Babak 19 - Kegilaan Faya

“Bisa kita berhenti di sini, Alden? Who are You?” tanya Faya dengan nada lirih di akhir kalimatnya.

Ia benar-benar tidak punya gambaran sama sekali siapa sosok Alden yang sebenarnya. Ia juga tidak punya waktu untuk bermain teka-teki dengan mereka. Jikalau Alden memang memiliki dendam terhadapnya, Faya siap menyelesaikannya secara terbuka. Bukan dengan tindakan pengecut seperti yang Alden dan teman-temannya lakukan saat ini.

Faya sama sekali tidak takut akan konsekuensi apapun. Ia tidak punya alasan untuk takut terhadap segala tindakan yang akan ia lakukan. Begitulah Faya, baik dulu ataupun sekarang.

Satu lawan seribu, hah, Faya tidak akan gentar!

“Kamu benar-benar tidak ingat? Ck, kasihan sekali. Ya, wajar saja jika kamu tidak mengingat hal kecil dan orang-orang yang kamu anggap tidak penting dalam hidupmu. Tapi apa yang kamu lakukan tidak akan pernah terhapus dalam kehidupanku dan mungkin korban-korban kekejaman kamu yang lainnya.”

Cut the crap! Kalau kamu tahu saya ini payah dalam mengingat kotoran dan sampah seperti kalian, langsung katakan saja di mana kesalahan fatal yang saya lakukan terhadap kamu!” bentak Faya dengan kesabaran yang semakin menipis. “Mari kita selesaikan semuanya. Tidak perlu bertele-tele. Buang-buang waktu saya!”

Alden dan yang lainnya tampak terkejut dengan keberanian yang Faya tunjukkan. Gadis itu memang pantas mendapat julukan sebagai nona es. Ucapan dan tindakannya benar-benar selalu dingin dan tegas.

“Baik, kalau kamu memang meminta diingatkan tentang dosa yang sudah kamu lakukan kepada saya!”

Alden pun mulai bercerita bagaimana dulu saat mereka duduk di bangku SMP, Alden pernah mengirimkan surat cinta pada Faya. Namun bukan mendapat balasan atau penolakan yang halus, Alden justru dipermalukan di depan seisi sekolah. Salah seorang  yang merupakan teman dekat Faya saat SMP dengan lantang membacakan isi surat cinta tersebut melalui siaran radio sekolah.

Tak cuma itu, gadis itu juga dengan tidak berperasaan merendahkan Alden. Mengatakan jika Alden seperti seorang katak yang tidak bercermin siapa dirinya sehingga berani bermimpi untuk mendapatkan seorang putri seperti Faya. Tentu saja, seisi sekolah langsung heboh dan menjadikan Alden sebagai bahan olokan. Dari informasi yang Alden dapat, semua itu tak lepas dari andil Faya yang mengizinkan gadis itu untuk mempublikasikan isi surat cinta tersebut. Tak ayal, Alden merasa terpuruk dan memutuskan untuk keluar dari sekolah tersebut. Namun rasa sakit hati juga menyertainya selama ini. Ia bersumpah untuk membalaskan dendamnya pada Faya dengan cara mempermalukan gadis itu. Seperti yang dulu ia lakukan.

“Surat cinta? Siaran radio?” tanya Faya penuh kebingungan.

Pasalnya ia sama sekali tak merasa pernah melakukan hal tersebut. Dirinya justru tak pernah ingat mendapatkan surat cinta dari Alden. Bukan karena Faya tak pernah menerima, tapi setiap surat dan hadiah yang mampir ke meja selalu Faya buang tanpa pernah melihat isinya sama sekali. Ia tidak ingin repot-repot berurusan dengan hal remeh seperti cinta monyet saat itu.

“Kamu yakin pernah memberikan surat cinta pada saya?” tanya Faya memastikan.

Alden mendengkus mendengar pertanyaan Faya yang seperti tanpa rasa berdosa.

“Sudah menjadi tabiat kamu untuk merendahkan orang lain. Sampai-sampai kamu lupa dengan perbuatan kejam yang kamu hadiahkan saat itu. Karena kamu, rasa sakit hati dan rendah diri terus bercokol selama bertahun-tahun dalam diri saya!” desis Alden dengan nada marah yang tak bisa ia sembunyikan.

Surat cinta, siaran radio sekolah, sahabatnya. Faya berusaha menghubungkan ketiga hal itu di dalam memori kepalanya. Namun sama sekali tidak ada yang bisa Faya ingat dari kejadian itu.

“Kapan dan siapa tepatnya yang sudah menyebarkan surat itu di siaran radio?”

“25 Januari, sehari sebelum festival olahraga di sekolah. Dan gadis yang membacakan surat cinta itu bernama Lita, Jelita Asmarandini. Sahabat dekat kamu!”

Sehari sebelum festival sekolah. Jelita. Hah! Faya tertawa sinis setelah akhirnya dapat menghubungkan benang merah kesialannya hari ini.

