Babak 18 - Serigala Berbulu Domba

Tawaran kerja yang diberikan Alden bukan main-main. Pria itu tanpa ragu memberikan Faya jabatan sebagai Sekretarisnya. Meski perusahaan Alden belum berdiri cukup lama, namun koneksi yang dimilikinya membuat Alden mampu bersaing dengan perusahaan lainnya.

Awalnya banyak suara ketidak setujuan atas kehadiran Faya yang tiba-tiba menggantikan posisi Sekretaris lama Alden. Namun semua dapat dengan mudah diselesaikan. Alden sebagai pemegang kuasa tertinggi di perusahaan tentu saja memiliki suara mutlak untuk setiap keputusan. Begitu pun dengan masalah jabatan yang dialami Faya. Sekretaris lama Alden harus berlapang dada menerima keputusan sang pemimpin saat dirinya dipindahkan ke divisi lain.

Menjadi Sekretaris tadinya Faya pikir akan melelahkan. Semua tugas penting yang berhubungan langsung dengan atasan berada di bawah kendalinya. Namun ternyata saat menjalani pekerjaan barunya, Faya tidak mengalami kesulitan seperti yang ia bayangkan. Semua terasa begitu mudah. Entah karena ia yang cepat belajar, atau karena factor nepotisme yang dijalankan Alden. Sehingga pekerjaan Faya berjalan dengan lancer hanya dalam hitungan hari dirinya bekerja.

Tentu saja kemudahan dalam bekerja berbanding terbalik dengan interaksi Faya dengan karyawan lainnya. Kerap kali Faya mendapat tatapan sinis dan cemooh dari rekan-rekan kerjanya. Semua itu dapat dipahami mengingat Faya yang mendapatkan pekerjaan lewat pintu belakang. Namun Faya memilih tidak ambil pusing. Ia bekerja hanya demi uang. Bukan untuk menambah teman. Asal mereka tidak menyerangnya secara fisik terang-terangan, Faya tidak akan peduli. Lagipula persaingan dalam dunia pekerjaan itu hal yang biasa.

"Faya, rapat dengan PT Raksa Mega tolong kamu batalkan, ya. Hari ini saya punya janji penting." Alden keluar dari ruang kerjanya menghampiri meja kerja Faya. Pria itu tampak terburu-buru akan meninggalkan kantor. "Oh satu lagi, karena saya nggak akan balik ke kantor, kamu boleh pulang lebih awal."

"Baik, Pak."

Setelah membalas salam dari Alden yang sudah menghilang di balik pintu elevator, Faya langsung menghubungi pihak yang tadi disebutkan Alden untuk membatalkan pertemuan. Setelah mengecek beberapa pekerjaan dan merapikan meja kerjanya, Faya bersiap untuk pulang.

Tentu saja kepulangan Faya lebih awal menjadi pemandangan yang membuat karyawan lain iri. Tapi apa boleh buat, itulah kehebatan sebuah koneksi. Semua akan mudah dan dimuluskan.

Faya merasa tidak ada yang bisa ia lakukan jika kembali ke rumah. Karena itu ia memutuskan untuk menghibur diri dengan berkeliling mal. Sudah lama sekali rasanya Faya tidak merasakan kenyamanan seperti ini. Meski ia hanya sekadar melihat-lihat, tapi hal itu cukup untuk mengobati rasa rindunya pada belanja.

"Nanti, kalau kamu sudah terima gaji pertama, kamu bisa belanja sepuasnya untuk membayar rasa haus kamu selama ini!" janji Faya pada dirinya sendiri.

Faya pikir dirinya akan berkeliling cukup lama mengingat dirinya yang tak pernah lagi menikmati kesenangan berbelanja. Ternyata kali ini Faya salah. Bukan sekadar tak memiliki uang yang membuat Faya enggan berlama-lama di salah satu surga dunianya. Namun Faya tak merasakan kesenangan seperti dulu. Mungkin karena beberapa hal dalam hidupnya berubah. Hingga memengaruhi hal yang dulu menjadi prioritas utamanya sekarang seolah tak lagi bermakna. Ia merasa bosan.

