Babak 15 - Berdamai

Semalaman berpikir, akhirnya Dewa memutuskan untuk menemui Faya. Seperti yang Ibu Mina ucapkan, perselisihan yang terjadi kemarin bukan sepenuhnya kesalahan Faya. Karena itu Dewa berencana untuk bicara empat mata dengan gadis itu.

Sebelum menemui Faya, setidaknya Dewa lebih dulu menghubunginya. Agar Faya tidak mengamuk karena tiba-tiba dirinya datang menemui Faya setelah kejadian kemarin. Dewa yakin Faya masih merasa marah karena peristiwa tersebut. Dan ia jug yakin jika nilai dirinya di mata gadis itu pun sudah turun drastis. Karena itu pasti akan cukup sulit untuk Dewa dapat bicara dan meyakinkan gadis itu kembali.

Namun berkali Dewa mencoba menghubungi Faya, ia tak juga tersambung. Panggilan tidak dapat dijangkau. Rasa cemas tiba-tiba saja menghinggapi perasaan Dewa. Namun ia mencoba berpikir positif. Mungkin saja gadis itu mematikan ponselnya. Atau bisa saja kemarahannya yang masih memuncak menyebabkan Faya memblokir nomor Dewa dan yang lainnya. Jika sudah seperti itu adanya, jelas jalan satu-satunya bagi Dewa adalah dengan langsung menemui Faya di kediamannya.

Sebelum pergi, Dewa menyempatkan diri merangkai sebuah buket sebagai bentuk permintaan maafnya pada Faya. Ia berharap gadis itu dapat melunak dengan hadiah kecil yang ia berikan. Tak lupa Dewa menghubungi Ibu Mina untuk memberitahukan ketidak hadirannya hari ini di florist. Mendengar rencana Dewa yang akan menemui Faya, secercah harapan timbul di hati Ibu Mina. Ia berharap hati Faya akan melunak dengan kedatangan Dewa. Dan gadis itu bersedia kembali bekerja di florist bersama mereka.

Dewa tiba di kontrakan Faya pukul Sembilan pagi. Lingkungan tersebut tampak sepi. Mungkin karena sebagian penghuninya sudah pergi beraktifitas. Dewa pun bergegas mengeetuk pintu rumah Faya. Namun beberapa kali pria itu mengetuk dan memanggil sang empunya rumah, tetap tak juga ada sahutan dari Faya.

Tiba-tiba saja perasaaan Dewa dilanda kecemasan. Ia pun mencoba untuk menghubungi ponsel Faya. Akan tetapi hasil yang didapat tetap sama. Tak ada jawaban. Di tengah rasa cemasnya, Dewa bersiap akan memanggil ketua RT setempat untuk meminta bantuan ketika samar didengarnya bunyi pintu terderit terbuka.

Di ambang pintu, berdiri Faya dengan wajah yang tampak pucat. Rambut gadis itu terlihat berantakan. Penampilan Faya yang tak seperti biasanya membuat Dewa terkejut. Dewa langsung menebak jika Faya sedang tidak dalam keadaan sehat.

"Kamu sakit?" tanyanya langsung dengan punggung tangan yang langsung ditempelkan ke dahi Faya.

Meski tampak lemah, namun Faya langsung menepis tangan Dewa dari dahinya dengan ekspresi wajah kesal.

"Mau apa kamu?" Faya bermaksud menegur dengan nada ketus. Namun suaranya justru terdengar lemah dan tak meyakinkan.

"Kamu sudah minum obat?"

Dewa tak menggubris pertanyaan yang dilontarkan Faya. Ia justru terlihat fokus pada kondisi Faya.

"Pergi!" usir Faya namun tak membuat Dewa gentar.

Pria itu justru menerobos pertahanan Faya dan menarik gadis itu untuk masuk ke dalam rumah bersamanya.

"Ayo ganti pakaian kamu dan kita ke dokter."

"Saya tidak butuh bantuan kamu." Faya menjawab ketus.

"Amarah kamu bisa diurus nanti, tapi kesehatan kamu tidak bisa menunggu" Dewa berkata tegas tak ingin dibantah.

