Babak 2 - Home Sweet Home
Bagai mendapat sambaran petir di siang bolong, berita kebangkrutan keluarganya benar-benar menjadi pukulan keras bagi Faya. Ditambah lagi papanya yang tak bertanggung jawab tak diketahui keberadaannya. Hidup Faya benar-benar jatuh ke jurang tanpa dasar. Ia tak yakin sanggup bangkit dari keterpurukan yang dialaminya. Faya berharap semua ini hanya mimpi. Dan ketika ia membuka mata nanti, semua akan kembali seperti sedia kala.
Sayangnya harapan tetap harapan. Karena begitu Faya yang sama sekali tak bisa tidur dengan nyenyak dan terjaga hampir semalaman dikejutkan dengan kedatangan sang pengacara. Kali ini didampingi dengan pihak yang terlibat dalam kasus yang terjadi antara klien dan papanya. Faya benar-benar diberikan pukulan bertubi-tubi ketika Martin menjelaskan semua prosedur untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sungguh, Faya tak mengerti satu hal pun yang disebutkan sang pengacara. Kepalanya serasa mau pecah mendengar rentetan ucapan Martin dan pihak lainnya yang saling bersahutan. Kewarasan Faya benar-benar diuji. Sampai ketika akhirnya Martin menyodorkan berkas yang harus Faya tanda tangani. Berkas pengalihan aset untuk pembayaran kerugian yang telah disebabkan papanya yang tak bertanggung jawab itu.
“Jadi artinya, setelah saya tanda tangan, rumah beserta aset-aset lain tidak akan lagi menjadi milik saya?” tanya Faya dengan nada datar tanpa emosi.
Martin tampak bingung, namun ia tak mungkin membohongi gadis itu. “Benar sekali. Selebihnya, saya akan urus dengan pengacara pihak klien. Untuk urusan pesangon dan gaji para pegawai di sini, Nona Faya tidak perlu khawatir karena saya juga sudah melakukan kalkulasinya.”
“Hah …” Faya menyemburkan tawa sarkas. “Rumah ini dan juga perusahaan, juga aset-aset lainnya. Lalu … gimana caranya saya bisa hidup! Hah!” teriak Faya mengagetkan pihak klien yang baru kali ini berhubungan dengannya.
“Nona Faya …”
“Apa!” teriak Faya dengan mata melotot pada pengacara pihak klien.
Sang pengacara paruh baya tersebut seketika menciut di tempat. Ia menutup rapat mulutnya yang tadi akan bersuara. Tak berani berhadapan dengan perempuan muda yang baru saja kehilangan segalanya tersebut.
“Baik …” Faya menarik pena dari tangan Martin dan membubuhkan tanda tangannya di kertas yang diberikan. “Sudah. Dengan begini, apa lagi?”
“Nona Faya bisa mulai mengemasi pakaian dan beberapa barang yang tidak termasuk ke dalam aset penyitaan. Juga, Nona Faya bisa berpamitan pada para pelayan di rumah ini.”
Mendengar ucapan Martin, seketika Faya seakan tersadar akan sesuatu. Ia memandang tajam sang pengacara yang jantungnya hampir lepas dari rongganya karena gadis muda itu lagi-lagi memberikan tatapan horor.
“Tunggu, barang-barang branded seperti sepatu, tas dan perhiasan …”
“Ah, ada beberapa yang akan disita untuk menutupi kekurangan dana yang tersedia.”
“What? So, Chanel, Hermes, Prada bahkan mobil baru yang bulan lalu dikirim juga akan masuk ke dalam aset sitaan!?” Faya menggebrak meja membuat semua orang terlonjak kaget.
“Nona Faya …”
“Keluar dari sini sekarang juga!” teriak Faya mengusir Martin dan orang-orang yang tadi datang bersamanya.
Gadis itu beranjak dari sofa untuk kembali ke kamarnya. Dalam langkahnya tak lupa Faya mendorong guci besar yang berdiri di samping anak tangga hingga pecah berkeping-keping. Membuat para hadirin kembali menyaksikan pertunjukan akbar. Salah satu sikap buruknya ketika sedang marah adalah menghancurkan barang. Faya tak peduli seberapa mahal barang tersebut. Ia hanya tahu jika kemarahannya butuh pelampiasan. Beruntung ia melampiaskan pada benda mati. Jika Faya punya sifat sadistik terhadap manusia, mungkin tak akan ada pelayan yang bersedia bekerja untuk majikan dengan akal sehat yang perlu dipertanyakan sepertinya.
