Babak 16 - Wisteria

Faya memerhatikan sekeliling florist. Padahal baru hitungan hari dirinya tidak berada di sana. Tapi entah mengapa rasanya seperti sudah lama Faya meninggalkan tempat itu. Apa itu yang dinamakan kerasan? Selama ini Faya tidak pernah sedikit pun menganggap serius pekerjaannya di florist. Namun setelah tak bekerja di sana, ia justru merasa ... rindu?

Ah, sejak kapan dirinya berubah menjadi pribadi sentimental begini? Ini semua salah Dewa!

Ada beberapa tanaman baru yang belum pernah Faya lihat. Ia pun menghampiri tanaman tersebut. Salah satu yang menarik perhatian Faya adalah sekumpulan bunga wisteria. Faya cukup terkejut mengingat jenis bunga ini belum begitu banyak dikenal di Indonesia. Terakhir kali Faya menyaksikan keindahan bunga berwarna ungu tersebut adalah ketika dirinya berlibur ke Jepang setahun yang lalu, Bisa melihat kembali pesona indah wisteria tentu membawa kenangan bagi Faya.

"Kamu suka wisteria?" tanya Dewa yang tahu-tahu saja sudah berada di belakang Faya.

Gadis itu tersentak kaget sembari memegangi dadanya. Tak lupa ia memberikan tatapan penuh ancaman pada Dewa karena sudah membuatnya terkejut. Bukannya takut, Dewa justru tertawa kecil melihat tatapan galak Faya. Mengingatkannya pada Viola, kucing betina yang selalu memberikan tatapan garang pada siapapun. Rasanya Dewa ingin mengegerakkan tangannya untuk mengelus kepala Faya seperti ia mengelus bulu indah Viola. Sayangnya Dewa tidak akan bisa melakukan hal tersebut alih-alih justru akan mendapat amukan dari Faya.

"Saya bukan pribadi sentimental yang akan luluh jika diberi bu ..."

Tanpa sempat menyelesaikan ucapannya, Dewa sudah menghadiahi setangkai wisteria ke hadapan Faya. Gadis itu tak dapat berkata-kata mendapat serangan kejutan dari Dewa. Sepersekian detik Faya hanya terpaku. Sampai akhirnya tangannya terulur menggapai bunga tersebut. Faya memerhatikan saksama bunga di tangannya hingga tanpa sadar sudut bibirnya terangkat sedikit. Meski samar, tetapi Dewa menangkap sirat bahagia tersebut di wajah Faya.

"Bunga itu didatangkan langsung dari Jepang."

Informasi yang baru diberikan Dewa mengejutkan Faya.

"Dari Jepang?" ulang Faya.

Dewa mengangguk. "Iya. Kebetulan ada teman yang sedang berlibur ke sana. Jadi saya minta tolong untuk dibawakan wisteria. Karena itu jumlahnya tidak banyak."

"Kenapa harus jauh-jauh dari Jepang. Bukannya kamu punya supplier lokal yang bisa menyediakan wisteria?"

"Karena saya kepikiran kamu."

Jawaban spontan Dewa membuat Faya terpaku. "Kenapa?"

Dewa tak menjawab. Ia justru membawa wisteria tersebut ke meja kerja di mana biasanya ia merangkai buket untuk pelanggan. Faya yang tak puas karena belum mendapat jawaban apapun darinya memilih mengikuti Dewa ke ruang kerja tersebut.

Dewa mengambil sebuah vase kaca yang berukuran cukup besar. Lalu dengan cekatan pria itu menata wisteria yang dibawanya dengan beberapa bunga lain di dalam buket. Setelah selesai, Dewa kemudian menyerahkan vase berisi bunga-bunga cantik tersebut kepada Faya yang lagi-lagi membuat Faya tertegun.

"Kamu pasti tahu arti bunga wisteria di Jepang, kan?"

Tentu saja Faya tahu. Namun ketika menghubungkan arti cinta yang tersemat dalam wisteria, Faya rasanya tidak bisa menerimanya. Ia tidak memiliki perasaan apapun pada Dewa.

"But I'm not love you," ujarnya tanpa basa-basi membuat Dewa tertawa.

"Cinta itu banyak maknanya, Faya. Dan dalam rangkain yang saya berikan tidak mengacu pada cinta yang disimbolkan oleh wisteria. Saya hanya ingin kamu bahagia dan menemukan arti bahagia yang sesungguhnya," jelas Dewa.