Pada akhirnya Faya menjadi pihak yang kalah. Gadis itu meski setengah hati namun tetap menuruti keinginan Dewa. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tidak satu pun dari mereka yang bicara. Sampai ketika mereka tiba di depan ruang dokter, akhirnya Dewa mengambil inisiatif untuk ikut menemui sang dokter.

"Istrinya tidak kenapa-napa, hanya demam saja." Sang dokter berkata dengan entengnya pada Dewa yang sedang menunggu.

Faya yang baru keluar dari ruang pemeriksaan mengernyit mendengar ucapan dokter dan dengan cepat mengoreksi kesalahan tersebut.

"Dia bukan suami saya!" ungkapnya ketus.

"Ah, maaf saya salah paham. Saya pikir Ibu dan Bapak sudah menikah ternyata masih pacaran, toh?" dokter yang usianya masih cukup muda tersebut mengioreksi dengan setengah bercanda.

Melihat Faya yang sekali lagi akan menyemprot sang dokter yang salah sangka, membuat Dewa bergerak cepat menarik gadis itu untuk duduk bersamanya di depan meja kerja sang dokter. Faya mendelik kesal akan sikap Dewa, akan tetapi pria itu tak ambil pusing. Melihat pasangan muda di depannya membuat sang dokter mengulas senyum.

Setelah mendapatkan resep dan hasil pemeriksaan dari dokter, Dewa menarik Faya untuk berpamitan dengan tak lupa mengucapkan terima kasih pada sang dokter muda. Setelah menebus obat untuk Faya, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Tak lupa Dewa mampir ke salah satu restoran yang untuk membelikan makanan bagi gadis itu.

"Kenapa kamu tidak meluruskan kesalahpahaman dokter tadi tentang kita?" Faya kembali mengungkit hal tersebut dalam perjalanan pulang.

"Buat apa?"

"Saya tidak suka orang-orang berpikir kalau kita punya hubungan."

"Kamu terlalu berpikir berlebihan. Laipula belum tentu kita ketemu lagi dengan dokter tersebut."

"Tapi saya tidak suka!"

Dewa memilih diam. Jika menanggapi pertentangan Faya tidak aka nada habisnya.

Sesampai di rumah, Dewa menyiapkan makanan yang tadi sudah dibelinya agar bisa disantap oleh Faya sebelum gadis itu meminum obatnya. Faya yang tadinya masih kesal justru tak bisa melepaskan tatapannya dari Dewa yang dengan telaten menyiapkan apa yang diperlukannya.

Jika kemarin Faya masih berpikir Dewa adalah orang munafik, kali ini ia menarik kembali pemikirannya. Dewa benar-benar bukan orang yang munafik seperti perkiraannya. Mungkin Dewa memang marah padanya. Namun kemarahan pria itu pun beralasan.

"Kenapa kamu datang?" Tanya Faya tanpa tedeng aling. Ia tidak bisa berpura-pura seperti orang lain. Apa yang dirasakannnya itu yang akan Faya sampaikan. Straightforward, itulah salah satu kepribadiannnya.

"Saya datang ke sini untuk minta maaf sama kamu. Saya tahu apa yang saya lakukan kemarin tidak sepenuhnya benar. Harusnya saya melihat lebih dalam dari dua sisi perselisihan antara kamu dan Bu Mina. Selain itu, Ibu Mina juga ingin meminta maaf pada kamu. Karena tidak seharusnya ia bersikeras memaksakan pendapatnya pada kamu."

Faya yang tadinya akan berkonfrontasi dengan Dewa, seketika tertegun mendengar ucapan Dewa. Ia tidak menyangka jika Dewa dan Ibu Mina akhirnya mau mengakui kekeliruan mereka. Rasa marah yang tadinya masih membuncah di hati Faya terkikis perlahan. Namun tentu saja harga dirinya yang setinggi langit kembali terangkat karena permintaan maaf Dewa.

"So, hanya karena kamu minta maaf lalu semua selesai? Tahu perumpamaan kertas kosong? ..."

Sebelum Faya bicara lebih jauh lagi, Dewa menginterupsinya.

"Saya tahu, Faya. Karena itu sekarang apa yang kamu inginkan untuk saya lakukan agar kamu bisa memaafkan sikap saya kemarin?"