Para tamu yang hadir hanya bisa menyaksikan dengan wajah terperangah kala sang putri meluapkan amarahnya. Mereka kembali dibuat terkejut dengan bantingan pintu dari lantai atas yang sudah pasti Faya lah pelakunya.
Martha yang merasa sedih melihat Faya terpuruk seperti itu berusaha menyusul gadis itu ke kamarnya. Namun yang bisa wanita itu dengar kala mendekati pintu kamar Faya adalah suara benda yang dibanting dan pecah. Martha meletakkan tangannya di dada. Ia benar-benar ingin membantu namun tahu tak akan mampu berbuat banyak.
Setelah puas melampiaskan emosinya, Faya merasa kelelahan. Bukan hanya fisk tapi juga batinnya. Gadis itu terduduk di karpet. Tak peduli lagi jika pecahan kaca dari parfum melukai kakinya. Faya sudah mati rasa. Dan semua itu karena ulah papanya.
Papa? Hah, apa masih pantas pria kurang ajar tersebut menyandang status sebagai sosok ayah baginya?
Faya tertunduk. Perasaannya terluka, namun tak ada air mata yang jatuh. Mungkin hatinya sudah mengeras hingga ia tak bisa lagi meneteskan air mata. Sampai tatapannya terpaku pada foto keluarga ketika dirinya hampir berusia satu tahun. Faya berada di gendongan sang mama yang duduk diapit oleh opa dan papanya. Satu-satunya potret keluarga utuh yang Faya miliki.
Faya bangkit dari duduknya menghampiri foto tersebut. Matanya menatap nanar pada gambaran keluarga kecil bahagia di dalam pigura. Mama dan opa sudah meninggalkan Faya untuk selamanya. Meski ia memiliki papa, memikirkan pria itu … Faya tahu dirinya tak bisa mengandalkan sosok ayah yang ia punya.
“Opa, lihat? Anak laki-laki Opa yang tidak berguna itu sudah menyebabkan kekacauan. Ah, bukan, tapi kehancuran. Dia membuat kita jatuh bangkrut. Dia membuat kita kehilangan segalanya. Dia membuat Faya sebentar lagi menjadi gelandangan di jalan. Menjadi miskin!”
Menekankan kata miskin, Faya bergidik. Sejak dulu ia sangat berprasangka buruk terhadap yang namanya orang miskin. Bagi Faya mereka itu hanya orang-orang bodoh nan kotor yang sama sekali tidak bisa mengubah hidupnya. Setiap kali Faya melihat orang yang dikategorikannya sebagai miskin, seluruh tubuhnya terasa gatal. Membuat Faya ingin segera berlari sejauh mungkin dari mereka.
Dan tidak lama lagi Faya akan menjadi salah satu dari golongan yang ia benci. Dan semua ini karena papanya!
“Mama beruntung karena pergi lebih dulu. Kalau tidak, mungkin Mama akan mati karena tekanan darah tinggi terhadap kelakuan suami yang Mama cintai. Faya heran kenapa Mama bisa jatuh cinta pada pria tidak berguna seperti Papa.”
Faya terus saja mencela papanya demi melampiaskan rasa kesal dan amarah yang masih tertanam di hatinya. Hingga ketika kelelahan menderanya, Faya akhirnya berhenti. Gadis itu berbaring di ranjangnya. Perlahan kelopak matanya menutup, mengantarkan Faya ke alam mimpi.
Ketika Faya membuka mata, ruangan kamarnya sudah rapi. Gadis itu hanya memandang sekeliling. Sampai ketika Martha masuk dan memintanya untuk mengisi perutnya karena sejak pagi Faya tidak makan apapun. Gadis itupun menurut dan segera beranjak ke ruang makan.
Tak seperti dugaan Faya, para pelayan ternyata masih ada di rumah. Begitu juga dengan Martin yang masih tetap menunggu kehadiran Faya. Hanya saja klien yang tadi bersamanya sudah tak terlihat lagi.
