Babak 3 - Fake Circle
Berita kebangkrutan keluarga Pradana sudah menyebar ke lingkaran sosial para konglomerat. Faya dan papanya menjadi buah bibir dalam setiap pembicaran. Satu persatu orang-orang yang membenci keluarga Pradana mulai menunjukkan taringnya. Mereka mulai berani bersuara lantang dengan menyumpahi dan mensyukuri kejatuhan Faya dan keluarganya. Tak hanya sampai di situ, para nona dan tuan muda yang mengaku teman saat Faya masih berada dalam masa kejayaannya pun perlahan mulai mengaburkan diri menjauhi Faya. Hingga bahkan bayangan mereka pun rasanya tak sudi berhubungan lagi dengan Faya.
Di kamar hotelnya, Faya hanya bisa tertawa sini membaca berita yang ada. Namun kemudian wajahnya berubah dingin sembari menggenggam erat ponselnya. Hampir saja Faya kembali melemparkan benda malang tersebut. Jika tak ingat jika dirinya kini bukan lagi nona besar keluarga Pradana. Ia harus mulai menyadari kehidupannya yang tak lagi serba mewah. Bahkan ia pun harus segera mencari solusi untuk menata masa depannya. Tak mungkin Faya terus tinggal di hotel dengan tarif permalam yang mencengangkan. Jika itu dirinya yang dulu, Faya tak perlu berpikir. Ia bahkan bisa menyewa sebuah presidential suite selama apa pun yang diinginkannya. Namun kini Faya hanya gadis malang yang bahkan tak punya tempat berteduh. Sungguh malang.
Salahkan saja papanya yang ... ah, Faya tak ingin mengingat manusia tidak berguna itu. Hanya akan membuat hatinya panas. Ia menarik napas panjang demi menenangkan diri.
Sejujurnya Faya tidak sebatang kara. Karena Martha yang sudah seperti ibu baginya menawarkan agar gadis itu tinggal bersamanya. Namun Faya dengan keras kepala menolak. Ia tak ingin menyusahkan orang lain. Terutama Martha.
Faya adalah perempuan dengan ego yang tinggi. Ia merasa tak butuh orang lain. Ia merasa mampu menghadapi dunia. Meski Martha menjelaskan bahwa dunia yang akan Faya hadapi tak sama dengan dunia dongeng indah di mana selama ini Faya hidup. Gadis itu tak pernah tahu kerasnya kehidupan. Karena sejak kecil ia hanya diberikan segala sesuatu yang indah. Wanita itu ragu, sang nona bisa bertahan dengan kemampuan bertahan hidup yang bisa dibilang nol.
Namun Faya tak suka diremehkan. Ia tak suka dipandang rendah. Tak suka dikasihani. Dengan tegas ia menolak tawaran Martha. Bahkan jika harus terseok di jalanan, Faya tak akan membiarkan satu orang pun melemparkan tatapan iba padanya. Tidak, ketika dia bisa mencungkil mata orang tersebut dengan jarinya.
"Kamu nggak bisa terus begini, Faya. Kamu harus bisa bangkit. Kamu harus mulai menata hidupmu. Membuat rencana apa yang akan kamu lakukan ke depan nanti. Jangan sampai kamu mati kelaparan di jalanan. Bergabung dengan orang-orang yang kamu bilang kotor. Kamu harus bisa bertahan. Atau lebih baik kamu ... mati!"
Mengucapkan kata mati membuat Faya bergidik. Ia sendiri tak yakin dirinya mampu bertahan. Ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Faya tak pernah menyangka hidupnya akan sampai semenderita ini. Kehilangan segalanya tanpa persiapan sama sekali.
Gadis itu memandangi langit-langit kamar mandi hotel. Pikirannya melayang entah ke mana. Dengan tubuh yang masih terendam di dalam bathtub. Ah, hidup a la princess nyatanya belum sepenuhnya bisa menghilang dalam diri Faya. Bahkan disaat terburuk saja gadis itu masih butuh memanjakan diri. Tak (ingin) ingat jika kini uang yang ada di tangannya pelan-pelan akan menipis dan tersedot habis karena biaya hotel yang mahal.
