Babak 14 - Keras Kepala Faya

Ini kali pertama Dewa begitu tegas pada Faya. Dan entah mengapa Faya merasa tak suka. Bukan karena Dewa tak membelanya. Namun karena Faya merasa Dewa terlalu ikut campur dalam masalah pribadinya. Ia tidak merasa perlu meminta maaf pada siapa pun. Terutama kali ini pada Ibu Mina atas sikap kurang ajarnya. Ini dirinya. Dan Faya tidak suka orang lain mengaturnya. Mereka bukan orang tuanya. Bukan juga keluarganya. Jadi mereka tidak punya hak untuk memutuskan apa yang harus Faya lakukan.

"Saya tidak akan pernah minta maaf. Karena bagi saya, apa yang saya lakukan bukan kesalahan sama sekali!" tegas Faya sekali lagi.

"Tapi bagi saya itu kesalahan. Dan karena itu kamu tetap harus meminta maaf pada Ibu Mina." Dewa pun tak kalah tegas.

Faya menggelengkan kepalanya. Tak mengerti dengan logika berpikir yang diutarakan Dewa. Sopan atau tidak. Kasar atau tidak. Semua itu urusan Faya dan Ibu Mina. Tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Dewa dan pegawai lainnya. Masalah kali ini murni hanya karena perselisihan dua kepribadian yang bertolak belakang. Mengapa Dewa harus ikut campur dalam urusan yang menyangkut ranah pribadi?

"Faya, bagi saya, setiap karyawana di sini adalah sama. Tidak ada yang tinggi atau rendah derajatnya. Dan sikap kamu barusan benar-benar tidak dapat saya terima. Perselisihan pribadi tapi terjadi di lingkungan kerja, jelas akan membawa dampak buruk bagi suasana kerja. Terlepas dari urusan pekerjaan, siapapun itu, selama saya menyaksikan hal yang membuat nurani saya tidak terima. Maka saya akan mencoba menjadi penengah dalam masalah tersebut."

"Waw, what a hero!" sindir Faya.

"Faya, kali ini saya ingin kamu mengerti dengan prinsip yang saya pegang."

"Bagaimana jika saya menolak?"

Dewa tahu betapa keras kepalanya gadis ini. Namun ia juga tidak akan mengalah untuk kali ini pada Faya.

"Maka dengan terpaksa saya harus memberhentikan kamu," ucap Dewa walau ia sendiri pun sebenarnya tak tega jika harus memecat Faya. Ia tahu bagaimana keadaan Faya saat ini. Gadis itu tak memiliki siapa-siapa. Hanya dirinya.

Lama Faya memandangi Dewa. Ia pikir pria ini berbeda. Ia pikir Tuhan memang sedang berbaik hati mengirimkan seorang berhati malaikat di saat terburuknya. Namun ternyata semua hanya ilusi semata. Tidak pernah benar-benar ada orang baik dengan hati yang tulus di dunia ini. Faya tak percaya itu sejak dulu. Dan kini Dewa membuktikan kepercayaannya. Walau memang dalam hal ini bukan salah Dewa sepenuhnya. Pun bukan salah Faya yang memang belum bisa mengubah dirinya.

Faya melepaskan apron berinisial florist yang melekat di tubuhnya. Gadis itu lemparkan benda tersebut ke meja kasir. Tanpa memandang satu orang pun, Faya melangkah meninggalkan florist.

Dewa tak menyangka gadis itu lebih memilih mempertahankan egonya dibandingkan mengucapkan kata maaf. Pria itu hanya memandangi sosok Faya yang menghilang di balik pintu florist. Ada berbagai kecamuk yang saat ini bercokol di pikirannya. Hatinya pun dilanda rasa ketidak nyamanan karena tiba-tiba situasi menjadi tak terkendali seperti itu.

Suasana seketika menjadi lebih serius. Para pegawai lainnya saling berpandangan. Ibu Mina yang merasa menjadi sumber perselisihan kali ini pun merasa tak tenang. Tidak pernah terbersit di kepalanya hanya karena ia yang ingin berbagi, menyebabkan pertengkaran besar seperti itu.

"Dewa, Ibu minta maaf, ya. Semua ini karena Ibu. Harusnya Ibu tidak memaksa Faya. Kalau kamu mau, Ibu bisa minta maaf pada Faya. Kasihan dia."

Anggika langsung mengernyit mendengar ucapan Ibu Mina. "Kenapa Ibu harus minta maaf. Itu bukan salah, Ibu. Bu Mina kan cuma ingin berbagi."