Kali ini Faya dibuat tak berkutik. Ketegasan dan keseriusan dalam ucapan Dewa membuat gadis itu tak tahu harus membalas apa. Tidak biasanya memang seorang Faya dibuat bungkam. Gadis itu memilih melarikan diri dan masuk ke kamarnya dengan bantingan pintu.

Dewa bukannya marah namun hanya tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala mendapati respon Faya yang tak biasa. Pria itu memilih untuk mengetuk pintu kamar Faya demi upaya meminta gadis itu untuk makan.

"Kamu harus makan dan minum obatnya," ucap Dewa dari luar kamar.

"Berisik!" pekik Faya yang kini sudah menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.

Hari ini begitu menyebalkan, pikirnya.

...

Beruntung Dewa membawanya ke dokter, hingga Faya tidak mengalami sakit yang berkelanjutan. Tapi bukan berarti gadis itu langsung menerima tawaran Dewa yang memintanya untuk kembali bekerja di florist. Faya memang memikirkan untuk kembali bekerja, namun bukan di tempat tersebut. Ia ingin mencoba peruntungannya sendiri. Bagaimana pun ia belum ingin berhadapan kembali dengan orang-orang di florist. Perasaannya tidak seramah itu untuk dapat kembali berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya marah.

Karena itu hari ini, Faya memutuskan untuk menguji dirinya dengan melamar pekerjaan. Tidak mudah memang bagi seorang Faya yang minim pengalaman untuk memasuki dunia kerja yang sama sekali asing baginya. Tapi Faya tetap ingin mencoba. Karena ia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tidak memberanikan diri menghadapi tantangan hidupnya saat ini.

Perusahaan tempat Faya menjatuhkan lamaran bukan perusahaan besar. Hanya sebuah kantor dua lantai yang bergerak di bidang distibusi barang. Faya mendapatkan informasi tersebut dari iklan lowongan pekerjaan melalui social media. Dengan kualifikasinya sebagai lulusan sarjana meski tanpa pengalaman, Faya yakin dirinya akan dengan mudah diterima di kantor kecil tersebut.

Sayangnya kenyataan tidak pernah berjalan sesuai ekspektasi indah yang dibayangkan Faya. Saat sesi wawancara dengan penanggung jawab kantor tersebut, Faya justru diberikan pekerjaan yang jauh dari bayangannya.

"Cleaning service? Maksunya pekerjaan bersih-bersih kantor, begitu?" Tanya Faya sekali lagi memastikan.

Seorang pria paruh baya yang menjadi penanggung jawab wawancaranya mengangguk mendengar ucapan Faya.

"Iya, kamu akan ditempatkan sebagai petugas cleaning service."

"Apa anda tidak salah? Saya melamar di sini bukan untuk bagian itu."

"Tapi pekerjaan yang kamu inginkan sudah terisi. Dan pekerjaan yang tersisa hanya bagian cleaning service."

"Apa anda membaca resume yang saya berikan?" Tanya Faya kembali.

"Tentu saja."

"Kalau begitu anda pasti tahu jika saya ini lulusan sarjana."

"Tentu, lalu salahnya di mana?"

"Salahnya di mana? Saya lulusan sarjana dan anda ingin saya melakukan pekerjaan kotor seperti menyapu dan mengepel lantai?" suara Faya agak meninggi membuat pria paruh baya tersebut mengernyit.

"Meski kamu lulusan sarjana tapi kamu tidak punya pengalaman sama sekali ..."

"Saya bisa belajar!" tekan Faya.

"Tapi kami tidak butuh pemula untuk pekerjaan yang anda inginkan. Dan juga, apa salahnya dengan pekerjaan bersih-bersih. Itu bukan pekerjaan kotor. Apa kamu tahu berapa banyak sarjana di luaran sana yang berjuang demi mendapatkan pekerjaan? Harusnya kamu bersyukur mendapatkan pekerjaan meski itu pekerjaan kecil sekali pun."

Faya sudah tidak tahan lagi. Dia datang ke tempat itu untuk mencari pekerjaan. Bukan mendengar ceramah tentang kehidupan. Rasanya ia ingin membanting meja di hadapannya untuk melampiaskan kekesalannya.