"Mungkin karena kamu terlalu sering berbelanja dulu?" gumam Faya pada dirinya.

Atau mungkin karena ... satu pemikiran merasuk ke dalam benak Faya. Namun ia segera menggeleng. Tidak mungkin dirinya berubah begitu drastic hanya karena bergaul dengan Dewa. Faya meyakinkan diri jika rasa bosan yang dirasakannya saat ini murni karena dirinya sedang tidak memiliki mood untuk berbelanja atau sekadar cuci mata. Bukan karena pengaruh dari pria itu.

Faya boleh menyangkal, tapi kenyataan membuktikan bahwa anggapannya salah. Buktinya saat ini dirinya sudah berdiri di depan pintu florist Dewa. Ketika pintu berdentang terbuka dari dalam, Faya seakan dibawa kembali dari alam bawah sadarnya.

"Faya?" seru Bu Mina yang kebetulan membuka pintu.

Keduanya bertatapan. Ada rasa canggung sejak peristiwa kesalah pahaman yang lalu. Namun sebagai orang yang lebih berpengalaman, Bu Mina tentu saja memecah kecanggungan dengan mengajak Faya untuk masuk ke florist. Tadinya Faya akan menolak, tetapi ketika Bu Mina membuka pintu florist untuk mempersilakan Faya masuk, gadis itu pun akhirnya melangkahkan kakinya.

Kedatangan Faya yang tiba-tiba sejenak membuat para pegawai yang sedang melayani pelanggan tertegun. Namun mereka harus bersikap profesional, jadi semua kembali ke mode kerja dan membiarkan Bu Mina membawa Faya untuk menemui Dewa.

"Saya bukan mau menemui Dewa ..." tolak Faya.

Namun lagi-lagi gadis itu tidak bisa berbuat apapun ketika Bu Mina dengan sigap mengetuk pintu ruang kerja Dewa. Terdengar suara pria itu dari dalam yang mempersilakan siapa pun yang mengetuk pintu untuk masuk.

"Silakan masuk, Faya ..." kembali Ibu Mina membukakan pintu untuk Faya.

Dewa yang tadinya sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya seketika mengarahkan pandangan pada gadis yang memasuki ruang kerjanya dengan langkah ragu-ragu. Ibu Mina tanpa diperintah segera menutup kembali pintu setelah Faya benar-benar memasuki ruangan.

Selama beberapa saat Faya hanya berdiri terpaku. Sementara Dewa menunjuk pada kursi yang tersedia di depannya bagi Faya untuk duduk.

Otak Faya masih bergulat dengan keputusan apa yang akan ia ambil. Juga masih bertanya-tanya kenapa ia justru berakhir di florist. Sampai satu bagian pikirannya memberi sinyal untuk Faya melangkah.

Untuk apa Faya harus ragu atau canggung. Ia dan Dewa hanya tidak bertemu beberapa hari karena kesibukan Faya. Seolah mereka memiliki hubungan romantic saja yang harus terpisah jarak dan waktu. Mereka hanya dua manusia yang dipertemukan takdir untuk saling membantu. Dengan pemikiran tersebut, Faya akhirnya melanjutkan langkanya hingga tiba di hadapan Dewa.

"Apa kabar, Faya?" tanya Dewa yang tadi sempat bertanya-tanya mengapa Faya terpaku di sana.

"Sangat baik."

Awalnya Faya ingin bersikap tenang dan dingin seperti biasa. Namun entah mengapa perlahan senyumnya merekah. Seolah ia tidak sabar untuk mengungkapkan pada Dewa bahwa kini dirinya baik-baik saja. Dan mungkin tak lama lagi kehidupannya perlahan membaik.

"Saya senang mendengar bahwa kamu baik-baik saja. Dan bisa saya pastikan suasana hati kamu juga sedang baik. Ada kabar yang ingin kamu bagi?"

