Babak 7 - Mulai Bekerja

Dering alarm membangunkan Faya yang terlelap sejak kemarin sore. Dengan gerakan malas gadis itu meraih ponsel yang ia letakkan saja di atas ranjang. Melihat waktu yang tertera di layar, sejenak Faya terpaku. Angka tersebut menunjukkan waktu pukul delapan lewat tiga puluh menit. Gadis itu cukup takjub saat mengingat dirinya tertidur begitu lama. Bahkan ia melewatkan waktu makan malam.

Faya langsung menegakkan tubuhnya. Hal pertama yang ditangkap netranya adalah sebuah ruangan asing. Kemudian Faya ingat ruangan tersebut adalah kamarnya yang baru. Kilasan kejadian kemarin menjadi potongan-potongan kecil yang tersusun rapi dalam pikirannya. Sampai ia mengingat bahwa hari ini ia berjanji pada Dewa bahwa dirinya akan mulai bekerja di florist milik pria itu.

Terlebih dahulu Faya membersihkan dirinya. Namun Faya baru ingat jika ia belum memiliki perlengkapan seperti sabun mandi dan sampo. Terpaksa gadis itu hanya mencuci wajah dan menyikat giginya. Masalah bau badan bisa ia atasi dengan menyemprotkan parfum ke tubuhnya.

Tidak ada bahan makanan apa pun yang bisa Faya jadikan sebagai menu sarapan. Faya hanya bisa menghela napas panjang. Pun untuk sekadar membeli roti dan minuman ia tak memiliki uang pegangan sepeser pun. Mungkin nanti ia bisa minta Dewa membelikannya sarapan saat tiba di florist.

Beruntung Faya tidak buta arah. Ia mengingat dengan jelas jalan dari rumahnya menuju florist Dewa. Tak sampai dua puluh menit kemudian, ia tiba di florist. Tempat itu masih tampak sepi karena para pelanggan belum muncul. Hanya beberapa pegawai yang Faya ingat melayaninya kemarin yang terlihat sedang merapikan bunga-bunga. Ketika bel di pintu berbunyi, Kiki dan Nita bersamaan menyambut pelanggan pertama mereka.

“Selamat pagi, selamat datang di Sunny Florist!” ucap keduanya beriringan.

Namun wajah mereka berubah menjadi raut terkejut kala melihat Faya lah yang baru saja masuk. Keduanya bertatapan sekilas sebelum mengembalikan pandangan pada Faya yang masih berdiri di ambang pintu.

“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” tanya Nita hati-hati. Takut gadis cantik di depan mereka tiba-tiba meledak seperti kemarin.

“Di mana Dewa?”

“Ya?” ujar Nita bingung dengan apa yang Faya tanyakan.

“Di mana Dewa, pemilik florist ini?” Faya mengulangi.

“Ah, Mas Dewa belum datang. Kalau Mbak ada keperluan dengan Mas Dewa, boleh menunggu di ruang sebelah.”

Baru saja Nita akan mengantarkan Faya menuju ruang tunggu, pintu florist kembali berbunyi. Pria yang sedang mereka bicarakan ternyata telah datang. Dewa cukup terkejut melihat Faya yang ternyata menepati janjinya untuk datang bekerja. Namun ketika pria itu melihat alas kaki yang digunakan gadis itu, dahi Dewa langsung mengernyit dalam.

“Kaki kamu bukannya masih sakit?” tanya Dewa kemudian. Membuat ketiga gadis yang ada di sana saling terperanjat. Terutama Faya yang tak menyangka jika hal pertama yang Dewa tanyakan padanya pertama kali justru tentang kakinya yang terluka.

“Masih sakit ta …”

“Lantas kenapa pakai heels?” cecar Dewa kemudian.

Perhatian yang Dewa tunjukkan pada Faya membuat dua gadis pegawainya hampir menganga lebar. Perasaan keduanya makin tak karuan. Bisa gila mereka jika sampai Dewa menjalin hubungan dengan gadis seperti Faya. Meski begitu memang bukan hak mereka untuk mengatur dengan siapa Dewa akan berhubungan. Hanya saja entah akan seperti apa suasana florist yang damai jika gadis itu dimasukkan ke dalam tempat nyaman tersebut.

“Karena saya suka. Sudah interogasinya? Sekarang bisa kita bicara empat mata?” Faya membalas dengan nada jengkel. Ia jadi tahu ternyata pria itu bisa bersikap cerewet juga.

