Babak 6 - Kesempatan

Entah untuk berapa lama Faya dan Dewa berada di dalam mobil. Namun suasana tampak begitu tenang meski Faya yang masih belum ingin bersuara kembali setelah membeberkan tentang dirinya. Dewa pun tak memaksa gadis itu untuk terus bercerita. Apa yang terjadi dalam hidup Faya mungkin memang hanya perlu gadis itu yang tahu. Tanpa perlu orang lain turut campur.

Namun andaikan Dewa diberikan kesempatan untuk sekadar menjadi pendengar bagi kesulitan yang dialami Faya, pria itu sama sekali tidak keberatan. Kadang orang lain hanya butuh didengar untuk setiap masalahnya. Tanpa kita perlu ikut campur mendikte apa yang harus mereka lakukan.

Faya sendiri sedikit tak mengerti, mengapa dirinya merasa nyaman harus bercerita pada pria asing yang tak dikenalnya. Bahkan lebih gilanya ia tak merasakan tekanan berada di dalam mobil pria asing tersebut. Padahal biasanya Faya sangat antipasti terhadap orang yang tak dikenalnya. Mungkin karena sejak awal bertemu, Dewa sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda bahwa pria itu adalah orang yang memiliki niat buruk. Hingga Faya dengan tenangnya berada di sekitar Dewa.

Terlebih pria itu yang tanpa tedeng aling bersedia saja membantunya bahkan memberinya makan. Entah itu iba yang biasanya sangat Faya benci orang lain berikan padanya. Atau karena memang Dewa memiliki jiwa sosial tinggi yang siap membantu sesama. Yang mana pun itu, Faya hanya merasa ia tak merasa keberatan berada di samping pria itu.
Hingga ketika Dewa mengulurkan sebuah kartu nama ke hadapan gadis itu. Membuat Faya seketika menoleh ke arah Dewa dengan wajah bingung. Namun tak ayal ia tetap mengambil kartu tersebut dari tangan Dewa. Gadis itu lamat-lamat membaca informasi yang tertera di sana. Ada nama Dewa Abhyaksa sebagai owner dari Sunny Florist.

“Kalau kamu belum memutuskan langkah apa yang akan kamu ambil selanjutnya, kamu bisa mencoba bekerja di florist saya.”

Faya menatap wajah Dewa dan kartu nama di tangannya bergantian. Ia masih berusaha mencerna informasi yang baru saja masuk ke pendengarannya.

“Saya tahu mungkin pekerjaan ini tidak sesuai harapan kamu. Tapi ketika kamu tidak punya pilihan, maka lakukan apa yang bisa kamu lakukan. Tidak masalah jika kamu nggak punya pengalaman apa pun tentang pekerjaan ini. Selama kamu mau belajar dan berusaha, saya yakin kamu pasti bisa melalui semua pelan-pelan.”

Faya mengalami pertentangan. Di satu sisi ia sangat butuh pekerjaan. Ia butuh mengumpulkan uang demi menyambung hidupnya yang kini berantakan. Namun menerima tawaran pekerjaan sebagai pegawai florist yang baginya sangat remeh, membuat egonya serasa dipertaruhkan. Haruskah ia yang lulusan universitas berakhir di toko bunga sebagai penjual bunga?

“Saya tahu apa yang saat ini sedang kamu pikirkan. Kamu pasti merasa berat menerima pekerjaan hanya sebagai pegawai toko bunga, kan? Tapi Faya, seperti yang saya katakan kamu tidak punya pilihan. Ambil atau lepaskan.”

Faya bimbang. Namun akhirnya gadis itu mengambil keputusan yang mungkin dulu tidak akan pernah terpikirkan olehnya.

“Baik, saya terima.”

Dewa menyunggingkan senyuman ramah pada gadis itu. “Selamat bergabung. Saya harap kamu menemukan apa yang kamu cari di florist saya.”

“Saya bekerja di sana hanya demi uang. Jadi kalau kamu berharap saya menemukan hal lain, rasanya itu mustahil.” Faya menjawab ketus.

Dewa sama sekali tak tersinggung dengan ucapan gadis itu. Meski baru hitungan jam berhadapan dengan Faya, sedikit banyak Dewa cukup mengerti kepribadian gadis itu. Ia tak bisa berkata manis. Dan hanya melontarkan apa yang ia rasakan. Faya tidak pernah mau repot untuk menyaring terlebih dahulu ucapannya hanya demi menjaga perasaan orang lain. Tak mengapa, Dewa merasa hal itu wajar. Namun ia yakin perlahan nanti Faya bisa mengubah sifat ketusnya itu. Lingkungan baru yang baik akan membentuk gadis itu. Memberi gadis itu kepercayaan bahwa banyak orang yang masih ingin berbaik hati padanya.

