Babak 17 - Teman Lama

Hubungan dengan Dewa yang kian membaik, membuat suasana hati Faya juga perlahan membaik. Meski belum memutuskan untuk kembali bekerja di florist, tetapi Faya tidak lagi memiliki rasa sakit hati terhadap Dewa dan orang-orang di florist. Hanya satu yang membuat Faya masih sering menggerutu. Apalagi jika bukan karena dirinya yang masih sulit sekali mendapatkan pekerjaan.

Faya sudah mencoba dan ia juga hampir jika karena tak kunjung mendapatkan tawaran pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Padahal jelas-jelas Faya sudah menurunkan standardnya. Ia tidak harus ditempatkan di posisi teratas karena Faya menyadari minimnya pengalaman kerja yang ia miliki. Tapi bukan berarti juga ia harus ditempatkan di posisi terbawah seperti halnya tukang bersih-bersih. Tolong, Faya bukannya tidak ingin bersyukur, ia hanya tidak bisa melakukan pekerjaan tersebut.

"Semua pekerjaan pasti bisa dikerjakan asal mau belajar dan terbiasa."

Begitu komentar salah satu orang yang mewawancarainya saat sedang melamar pekerjaan. Hell, No! Faya tetap tidak bisa memaksa dirinya untuk bergulat dengan peralatan bersih-bersih tersebut. Ditambah lagi hingga saat ini Faya belum juga bisa mengatasi pemaklumannya terhadap sesuatu yang kotor.

Di tengah rasa putus asanya, panggilan masuk dari Martin seakan menjadi angin segar baginya. Betapa bodohnya Faya hingga ia melupakan pria tua itu. Ketika semua orang pergi meninggalkannya, hanya Martin yang masih dengan tulus membantunya. Mengapa tidak terpikir olehnya untuk meminta bantuan Martin perihal pekerjaan.

Faya langsung bergegas membenahi diri untuk segera pergi ke kantor Martin. Agar tak perlu begulat dengan penuh sesaknya penumpang bus kota, ia memilih mengeluarkan sedikit uang simpanan yang tersisa demi ongkos taksi. Toh, nanti ia bisa meminta Martin mengantarkannya pulang. Dengan begitu Faya bisa menghemat pengeluarannya.

Setiba di kantor Martin, Faya tak lantas langsung masuk. Ia berdiri sejenak seraya memandangi bangunan lima lantai yang menjadi milik Martin sejak ia bekerja sebagai pengacara bagi keluarga Faya. Gadis itu juga coba mengingat kapan terakhir kali Faya menginjakkan kakinya di tempat itu.

"Faya?" panggil sebuah suara saat Faya hendak melangkahkan kakinya memasuki gedung kantor.

Faya menoleh ke asal suara demi melihat seorang pria yang perlahan menghampirinya.

"Faya Cassandra, right?" ujar pria tersebut kembali.

"Yes. And you?"

Pria itu tertawa melihat respon yang diberikan Faya. "Alden. your elementary classmate."

Faya berusaha mengingat siapa pria bernama Alden yang ada di depannya ini. Namun lagi-lagi Faya yang begitu mudah menyingkirkan hal-hal tidak penting dalam hidupnya, tidak berhasil mengingat apapun tentang Alden.

"Maaf, tapi sepertinya sirkuit di otak saya benar-benar payah jika sudah berurusan dengan memori dari masa lalu." Faya berucap jujur.

Alden hanya tersenyum maklum mendengar penuturan Faya. Dari dulu ia sudah mengetahui Faya adalah orang tidak akan repot-repot mengingat orang lain atau apapun hal yang tidak berhubungan dengannya. Buang-buang waktu dan pikiran, begitu ucap faya dulu saat seorang teman sekolah menanyainya alasan Faya tidak pernah mau mengingat siapapun temannya.

"Enggak masalah kalau kamu tidak ingat. By the way, sedang apa di sini?' Alden akhirnya bertanya hal lain.

"Ada sedikit urusan."

"Kamu kenal dengan Pak Martin juga?"

"Martin, dulunya Pengacara keluarga kami." Jelas Faya tanpa menutupi apapun.