Dewa menuruti permintaan Faya. Setelah menginstruksikan pada Nita dan Kiki untuk mengatur beberapa hal, ia mengajak Faya ke ruang kerjanya yang berada di lantai dua forist. Mata Faya tak lepas memerhatikan sekelilingnya. Suasana lantai bawah dan atas begitu berbeda. Namun keduanya memberikan kesan yang sama. Nyaman.

“Silakan duduk. Saya akan jelaskan apa yang akan menjadi tugas kamu di sini.” Dewa membuat gestur dengan tangannya mempersilakan Faya duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya.

Tanpa ragu Faya langsung mengambil posisi nyaman di sofa dengan kaki yang disilang seperti kebiasaannya. Dengan kedua tangan yang disedekapkan di depan dada. Berapa kali pun melihat sikap gadis itu, tetap belum membuat Dewa terbiasa dengan keangkuhan yang kadang Faya tunjukkan.

“Tapi sebelum itu, saya bisa minta tolong lagi, kan? Saya belum sarapan.”

Dewa sangat maklum dengan permintaan gadis itu. Mengingat Faya tak memiliki uang satu sen pun. Dewa juga lupa membekali gadis itu kemarin sebelum berpamitan. Karena itu ia segera menghubungi Rudi, salah satu pegawainya yang belum tiba untuk membelikan sarapan untuk Faya.

“Bubur ayam, tidak masalah, kan?”

Faya mengangguk. “Tapi pastikan dibeli di tempat yang higienis.”

“Baik, Princess.”

Dewa mengucapkannya dengan nada bercanda. Namun entah kenapa kalimat itu seperti ejekan di telingan Faya. Ia ingin marah dan mengonfrontasi Dewa. Namun ketika dilihatnya wajah ramah Dewa yang mengumbar senyum padanya, Faya mengurungkan niatnya untuk mengajak pria itu ribut. Lagi pula hari masih pagi. Perutnya belum diisi sejak kemarin malam. Ia belum punya tenaga lebih untuk memulai pertengkaran dengan pria yang sudah berbaik hati membantunya.

Setelah mengisi perutnya, Dewa mengajak Faya untuk diperkenalkan dengan para pegawai lainnya. Awalnya mereka sempat bingung melihat wajah baru Faya. Hanya Kiki dan Nita yang sudah tidak asing lagi dengan gadis itu. Ditambah Ambika yang belum datang bekerja karena gadis itu pegawai paruh waktu yang masih harus kuliah.

“Ini Faya, pegawai baru yang akan bekerja bersama kita mulai hari ini. Faya mungkin tidak tahu apa pun tentang pekerjaan ini. Tapi saya harap kita bisa membantunya dan saling bekerja sama dengan baik. Acara perkenalannya nanti saja setelah selesai bekerja, saya akan traktir kalian semua. Untuk saat ini, tolong bantu Faya, ya.”

Ucapan perkenalan dari Dewa atas Faya membuat para pegawainya makin terperangah. Terutama Kiki dan Nita yang tak menyangka jika si gadis sombong itu bukanlah kekasih Dewa. Melainkan rekan kerja baru mereka. Keduanya saling tatap sambil mengisyaratkan dengan mata akan keberatan mereka. Bukan karena mereka tidak ingin membantu Dewa. Hanya saja sikap Faya yang arogan membuat mereka agak takut untuk bekerja sama dengan gadis itu.

“Dan untuk kamu, Faya, saya akan perkenalkan teman-teman kerja baru kamu. Ada Rino dan Putra yang biasa bertugas mengantarkan layanan pesan antar. Kiki, Sari, Nita dan Ibu Mina yang bertugas melayani pesanan pelanggan. Ada Ambika, part timer yang biasanya memegang bagian kasir.”

Dewa mulai memperkenalkan masing-masing pegawai pada Faya. Gadis itu tak memberi respon apa pun meski setiap orang yang diperkenalkan mengangguk seraya memberi senyum ramah padanya. Mendapati respon dari sang pegawai baru membuat yang lain merasa canggung. Sikap dingin Faya seolah memberi isyarat ada dinding tinggi yang gadis itu bangun. Membuat siapa pun sadar dan undur diri untuk tak dekat-dekat dengannya.

Bukan berarti Dewa tak bisa merasakan atmosfir yang tak nyaman di sekelilingnya. Namun ia belum bisa mengambil tindakan. Baik Faya dan para pegawainya masih butuh waktu untuk beradaptasi dan saling menerima. Hanya saja jika suasana makin keruh atau menyebabkan satu masalah, maka Dewa akan segera mengambil tindakan. Baginya kenyamanan para pegawai adalah yang utama sehingga pekerjaan mereka dapat berlangsung dengan efektif.