"Tapi tetap bukan kesalahan Faya jika ia menolak. Setiap orang memang punya hak untuk menerima atau menolak pemberian orang lain, kan. Karena itu, memang kali ini Ibu rasa Ibu yang salah."

Dewa yang mendengar penuturan Ibu Mina seketika tertegun. Sejenak ia merenungi apa yang dikatakan Ibu Mina.

"Mas Dewa, mungkin ada baiknya jika kita menemui Faya dan bicara baik-baik dengannya. Ibu merasa tidak tenang sudah menyebabkan Faya disalah pahami begini. Kan Mas Dewa bilang sendiri kalau Faya itu sendirian saja di sini. Dia nggak punya siapa pun untuk bersandar. Sebagai seorang Ibu tunggal, saya mengerti betul bagaimana susahnya berjuang sendiri."

Ucapan Ibu Mina seolah membuka mata mereka semua. Termasuk Dewa. Sebagai orang yang pertama mengulurkan tangan padanya, tidak seharusnya Dewa bersikap kejam pada Faya tanpa berusaha mengerti masalah dari dua belah pihak.

Namun Dewa tetap tidak bisa menerima tindakan tak sopan Faya pada Ibu Mina. Jika gadis itu ingin menolak pun, tidak perlu dengan bicara kasar yang menyayat hati seperti yang Faya ucapkan.

"Mas Dewa, tolong pertimbangkan untuk membawa Faya kembali bekerja di sini," pinta Ibu Mina sebelum bersiap untuk kembali bekerja.

Kembali Ibu Mina menjadi pengingat bagi Dewa dan yang lainnya bahwa mereka harus kembali beroperasi. Untuk itu Dewa meminta mereka semua untuk sejenak melupakan masalah yang baru terjadi. Dan bersiap menghadapi pelanggan dengan isi kepala yang sepenuhnya harus pada pelayanan.

Sementara semua mulai bekerja, Dewa pun berpamitan kembali ke ruangannya. Ia benar-benar harus kembali memikirkan keputusannya. Apakah akan membawa Faya kembali. Atau membiarkan gadis itu mencari jalannya sendiri.

...

Setelah pergi dari florist tanpa sepatah kata pun, Faya tidak langsung kembali ke tempat tinggalnya. Gadis itu hanya melangkah tak tentu arah. Amarahnya belum padam. Rasa tidak percayanya pada sikap Dewa tadi pun masih terpatri di benaknya.

Dewa yang selama ini dikenalnya adalah pria yang begitu pengertian. Bukan pria yang tanpa pikir panjang langsung melontarkan dugaan padanya. Tanpa mau mengerti permasalahan dari sudut pandangnya.

"Kamu yang terlalu bodoh karena percaya padanya!" rutuk Faya pada dirinya sendiri.

Tidak ada satu pria pun di dunia yang ini yang bisa dipercaya. Papanya yang yang tak bertanggung jawab. William, si pengecut dan pengkhianat. Dan kali ini Dewa. Pria yang ia pikir adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantunya, tak lebih dari seorang munafik yang tidak bisa memegang kata-katanya.

"I hate them!" gumam Faya kemudian.

Tanpa Faya sadari, matanya perlahan memerah. Faya bukan orang yang cengeng. Bahkan ketika dinyatakan jatuh miskin pun, Faya tak meneteskan setitik air mata. Namun entah mengapa kali ini ia merasa ingin menangis.

Apa yang salah?

Gadis itu mendongak, menatap langit yang seketika mendung. Apa kali ini Tuhan bersimpati padanya? Tidak, Tuhan tidak pernah bersimpati padanya. Tuhan selalu mempermainkan hidupnya. Itu yang Faya yakini.

Kejamnya takdir harusnya mengajari Faya untuk tidak percaya pada siapa pun. Tidak bergantung terhadap siapa pun. Karena hanya diri sendiri yang bisa menghadapi semua permainan kehidupan.

"Lupakan, Faya! Tidak ada gunanya kamu meratapi nasib. Sekarang pikirkan bagaimana kamu akan melanjutkan hidupmu ke depannya!"

Setelah meyakinkan dirinya, Faya segera menghubungi Martin. Namun saying panggilannya tidak dijawab. Mungkin pria itu sedang sibuk, hingga tidak bisa menjawab panggilan darinya.

Faya pun kemudian memutuskan kembali ke rumah kontrakannya. Saat ini yang dirinya butuhkan memang hanya kesendirian dan ketenangan.