"Mau mati saja rasanya ...." Gumam Faya seraya pelan-pelan membenamkan diri ke dalam air.
Bayangan kematian seketika merasuki pikiran Faya. Kenangan akan tubuh kaku sang kakek di hari pemakamannya pun kembali berkelebat. Kematian adalah satu hal yang paling dekat dengan manusia tapi seringkali ditakuti. Karena masih adanya hasrat bagi manusia untuk bersenang-senang. Tak rela meninggalkan segala kefanaan dunia yang membuat manusia terlena.
Faya pun tak jauh berbeda. Ia dengan mudahnya menyebutkan tentang kematian. Tapi ketika dihadapkan dengan bayangan hal tersebut, gadis itu bergidik ketakutan. Membayangkan dirinya tak lagi bernyawa. Sendirian, kedinginan, membuat Faya seperti ditarik ke dalam mimpi buruk. Faya langsung bangkit dari kehampaannya.
"Hah .... hah ..."
Gadis itu terduduk dengan napas terengah. Dengan rakus berusaha meraup udara yang hampir saja tak akan pernah ia rasakan lagi jika dirinya memilih untuk tenggelam dalam keputus asaan.
"Stupid!" makinya pada diri sendiri.
Faya memberikan tamparan keras pada dirinya sendiri. Suara telapak tangan menyentuh pipinya bergema di ruangan dengan sangat nyaring. Rasa sakit memberikan Faya kesadaran bahwa apa yang sesaat lalu ia lakukan adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Mengakhiri hidup bukan jalan keluar suatu masalah. Lagipula Faya masih memiliki dendam yang harus dituntaskan. Ia tak akan tenang jika dendam itu masih terus bergelayut dalam hatinya.
Gadis itu menyudahi kegiatan berendamnya. Dengan menggunakan bathrobe, Faya berdiri di depan cermin besar menatap pantulan dirinya. Pipinya memerah bekas tamparan tadi. Tapi itu menjadi pertanda bahwa Faya benar-benar menyadari kebodohannya.
"Bangun, Princess! Bukan waktunya kamu meratapi nasib menjadi miskin!" ucap Faya pada dirinya yang nyata maupun bayangan yang ada di dalam cermin.
Jika Faya tak berusaha keras untuk dirinya, memang siapa lagi yang akan menopangnya? Dunia ini tidak seindah dongeng hidupnya selama ini. Ucapan dari Martha terus terpatri dalam kepalanya. Ia tidak bisa menunggu Tuhan berbaik hati padanya dengan mengirimkan pangeran berkuda putih ke dalam hidupnya yang menyedihkan saat ini.
...
Setelah menyelesaikan sarapan paginya, Faya berniat untuk memulai rencananya. Hal pertama yang harus Faya lakukan adalah check out dari hotel dan mencari tempat tinggal baru. Namun demi memuluskan rencananya, Faya tak mungkin bergerak ke sana kemari dengan menenteng dua kopernya. Karena itu ia segera menghubungi Martin yang langsung menjawab panggilannya.
Martin datang dengan tergesa. Padahal pria itu masih harus bekerja. Namun karena rasa loyalnya terhadap Kakek Faya, Martin tetap menyempatkan waktu kapan pun gadis itu memanggilnya.
"Nona Faya menunggu lama?" tanya Martin ketika mendekati Faya yang berdiri tak jauh dari meja resepsionis.
"Bayar tagihan hotelnya!" Faya menunjuk meja resepsonis dengan jemarinya.
Kembali Martin hanya bisa mengelus dada dengan sikap Faya. Namun begitu ia tak menolak perintah Faya. Dan segera menyelesaikan pembayaran kemudian menghampiri Faya.
"Hari ini saya mau mulai mencari tempat tinggal. Tapi dua koper besar ini akan menyulitkan. Jadi untuk sementara simpan koper ini dulu."