Satu hal yang Faya bingung, mengapa Alden seakan tidak mengetahui keadaan dirinya dan keluarganya saat ini. Kebangkrutan yang dialaminya keluarganya bukan lagi rahasia umum. Jika memang Alden berasal dari kalangan yang sama dengan Faya, harusnya pria itu tahu hal kecil seperti ini. Atau ...

"Kebetulan aku baru balik dari Inggris. Sejak lulus SMP, aku dan keluarga menetap di sana. Jadi ya, aku cukup terkejut lihat kamu ada di kantornya Pak Martin."

"Oh," balas Faya singkat.

Ia tidak tahu harus berbasa-basi apa pada pria yang mengaku sebagai salah satu teman sekolahnya itu. Faya pun memilih untuk mengakhiri kecanggungan mereka dengan berpamitan pada Alden. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera memasuki kantor Martin.

Alden sendiri hanya bisa tersenyum maklum dengan sikap Faya. Siapa pun mungkin akan bersikap seperti yang Faya lakukan jika tiba-tiba saja didekati oleh orang yang tidak begitu dikenalnya. Namun pria itu seperti tidak terepengaruh dengan keenganan Faya. Masih ada waktu bagi mereka untuk menjadi lebih dekat lagi. Karena Alden punya agenda lain terkait gadis itu.

Faya yang tidak tahu seorang pria memiliki rencana terhadapnya justru kini sudah duduk dengan nyaman di hadapan Martin dengan kopi dan kue-kue cantik yang disajikan. Sudah lama sekali rasanya Faya tidak merasakan kemewahan sederhana seperti ini. Martin jelas tahu seperti apa selera Faya.

"Apa yang membawa Nona Faya tiba-tiba berkunjung ke sini?" tanya Martin ingin tahu.

Pria paruh baya itu jelas terkejut melihat kedatangan sang nona besar. Walau Martin bisa menebak secara garis besar tujuan Faya menemuinya.

"Saat ini saya belum mendapatkan lagi informasi tentang Papa anda."

Faya menyeruput kopinya sembari melambaikan sebelah tangannya singkat.

"Saya tidak peduli bagaimana kabar manusia itu. Saya ke sini karena ada hal lain yang ingin saya minta sama kamu."

Martin mengernyit. "Kalau begitu ada apa?"

"Bisa kamu berikan saya pekerjaan?" ucap Faya tanpa basa-basi. "Saya sudah tidak bekerja lagi di florist. Saya juga sudah coba mencari pekerjaan di berbagai tempat tapi hasilnya nihil. Dan tiba-tiba saya ingat, kamu mungkin bisa membantu saya."

Ah, andai Martin bisa bersikap santai seperti Faya, ia pasti sudah mengeluarkan gerutuan atas sikap gadis muda itu. Mau bagaimana pun, dirinya lebih tua dibandingkan Faya. Martin seusia dengan ayah gadis itu. Tapi sejak dulu, Faya memang benar-benar jarang menampakkan rasa hormatnya pada Martin. Ia memang hanya melihat Martin sebagai pengacara yang bekerja untuk keluarganya.

"Nona Faya, saya bisa bantu kamu. Tapi ..."

"Tapi apa?" Faya menyambar cepat.

"Nona harus bisa menunjukkan sikap lebih hormat pada saya."

Faya akan membantah tetapi segera ditepis oleh Martin.

"Walau bagaimana pun saya lebih tua dari Nona. Tidak hanya pada saya, tapi coba tunjukkan sikap menghormati kepada orang lain. Itu salah satu faktor penting dalam dunia kerja."

Mendengar ucapan Martin, seketika Faya merasa tidak senang. Ia datang untuk meminta bantuan Martin untuk pekerjaan. Bukan untuk mendapat ceramah kehidupan. Jika memang Martin tidak ingin membantunya, maka sudah. Faya bisa mencari jalan lain.