Faya terperanjat. Ia pun kemudian bertanya, "Apa sejelas itu kamu bisa membaca saya?"

"Andai kamu sadari, mungkin sebenarnya kamu adalah orang dengan karakteristik begitu terbuka. Apa yang kamu rasakan dapat dengan jelas tergambar di wajah kamu. Kalau kata orang, kamu seperti buku yang terbuka. Membuat orang bisa membaca apa yang kamu tunjukkan."

Bukannya senang, Faya justru merasa tidak terima dikatakan begitu mudah dibaca seperti buku yang terbuka. Tapi Faya tidak memiliki keinginan untuk membantah ucapan Dewa. Mungkin apa yang dikatakan pria itu benar adanya. Hanya saja Faya tidak menyadarinya.

"Saya sudah mendapat pekerjaan," ucap Faya membeberkan kabar bahagia dalam hidupnya.

"Selamat. Semoga pekerjaan kamu saat ini bisa memberikan kamu ketenangan dan rasa nyaman."

Faya pun berharap seperti apa yang dikatakan Dewa. Hanya saja ia tidak ingin berharap terlalu banyak. Pengalaman mengajarkan untuknya tidak terlalu berlebihan dalam apapun.

"Sebagai bentuk perayaan, saya mau ..."

Faya sejenak ragu untuk mengatakannya. Namun ia mengingat segala kebaikan yang sudah Dewa berikan padanya selama ini. Karena itu Faya akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Dewa menikmati sedikit perayaan kecil darinya. Anggap ia ingin membalas sedikit saja jasa pria itu terhadapnya.

"Boleh. Tapi saya mau kamu yang memasak. Bagaimana?" pinta Dewa yang langsung membuat mata Faya melotot.

"Kamu gila? Saya nggak bisa masak!"

"Tenang saja. Saya bantu. Ayo!"

Tanpa peduli dengan protes yang dilayangkan Faya, Dewa sudah merapikan meja kerjanya dan bergegas meninggalkan ruangan. Disusul Faya yang ternyata masih melayangkan protes karena Dewa memintanya memasak. Namun Dewa hanya tertawa sambil sesekali menanggapi dengan jawaban singkat atas segala omelan Faya.

Pemandangan dua orang tersebut tentu menggemparkan para karyawan florist. Terutama Ambika, Nita dan Kiki yang sering menebak-nebak hubungan antara Dewa dan Faya. Melihat kedekatan mereka saat ini, ketiga gadis itu kembali berspekulasi jika memang Faya dan Bos mereka itu memiliki hubungan romansa.

...

Satu bulan bekerja Faya lewati tanpa ada kendala berarti. Omongan miring yang terus berembus dari segala sisi mengenai hubungannya yang tak biasa dengan Alden pun tidak Faya pedulikan. Baginya Alden adalah teman dan atasannya. Faya hanya harus bekerja dengan baik dan menjaga hubungan pertemanan di luar kantor dengan Alden sebagaimana seharusnya.

Bukan tanpa sebab gosip tersebut beredar. Karena memang Alden sendiri secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Faya. Hanya saja Faya memilih bersikap seolah buta terhadap perhatian yang ditunjukkan Alden. Bukan karena Faya benar-benar tidak merasakannya, tapi Faya tidak memiliki perasaan terhadap Alden selain sebagai seorang atasan dan teman. Lagipula jika memang Alden memiliki perasaan serius terhadapnya, Faya tentu tidak akan semudah itu jatuh cinta. Faya membutuhkan waktu untuk dapat menyelami perasaannya sendiri dan melihat ketulusan Alden. Ia tidak ingin kejadian lama terulang lagi.

Mengingat sang mantan, membuat darah Faya mendidih. Bukan karena ia cinta pada William, tapi karena keputusan William yang berpacaran dengan teman pengkhianatnya yang menyebalkan. Memang dua sampah lebih tepat berada di wadah yang sama.