“Saya tahu kalian semua butuh waktu untuk saling mengenal dan memahami rekan kerja satu sama lain. Tapi saya berharap kita bisa bekerja dengan suasana kekeluargaan dan kenyamanan. Untuk sekarang, silakan kembali pada tugas masing-masing. Dan untuk Faya, hari ini saya akan mengajarkan kamu hal-hal dasar apa saja yang bisa kamu lakukan sebagai pegawai baru.”

Setelah mendapatkan instruksi dari Dewa, para pegawai kembali pada pekerjaan mereka. Sedang Dewa mulai memberi sedikit penjelasan bagi Faya apa saja yang bisa gadis itu lakukan. Seperti membantu merangkai buket sederhana dari satu atau dua jenis bunga sesuai permintaan pelanggan. Atau juga merawat beberapa bunga agar memiliki kesegaran yang lebih tahan lama.

Semua ajaran sederhana yang diberikan Dewa cukup mudah dimengerti oleh Faya. Hanya saja ia masih tetap merasa tak akan bisa melakukan pekerjaan tersebut. Terlebih yang berkaitan dengan proses merangkai bunga. Sejak dulu Faya memiliki tangan yang tak terampil. Gadis itu lebih bisa menghancurkan sesuatu daripada merawatnya. Karena itu ia meminta pada Dewa agar ditugaskan dibagian kasir saja menggantikan Ambika. Atau dibagian pengantaran seperti yang dilakukan oleh pegawai pria.

“Kamu bisa mengendarai sepeda motor?” tanya Dewa saat Faya mengajukan permintaannya sebagai kurir pengantar bunga.

“Tidak.”

“Lalu kamu mau mengantar pesanan dengan apa?”

“Kamu punya mobil, kan?”

“Ya, mobil pick-up milik florist. Tapi kamu yakin?” sekali lagi Dewa bertanya.

Mendengar Dewa menyebut mobil pick-up, membuat dahi Faya mengernyit. “Kenapa harus pick-up? Kenapa bukan Pajero Sport milik kamu?”

Dewa tertawa mendengar ucapan gadis itu. Sungguh tak pernah ia duga jika Faya berani bertaruh dengan kebaikan hatinya. Ia memaklumi jika Faya mungkin masih memiliki egonya sebagai nona besar. Tapi gadis itu juga harus mulai membuka mata bahwa kehidupannya tak lagi sama seperti sebelumnya.

“Sayangnya saya tidak bisa merelakan mobil pribadi saya untuk mengantar pesanan florist jika bukan hal mendesak. Karena saya juga butuh itu untuk mobilitas saya. Pekerjaan saya tidak hanya sebatas urusan florist. Saya juga punya pekerjaan sampingan di bidang lainnya.”

Ah, pantas bau uang menguar dari pria ini, pikir Faya.

“Atau kamu bisa belajar menggunakan sepeda motor. Nanti saya bisa minta Putra atau Rino …”

“Tidak, terima kasih!” tolak Faya langsung. Gadis itu kemudian beranjak menuju meja kasir. “tempatkan saja saya di sini.”

Faya meletakkan kedua tangannya di atas meja kasir. Seolah mengklaim bahwa mulai saat ini, meja tersebut akan menjadi wilayah kekuasaannya.

“Lalu Ambika?”

Dewa tidak bertanya tentang apa yang akan Ambika lakukan jika pekerjaan diambil alih oleh Faya. Karena Dewa tahu gadis itu sangat cekatan dan mudah belajar. Jadi jika Dewa memindahkan tugaskan Ambika di bagian perangkai buket untuk pelayanan pun, pria itu tak khawatir. Ia bertanya hanya karena penasaran bagaimana Faya akan menjawab. Dengan sikap gadis itu yang blak-blakan dan tak terduga, Dewa yakin akan menemukan kejutan dari setiap tindakan Faya.

“Terserah. Letakkan dia di posisi mana pun. Kamu tadi bilang gadis itu hanya pekerja paruh waktu. Jadi tugas apa pun pasti bisa dikerjakannya. Lagipula dia juga sudah cukup lama bekerja kan? Dibandingkan dengan saya yang nggak punya kemampuan apa pun, terlebih berinteraksi dengan orang lain. Bukankah ini solusi yang lebih baik? Apa kamu mau saya bertengkar dengan pelanggan karena sikap tidak sabar saya?”

“Masuk akal,” balas Dewa.