"Terima kasih." Faya akhirnya bisa dengan lega hati menerima rangkaian bunga yang dihadiahkan Dewa.

"Kembali kasih."

Tak pelak Faya kembali menikmati keindahan rangkaian bunga yang ada di tangannya. Namun beberapa saat kemudian ia seperti tersadar akan sesuatu.

"Kenapa florist sepi?" tanyanya tiba-tiba.

"Saya yang meminta semua untuk libur hari ini. Ada sedikit keperluan yang harus saya lakukan."

Faya mengernyit bingung. Jika memang Dewa memiliki keperluan, mengapa harus sampai menutup florist. Bukankah para pegawai tetap bisa bekerja seperti biasanya meskipun tanpa kehadiran Dewa di tempat itu.

"Apa kamu tidak merasa rugi? Menutup florist berarti kamu kehilangan pendapatan selama satu hari."

Dewa dibuat menggeleng kecil karena perkataan Faya barusan.

"Menutup florist satu hari tidak akan membuat saya bangkrut. Lagipula saya percaya pada ungkapan, rezeki tidak akan pernah tertukar. Apa yang Tuhan takdirkan menjadi milik saya, bagaimana pun akan tetap kembali pada saya. Lagipula, mungkin dengan saya menutup usaha satu hari, akan ada usaha lainnya yang menerima rejeki hari ini."

Faya memutar matanya dengan gestur malas. "Ya, ya. Tipikal kamu sekali. Sang Dewa kebaikan!" sindir Faya.

Dewa tak membalas sindiran pedas Faya. Rasanya ia sudah terbiasa jika gadis itu melontarkan kata-kata menyindir yang mungkin bagi orang lain tidak enak didengar. Namun Dewa tidak pernah mengambil hati semua ucapan pedas dan tak berperasaan yang gadis itu ucapkan untuknya. Karena Dewa bisa merasakan jika Faya tidak benar-benar berniat menyakiti dengan ucapan yang baru ia katakan. Mungkin juga karena Dewa tahu apa yang menimpa hidup gadis itu yang menjadikan Faya begitu sinis dan seolah tak berperasaan.

"Kamu sudah makan siang?" tanya Dewa selanjutnya yang belum sempat dibalas Faya ketika alarm ditubuhnya sudah lebih dulu memberikan jawaban pada Dewa.

Faya menggigit bibirnya seraya menundukkan pandangan karena merasa malu suara perutnya yang keroncongan terdengar nyaring.

Perut sialan! Umpat Faya dalam hati. Bisa-bisanya ia mempermalukan seorang Faya Cassandra sedemikian rupa. Seolah Faya begitu kelaparan layaknya orang-orang miskin di luaran sana. Ah, mungkin Faya memang salah satu dari orang miskin di luar sana. Ia kadang masih suka lupa dengan keadaan dirinya saat ini.

"Itu tadi bukan bunyi suara dari perut saya," elak Faya yang jelas tidak dipercaya Dewa.

Pria itu hanya tersenyum kecil sembari menanggapi, "kebetulan saya juga belum makan siang. Ayo makan siang sama-sama."

Faya mengikuti langkah Dewa menuju pintu keluar florist. Tak lupa ia membawa rangkaian bunga wisteria yang dihadiahkan Dewa padanya. Ia akan meletakkan rangkaian tersebut di kamar tidurnya untuk menambah warna dan kesan elegan. Mengingat ia sudah tidak memiliki barang mewah apapun yang bisa ia jadikan hiasan ruangan.

Ia pikir Dewa akan membawanya ke sebuah restoran atau kafe untuk santap siang. Nyatanya pria itu membawa Faya ke sebuah komplek perumahan asing yang belum pernah Faya datangi. Gadis itu ingin bertanya tetapi mobil milik Dewa sudah berhenti di pekarangan salah satu rumah.

"Kita sudah sampai."

Hanya itu yang diucapkan Dewa. Tanpa menunggu Faya menjawab, Dewa sudah lebih dulu keluar. Meski dihinggapi perasaan tak nyaman, namun Faya akhirnya memberanikan diri untuk mengikuti Dewa.

"Selamat datang di rumah saya," ujar Dewa seraya membukakan pintu bagi Faya untuk masuk.

Keraguan Faya terjawab sudah. Ia memang sempat berpikir bahwa hunian yang saat ini ada di depan matanya adalah tempat tinggal Dewa. Dan ternyata memang benar adanya.