“Mungkin bukan hanya uang yang akan kamu temukan di florist saya. Mungkin ada hal lain yang lebih berharga,” Dewa meyakinkan.

Kembali Faya melayangkan senyum sinis khasnya. “Hah? Persahabatan? Oh, please, saya bukan anak kecil yang akan terlena dengan dongeng murahan tentang persahabatan.”

“Tidak harus persahabatan. Mungkin kamu akan temukan warna-warni hidup di sana.”

“Hanya karena florist selalu identik dengan bunga dan warna?”

Dewa mengendikkan bahu ringan. “Siapa yang tahu?”

“Hah,” cemooh Faya pada pria itu.

Mengubah pandangan seseorang yang sudah skeptis memang bukan hal mudah. Tapi bukan hal yang mustahil juga. Dan Dewa akan menunjukkan pada gadis itu bahwa dunia ini tak selalu berlaku tidak adil padanya. Banyak hal tersembunyi yang kehidupan siapkan untuk setiap makhluk yang berperan di dalamnya.

Satu mungkin terselesaikan. Namun masalah lain yang harus dipikirkan adalah tempat tinggal bagi Faya. Setelah mengulik sedikit saja kisah hidup si gadis kaya, Dewa kembali lagi mengulurkan tangannya untuk membantu Faya. Seperti tadi, awalnya Faya tampak ragu untuk menerima kebaikan pria itu. Namuan Dewa berhasil meyakinkan jika Faya tidak akan berhutang budi. Anggap saja saat ini ia sedang membantu salah  satu pegawainya. Dan Faya bisa membayar kembali kebaikan itu ketika ia sudah memiliki uang. Karena Dewa tahu bagi gadis itu yang paling penting dalam dunianya saat ini adalah uang.

“Di dekat florist ada tempat kos yang cocok untuk kamu. Nita dan Kiki, pegawai florist juga ngekos di tempat itu. Kalau kamu mau, kita bisa lihat-lihat dulu,” ajak Dewa akhirnya.

Setelah menimbang, akhirnya Faya setuju untuk menerima lagi tawaran bantuan dari Dewa. Ia harus memiliki tempat untuk berteduh. Sebelumnya ia meminta Dewa mengantarkannya ke kantor Martin. Setiba di sana, pria paruh baya itu langsung tergesa menemui Faya begitu mendapat telepon dari sang nona. Tak lupa ia membawa satu koper milik Faya seperti yang dipesankan gadis itu.

“Satu koper saya titip di kantor kamu. Setelah saya sudah dapat tempat tinggal pasti, kamu bisa antar kopernya. Satu lagi, tolong urus masalah kehilangan tas saya. Ada kartu identitas dan SIM juga kartu ATM yang kamu berikan di dalam tas itu.”

Martin hanya mengangguk sembari mengiakan semua perintah yang diberikan Faya. Interaksi keduanya cukup membuat Dewa kagum. Bagaimana Faya bisa tetap memerintah pria yang harusnya sudah bukan lagi menjadi bagian dari orang yang bekerja untuk keluarganya. Namun mungkin saja loyalitas yang tertanam di hati Martin masih ada. Dewa dapat melihat tak sekali pun pria itu menunjukkan ekspresi tertekan atau terpaksa atas apa yang Faya perintahkan. Kadang memang kepercayaan dan loyalitas tidak bisa diukur dengan materi semata. Dewa pun ingin sekali memiliki sosok seperti Martin di sisinya.

Setelah menyebutkan apa yang perlu Martin lakukan, Faya dan Dewa melanjutkan perjalanan mereka. Kamar kos yang ditawarkan Dewa ternyata tidak membuat Faya senang. Hanya sebuah kamar dengan kamar mandi dan dapur terpisah. Bagi Faya yang suit bebaur dengan orang lain tentu hal itu menjadi masalah. Ia dengan tegas menolak tempat itu sebagai tempat tinggalnya.

“Lalu kamu mau yang bagaimana?” tanya Dewa akhirnya.

“Sebuah rumah, tidak masalah kecil. Yang penting saya punya kamar mandi dan dapur di dalam rumah tersebut. Saya nggak bisa berbaur dengan orang lain. Berbagi kamar mandi? Lebih baik saya tidak mandi sama sekali!”

“Kamu tahu permintaan kamu itu terlalu berat untuk orang yang bahkan tidak punya uang satu Rupiah pun di tangan.”