Tanpa menunggu jawaban Martin, Faya langsung melenggang pergi. Pria yang usianya tak jauh berbeda dengan ayah gadis itu lagi-lagi hanya bisa menurut. Dengan bantuan petugas hotel, Martin memasukkan koper milik Faya ke dalam mobilnya. Kemudian melaju meninggalkan hotel mewah tersebut.
Faya yang sudah berada di luar hotel memandang ke langit yang cerah dan membiru. Setelahnya gadis itu memasang kaca mata hitam untuk melengkapi penampilannya.
"Saatnya menghadapi kenyataan, Nona besar!" gumamnya pelan.
Ia memasuki salah satu taksi yang terparkir di pelataran hotel. Menyebutkan nama salah satu pusat perbelanjaan sebagai tujuannya. Di saat seperti ini, Faya hanya tahu tempat-tempat berbelanja yang biasanya mampu membuatnya bahagia. Hanya saja kali ini ia tidak pergi ke sana untuk memuaskan hasrat berbelanjanya.
Setiba di sana, Faya masuk ke salah satu gerai kopi yang terkenal sebagai tempat bersantai anak-anak muda. Setelah memesan kopi dan camilan untuk menemani waktu berpikirnya, Faya mulai memilah satu persatu orang-orang yang akan ia hubungi.
Ya, Faya sudah memutuskan bahwa ia akan mencari tahu siapa makhluk-makhluk menyebalkan yang mengaku sebagai teman selevel yang bersedia mengulurkan tangan untuknya saat ini. Faya hanya ingin menguji hati mereka. Meski ia sudah bisa menebak bagaimana hasilnya nanti.
"Si brengsek ini kenapa nggak angkat teleponnya, sih?" omelnya menatap layar ponsel dengan geram.
Faya hanya bisa terus menyumpah serapah dalam hatinya kala tak satu pun dari mereka menjawab panggilannya. Bahkan William, pria yang menjadi kekasihnya pun seolah lenyap di telan bumi. Tidak ada satu pesan pun yang pria itu kirimkan padanya. Sekadar bertanya kabarnya pun tidak. Faya tahu jika ia dan Will memang hanya berhubungan atas dasar kesenangan semata. Tak pernah benar-benar ada percikan api cinta membara antara keduanya. Mereka terikat hanya karena sebuah prestise semata.
"Teman-teman sialan! Manusia-manusia palsu!"
Faya kemudian berdiri dari kursinya untuk segera pergi dari tempat tersebut. Namun saat sedikit lagi kakinya akan menghampiri pintu keluar, langkah Faya terhenti. Tatapanya menajam menuju satu arah di mana kini dua orang yang tak asing baginya sedang duduk dan tampak bercengkerama.
"Ah," gumam Faya. "pantas saja tidak bisa dihubungi. Ternyata kekasih bajingan yang sedang dicari-cari sedang bermesraan dengan selingkuhan, ya?"
Setan dalam diri Faya langsung mengeluarkan taringnya. Ketika dirinya sedang terpuruk, Will ternyata sedang bersenang-senang dengan perempuan lain. Mana mungkin Faya akan dengan baik hati membiarkan mereka menikmati indahnya cinta.
Gadis itu melangkah perlahan dengan hentakan yang seirama. Berharap dirinya bisa menjadi malaikat pencabut nyawa untuk William saat ini juga.
Hanya beberapa langkah lagi Faya akan mendekati pasangan yang tengah dimabuk cinta tersebut. Ketika seorang pria dengan sebuah buket bunga juga mendekat ke arah William dan teman kencannya. Faya menebak jika pria itu adalah kurir bunga yang dipesan William.
Dengan sikap yang presisi, Faya berhasil merampas buket bunga dari tangan sang pria hingga membuat kurir tersebut terkejut. Ia menatap Faya yang kini matanya menatap tajam pada Willian.
"Pria berengsek!"
Tanpa ragu sedikit pun Faya memukulkan buket bunga tepat ke wajah William. Aksi mereka menimbulkan kegaduhan dan menjadi tontonan bagi seluruh pengunjung kafe. William yang baru tersadar dari aksi brutal Faya menatap gadis itu dengan mata melotot.