Belum juga mendapat lampu hijau dari Faya, tidak membuat Alden patah semangat. Pria itu justru semakin gencar untuk mendekati Faya. Memberikan kesan terbaik agar dapat meluluhkan gadis es itu. Tidak mudah memang, mengingat sifat keras kepala Faya yang seperti mendarah daging. Ditambah lagi dengan sikap skeptisnya terhadap cinta. Faya merasa belum waktunya bagi ia untuk membangun hubungan cinta.

Sampai akhirnya Alden bertanya bagaimana perasaan Faya terhadapnya secara terang-terangan. Dengan tegas Faya menjawab jika ia sama sekali tidak merasakan perasaan apapun pada Alden selain sebagai seorang teman baik. Jawaban Faya membuat Alden akhirnya menyerah untuk mencoba mengejar gadis itu. Mungkin memang mereka hanya ditakdirkan untuk berakhir sebagai seorang teman.

Tapi bukan berarti semua rencana yang sudah Alden siapkan untuk Faya akan dihentikan. Bukan tanpa alasan pria itu mendekati Faya. Ada hal dari masa lalu mereka yang harus Alden selesaikan. Dan Faya harus tahu hal itu.

Karenanya malam ini setelah jam kantor usai, Alden meminta Faya untuk menemaninya menemui beberapa klien. Tentu saja dengan alasan sebagai seorang Sekretaris. Awalnya Faya ingin menolak. Jam kantornya sudah usai. Selain itu Faya sedang tidak ingin bepergian ke manapun. Ia hanya ingin segera pulang ke rumah dan merebahkan diri. Namun mengingat betapa baiknya Alden selama ini terhadapnya, Faya pun menyanggupi permintaan pria itu. Bahkan tawaran Alden untuk memasukkan kegiatan malam ini ke dalam jam lembur Faya, ia tolak dengan tegas.

Pukul delapan malam mereka berangkat dari kantor menuju tempat pertemuan. Selama perjalanan semua berlangsung seperti biasa. Alden yang mengajak Faya mengobrol tentang banyak hal. Hingga Faya melupakan sejenak rasa lelahnya. Tidak lama mereka tiba di sebuah club house. Tempat yang sudah lama tidak Faya datangi.

Apakah Faya merindukan tempat-tempat itu? Jawabannya tentu saja tidak. Entah sudah berapa lama Faya tidak lagi tertarik atau merindukan untuk bermain di tempat-tempat hiburan tersebut.

Alden membawa Faya memasuki satu ruangan private yang sudah mereka pesan. Sesaat memasuki ruangan tersebut, Faya menemukan sudah ada beberapa orang yang hadir di sana. Yang kemungkinan besar adalah klien yang Alden sebutkan. Namun melihat interaksi mereka yang cukup akrab, Faya tidak yakin hubungan mereka hanya sekadar rekan kerja sama.

"Selain klien, mereka juga teman-temanku." Penjelasan Alden membuat dugaan Faya terjawab.

Alden memperkenalkan satu persatu orang-orang yang ada di sana kepada Faya. Meski ada beberapa wajah yang tidak asing baginya, tetapi Faya tidak mengenal satu pun dari teman-teman Alden.

Mungkin karena sudah lama tidak berada di lingkup seperti saat ini, Faya merasa dirinya seperti berada di tempat yang tidak seharusnya. Alden dan teman-temannya dengan santai berbincang dan bercengkerama yang justru Faya pikir jauh dari urusan pekerjaan. Sedangkan dirinya hanya duduk di sofa yang agak tersendiri dengan segelas minuman di tangannya.

Wine bukan minuman yang asing baginya. Bahkan itu seolah menjadi bagian dari kesehariannya. Namun sejak jatuh miskin, Faya tidak lagi merasakannya. Harusnya Faya merindukan minuman tersebut. Namun hanya seteguk, ia tidak lagi berselera untuk menghabiskan isi di dalam gelasnya.

Selama beberapa saat Faya mencoba bertahan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk berbicara pada Alden agar dirinya bisa segera pulang. Namun baru saja ia akan bicara, Alden menarik Faya untuk ikut bermain truth or dare bersama mereka.