Faya meletakkan gelas kopinya dengan sedikit membanting. Tanpa sepatah kata pun Faya segera meninggalkan ruang kerja Martin. Pria paruh baya tersebut hanya bisa mengembuskan napas pelan. Tidak mudah memang mengubah perangai orang lain. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Buktinya, Martin melihat sendiri bagaimana seorang Faya perlahan meninggalkan dirinya yang lama. Tentu saja semua itu tidak instan dan dengan bantuan Dewa lah Faya bisa bertahan hingga saat ini. Martin bukan ingin Faya memberinya rasa hormat hanya karena saat ini dirinya berada jauh di atas keadaan yang gadis itu alami sekarang. Namun Martin hanya ingin mencoba peruntungan dengan menunjukkan pada Faya, bahwa menghormati orang lain bukan hal rendah dan siapa pun bisa melakukannya. Tidak terkecuali seorang Faya yang dulunya selalu berada jauh di atas jangkauan orang lain. Tapi sepertinya permintaan kecilnya belum berhasil. Keras kepala itu masih tersisa dalam darah Faya.

...

Sepeninggal Faya dari kantor Martin, gadis itu terus menggerutu sepanjang jalan. Ia masih tidak habis pikir dengan permintaan Martin. Apa maksudnya itu? Faya sama sekali tidak mengerti. Mengapa ia harus bersikap sopan baru Martin akan membantunya. Faya tidak mengamuk di sana saja harusnya Martin sudah bersyukur. Jika bukan karena bantuan keluarganya dulu, bagaimana mungkin Martin bisa mencapai posisinya sekarang ini?

Namun sepertinya Faya juga lupa, jika bukan karena bantuan Martin, mungkin saat ini Faya sudah menggelandang di jalanan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Pria itu berupaya sebaik mungkin agar Faya mendapatkan sedikit saja aset kekayaannya yang tersisa sebelum digunakan untuk membayar utang piutang.

Faya akan melanjutkan umpatannya ketika seseorang menghalangi jalannya. Faya yang belum melihat siapa pelakunya karena masih menundukkan kepala, sudah siap akan menyemprot orang tersebut. Sepertinya dia memang butuh pelampiasan untuk rasa kesalnya pada Martin.

"Minggir!" bentak Faya yang dengan kaki yang sudah memanjang siap memberikan tendangan pada orang tersebut.

Namun sepertinya orang tersebut memiliki refleks yang baik karena berhasil menghindari tendangan Faya.

"Sepertinya suasana hati kamu sedang buruk?"

Faya terperanjat mendengar suara yang sepertinya tidak asing di telinganya. Seketika Faya menaikkan pandangan dan langsung bertatapan dengan Alden, pria yang mengaku sebagai teman sekolahnya dulu.

"Kamu? Sedang apa di sini?" tanya Faya tanpa basa-basi. Ia merasa jika pria ini memang sengaja mendekatinya. Katakan Faya terlalu percaya diri, tapi insting wanitanya hampir selalu benar.

"Urusan saya dengan Firma hokum Pak Martin sudah selesai. Tadinya saya sudah siap untuk pulang, tapi saya lihat kamu berjalan menunduk sambil menggerutu begitu. Jadinya saya penasaran dan mendekat." Jelas Alden tidak menutupi apapun. "Kamu sedang ada masalah? Kamu bisa cerita sama saya kalau butuh pendengar."

"Kita tidak sedekat itu untuk saling bercerita layaknya teman."

"Tapi kita teman sekolah."

"Dulu. Dan saya tetap merasa bahwa konteks teman tersebut adalah sepihak keputusan kamu."

Alden tertawa mendengar ucapan Faya yang tanpa filter.

"Ya, mungkin memang konsep teman itu memang sepihak dari saya. Tapi bolehkan saya menjadi teman kamu. Menambah satu teman lebih baik daripada menambah satu musuh."

"Boleh jika kamu mentraktir saya makan siang sebagai tanda pertemanan," balas Faya dengan mudahnya.

Dulu Faya adalah orang yang gampang curiga dan tidak akan mudah percaya pada orang lain. Namun setelah mengenal Dewa dan para karyawannya entah mengapa Faya tidak lagi gampang menaruh curiga. Keterbukaan mereka membuat Faya tidak lagi membangun dinding menjulang tinggi sebagai pertahanan diri. Mungkin itu hal yang salah, karena dalamnya hati manusia tidak bisa tertebak. Tetapi untuk kali ini, Faya melepaskan semua prasangkanya. Ia ingin melakukan seperti apa yang selalu dilakukan Dewa. Berbuat baik dan berprasangka baik tidak akan membawa kerugian bagi diri kita.

