewa terhadap kekaguman para gadis tersebut.
Bukan Dewa tak pernah merasakan jatuh cinta. Hanya saja sejak merintis usaha florist bersama sang ibunda, Dewa mengesampingkan segala hal tentang romansa. Niat utama dulu hanya agar ia bisa memberikan kehidupan yang nyaman tanpa kekurangan bagi ibunya. Setelah Dewa merasa tujuan utamanya tercapai, maka Dewa akan memikirkan tentang mencari pasangan. Sayangnya takdir Tuhan berkata lain. Meski ia sudah berhasil memberikan kehidupan yang diimpikannya untuk sang ibu. Namun Tuhan begitu cepat memanggil ibunya. Hingga pikiran Dewa tentang pasangan sejenak teralihkan oleh rasa kehilangan.
Hanya saja semakin sering mendengar tentang pasangan dan kalimat pujian dari para perempuan yang berada di sekelilingnya membuat Dewa kembali memikirkan tentang hal tersebut. Mungkin memang sudah waktunya Dewa menentukan tujuan hidup selanjutnya yaitu pernikahan.
…
Sudah lebih dari seminggu Faya menjalani pekerjaannya. Menjadi pemegang kendali mesin kasir memang bukan pekerjaan yang cukup sulit. Karena Faya hanya menerima pembayaran saja dari para pelanggan florist. Selebihnya gadis itu lebih banyak duduk santai sembari memainkan ponsel di balik meja kasir.
Hubungan sosialnya dengan para pegawai lain pun tak mengalami kemajuan alias jalan di tempat. Semua memang karena Faya yang membentengi dirinya hingga membuat rekan kerja lainnya tak berani mendekati. Hanya Dewa, satu-satunya di tempat itu yang menjadi teman bicara Faya. Itu pun karena memang Faya masih membutuhkan Dewa secara finansial.
Namun mungkin tugas Dewa sebagai mesin ATM Faya akan segera berakhir. Pasalnya Martin sudah mendapatkan kembali kartu ATM dan kartu identitas Faya lainnya. Bukan karena sang pencuri sudah tertangkap. Namun karena Martin sudah mengurus kembali penggantian kartu-kartu tersebut.
“Ini kartu ATM, KTP dan SIM milik Nona Faya. Hanya saja pencuri tas masih dalam pencarian pihak kepolisian.” Martin menyerahkan apa yang Faya perlukan pada gadis itu ketika mereka bertemu saat waktu makan siang.
Faya yang menikmati sajian pasta hanya melirik sekilas pada kartu-kartu yang Martin berikan di atas meja. Ia lebih ingin menikmati hidangan yang tersaji karena merasa sudah lama lidahnya tak merasakan kenikmatan makanan di salah satu restoran favoritnya. Perihal tasnya yang belum ditemukan, Faya sudah merelakannya. Anggap saja ia memberikannya untuk pencuri miskin tersebut. Entah pencuri itu tahu jika tas mahal yang dicurinya dari Faya adalah barang asli.
“Saat ini, Nona Faya tinggal di mana?”
Faya menyebutkan alamat tempat tinggalnya saat ini. Tak lupa ia menyebutkan tempat di mana dirinya bekerja. Mendengar mantan nona besar tersebut menyebutkan tentang pekerjaan, rasa terkejut tak bisa Martin sembunyikan.
Ia yang mengenal Faya sejak gadis itu bahkan masih dalam kandungan benar-benar tak menyangka. Gadis yang tak pernah sekali pun menggerakkan tangannya untuk sekadar mencuci buah saja, akhirnya menyebutkan tentang bekerja. Meski sulit dipercaya, tapi Martin bersyukur. Mungkin perlahan Faya mulai bisa berubah dan menata hidupnya dengan lebih baik.
“Jangan lupa besok bawakan koper saya ke sini,.” Faya mengingatkan Martin ketika pengacara tersebut mengantarkannya kembali ke florist.
“Baik. Kalau butuh sesuatu, Nona Faya jangan ragu untuk menghungi saya.”
“Terima kasih.”
Faya kemudian beranjak memasuki florist. Meninggalkan Martin yang terpaku setelah mendengar kalimat terakhir yang Faya ucapkan. Pria itu merasa takjub karena ini pertama kalinya Faya mengucapkan kalimat terima kasih padanya. Mungkin perubahan drastis dalam hidupnya perlahan juga merubah sikap gadis itu. Dari yang tadinya arogan dan memandang remeh orang lain. Faya perlahan menjadi seorang yang lebih rendah hati dan menghargai orang lain.
Tak hanya Martin yang takjub. Faya sendiri tak menyangka dirinya mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang dulu begitu tabu baginya. Namun sejak kejatuhannya, Faya mengingat sudah beberapa kali ia mengucapkan kata itu. Ketika berpisah dengan para pelayannya. Ketika berpisah dari Martha. Kemudian terhadap Dewa dan kali ini dengan sang pengacara. Jika dulu ia beranggapan jika mengucapkan kalimat itu pada orang lain akan menjatuhkan harga dirinya. Namun sekarang Faya sedikit menyadari justru anggapannya tersebut salah. Kalimat itu tak menjatuhkan harga dirinya, tapi justru memberikan sedikit penghargaan atas sekecil apa pun hal yang sudah dilakukan.