"Alden, saya rasa saya tidak dibutuhkan di sini. Jadi boleh kan kalau saya pergi?" pinta Faya yang membuat teman-teman Alden menatap padanya.

"Please, Faya. Kita sedang senang-senang. Tidak ada salahnya kalau kamu ikut kan?"

"Tapi saya benar-benar ingin segera pulang ke rumah." Faya tetap menolak ajakan Alden.

Salah seorang teman pria Alden tiba-tiba mendekati Faya. "Oke. Kamu bisa pergi tapi setelah menyelesaikan satu tantangan, bagaimana?"

Sejak awal Faya memasuki ruangan tersebut, perasaannya sudah tidak tenang. Meski begitu Faya masih mencoba berpikir positif karena adanya Alden yang akan melindunginya. Sampai saat ini Faya masih ingin percaya akan hal itu.

"Tantangan seperti apa?" tanya Faya kemudian.

Pria itu mengambil sebuah botol anggur, lalu mengarahkannya pada Faya. "kalau kamu bisa menghabiskan satu botol anggur ini, kamu boleh pergi."

Terdengar sorak-sorai dari yang lainnya. Mereka seperti dikomando segera mengelilingi Faya untuk menyaksikan pertunjukan yang akan segera terjadi.

Pria yang memberikan tantangan tersenyum penuh provokasi pada Faya. Tatapannya seolah sedang merendahkan Faya yang sudah mengepalkan kedua tangan. Gadis itu juga memberikan tatapan yang tak kalah kejam pada sang pria. Namun seolah tidak terpegaruh akan tatapan mematikan dari Faya, pria itu justru semakin gencar memprovokasi.

Faya sendiri tidak langsung menerima atau menolak cemoohan berkedok tantangan tersebut. Ia justru mengarahkan tatapannya pada Alden yang justru hanya memandang Faya dengan tatapan yang sulit gadis itu artikan.

"Alden, kamu tahu maksudnya ini semua apa?" Faya akhirnya mengeluarkan tanya yang tertanam di kepalanya sejak tadi.

"Relaks, Fay. Ini kan hanya permainan."

Jawaban ringan dari Alden membuat darah Faya mendidih. Seketika Faya seakan tersadar bahwa selama ini dirinya sudah tertipu oleh sikap manis Alden. Pria itu tidak sebaik yang ditunjukkannya selama ini. Faya yang sudah mengendurkan pertahanan dirinya merasa menjadi manusia paling bodoh saat itu juga. Ia sudah merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Apa jatuh miskin membuat otaknya makin tumpul?

"Let's stop pretending! Katakan, kenapa kamu mendekati saya? Kita sama sekali bukan teman sekolah, ya kan?"

Alden seketika tertawa mendengar pertanyaan Faya. "Hahaha, aku nggak nyangka ternyata kamu senaif itu," ejek Alden. "Faya ... Faya ... jatuh miskin memang membuat otak kacau, ya. Sampai-sampai kamu jadi begitu defenless."

"Berhenti bicara berputar-putar. Kepala saya pusing mendengar ocehan tidak bermutu dari mulut-mulut sampah kalian." Faya balas mencela.

"Ck, ternyata si Nona besar masih bisa berlidah tajam seperti biasa!" salah seorang teman wanita Alden ikut menimpali.

"Seorang pendosa memang seringkali bersikap layaknya korban. Mereka seolah lupa dengan semua hal kejam yang pernah mereka lakukan." Teman Alden yang lain pun saling menyahut.

Kepala Faya benar-benar berdenyut saat ini mendengar sahutan-sahutan dari mereka. Faya berusaha mencerna apa yang sedang mereka bicarakan. Apa yang pernah ia lakukan. Dan siapa sebenarnya Alden?

...

Note : kita cut sampai sini dulu ya. Takut kepanjangan. Hehe. Selamat membaca. Dan selamat berpuasa buat teman-teman yang menjalankannya. Terima kasih koreksi typo dan lainnya ya. Marhaban ya Ramadhan

Rumah, 26/03/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top