"Fa ..."
Belum lagi William mengucapkan namanya, Faya kembali memukul wajah William dengan buket yang sudah tak cantik lagi bentuknya. Setelah puas, Faya melempar sembarangan buket rusak tersebut ke lantai.
Dengan tangan bersedekap di dada, Faya melayangkan tatapan menusuk pada pria yang wajahnya sudah tak karuan tersebut.
"Kamu gila, ya?" teriak William yang akhirnya bisa bernapas setelah tak lagi mendapatkan serangan dari Faya.
"Gila?" jawab gadis itu santai. "Mungkin."
"Kamu ..." William akan melayangkan tinjunya namun diurungkan ketika dilihatnya Faya justru tak gentar sedikit pun.
"Pria bajingan seperti kamu memang pantas dipermalukan di muka umum seperti ini!"
"Hah," William berdecak. Kemudian ia memandang Faya dengan tatapan merendahkan. "Mantan Nona besar seperti kamu memang bisa apa? Jangan selalu memasang wajah arogan begitu. Kamu sekarang bukan apa-apa!"
Tangan Faya terkepal. Ia geram dengan ucapan merendahkan dari William. Pertengkaran mereka benar-benar menjadi santapan publik. Bahkan beberapa orang sudah mengarahkan ponselnya, bersiap untuk menyebarkan berita viral tersebut ke jagad maya.
Faya melayangkan tatapan tajamnya pada mereka yang masih mengarahkan ponsel ke arahnya. Ia ingin sekali menghancurkan benda yang sedang mereka pegang hingga berkeping-keping. Namun saat mengingat dirinya bukan lagi Faya Cassandra yang punya kuasa, gadis itu hanya bisa menggertakkan giginya menahan kesal.
William menatap Faya sambil mengeluarkan tawa mencemooh. Ia mengangkat tangan seraya mengibaskannya ke arah Faya sebagai pertanda agar gadis itu menyingkir dari hadapannya. Faya benar-benar dibuat geram oleh pria yang biasanya manja dan penakut ini. Namun saat dirinya akan mengangkat kursi untuk melemparkannya pada William, sikap pengecut pria itu kembali muncul. Ia bersiap melarikan diri dari serangan Faya. Membuat gadis itu berbalik menertawakan kepengecutannya.
"Stupid!" decih Faya kemudian melangkah santai meninggalkan kekacauan yang ia timbulkan.
Saat gadis itu berbalik menuju pintu keluar, semua orang berusaha menghindarinya. Namun Faya tak peduli. Ia sudah cukup puas memberi pelajaran pada pria kurang ajar seperti William. Tak peduli jika dirinya yang biasanya penuh wibawa menjadi tontonan orang-orang.
William sendiri akhirnya bisa bernapas lega kala menyaksikan gadis mengerikan itu akhirnya menghilang dari pandangannya. Setelah menyelesaikan pertanggung jawaban kekacauan yang disebabkan Faya, ia segera menarik pergi gadis yang tadi bersamanya. William tak ingin menjadi bulan-bulanan tatapan para pengunjung.
Namun diantara semua kekacauan tersebut, nyatanya masih ada satu orang lagi yang belum pergi dari tempat kejadian. Dia adalah sang kurir yang buket bunganya telah dirusak oleh Faya. Pria itu memungut buket yang sudah hancur lebur. Menyaksikan hasil kerja kerasnya dihancurkan tentu menjadi hal yang menyedihkan. Tapi entah mengapa pria itu justru mengulum senyum ketika mengingat lagi bagaimana gadis cantik dengan aura berkuasa itu tanpa ragu memukul wajah pria tadi dengan buket bunganya.
...
Note : selamat membaca. Terima kasih koreksi typo dan lainnya 💙
Rumah, 06/01/22
Sedang memandang mantan yang siap dibasmi 📌
Mas-Mas kurir buket yang siap mengantar perasaanmu 😚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top