Nahas bagi Faya, karena di tengah perjalanan pulangnya hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya. Bergegas Faya mencari tempat berlindung. Ia bukan orang tolol yang rela mendramatisir keadaannya saat ini dengan memilih untuk berbasah ria.

Beruntung ia menemukan minimarket terdekat untuk tempatnya berteduh. Faya memasuki tempat yang dulunya tidak pernah ia pijak. Ia seperti dibawa ke dunia berbeda. Namun konsinya saat ini tidak mengizinkan Faya untuk memilih di mana ia harus berada.

Tidak tahu apa yang bisa ia lakukan, Faya hanya memutari ruangan tersebut. Berjalan diantara rak-rak makanan. Sampai matanya menangkap salah satu minuman kaleng yang dulu sering ia konsumsi. Tanpa pikir panjang, Faya mengambil minuman tersebut dan membayarnya di kasir.

Faya mencari tempat di salah satu sudut ruangan minimarket. Tatapannya terpaku pada hujan yang semakin deras di luar sana. Banyaknya orang berlalu lalang menembus hujan pun tak lepas dari pandangan Faya. Saat ini pikirannya pun melanglang buana. Pemandangan seperti ini belum pernah Faya saksikan sebelumnya. Kehidupannya dulu jauh berbeda dari dunia yang kini ia saksikan. Keadaan tersebut tentu saja menjadi pembuka mata bagi Faya.

Dunia tidak hanya berputar di sekitarmu, Faya!

Seketika Faya teringat akan kalimat yang pernah diucapkan seseorang padanya. Faya tertegun. Ia berusaha mengingat kembali siapa orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Namun bagaimana pun Faya berusaha menggali ingatan terdalamnya, ia tetap tidak menemukan setitik kenangan akan orang tersebut.

Faya menyerah untuk berusaha mengingat. Mungkin orang tersebut bukanlah sosok penting dalam kehidupannya dulu.

Entah untuk berapa lama Faya menunggu, tapi hujan tak kunjung reda. Ia melihat beberapa orang menembus hujan. Entah dengan bantuan payung, jas hujan atau bahkan tanpa pelindung sekali pun. Perasaan tergesa yang Faya lihat dari orang yang berlalu lalang seketika membawa perasaan asing yang tak pernah Faya rasakan. Namun entah mengapa Faya seperti ingin juga merasakan hal asing tersebut.

"Mungkin begitulah rasanya bergegas ingin segera pulang. Karena ada orang-orang yang menunggu mereka di rumah," gumam Faya tanpa sadar.

Pulang. Rumah. Dua kata tersebut terasa jauh sekali bagi Faya. Dua kata yang entah sejak kapan menghilang dalam hidupnya. Tanpa sadar Faya sudah melangkah keluar dari minimarket. Tidak peduli hujan yang masih bergulir deras. Tidak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup. Yang Faya tahu hanya ia terus melangkah. Bergegas dan terus bergegas. Menuju tempat yang saat ini ia sebut rumah.

...

note : halo semua. Di tahun yang sudah berganti semoga semua semakin baik, semakin sehat dan semakin bertambah lagi kebahagiaannya. Pertama, maaf karena sudah lama sekali enggak ada kabar dariku. Ada satu dan lain hal yang bikin aku benar-benar gak bisa fokus untuk nulis. Bahkan sempat kepikiran mundur karena gak bisa menyelesaikan cerita ini tepat waktu. Malu juga sama Karos dan teman² penulis lain. Alhamdulillah, baiknya dari pihak Karos memberi semangat dan perpanjangan waktu bagi yang belum selesai seperti aku ini. Teman² penulis lain juga sama kasih semangat biar kita bisa kelarin. Dan juga aku merasa gak enak hati juga kalau harus mundur karena banyak teman² pembaca juga yang masih setia. Terima kasih semua. Karena itu, Bismillah, aku harus bisa selesaikan event ini demi aku dan demi teman² pembaca yang kasih semangat juga 💙

Dan, aku mau kasih kabar yang mungkin kurang berkenan. Mungkin karya ini dan Senandung Pelangi bakal jadi karya terakhir yang aku tulis untuk saat ini karena kemungkinan aku bakal berhenti nulis untuk sementara sampai waktu yang belum ditentukan. Jadi teman-teman mohon maaf dan terima kasih. Sampai ketemu di lain waktu lagi ya. 💙💙💙

Rumah, 26/01/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top