Memasuki florist, Faya melihat para pegawai yang lain sudah kembali bekerja seperti biasa. Dahinya mengernyit saat melihat Ambika sudah berdiri di balik meja kerjanya. Faya melirik pada arloji di pergelangannya. Ternyata dirinya terlambat hampir dua puluh menit dari waktu makan siang. Itu sebabnya Ambika menggantikan posnya. Faya kemudian bergegas menuju meja kerjanya yang langsung disadari Ambika dengan gadis itu yang langsung bergegas meninggalkan meja kasir. Gadis itu masih memiliki ketakutan tersendiri berhadapan dengan Faya. Tak hanya Ambika, tapi hampir semua pegawai. Kecuali bos mereka, Dewa.
“Kamu sudah kembali?” tanya Dewa yang baru saja turun dari lantai atas ruang kerjanya.
“Um. Martin sudah mendapatkan ATM pengganti dan kartu identitas baru untuk saya.”
“Good for you,” balas Dewa ikut merasa lega. “Hari ini semua jangan pulang dulu, ya. Ada sedikit hadiah untuk kalian.”
Ucapan Dewa langsung disambut gembira oleh para pegawainya kecuali Faya. Mungkin karena gadis itu pegawai baru hingga ia belum mengetahui beberapa kebiasaan di tempat itu. Seperti Dewa yang sering membagikan bonus jika keuntungan dari usaha mereka meningkat.
“Mas Dewa …” Mina, salah satu pegawai memanggil Dewa sebelum pria itu meninggalkan florist.
“Ada apa, Bu Mina?”
“Besok saya boleh izin, Mas?”
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu sama Alif?” tanya Dewa tiba-tiba saja merasa khawatir. Pasalnya Mina adalah seorang ibu tunggal. Pria itu takut terjadi sesuatu pada putranya.
Ibu Mina menggeleng. “Bukan, Mas. Tapi besok sekolahnya Alif ada acara. Dan orang tua diminta hadir.”
“Oh, saya kira ada masalah apa. Kalau begitu Ibu boleh ambil cuti untuk besok.”
“Terima kasih, Mas Dewa.”
Dewa kemudian berpamitan pada semua orang. Sementara Ibu Mina kembali melanjutkan pekerjaannya. Tanpa siapa pun menyadari jika sejak tadi mata Faya tak beranjak menatap Dewa. Berbagai kecamuk sedang bercokol di pikirannya.
Faya tahu jika Dewa adalah pria yang baik. Tapi ia tidak menyangka jika pria itu begitu perhatian pada semua orang. Bagaimana raut cemas Dewa tadi dapat dilihat oleh Faya saat pria itu bertanya tentang putra karyawannya.
Dalam lingkup pergaulannya Faya belum pernah bertemu dengan orang yang begitu tulus membantu orang lain. Selain Kakek dan mungkin Martin bisa masuk dalam kategori orang yang tulus. Namun Dewa menunjukkan pada Faya apa banyak hal yang tak pernah gadis itu lihat. Tentang bagaimana membantu orang lain tanpa pamrih.
Faya yang dulu dikelilingi oleh orang-orang yang selalu memasang topeng. Mereka semua palsu. Semua hanya ingin menunjukkan gambaran baik tentang dirinya di hadapan orang lain. Dan menyembunyikan keburukan mereka. Hal tersebut tentu bukan sesuatu yang salah. Karena memang semua orang pun akan menunjukkan dirinya yang terbaik di depan semua orang. Hanya saja orang-orang di lingkaran sosialnya terlalu palsu hingga membuat Faya muak karena kadang harus mengimbangi sandiwara mereka.
Sangat berbeda dengan Dewa. Meski mereka baru saling mengenal, Faya bisa merasakan kehangatan sikap Dewa terhadap semua orang. Pria itu seperti matahari. Dan tanpa bisa dicegah, netra Faya beralih pada tumpukan bunga-bunga di dalam ruangan. Tatapannya terhenti pada sekumpulan bunga matahari.
“Sunflower … sunflower man?” gumam Faya sembari kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas.
Entah untuk berapa lama senyum yang tampak begitu tulus itu bertahan. Yang Faya tak sadari jika beberapa pasang mata tengah menatap padanya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berpikir jika gadis itu terlihat lebih menawan dengan senyuman di wajah. Dibandingkan harus memasang wajah dingin yang biasa ia tunjukkan.
…
Note : masih ada yang nungguin? Terima kasih. Maaf update lama. Melihat beberapa penulis lain yang ikutan event ini bahkan sudah di garis finish, rasanya tuh, uh, pengin nangis di pojokan. Salut banget sama mereka yang sudah selesai dan yang ceritanya sudah sampai pertengahan. Ayo, Ria, Semangat! You can do it!!!
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 01/02/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top