Pada akhirnya ia mengizinkan Faya mengambil alih tugas Ambika. Untuk selanjutnya gadis itu akan ia tempatkan di posisi seperti Nita, Kiki dan Ibu Mina, melayani pelanggan dan merawat bunga-bunga. Mungkin Ambika akan sedikit keberatan dengan perubaha tugasnya. Namun Dewa yakin gadis itu akan mengerti jika Dewa menjelaskan dengan baik. Terlebih ia tahu hampir semua perangai pegawainya. Mereka begitu patuh dan mudah diajak bekerja sama. Hanya Faya saja yang mungkin harus lebih ia biasakan dengan ritme kerja dan suasana di tempat itu.

Setelah menyerahkan tanggung jawab kasir pada Faya, Dewa bergegas menemui pegawai lainnya untuk menyapa dan bertanya pada mereka seputar pekerjaan. Namun langkahnya terhenti saat Dewa mendengar pintu florist kembali terbuka. Seorang wanita tua yang merupakan salah satu pelanggan setia Dewa sejak awal florist ini berdiri berjalan masuk. Senyum senang langsung terpancar di wajah Dewa. Ia segera menghampiri perempuan sepuh tersebut.

“Apa kabar, Oma Ranti?” sapa Dewa seraya menyalami perempuan yang ia panggil Oma Ranti tersebut.

Oma Ranti tersenyum mendapat sambutan hangat dari Dewa. “Kabar Oma sangat baik, Dewa. Bagaimana kabar kamu dan florist?”

“Sangat baik dan selalu dilancarkan.”

Mereka bertukar cerita sejenak sebelum Dewa menggandeng Oma menuju meja kerja yang biasa Dewa gunakan untuk merangkai buket pelanggan. Ia sudah sangat tahu sejak sang suami masih hidup, Oma Ranti dan suaminya selalu memesan buket bunga yang sama. Sembilan tangkai mawar merah yang melambangkan cinta abadi. Seperti itulah cinta bagi keduanya. Bahkan ketika maut memisahkan keduanya. Cinta mereka akan tetap bertahan hingga keduanya kelak dipertemukan kembali di alam baka.

Sebelum mengerjakan tugasnya, Dewa memanggil Faya. Mengisyaratkan gadis itu dengan tangannya agar mendekat pada Faya. Faya jelas menunjukkan kejengkelannya karena panggilan tiba-tiba tersebut. Namun begitu ia juga tak menolak perintah dari bosnya tersebut.

“Ini Oma Ranti. Pelanggan awal dan paling setia di florist kita. Hari ini kamu akan belajar merangkai buket pesanan Oma. Agar nanti ketika saya tidak berada di sini, kamu bisa membantu mengerjakan pesanan Oma,” jelas Dewa padanya.

Faya tak menanggapi. Ia hanya menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk salam pada Oma Ranti yang baru diperkenalkan padanya. Oma Ranti tersenyum ramah padanya. Meski dari sikapnya yang begitu dingin terhadap pelanggan. Namun Oma Ranti yakin ada alasan dibalik sikap Faya. Terlebih dengan begitu hangat Dewa memperlakukan gadis itu. Entah mengapa Oma Ranti merasa ada kecocokan antara dua anak manusia tersebut. Yang satu begitu hangat seperti sinar matahari. Sedang satu begitu dingin bagai embusan angin kutub. Tapi dari dua kutub berseberangan tersebut mungkin saja terjalin hubungan yang tak terelakkan.

“Kenapa harus sembilan tangkai?” tanya Faya ketika tangan terampil Dewa mulai bekerja.

“Eum? Karena sembilan tangkai mawar melambangkan cinta abadi. Ini bentuk cinta Oma untuk almarhum suaminya,” jelas Dewa sambil terus bekerja dengan begitu telaten. Membuat buket tersebut seindah mungkin. “Oh iya, meski kamu akan lebih banyak berurusan dengan kasir, tapi saya mau kamu juga mempelajari sedikit tentang bunga-bunga dan bahasanya. Paling tidak itu akan membantu para pelanggan kita yang kebingungan mengekspresikan perasaannya. Seperti sebuah ungkapan, say it with flowers. Bagi banyak orang, kata-kata mungkin akan sulit. Dan bunga bisa membantu menyampaikan perasaanmu pada orang yang ingin disampaikan.”

Faya tidak begitu peduli dan ingin mengerti. Namun ia tidak mengutarakannya dengan jelas. Ia hanya menggumam sebagai jawaban atas permintaan Dewa.