“Saya nggak peduli kamu percaya atau tidak. Tapi semua yang kamu katakan salah besar! Di hari yang kamu sebutkan, saat itu saya sama sekali tidak berada di sekolah. Kedua, Jelita bukan sahabat saya. Dia cuma kecoa kecil yang selalu ingin menempel pada saya agar dapat dikenal orang lain!”

Jelita? Mendengar namanya saja Faya serasa ingin muntah. Ternyata pengkhianat satu itu sudah menunjukkan taringnya sejak mereka remaja. Pantas saja Faya merasa ada yang aneh ketika dirinya kembali ke sekolah. Ternyata perempuan beracun itu sudah berhasil membuat nama Faya tercoreng hingga dikenal sebagai seorang gadis kejam yang tega mematahkan hati yang menyukainya.

“Jangan berkelit. Kamu pikir dengan mengarang cerita dan melimpahkan kesalahan pada orang lain, membuat dosa kamu berkurang di mata saya?”

Faya menatap Alden dengan pandangan iba. “Whatever! Saya memang kejam, tapi saya bukan seorang pendusta. Sekarang menyingkir dan biarkan saya keluar dengan tenang!”

Mungkin karena rasa sakit dan trauma itu masih membekas di hati Alden, hingga ia tidak bisa berpikir jernih. Dan tidak percaya sepatah kata pun yang diucapkan Faya. Ia masih percaya jika Faya hanya ingin berdalih dan melemparkan kesalahan pada orang lain.

“Kamu pikir bisa semudah itu?”

Alden menjentikkan jarinya. Seketika teman-teman yang berada di ruangan tersebut membentuk lingkaran mengelilingi Faya. Bukan takut, Faya malah ingin tertawa melihat sikap kekanakan mereka. Mereka bukan lagi anak sekolah yang masih harus main keroyokan hanya karena ingin merundung seseorang.

Namun Faya tahu jika mereka hanya ingin menggertak. Di mata Faya mereka hanya anak-anak manja lainnya seperti dirinya dulu. Tidak ada yang benar-benar berani melakukan kejahatan besar yang akan berakibat fatal bagi orang lain. Kalau pun ada orang senekat itu, maka Faya lah orangnya.

Semua terjadi begitu cepat ketika Faya merampas botol wine yang diberikan padanya. Kemudian tanpa ragu menghantamkannya pada kepala pria tersebut. Jeritan dari pria itu menggema memekakkan telinga. Semua yang ada di dalam ruangan pun bangun dari keterkejutan mereka. Para wanita memekik histeris. Sementara para pria menatap tak percaya pada Faya yang tidak menunjukkan emosi apapun di wajahnya. Pecahan botol yang berwarna merah bercampur darah menjadi bukti nyata bahwa apa yang mereka saksikan saat ini nyata adanya. Bukan sekadar ilusi semata.

Alden dan Faya duduk berhadapan di ruang interogasi kantor polisi. Setelah kejadian mengerikan di dalam club house tadi, suasana menjadi tak terkendali. Beberapa orang sibuk membawa Revan, pria yang menjadi korban kekejaman Faya ke rumah sakit. Sementara Alden dan Faya terpaksa digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Alden yang tadinya merasa di atas awan karena merasa posisinya lebih tinggi dari Faya, nyatanya kini hanya berani mencuri pandang pada gadis di depannya yang tampak begitu tenang. Entah mengapa kini Alden merasa percaya dengan apa yang dikatakan Faya. Mungkin memang saat itu, keduanya hanyalah korban dari kejahatan Jelita. Namun meski begitu, bukan berarti apa yang dilakukan Faya saat ini bisa lepas begitu saja dari jeratan hukum.

“Kenapa? Mau merasakan juga kekejaman yang seperti tadi saya lakukan?” tanya Faya dengan nada sinis.

Seorang petugas kepolisian yang sedang menyusun laporan kasus tersebut bergidik sembari menggelengkan kepala mendengar ucapan Faya. Sedang Alden tampak bergidik ngeri dengan kegilaan yang Faya tunjukkan.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan ini bisa dikenakan pasal pidana?” ucap sang petugas pada Faya. Ia masih tidak habis pikir dengan pola tingkah anak-anak kalangan atas tersebut dalam bergaul. Setiap hari ada saja kasus aneh yang mereka tangani dari anak-anak pembuat masalah seperti Faya dan Alden.

“Tahu. Tapi selama korban tidak mati, saya rasa hukuman yang saya dapatkan tidak akan terlalu berat. Karena tindakan saya murni hanya ingin menyakiti tanpa ada niat membunuh.” Faya menjawab dengan mudahnya yang lagi-lagi membuat Alden dan sang petugas terperangah.

Baru saja sang petugas akan kembali bersuara, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Tampak sosok Martin dan dua orang petugas yang sedang menjelaskan kronologi kejadian pada Martin memasuki ruangan tersebut. Melihat kedatangan Martin, tanpa Faya sadari dirinya merasa lega. Seakan sosok Martin adalah pelampung penyelamat yang akan membantu Faya agar tidak tenggelam dalam kasus yang baru saja ia alami.

“Kasus ini akan diselesaikan secara damai. Jadi Ibu Faya dan Pak Alden bisa kembali ke rumah,” ucap salah seorang petugas yang tadi masuk bersama Martin.