Rumah dua lantai tersebut memang tidak mewah seperti tempat tinggal Faya terdahulu. Namun suasana yang diberikan rumah tersebut membuat siapa pun merasa nyaman ketika melangkahkan kaki ke dalamnya. Begitu pun yang dialami Faya.

Rumah Dewa tertata dengan begitu rapi dan teratur. Siapa pun tidak akan menyangka jika hunian tersebut milik seorang pria muda. Kesan sebagai pemilik florist pun begitu terlihat di rumah Dewa. Beberapa ornamen, hiasan bahkan rangkaian bunga tertata dengan begitu indah. Menambah nilai estetika tempat itu.

Faya pernah mendengar dari para pegawai di florist jika Dewa tinggal seorang diri setelah ibunya meninggal dunia. Namun begitu rumah yang saat ini ditinggali Dewa tak terkesan sepi sama sekali.

"Kamu ingin makan apa?"

Suara Dewa dari arah dapur yang datang tiba-tiba mengejutkan Faya.

"Hah?" gumam gadis itu terperanjat.

"Kamu inggin makan apa?" sekali lagi Dewa bertanya.

Faya menghampiri Dewa ke dapur. Dengan konsep open kitchen, gadis itu bisa melihat Dewa sudah berdiri di depan kompor. Apron bergambar rangkaian bunga melekat di tubuh pria itu. Membuat Dewa benar-benar terlihat berbeda dari penampilan biasanya di mata Faya. Ia hanya tidak menyangka apron berkesan girly itu sama sekali tidak mengurangi maskulinitas Dewa.

"Kamu bisa memasak?" tanya Faya terkejut. Pria yang bisa memasak adalah hal baru bagi Faya. Kecuali para pria yang memang berprofesi sebagai koki.

"Bisa, meski bukan kualitas masakan Master Chef yang biasa kamu nikmati."

"Pasta."

Faya mengucapkannya begitu saja. Entah karena ia tidak pernah lagi menikmati pasta terenak di restoran Italia favoritnya. Pasta yang pernah ia makan sejak jatuh miskin di kafe yang sering dikunjunginya sangat jauh dari kata enak yang dulu sering ia rasakan. Hanya saja ia tidak mungkin protes atau membuang makanan yang sudah ia pesan di tengah kondisi ekonominya yang tak menentu. Perlahan tanpa disadari, Faya mulai menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang tak lagi mewah.

Mendengar permintaan Faya, Dewa langsung menyanggupi. Pria itu segera mengecek kelengkapan bahan makanan di lemari pendingin. Beruntung semua bahan yang biasa dgunakan untuk membuat pasta masih tersedia. Selama dirinya memasak makan siang, Dewa meminta Faya menunggu dengan sabar.

"Kamu boleh lihat-lihat sekeliling. Di lantai atas, ada taman kecil. Kamu bisa bersantai sejenak di sana. Nanti saya panggil kalau masakannya sudah siap," saran Dewa.

Namun Faya menolak saran tersebut. Gadis itu memilih untuk duduk dan menyaksikan aksi Dewa yang sedang bergulat di dapur dengan masakan. Ini memang bukan pertama kali bagi Faya menyaksikan live cooking yang dilakukan oleh seorang pria. Namun ini pertama kalinya bagi Faya merasakan hal yang menurutnya istimewa. Di mana lagi seorang mantan pegawai diperlakukan seperti tamu agung oleh mantan atasan. Dewa tidak hanya banyak membantunya, tapi pria itu juga benar-benar menunjukkan pada Faya bahwa masih ada orang baik di dunia ini. Memang mereka sempat berselisih. Tapi bukan berarti segala kebaikan yang Dewa berikan padanya bisa terhapus begitu saja hanya karena satu kesalahan yang pria itu lakukan.

"Kamu sering memasak seperti ini?" tanya Faya tiba-tiba penasaran.

"Ya?" Dewa tidak terlalu mendengar jelas pertanyaan yang diberikan gadis itu.

Faya pun beranjak dari duduknya untuk mendekat pada Dewa. Namun masih dijarak yang cukup aman karena sejujurnya Faya tidak berani berhadapan dengan dapur dan perangkatnya. Sepanjang hidupnya Faya hanya menginjakkan kaki ke dapur hanya untuk memgambil makanan dan minuman. Bukan untuk memegang peralatan dapur dan memasak.

"kamu sering melakukan hal seperti ini? Memasak untuk perempuan lain, yang saya maksud."