Setelah selesai merangkaikan buket pesanan Oma Ranti, Dewa langsung menyerahkannya pada wanita tersebut. Sang Oma menerima dengan senyuman bahagia. Pancaran matanya menunjukkan betapa ia tak sabar untuk segera menemui sang suami di pembaringan yang kini menjadi rumah abadinya.

“Terima kasih, Dewa,” ucap Oma Ranti setelah menyelesaikan pembayaran.

“Kembali kasih, Oma. Apa Oma akan pergi dengan taksi atau ada yang mengantar? Kalau nggak ada, biar Dewa antarkan ke makam,” tawar Dewa yang langsung ditolak Oma Ranti.

“Tidak perlu. Cucu Oma sudah menunggu di depan,” Oma Ranti menunjuk sebuah sedan yang sudah terparkir di depan florist.

Oma Ranti kemudian berpamitan pada Dewa dan Faya yang sejak tadi hanya berdiri diam di sisi Dewa sambil memerhatikan interkasi keduanya. Ia sekali lagi melemparkan senyum pada gadis muda tersebut yang dibalas dengan senyuman kaku dari Faya.

“Kamu lihat, kadang bunga bisa menjadi jembatan perasaan bagi orang-orang. Contohnya seperti Oma Ranti. Yang selalu percaya akan cintanya pada sang suami. Oma hanya tinggal menunggu mereka bertemu kembali di keabadian,” ucap Dewa panjang lebar. Matanya mengikuti kendaraan yang melaju membawa Oma Ranti meninggalkan florist.

Faya menoleh dengan wajah tanpa ekspresi menatap Dewa. Ia hanya merasa heran untuk apa pria itu mengoceh tentang makna dan bahasa bunga padanya. Bukankah Dewa tahu se-skeptis apa Faya dalam memandang hidupnya saat ini.

“Kalau gitu, apa ada bunga yang bisa menggambarkan perasaan saya saat ini?”

Dewa membalas tatapan Faya dengan sama seriusnya. Kemudian pria itu beranjak menuju pot bunga-bunga demi mencari sebuah bunga. Setelah menemukannya, ia mengambil bunga tersebut dan menyerahkannya pada Faya.

“Bunga apa ini? Tidak menarik sama sekali,” cecar Faya langsung begitu mendapatkan setangkai bunga dari Dewa.

Butterfly weed. Saya bunga ini yang melambangkan perasaan kamu saat ini.”

“Apa artinya?”

“Silakan cari tahu sendiri,” ujar Dewa sembari menepuk pelan pundak Faya. “semoga kamu segera mengganti bunga lainnya untuk menggambarkan perasaan kamu.”

Dewa lantas meninggalkan Faya yang masih mematung seraya memandangi bunga butterfly weed di tangannya. Entah mengapa ia penasaran. Tapi ia juga merasa takut untuk mengetahui makna bunga tersebut jika ia mencari tahu. Bagaimana jika makna tersebut seperti kutukan yang akan menghantui kehidupannya. Seperti bunga red spider lily atau krisan putih yang selalu dikaitkan dengan kematian.

Namun Dewa tak mungkin setega itu untuk memilihkan bunga yang memiliki makna buruk baginya. Terlebih ketika pria itu mengucapkan kalimat terakhirnya. Kehidupan Faya memang sudah buruk, tapi tidak berarti itu akan terus berlangsung selamanya. Memberanikan diri, Faya pun membuka pencarian di ponselnya. Ia mengetik apa yang ingin ia ketahui. Berbagai macam website pencarian langsung muncul di layarnya. Ia segera membuka salah satu dan membaca informasi yang ada di sana.

Butterfly weed, bunga itu memang melambangkan kesedihan. Menyampaikan perasaan kalut dan depresi hingga tak ingin diganggu. Bunga itu juga memberi pesan bahwa seseorang butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Faya menghela napas setelah membaca penjelasan tersebut. Memang benar, seperti itulah yang saat ini Faya rasakan. Dewa dengan tepat menggambarkan situasi Faya dalam bentuk pengandaian sebuah bunga. Tiba-tiba ia kembali ingat ucapan Dewa yang berharap bunga lain yang menggantikan perasaaannya. Entah apa hal itu bisa terjadi. Atau Faya akan terus terpuruk dengan keadaannya seperti layaknya makna bunga butterfly weed yang ada di tangannya.

...


Note : maaf lama update-nya. Seminggu belakangan aku kembali sakit, enggak parah. Cuma batuk disertai pilek. Tapi kondisi begitu bikin aku enggak bisa fokus di depan laptop. Apalagi dua harian juga malah ditambah kepala pusing. Jaga kesehatan ya teman-teman semua. Selamat membaca.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 23/01/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top