Tidak ingin lagi mendengar ocehan tidak berguna dari pria paruh baya tersebut, Faya menarik kembali surat lamaran yang ada di atas meja. Bahkan ia tidak mengucapkan sepatah kata pun saat keluar dari ruangan wawancara tersebut membuat pria yang menjadi penanggung jawab wawancaranya menggelengkan kepala. Tidak habis pikir di zaman sulit seperti ini masih ada manusia yang arogan hanya karena perkara pekerjaan. Ia berpikir padahal Faya yang membutuhkan pekerjaan, tapi mengapa justru gadis itu yang menolak hanya karena pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan keinginannya.

"Dasar anak zaman sekarang," desah pria itu masih tidak habis pikir karena berhadapan dengan pelamar seperti Faya.

Di tengah rasa kesalnya, sekali lagi Faya memandang bangunan ruko tiga lantai di depannya tersebut. Bukan Faya tidak ingin bersyukur, hanya yang benar saja. Ia sudah berekspektasi tinggi tentang pekerjaan barunya. Meski bukan posisi tinggi, tapi bukan juga Faya harus menerima pekerjaan sebagai cleaning service. Ia merasa tertipu dengan iklan yang ditawarkan. Rasa kesalnya akan bertambah dan menggunung jika Faya tidak segera pergi dari tempat tersebut.

Dalam perjalanan menuju halte terdekat, Faya kembali merasakan bagaimana orang-orang biasa menjalani kehidupannya. Berjibaku dengan segala rintangan hanya demi sesuap nasi. Sekelilingnya terasa berisik dengan riuh rendah suara kendaraan dan manusia-manusia yang berlalu lalang. Namun entah mengapa Faya sudah tidak terlalu terganggu dengan suasana tersebut. Tidak seperti pertama kali dirinya mengalami jatuh yang begitu menyakitkan. Faya sempat berpikir, apa karena dirinya mulai terbiasa dengan kehidupannya saat ini?

Namun kembali Faya menggelengkan kepalanya. Apa-apaan dengan pikiran sesaatnya tadi. Jika terbiasa artinya Faya sudah menerima hidupnya saat ini? Big No! Faya tidak akan pernah menerima kehidupannya saat ini. Ia tidak ingin terus berkubang dalam kemiskinan. Ia harus bangkit. Bukan sekarang memang, tapi saatnya nanti, Faya akan kembali ke kehidupannya semula. Tapi ... bagaimana?

Di tengah pergulatan batinnya, tahu-tahu saja Faya sudah berada di depan florist milik Dewa. Waktu menunjukkan pukul dua siang lebih tetapi Faya melihat flrorist begitu sepi. Hingga ia melihat papan tanda yang menunjukkan bahwa florist sedang tutup.

Baru saja Faya akan melangkah meninggalkan tempat itu, pintu florist tiba-tiba berdentang nyaring karena suara bel yang dipasang sebagai penanda. Faya segera membalikkan tubuhnya dan mendapati Dewa dengan apron yang masih terpasang tengah menatap juga padanya. Pria itu mengulas senyum membuat jantung Faya tiba-tiba saja berdetak tak karuan.

"Selamat datang, Faya," ujar Dewa dengan senyumnya yang sehangat sinar maatahari.

Faya ingin menolak, namun justru kakinya mengkhianati keinginan hatinya. Kaki yang sekarang sering sekali berjalan tersebut sudah melangkah mendekati Dewa yang kini membuka pintu florist semakin lebar.

...

Note : terima kasih karena masih menunggu. Ah iya, harusnya aku update paling gak seminggu sekali sesuai ketentuan. Tapi, sejak selasa kemarin aku sakit. Awalnya cuma sakit kepala plus demam Meriang. Eh, selesai yang itu, sekarang justru batuk yang melanda. Udah agak mendingan tapi tetap rada gak enak, tenggorokanku gatal. Alhamdulillah kayaknya Allah masih sayang karena dikasih ujian ringan berupa sakit penggugur dosa, hehe. Teman-teman semua, jaga kesehatan ya. Pokoknya sedang berjuang menyelesaikan ini dan Senandung Pelangi. Semangat!!!

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 12/02/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top