Dewa tersenyum kecil mendengarnya. "Seumur-umur saya hanya pernah memasak untuk almarhumah Mama. Dan kamu adalah perempuan kedua yang berkesempatan menyaksikan saya memasak."

Harusnya Faya tidak merasa tersanjung. Tetapi entah mengapa ia merasa telinganya memerah mendengar pengakuan Dewa.

Hentikan, Faya! Lagi-lagi Faya mengingatkan dirinya sendiri. Terlena bukanlah sifat yang baik. Karena itu jika tidak ingin semakin menderita, Faya harus menahan segala macam perasaan sentimental tersebut.

"Tapi saya bukan orang kedua setelah Mama kamu yang merasakan masakan kamu."

Meski diucapkan tidak cukup keras, tapi perkataan Faya berhasil membuat Dewa terpaku sejenak. Pria itu kemudian menyadarkan dirinya untuk melanjutkan memasak. Sedang Faya sendiri kembali duduk di kursinya semula.

Tak lama dua piring pasta sudah terhidang di meja. Faya cukup terkejut melihat tampilan pasta yang Dewa sajikan. Harus ia akui, sebagai seorang florist, tangan Dewa tak hanya terampil menciptakan berbagai rangkaian bunga indah. Namun juga masakan yang terlihat menggugah selera bisa pria itu ciptakan. Hanya saja untuk rasa, Faya tidak yakin. Terkadang penampilan mampu menipu.

"Silakan dicicipi."

Faya segera mengangkat garpunya . Menyuapkan sesuap pasta ke dalam mulutnya. Seketika mata Faya tampak berbinar. Dengan cepat ia mengalihkan tatapan pada Dewa yang juga memasukkan suapan ke mulutnya.

"Ada apa?" tanya pria itu bingung.

Faya mengerjap, seakan bingung akan mengatakan apa. Sampai akhirnya ia hanya bisa mengeluarkan sepatah kata untuk Dewa.

"Approved!"

Senyum Dewa mengembang mendengar pujian gadis itu. Faya tidak berbohong dengan ucapannya. Meski pasta yang disajikan Dewa bukan yang terbaik seperti yang para koki profesional hidangkan untuknya. Namun lidah Faya mampu menerimanya.

"Terima kasih untuk pujiannya."

"Terima kasih untuk pastanya."

Mereka mengucapkannya secara bersamaan setelah keduanya menghabiskan pasta masing-masing. Sebuah kebetulan yang membuat Faya untuk pertama kalinya mengeluarkan tawa kecil yang nyaring. Tawa yang bagi Dewa terdengar seperti denting lonceng kecil di pintu masuk florist. Denting yang selalu membuatnya bersemangat dalam menyambut pelanggan dan bersiap memberikan kebahagiaan lewat rangkaian bunganya.

"Kamu harus lebih sering tersenyum dan tertawa," saran Dewa.

"Nah, terlalu sering tertawa akan membuat saya juga terlalu sering menangis." Faya menolak tanpa ragu. "Kamu tahu, setiap kali manusia merasa terlalu bahagia, maka akan ada kesedihan yang membuntutinya."

"Itu tidak benar, Faya. Itu hanya asumsi kamu."

"Benar atau tidak, tapi itu nyatanya. Tuhan sepertinya memang terlalu adil dalam menciptakan sesuatu."

"Jangan pernah berburuk sangka pada Kehendak Tuhan. Setiap hal, baik dan buruk selalu ada makna dari segala yang diciptakan Tuhan. Sekarang tergantung kita sebagai manusia mau melihat dari sisi yang mana. Apakah akan mengeluh atau bersyukur."

"Dan kamu akan memilih bersyukur untuk setiap duka yang datang?" tebak Faya.

Dewa mengangguk. "Dan tentunya juga menjadi refleksi bagi diri saya."

"Waw, orang tua kamu benar-benar tidak salah memberikan nama itu pada kamu, ya?" ucap Faya setengah takjub, setengah menyindir.

"Dan orang tua kamu juga tidak salah memberikan nama itu pada kamu."

Faya ingin menyangkal, tapi akhirnya gadis itu urungkan. Pada akhirnya ia hanya mengucapkan terima kasih atas jamuan yang Dewa berikan dan meminta pria itu untuk melengkapi kebaikannya hari ini dengan mengantarkan Faya pulang kembali ke rumahnya.

...

Note : terima kasih masih menunggu. Selamat membaca.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 27/2/03

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top