Kalau pun ke depannya ada hal tidak menyenangkan yang terjadi karena prasangka baiknya, Faya hanya tinggal melimpahkan semua kesalahan pada Dewa. Karena pria matahari itu lah yang mengajarinya segala hal yang belum pernah Faya lakukan sepanjang umurnya. Ya, ada Dewa sebagai kambing hitamnya!

Alden membawa Faya ke sebuah restoran mewah. Jiwa Faya rasanya menggelora. Sudah berapa lama dirinya tidak menginjakkan kaki di tempat itu. Lidahnya pun serasa tak sabar untuk segera menari mencicipi hidangan dari para cheff yang bersertifikat internasional. Tanpa sadar Faya menarik sudut bibirnya. Ia sedang bahagia saat ini.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Alden ketika mereka sudah duduk.

"Rekomendasi Cheff," jawab Faya tanpa pikir panjang.

"Oke, kalau begitu kami pesan rekomendasi Cheff."

Sepeninggal sang Pramusaji, Alden membuka pembicaraan ringan untuk mencairkan suasana. Awalnya ia hanya mengajak Faya bernostalgia tentang masa sekolah mereka, yang mana Faya tidak seratus persen terkoneksi. Karena Faya hampir tidakk mengingat satu hal pun kesan penting dan istimewa dari masa sekolah mereka.

Ya, Faya akui memang dirinya tidak berbakat dalam hal akademik. Ia hanya punya uang dan kekayaan melimpah saat itu. Jadi baginya semua kenangan masa sekolah tidak terlalu penting. Karena yang Faya lakukan hanya menjalani keseharian di sekolah dengan harapan segera lulus dan tidak lagi dipusingkan dengan pelajaran. Kesenangan hidup Faya dapatkan dari uang yang dihabiskan untuk jalan-jalan atau berbelanja.

Sampai akhirnya Alden perlahan menggiring Faya ke dalam pembicaraan mengenai apa yang barusan terjadi di kantor Martin. Faya yang merasa tidak ada jurang antara mereka mengungkapkan dengan santai apa yang terjadi di kantor Martin tadi.

"Kamu butuh pekerjaan?" tanya Alden sekali lagi memastikan.

Sembari menyuapkan sepotong steak yang sudah dihidangkan ke dalam mulutnya, Faya mengangguk sebagai respon. Baginya saat ini lidahnya perlu dimanjakan dengan rasa steak otentik yang sudah lama tidak ia nikmati. Karena itu ia tidak mau repot-repot memberi jawaban suara pada Alden.

"Kalau kamu memang butuh pekerjaan, saya bisa bantu," ujar Alden kemudian.

Faya terhenyak. Ia memandang Alden dengan tatapan tajam yang cukup membuat pria itu ketar-ketir.

"Kamu ... serius?" tanya Faya memastikan.

"Iya. Kalau kamu bersedia."

Jika tawaran itu datang dari mulut orang lain, Faya mungkin akan berpikir dua kali. Tetapi tawaran ini datang dari Alden, yang mana Faya tahu pria ini berasal dari keluarga pengusaha seperti keluarganya dulu. Kalau pun Alden ingin memberinya pekerjaan, Faya yakin ia tidak akan menempatkan Faya di posisi yang sulit. Karena pria itu tahu bagaimana gaya hidup seorang Faya dahulu. Meski menjadi seorang karyawan yang bertugas menyalin ratusan berkas pun, saat ini Faya tak masalah. Hanya satu tujuan yang ingin Faya capai saat ini yaitu bekerja untuk menghasilkan uang.

"Bagaimana, kamu berminat?" Alden menawarkan sekali lagi.

Melihat ekspresi wajah Faya yang meragu, Alden sempat berpikir gadis itu akan menolak. Namun ia tak menyangka jika Faya akan mengulurkan tangan padanya.

"Happy working!" ucap Faya yang tentu saja langsung disambut oleh Alden tanpa ragu.

...

Note : Selamat membaca. Terima kasih koreksinya J

Rumah, 08/03/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top