“Kamu masih di sini?” sindir Faya.
Martin hanya diam tak menjawab. Faya pun tak ambil pusing. Ia memilih melanjutkan langkah ke ruang makan. Sudah tersedia berbagai hidangan di sana. Faya mendengkus melihat banyaknya hidangan yang disajikan. Mungkin ini terakhir kalinya Faya menikmati makanan mewah. Sebelum esok semuanya akan hilang. Memikirkan hal itu, kepalanya kembali berdenyut sakit. Jujur saja, Faya belum dapat menerima kenyataan pahit yang menimpanya saat ini.
Setelah menyelesaikan makan siangnya, Faya kembali berhadapan dengan Martin. Seburuk apapun keadaannya, ia harus tetap menghadapi kenyataan. Meski masalah kali ini bukan dirinya yang menyebabkan, Faya harus tetap bertanggung jawab. Semakin cepat ia menyelesaikannya, semakin cepat Faya mampu keluar dari keadaan buruk ini. Meski masa depan tak pasti menanti di depan matanya nanti.
Martin melihat gadis itu sudah lebih tenang. Karena itu pria itu memberanikan diri untuk membicarakan kembali kasus yang terjadi. Martin merinci segala kerugian dan bagaimana proses penyelesaiannya. Sedang Faya hanya mendengarkan dengan tatapan tak fokus.
“Besok, pihak klien akan melakukan inspeksi dan penaksiran untuk rumah ini. Saya sudah membicarakan dengan mereka untuk setidaknya memberikan waktu seminggu bagi Nona Faya untuk bersiap keluar dari sini. Selain itu …”
“Tidak perlu. Hari ini juga saya akan keluar dari rumah ini.”
Faya beranjak dari sofa. Gadis itu dengan kepala tegak berjalan menuju halaman belakang. Ia meminta Martha mengumpulkan semua pelayan yang ada. Tak sampai sepuluh menit, semua sudah berbaris rapi di hadapan Faya.
Mata tajam Faya menatap satu persatu orang-orang yang bekerja dengannya selama ini. Meski tak selalu berhubungan dengannya, namun Faya mengingat mereka semua. Bahkan ada yang sudah bekerja puluhan tahun di rumah ini seperti Martha dan tukang kebun yang sama sepuhnya dengan sang kakek. Faya menunduk seraya mengambil napas panjang sebelum bicara.
“Kalian sudah tahu keadaannya, kan? Bagi yang sudah mendapatkan tunjangan, silakan berkemas dan angkat kaki dari rumah ini!”
Setelah mengeluarkan kalimat angkuhnya, Faya berbalik untuk pergi. Meninggalkan para pelayan yang menatapnya dengan wajah melongo. Bahkan di detik terakhir kejayaannya sang putri tetap tidak ingin menundukkan kepala. Mereka hanya bisa menggeleng maklum atas sikap Faya. Sampai ketika gadis itu berhenti sejenak dan berbalik menatap mereka kembali.
“Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini!”
Kali ini Faya mempercepat langkahnya. Meninggalkan para pelayan yang kini matanya mulai berkaca-kaca. Bertahun mereka bekerja di kediaman keluarga Pradana. Meski kadang harus menghadapi sikap antik sang nona, namun mereka tahu jika Faya tak pernah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Faya memang mengaku alergi dengan orang miskin. Tapi tidak dengan para pekerja di rumahnya. Bagi Faya, mereka yang menghabiskan waktu dengan melayani dirinya dan keluarga memiliki tingkat yang lebih baik dari orang-orang tidak mampu di luar sana. Ya, standar ganda seorang Faya Cassandra memang aneh.
Dari balik jendela kamarnya, Faya memerhatikan satu persatu para pelayan meninggalkan kediaman keluarga Pradana. Sebelum benar-benar pergi, mereka memandangi rumah megah tersebut terakhir kalinya. Mungkin untuk mengenang segala yang terjadi dalam hidup mereka selama bekerja di sana. Sampai ketukan di pintu menyadarkan Faya dari kegiatannya memandangi kepergian para pelayan.
“Masuk!”