Faya dan Alden tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan sang petugas. Terlebih Faya yang sama sekali tidak merasa menghubungi Martin. Ia dibawa ke kantor polisi bersama Alden tanpa memberitahukan siapa pun.

“Pak Martin, bagaimana dengan keluarga Revan?” tanya Alden ingin tahu.

“Itu biar jadi urusan saya.” Martin menjawab tanpa ingin menjelaskan apapun.

Martin jelas bekerja dengan cepat dan efisien. Ia memastikan tidak ada satu media pun yang akan menyebarluaskan kejadian tersebut. Baik keluarga Revan juga teman-teman Alden yang lain pun dipaksa untuk menutup mulut atas kasus yang terjadi. Sebagai pengacara, Martin benar-benar memiliki kinerja yang sangat profesional.

“Nona Faya bisa tunggu di mobil saya dulu. Masih ada hal yang harus saya urus dengan para petugas tadi.” Martin memberikan kunci mobilnya pada Faya. Tanpa menunggu jawaban gadis itu, ia segera berlalu mengikuti petugas kepolisian ke ruangan lainnya.

Kali ini, Faya benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata. Pria yang selama ini ia anggap hanya sebagai pegawai keluarganya, justru yang menjadi penyelamatnya saat Faya berada dalam masalah. Hati kecilnya terasa terusik. Ia kembali teringat akan Dewa yang tidak pernah pandang bulu dalam memberikan bantuan. Tanpa Faya sadari meski dunia berpaling darinya, tapi ia masih memiliki orang-orang yang peduli pada dirinya.

“Faya …” panggilan Alden membuyarkan pikiran Faya yang sedang berkecamuk. Gadis itu menatap tajam hingga membuat nyali Alden menciut. “Saya … ingin minta maaf sama kamu. Mungkin, memang saya salah paham pada kamu.”

Rasanya Faya ingin mencekik pria di hadapannya ini. Andai Alden mau mendengarkan ucapan Faya, maka kejadian berdarah tersebut tidak akan terjadi. Namun semua sudah terjadi, dan Faya tidak ingin memperpanjang masalah itu kembali.

“Faya … kalau kamu masih ingin bekerja ...”

No! Saya berhenti!” tolak Faya tegas.

Setelahnya ia meninggalkan Alden yang masih berdiri terpaku menatap kepergian gadis itu. Faya hanya berharap ia tidak lagi bertemu dengan Alden dan orang-orang tersebut. ia lelah harus berhadapan dengan mereka. Faya justru merasa kehidupannya sebagai rakyat jelata membuatnya sedikit lebih tenang dan santai.

Setelah menunggu entah berapa lama, akhirnya Martin muncul. Pria itu tidak mengucapkan sepatah katapun ketika memasuki mobil. Pun ketika mereka dalam perjalanan mengantar Faya ke kediamannya. Suasana di dalam mobil terasa begitu dingin. Padahal saat di kantor polisi tadi, Martin terlihat seperti biasanya. Apa pembicaraan terakhir mereka masih menyisakan kemarahan dalam hati pria paruh baya tersebut?

“Bisa antarkan saya ke florist Dewa?” Faya menjadi yang pertama memecah keheningan.

Martin tidak menjawab, hanya melaksanakan perintah seperti yang Faya inginkan. Hingga tak berapa lama, mereka akhirnya tiba di florist.
Sejenak Faya ragu, apakah dirinya akan keluar dan pergi begitu saja. Atau mengajak Martin berbicara sepatah dua patah kata untuk melepaskan kecanggungan. Namun lagi-lagi si ego kembali muncul. Faya segera membuka pintu mobil dan beranjak keluar. Martin hanya menatap kepergian gadis itu dengan wajah yang akhirnya menunjukkan ekspresi. Pria itu tidak pernah merasa marah akan sikap Faya. Justru ia sangat mengerti bagaimana gadis muda itu kini berjuang seorang diri di tengah kejamnya dunia.

Setelah memastikan Faya baik-baik saja, Martin bersiap untuk pergi. Namun belum sempat mesin kendaraannya menyala, terdengar ketukan dari luar. Pria itu segera menurunkan kaca jendela mobilnya dan mendapati Faya menatap padanya dengan mata yang sedikit berair.

“Terima kasih, Om Martin!” ucap Faya suara yang terdengar parau di telinga Martin.

Belum sempat Martin membalas ucapannya, Faya sudah berlari menjauh dan memasuki florist yang ternyata belum terkunci. Martin hanya bisa terpaku sesaat, kemudian senyumnya terbit tatkala ia kembali mengingat ucapan singkat gadis itu. Ucapan yang terdengar biasa saja, tapi bagi Martin begitu penuh makna. Karena ini pertama kalinya Faya memanggilnya dengan begitu sopan. Dan Martin tahu, kalimat tersebut diucapkan Faya dengan sungguh-sungguh.

Note : terima kasih yang masih menunggu. Kali ini, bukan Dewa yang jadi penyelamat Nona Bar-Bar, hehe. Semoga secepatnya bisa update lagi ya. Makasih koreksi typo dan lainnya.

Rumah, 29/03/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top