“Terima kasih sudah mengingatkan betapa miskinnya saya! Tapi kamu yang menawarkan bantuan. Dan sekarang kamu mau mundur?” Belum lagi Dewa menjawab, Faya kembali mencecar. “jika ingin jadi orang baik, jangan setengah-setengah. Lakukan sampai tuntas!”

Kali ini Dewa memijat dahinya yang mulai berdenyut. Ternyata berbuat baik tidak selalu mudah. Contohnya yang saat ini Dewa alami. Niat baiknya justru mendatangkan sakit kepala berkepanjangan kala berhadapan dengan orang seperti Faya. Namun ia juga tak mungkin berhenti di tengah jalan. Seperti yang Faya katakan, jika ingin berbuat baik, maka lakukan hingga tuntas. Dan itu lah yang coba Dewa lakukan saat ini.

“Kita bisa cari tempat tinggal lain untuk kamu,” ucap Dewa akhirnya.

Tanpa menunggu Dewa, Faya bergerak menuju mobil pria itu. Sikapnya tersebut makin mengundang decak kagum dari Dewa. Pria itu menengadah ke langit nan biru. Seakan mencari jawaban di atas sana. Benar kah yang ia lakukan saat ini?

Setelah hampir dua jam mencari, akhirnya mereka menemukan tempat tinggal yang dirasa cocok untuk Faya. Masih berada di lokasi yang tak terlalu jauh dari florist Dewa. Yang jelas akan memudahkan gadis itu menuju dan pulang dari tempatnya bekerja. Ia juga tak harus mengeluarkan biaya transportasi karena rumah dan florist bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Rumah yang mereka temukan berada di lingkungan yang cukup asri. Berhadapan langsung dengan jalan raya. Sebuah rumah minimalis dengan sebuah kamar dengan dapur, ruang tamu dan kamar mandi yang semuanya berada dalam satu rumah. Bahkan rumah tersebut sudah tersedia beberapa barang seperti sofa dan ranjang. Meski biaya sewa yang Faya harus bayar juga tidak kecil jika dibandingkan dengan kamar kos yang Dewa tawarkan tadi. Namun kenyamanan adalah hal paling utama yang Faya cari dari tempat tinggalnya. Masalah biaya, sebelum Faya berhasil mendapatkan kembali ATM-nya. Dewa bersedia menanggung lebih dulu biaya untuk sewa selama tiga bulan tempat tersebut.

“Sekarang kamu bisa istirahat. Kalau butuh bantuan lain, kamu bisa hubungi nomor yang ada di kartu nama saya.”

Dewa menyerahkan kunci rumah setelah serah terima yang ia lakukan dengan pemilik rumah. Tanpa ragu Faya langsung menerima kunci tersebut. Sesaat ia memandangi pria yang telah banyak membantunya hari ini. Terbersit rasa syukur dalam sudut hati Faya. Andai bukan Dewa yang ia temui hari ini, entah akan bagaimana Faya harus menghadapi krisis hidupnya hari ini.

“Terima kasih,” ucap Faya. Kali ini terdengar lebih tulus di telinga Dewa.

Dewa hanya membalas dengan seulas senyuman. Kemudian pria itu berpamitan pada Faya. Dengan tak lupa mengingatkan bahwa besok ia harus datang ke floristnya untuk bekerja.

Faya masih berdiri di tempatnya sembari memandangi kendaraan Dewa yang melaju meninggalkan kediaman barunya. Setelah kendaraan tersebut tak lagi terlihat, barulah Faya bergerak menuju rumah barunya. Dengan koper besar miliknya yang tadi Dewa keluarkan dari bagasi mobil.

“Selamat datang di rumah barumu, Faya,” gumam gadis itu seraya matanya menjelah seisi rumah.

Faya mengunci pintu kemudian bergerak menuju kamar tidur dengan menyeret koper besar tersebut bersamanya. Ia lantas langsung menjatuhkan tubuh ke ranjang. Meski tidak seempuk ranjang mahal miliknya, paling tidak Faya harus bersyukur ia memiliki tempat untuk membaringkan diri malam ini.

Ia lelah seharian menghadapi berbagai kejadian. Tidak peduli jika tubuhnya butuh dibersihkan. Atau lukanya harus diobati. Faya hanya ingin memejamkan matanya. Membiarkan lelap menelan semua kelelahan dan kegundahan hatinya.

Note : kamu gak tahu diri ya, Fay. Sudah dibantuin ngelunjak 😂 untung Dewa-nya sabar, kalau enggak 😌

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 15/01/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top