Martha masuk dengan pakaian pelayan yang masih sama. Wanita itu memandang sendu pada wajah majikannya yang tersisa. Membuat Faya merasa tidak nyaman. Ia memang kini sudah jatuh miskin. Tapi bukan berarti ia ingin dikasihani. Terlebih oleh seorang pelayan seperti Martha. Harga diri Faya masih terlalu meroket untuk jatuh dan tunduk pada keadaan.
“Jangan lihat saya dengan tatapan seperti kamu kasihan lihat anak anjing terlantar di jalan!”
Martha hanya tersenyum mendengar ucapan kasar sang nona. “Saya bantu Non Faya berkemas?”
“Enggak perlu. Saya bisa sendiri!”
Faya beranjak menuju ruangan di mana seluruh pakaian, tas dan perhiasannya tertata rapi. Ruangan yang menjadi tempat kesayangannya di seluruh penjuru rumah. Di mana berbagai pakaian, tas, sepatu dan segala perhiasan kesayangan yang ia beli dari seluruh penjuru dunia terkumpul rapi. Ruangan yang menguarkan bau uang tak terbatas. Dan kini Faya tidak akan pernah lagi bisa memasukinya.
“Martha! Berikan daftar barang yang boleh dibawa!” teriaknya kemudian.
Martha bergegas memasuki ruangan tersebut. Ia melihat Faya sedang berlutut di depan lemari sepatu seraya memandangi sepatu-sepatu kesayangannya. Mata gadis itu tampak berbinar. Tapi Martha tahu tak akan lama lagi binar itu akan redup.
Hampir dua jam mereka berbenah, akhirnya Faya siap untuk pergi. Dengan Dua koper besar yang tersisa. Gadis itu dibantu Martha membawa kopernya. Sebelum benar-benar pergi, Faya menatap kamar di belakangnya. Ruangan yang menjadi saksi setiap tumbuh kembangnya. Ruangan yang memberikan banyak kenangan dan kenyamanan baginya. Dan kini Faya harus mengucapkan selamat tinggal pada semua yang ada di ruangan tersebut.
“Nona Faya …” Martin yang masih menunggu menghampiri gadis yang sudah siap berkemas tersebut. Pria itu kemudian menyerahkan sebuah kartu pada Faya. “Di dalam kartu ini ada dana yang tersisa yang bisa Nona Faya gunakan. Password-nya adalah tanggal kelahiran Nona Faya.”
Faya menarik kartu dari tangan Martin kemudian melemparkan ke dalam tas sandangnya. “Antarkan saya ke hotel,” perintahnya pada Martin kemudian.
Pria itu hanya mengangguk. Menarik koper dari tangan Faya. Kemudian membawa koper tersebut ke mobilnya. Martha pun melakukan hal yang sama. Setelah selesai, keduanya menunggu Faya yang masih berdiri terpaku memandangi bangunan megah di depannya. Baik Martin dan Martha membiarkan gadis itu menikmati saat terakhirnya dapat melihat rumah di mana semua kebahagiaannya terkumpul. Sampai ketika suasana penuh haru tersebut dirusak oleh teriakan menggema Faya yang memekakkan telinga.
“Kalau Tuhan memang ada, tolong hukum manusia tolol yang membuatku kehilangan segalanya!!”
Martin dan Martha lagi-lagi dibuat terperanjat. Mereka tak bisa berkata-kata mendengar sumpah serapah yang Faya ucapkan untuk papanya. Entah apapun yang akan terjadi pada sosok tuan mereka. Namun keduanya berharap semoga beliau bisa menjaga diri dan baik-baik saja meski dendam kesumat sang putri sedang menantinya.
...
Note : welcome to the real world, Princess Faya 😂 masih betah ngikutin kisah si putri yang jatuh miskin, kan? Semoga makin betah, ya. Dan jangan lupa cek juga work teman² yang lain ya. Banyak cerita bagus di sana yang bikin aku saja sampai jadi insecure sama tulisanku 🤧 karena selama ini aku mainnya di rumah saja sesuai prokes 😂 dari mereka jadi semangat lagi untuk ayo dong lebih dibenarin lagi tulisanmu biar gak melempem, biar teman pembaca gak bosan dan akhirnya kabur karena tulisanku yang gitu² aja dan gak berkembang 🤧
ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Rumah, 02/01/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top